Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

a fiction by Matsuyama Izuki...

Something Sweat

.

.

.

Character : Murasakibara A. X OC/Reader

Genre : Romance, Frienship

Warning : Typo(always), OOC (terutama Murasakibara), multichap, Cerita pasaran, alur mudah ditebak, dan Reader's Pov.

.

.

.

Three: Susu Cokelat

*Happy Reading!*


...

Suasanya pagi hari di dalam kelasku sangat ramai. Wajar sih, mengingat ini masih limabelas menit sebelum bel pelajan pertama dimulai. Siswa laki-laki kebanyakan sedang sibuk menyalin pekerjaan rumah yang mereka pinjam dari siswa yang sudah mengerjakan. Kalau para perempuan, jangan ditanya mereka sedang apa. Sudah pasti mereka akan bergerobol dan membicarakan apa saja yang bisa dibicarakan.

Sedangkan aku hanya terdiam di bangkuku tanpa melakukan apapun. Segumpal awan putih di langit yang biru lebih menarik daripada majalah fashion minggu ini. Dan lagu yang kuputar dari music playerku lebih indah didengar daripada gosip terbaru dari idola mereka.

Tapi lama-kelamaan aku merasa bosan dan akhirnya memilih memejamkan mata. Tapi tiba-tiba telingaku tak menangkap suara apapun dari mereka. Apakah jam pelajaran pertama sudah dimualai? Akhirnya aku membuka mata dan menggangkat kepalaku untuk memastikan.

Ternyata belum ada guru yang masuk. Eh, tapi kenapa mereka melihat ke arah pintu? Spontan akupun mengikuti pandangan mereka. Mataku membulat melihat apa, tepatnya siapa yang sedang berdiri di depan pintu kelas kami.

Pemuda setinggi dua meter itu memandang dengan malas, namun matanya tak berhenti bergerak seolah sedang mencari sesuatu. Saat pandangannya menangkap keberadaanku, pemuda itu segera menghampiriku yang duduk di bangku paling belakang.

Dia tak sendirian. Ada pemuda tampan berjalan dibelakangnya yang tentu saja menrik perhatian para gadis. Sekarang dia berdiri tepat di hadapanku, menatapku dengan pandangan datarnya tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"A-ano, ada keperluan apa, Murasakibara-kun?" Tanyaku yang binggung melihatnya tak kunjung mengatakan apapun.

Seisi kelas memandang kami, tepatnya Murasakibara-kun dan Himuro-kun karena ini pertama kalinya siswa dari kelas khusus seperti mereka memasuki kelas regular. Apalagi mereka berdua adalah duo ace tim basket Yosen.

"Atsushi, apa perlu aku saja yang menyampaikan?"

Kini giliran Himuro-kun yan angkat bicara. Sepertinya dia mulai agak kurang nyaman dipandangi terus oleh seisi kelas apalagi pandangan lapar dari para siswi di belakangnya.

"Tidak. Muro-chin diam saja!" Akhirnya Murasakibara-kun bersuara dengan setengah membentak. Himuro-kun hanya tersenyum memaklumi.

Murasakibara-kun kembali membandangku. Kali ini seperti ada rasa gugup yang coba ia tutupi. Hal ini semakin membuatku penasaran. Tak lama kemudian, Murasakibara-kun menghela nafas pelan.

"Apa kau ada waktu untuk besok sore?" Tanya Murasakibara-kun polos.

Kini giliran aku yang merasa gugup. Padahal belakangan ini aku sering mengobrol dengannya, bisa dibilang kami sudah mulai akrab. Tapi kali ini berbeda. Ini pertamakalinya Murasakibara-kun mendatangiku di kelas.

"Eh? Te-Tentu saja ada waktu,"

"Yokatta. Kalau begitu besok sore kau harus menonton pertandingan kami. Jaa ne~!"

Setelah mengucapkan hal itu, Murasakibara-kun berbalik dan meninggalkanku. Otakku yang baru saja selesai memproses kata-katanya barusan, mendadak membuat wajahku memerah.

Ini seperti ajakan kencan!

"Eeehhh?!" Pekikku kaget.

Himuro-kun yang masih berada di depanku tersenyum penuh arti. Dia sepertinya mengerti akan keterkejutanku ini.

"Atsushi sangat ingin kau melihatnya di pertandingan Winter Cup besok. Katanya, dia akan memenangkan pertandingan ini. Ini pertamakalinya aku melihat Atsushi antusias dalam bermain basket,"

"Muro-chin, kau lambat!" Terdengar suara Murasakibara-kun dari luar kelas.

"Hai, hai!" Lalu ia kembali menatapku, "Aku pergi dulu. Jaa!"

Aku masih terdiam dengan wajah makin memerah. Mendengar penjelasan dari Himuro-kun barusan, aku berpikir apakah aku spesial bagi Murasakibara-kun? Dan bolehkan aku berharap lebih dari ini?

Tepukan di pundakku mengembalikanku dari lamuanan. Kuliahat beberapa teman-teman berkumpul di depanku. Yui –yang tadi menepukku, menatapku penasaran sama seperti yang lain.

"Hey, ceritakan pada kami apa yang terjadi,"

"Sebenarnya apa hubunganmu dengan Murasakibara?"

"Apa kalian pacaran?"

"Wah, ternyata kau hebat juga ya?"

Mereka menodongku dengan banyak pertanyaan. Aku justru bingung harus bagaimana. Aku tak bisa menjawab pertanyaan mereka satu-persatu.

"A-Ano..." Kini wajahku mulai pucat.

"Sudah cukup, teman-teman! Kalian membuatnya takut!" Teriak Yui tiba-tiba. Seisi kelas langsung terdiam dan mengalihkan pandangan pada Yui. Hah, yokatta! Ingatkan aku untuk berterima kasih pada Yui setelah ini.

Kemudian mereka mulai tenang dan meminta maaf padaku. Adapula yang masih ngotot ingin tahu, tapi langsung diam begitu dihadiahi deathglare dari Yui.

.

.

.

Saat jam istirahat pertama, aku berniat untuk melihat Murasakibara-kun berlatih. Tapi tiba-tiba rasa pusing menyerang kepalaku hingga membuat tubuhku agak limbung. Beruntung Yui yang berada di dekatku dengan sigap menyangga tubuhku agar tidak terjatuh.

"Kau tak apa?" Tanyanya khawatir.

Aku hanya tersenyum dan menggangguk. Sebenarnya dari kemarin malam kepalaku sudah pusing. Kata ibu, itu mungkin gejala flu.

"Jangan paksakan dirimu. Mau kutemani ke gedung olahraga?"

"Tidak perlu. Bukankah Yui ingin makan bersama yang lain?" Tanyaku merasa tak enak pada Yui.

"Tak apa. Aku juga ingin lihat mereka latihan sebelum pertandingan besok. Ayo!" Yui langsung menyeretku meuju gedung olahraga.

Sesampainya di sana Yui sempat terheran-heran melihat gedung olahraga yang sudah dipenuhi para siswi yang ingin melihat latihan tim basket. Maklum, ini pertamakalinya Yui ikut menonton latihan.

Kami melilih duduk di bangku penonton yang paling depan. Ini memudahkan kami berdua –yang bertubuh pendek, untuk melihat langsung ke lapangan. Walaupun harus rela berdesakan dengan yang lain.

Kali ini aku melihat Murasakibara-kun berdiri di bawah ring. Seperti biasa, dia tampak tak bersemangat saat latihan. Tapi melihat kaos yang ia kenakan sudah basah karena keringat, aku yakin bahwa Murasakibara-kun sudah berlatih keras hari ini.

Tiba-tiba dia menoleh padaku, seakan dia sudah tahu bahwa aku mengawasinya tadi. Aku hanya tersenyum canggung dan melambaikan tanganku padanya.

Melihat hal itu, Yui menyenggol pundakku dan mulai menggodaku.

"Ne, kenapa kau suka dengan Murasakibara? Dia 'kan err... aneh?"

"Dia tidak aneh. Menurutku dia unik," jawabku dengan berbinar.

"Hah? Unik apanya? Maksudmu tinggi badan dan selera makannya?"

"Ya, itu salah satu faktor,"

"Kau ini ada-ada saja." Ucap Yui sambil terkekeh.

Aku kembali mengalihkan pandanganku ke lapangan. Tapi tak kudapatkan Murasakibara-kun di sana. Posisinya kini digantikan oleh Wei Liu. Segera kuedarkan pandanganku ke seluruh lapangan, namun hasilnya nihil.

Aku hendak berdiri ketika kurasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipi kiriku. Aku menolehkan kepala untuk mencari tahu siapa pelakunya. Dan aku sangat terkejut mengetahui bahwa yang melakukannya adalah Murasakibara-kun sendiri.

"Kau tampak pucat. Apa kau sedang sakit?" Tanya Murasakibara-kun. Sadar atau tidak, wajahnya begitu dekat denganku hingga kurasakan hembusan nafasnya menerpa wajahku.

Seketika wajahku merah padam menyadari posisi kami. Bahkan beberapa orang yang melihat kami juga ikut merona. Tapi tidak dengan Yui yang berdiri di belakang Murasakibara-kun. Dia justru seperti menahan tawa melihatku seperti ini.

"Ti-Tidak," aku mencoba mengalihkan pandanganku ke arah lapangan.

Dan sialnya, para anggota tim basket yang sedang berlatih di lapangan malah menghentikan kegiatan mereka untuk melihat kearah kami. Mereka semua terkejut dengan mulut terbuka dan mata terbelalak, kecuali Himuro-kun tentunya.

"Hontou? Kalau begitu, minumlah ini." Murasakibara-kun memundurkan wajahnya dariku dan menyodorkan benda yang kutahu adalah susu kotak rasa cokelat.

Tanganku terulur menerimanya, "Arigatou," ucapku pelan.

"Hm."

Setelah itu, Murasakibara-kun kembali ke lapangan untuk berlatih. Beberapa detik kemudian, suara ricuh kembali terdengar.

Aku hanya menunduk memandangi kotak susu pemberian Murasakibara-kun. Seulas senyum terbentuk dengan sendirinya saat mengingat kejadian tadi. Sikap Murasakasibara-kun seakan mulai menerima keberadaanku. Inilah yang kumau selama ini.

"Hei, yang tadi itu mengejutkan sekali, kau tahu?" Kata Yui yang kembali duduk di sampingku.

Aku memutar mataku bosan dan memasang wajah sebal, "Kau tertawa tadi."

"Ahahaha... Maaf, habisnya kalian lucu sekali, sih. Terutama kau,"

"Uh, tidak lucu!"

"Iya, maafkan aku. Jangan marah, dong!"

"Hn," jawabku singkat. Sebenarnya aku tidak marah pada Yui, aku hanya ingin membuatnya bersala karena telah mentertawakanku.

Tanganku kembali memainkan kotak susu yang kubawa. Tanpa basa-basi, aku langsung membuka ujung kotak tersebut dan mememinumnya perlahan. Cairan berwarna cokelat itu mulai membasahi tenggorokanku yang agak kering.

Rasa manisnya membuatku teringat pada saat kami pertama bertemu.

.

.

.

Keesokan harinya, Murasakibara-kun dan yang lainnya berangkat menuju Tokyo untuk mengikuti pertandingan. Kudengar hari ini mereka akan melawan tim basket SMA Seirin. Tim basket yang baru terbentuk dua tahun yang lalu ini tak bisa dianggap remeh. Dengan Kagami Taiga yang katanya memiliki kemampuan setara dengan kiseki no sedai dan bayangan keenam kiseki no sedai, Kuroko Tetsuya.

Mereka bahkan telah mengalahkan Too Gakuen yang merupakan tim basket terkuat semenjak bergabungnya Aomine Daiki. Juga hasil pertandingan seri dengan SMA Shutoku, Midorima Shintarou.

Aku sedikit khawatir mendengar nama Seirin disebut sebagai lawan Yosen hari ini. Mereka sudah mengalahkan dua anggota kiseki no sedai. Aku takut jika Murasakibara-kun juga dikalahkan. Tapi kutepis jauh-jauh perasangka itu. Aku yakin bahwa Murasakibara-kun tak akan kalah dengan mudah. Dan apabila hari ini Yosen menang, dipastikan mereka akan melaju ke babak semi final.

Sepulang sekolah nanti, aku bersama beberapa teman dan guruku akan menyusul ke Tokyo untuk melihat pertandingan seperempat semi final Winter cup. Selamat bertanding, Murasakibara-kun.

.

.

.

Pertandingan berjalan agak lancar walaupun sempat dihentikan karena salah satu ring basket dijatuhkan oleh Murasakibara-kun. Aku sempat khawatir Yosen akan didiskualifikasi atau Murasakibara-kun dikeluarkan dari lapangan. Tapi akhirnya aku bisa lega mengetahui mereka tidak dijatuhi hukuman apapun.

Kuarter pertama hingga kuarter keempat Yosen terus memimpin. Namun dipertengahan kuarter terakhir, Yosen mulai goyah. Bahkan aku sempat melihat terjadi pertengkaran serius antara Himuro-kun dengan Murasakibara-kun.

Mereka akhirnya kalah telak. Yosen dikalahkan oleh Seirin dengan skor 73-72. Pangdanganku terus tertuju pada Murasakibara-kun yang menunduk menyembunyikan kekecewaannya. Aku tahu saat ini merupakan saat tersulit baginya karena yang ini adalah kekalahan pertamanya dalam olahraga basket.

Meskipun Murasakibara-kun terlihat malas bahkan enggan saat berlatih basket, tapi dia takkan berada disini jika ia memang tidak suka dengan olahraga ini. Bukankah ini artinya dia mencintai basket? Semua orang pasti akan kecewa jika mereka gagal mendapatkan apa yang mereka cintai.

Begitupun dengan Murasakibara-kun. Aku yakin saat ini di lubuk hatinya yang terdalam dia merasa hancur. Anggapan inilah yang menggerakkan diriku. Aku ingin memeluk Murasakibara-kun, menariknya dari kekecewaan dan menyadarkannya bahwa ini belum berakhir.

Aku berlari meninggalkan bangku penonton. Entah kemana langka kaki ini membawaku pergi. Yang kutahu kini aku berhenti di depan sebuah pintu bertuliskan SMA Yosen. Dengan tangan bergetar, kudorong pintu bercat biru tersebut.

Saat pintu itu telah terbuka, seluruh pasang mata terarah padaku. Tanpa menghiraukan pandangan terkejut mereka, aku segera mencari seseorang bersurai ungu. Namun tak kudapati dia di antara mereka. Dan saat itu pula aku menyadari tindakan bodohku barusan. Seketika wajahku merona karena malu.

"Su-Sumimasen!" Ucapku setengah berteriak.

Dengan panik aku berbalik untuk meninggalkan tempat ini. Tiba-tiba kurasakan sebuah tangan menahanku.

"Chotto matte!"

Aku berbalik dan mendapati bahwa Himuro-kun yang menahanku. Matanya terlihat sembab, mungkin dia tadi menangis. Setelah melepaskan tanganya, dia tersenyum padaku. Senyum itu berbeda dengan senyum yang biasa ia tunjukkan. Senyum itu mengandung kesedihan dan kekecewaan.

"Aku tahu kau pasti datang. Kau sudah melihat semuanya, 'kan? Maaf, kami kalah," ucapnya dengan suara bergetar. Aku tetap bergeming dengan pandangan sendu.

"Kau pasti mencari Atsushi. Pergilah, mungkin dia berada di taman sekarang."

Aku kembali berlari menyusuri koridor menuju pintu keluar. Selama perjalanan aku teringat perkataan Himuro-kun sebelum aku pergi.

"Seusai pertandingan tadi, Atsushi sempat menangis. Dia juga mengatakan bahwa dia akan berhenti bermain basket. Tapi aku yakin dia tidak mungkin melakukannya. Tolong hibur Atsushi. Dia pasti akan mendengar perkataanmu. Dan satu lagi, sampaikan permintaan maafku karena telah memukulnya tadi."

Aku terkejut mendengar perkataan Himuro-kun tentang Murasakibara-kun yang akan berhenti bermain basket. Tak kusangka Murasakibara-kun merasa sangat terpukul hingga mengatakan hal seperti itu.

Tak terasa kini kakiku berhenti di sebuah taman dekat stadiun. Di sini banyak ditumbuhi pepohonan dan ada beberapa bangku taman. Lima meter dari tempatku berdiri, aku bisa melihat pemuda bersurai ungu terduduk di salah satu bangku taman dengan kepala tertunduk. Tanpa pikir panjang, aku segera menghampirinya.

"Hosh, hosh, Mu-Murasakibara-kun..." Panggilku untuk menarik perhatiannya.

Dia tetap bergeming dan terus menunduk. Surai ungunya menjuntai menutupi wajahnya sehingga aku tak tau bagaimana ekspresinya saat ini.

Setelah mengatur nafasku yang agak terengah, aku mendudukkan diriku di samping Murasakibara-kun. Tanganku terulur menyentuh pundaknya. Tanpa disangka, pundak itu bergetar. Suara isakan pelan mulai terdengar.

"Go-Gomen, Murasa—"

Ucapanku terhenti merasakan kedua lengan kokoh memeluk tubuhku dengan erat. Isakannya semakin terdengar seiring kurasakan pundakku mulai basah oleh airmatanya. Murasakibara-kun kini memelukku, mencoba membagi kesedihannya denganku.

Saat-saat seperti ini seharusnya aku erasa senang karena pemuda yang kucintai ini tengah memelukku erat. Tapi yang kurasakan justru sedihan yang mendalam. Tanpa kusadari, air mataku ikut meleleh.

Deangan tangan bergetar aku membalas pelukannya. Setangguh apapun Murasakibara-kun dia tetaplah manusia yang memiliki hati.

"Daijobu, daijobu," ucapku sembari membelai punggung Murasakibara-kun. Ibuku selalu melakukan ini saat aku bersedih.

Beberapa enit kemudian, Murasakibara-kun terlihat sudah agak tenang. Isakan sudah tak terdengar dari mulutnya. Namun dia tetap memelukku dengan erat. Tangankupun masih melingkar di punggungnya dan sesekali mengusapnya pelan.

"Ne, Murasakibara-kun," ujarku memecah keheningan, "kau tahu? Aku juga pernah mengalami hal seperti ini."

Dia justru mengeratkan pelukkan hingga membuatku sulit bernafas.

"Dulu aku suka sekali berenang. Bahkan saat SMP aku bergabung dalam klub renang di sekolahku,"

Murasakibara-kun tetap mempertahankan posisinya tanpa ada niat menyela ucapanku.

"Semenjak itu aku bertekad untuk selalu menang dalam setiap kompetisi yang kuikuti. Setiap hari aku berlatih dengan keras tanpa memperdulikan kondisi tubuhku. Hingga suatu hari aku mengikuti sebuah kompetisi bersama teman-temanku yang lain.

"Dan saat pertandingan itu berlangsung, hal yang tak pernah kuharapkan terjadi. Aku mengalami cidera yang parah di bagian bahu. Hingga dokter melarangku berenang untuk jangka waktu yang lama. Hal itu membuat diriku hancur bahkan saat mengingatnya kembali hstiku terasa sakit."

Aku mencoba melepaskan pelukan Murasakubara-kun dan menatap wajahnya. Saat itu aku tertegun melihat wajahnya yang penuh dengan air mata dan gurat kesedihan. Tanganku merogoh tas kecil yang kubawa dan mengambil sehelai sapu tangan untuk menghapus air matanya.

Kemudian aku tersenyum dan kembali melanjutkan ceritaku, "Saat itu aku sadar bahwa kemenangan bukanlah segalanya. Aku tak butuh piala maupun medali jika akhirnya aku tak bisa berenang bersama teman-temanku."

Kini tanganku menggenggam tangan besarnya dengan erat. Murasakibara-kun hanya memandangku dengan intens.

"Maka dari itu, Murasakibara-kun seharusnya bersyukur karena walaupun kalah tapi Murasakibara-kun masih memiliki banyak kesempatan bermain basket dengan yang lain. Tidak sepertiku."

Tanpa terduga Murasakibara-kun menyentuh pipiku dengan sebelah tangannya. Dengan perlaha ia menghapus sesuatu yang mengalir disana.

"Kau juga jangan menangis. Gomen ne, sudah membuatmu khawatir," ucapnya.

"Daijobu."

Kami kembali terdiam. Murasakibara-kun sudah mulai tenang. Kini dia mengadahkan kepalanya untuk menatap langit. Surai ungunya menari mengikuti hembusan angin yang sedikit kencang. Karena bulan ini sudah memasuki musim dingin, udara mulai terasa dingin.

Lalu aku teringat sesuatu hal yang harus kusampaikan.

"Ah, Murasakibara-kun," panggilku padanya

"Hm?"

"Tadi Himuro-kun menitipkan permintaan maafnya padaku. Katanya dia minta maaf karena sudah memukulmu tadi,"

"Hm."

Huh, sepertinya dia mulai malas berbicara.

"Oh iya, ada satu lagi," kataku tiba-tiba membuat Murasakibara-kun kembali mengalihkan perhatiannya padaku.

"Dimana ya, tadi? Ah, ini dia!" Aku menyodorkan sebuah kotak susu rasa cokelat kepada Murasakibara-kun.

"Ini adalah rasa terima kasihku karena Murasakibara-kun memberiku susu cokelat tempo hari. Tolong diterima ya?"

"Arigatou."

Aku tersenyum melihat Murasakibara-kun mau menerima pemberianku, bahkan dia langsung meminumnya dengan tidak sabaran. Kelirik jam tanganku yang menunjukkan pukul lima sore.

"Murasakibara-kun, sepertinya kita harus berkumpul dengan yang lain untuk segera pulang," ucapku sambil menatap langit yang mulai berwarna jingga.

Aku berdiri dari dudukku dan bermaksud meninggalkan Murasakibara-kun yang masih termenung. Kupikir, mungkin dia masih butuh waktu agar siap bertemu dengan yang lain, terutama Himuro-kun.

Belum dua langkah aku berjalan, tangan kiriku ditarik ke belakang oleh Murasakibara-kun. Hal ini membuat diriku jatuh ke pangkuannya.

"Ap-Apa—"

Chu.

Belum selesai aku bertanya, di pipikiriku terasa sebuah benda lunak menpel di sana untuk beberapa detik. Lalu benda tersebut terangkat disusul dengan berdirinya Murasakibara-kun yang otomatis membuatku berdiri dari pangkuannya.

"Terima kasih atas susu cokelatnya," ucap Murasakibara-kun sambil melewatiku.

Aku sendiri masih berdiri dengan mata melebardan wajah merah padam. Mencoba mencerna setiap perlakuan Murasakibara-kun padaku barusan. Dan tadi itu Murasakibara-kun menciumku.

Yah, walaupun hanya ciuman di pipi saja, sih. Eh, apa yang aku pikirkan? Memangnya apa yang kuharapkan? Lebih dari ciuman di pipi? Argh, dasar orang mesum.


Seperti susu cokelat yang mengalir menghapus dahaga

Harapn datang menyapu keputusasaan

Karena di balik kekecewaan ada kebahagiaanyang tersembunyi


To be continue...

Author's note:

Hisashiburi, minna-san! Gomen, updatenya kelamaan _ masih ada yang inget dengan fic ini? bahkan mungkin Mukkun sendiri udah lupa.

Yosh, untuk chapter berikutnya mungkin minggu depan. Doakan ya? :D

Mau Review?

*Thanks for Reading!*