Disclaimer : All the characters in this fiction are belong to Hajime Isayama

Tittle : Nice to Meet You

Pairing : Rivaille x Eren Jaeger

Rate : T

Genre : Romance, Hurt(maybe)

WARNING : YAOI, agak OOC(buat jaga-jaga), AU, BOYxBOY.

Don't like, don't read!

Chapter 1 : It's You

30 Maret. Pukul 23.30 Berlin, Jerman.

Suara tangisan pecah memenuhi ruangan malam itu. Terlihat di dalam ruangan seorang wanita sedang berbaring dengan peluh membasahi dirinya setelah berjuang meregang nyawa demi sebuah nyawa yang ditiupkan pada sesosok mungil dalam dekapan seorang pria. "Grisha… anak kita…" wanita itu mengulurkan tangannya kepada pria yang ia panggil, hendak segera mendekap buah hatinya yang baru saja hadir di dunia.

Grisha memberikan bayi dalam dekapannya pada Carla, sang istri yang sebenarnya masih kelelahan pasca melahirkan. Wajah Carla terlihat sangat bahagia ketika akhirnya ia dapat melihat wajah bayinya. Dibelainya pipi kemerahan sang bayi dengan lembut dan penuh kasih saying. Mulai hari ini, ia telah menjadi Ibu. Saat memiliki kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai wanita telah datang pada hari ini. Ya. Tanggal 30 Maret, tepat beberapa menit sebelum hari berganti.

Namun, dibalik kebahagiaan itu, terselip kekhawatiran. Grisha menatapi Carla dan anaknya dengan raut wajah cemas. Melihat wajah suaminya yang terlihat bimbang, membuat Carla heran, "Ada apa, sayang? Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?"

Grisha menatap Carla dengan tatapan menyesal, meski ia sendiri tidak tahu mengapa ia harus menyesal. "Carla, apa kau masih ingat dengan perjanjian kita dengan Erwin?" tanya Grisha sembari melangkah mendekati Carla yang setengah duduk bersandarkan pada bantal dan sandaran ranjang.

"Hm? Tentang perjodohan itu?" Carla menatap Grisha.

Grisha mengangguk pelan. "Apa kau sudah tahu jenis kelamin anak kita?"

Carla memiringkan wajahnya, "Bukankah perempuan? Saat pemeriksaan perempuan, kan?"

Grisha menghembuskan nafas panjangnya, "Iya… Tapi," Ditatapnya makhluk suci di dekapan Carla lalu menyentuh tangan mungil si kecil, "Kenyataannya setelah lahir…"

Carla mengerutkan dahinya, lalu menatap anaknya yang tertidur lelap.

"…dia laki-laki."

.

.

Tok! Tok! Tok!

"Iya, tunggu sebentar!" Carla bergegas menuju pintu dan membukakan pintu untuk tamunya, "Ah, Erwin-san! Silakan masuk," ujar Carla dengan senyum ramahnya. Ia menggeser badannya agar tamunya bisa masuk ke dalam.

Terlihat seorang pria tinggi berbadan tegap dengan rambut pirang berbelahan samping yang rapi menganggukkan kepalanya sembari membalas senyum ramah Carla. Mata biru terang itu menghiasi wajah tampannya yang terlihat tegas dan berwibawa. "Apa kedatangan kami mengganggu?" tanya Erwin.

"Tidak, aku sedang tidak sibuk," jawab Carla. "Ah, ternyata kau sudah tambah besar, ya," Carla mengamati seorang anak laki-laki yang berjalan mengekori Erwin masuk. Anak itu menatap Carla melalui sepasang mata dengan iris abu-abu gelap miliknya lalu menurunkan tatapannya ke bawah dengan ekspresi datar. "Bagaimana kabarmu, Rivaille?"

"…Baik," jawab Rivaille singkat tanpa menatap Carla. Bocah itu hanya sesekali melirik Erwin di sampingnya dengan tatapan sebal.

Erwin mengusap kepala Rivaille dengan gerakan mengaak-acak, membuat rambut hitam Rivaille berantakan. Rivaille kesal dan menepis tangan besar Erwin agar menyingkir dari kepalanya dengan tatapan semakin sebal –yang entah mengapa tidak memberikan perubahan pada ekspresinya— lalu merapikan rambutnya yang berantakan dengan jemarinya.

Carla hanya bisa tersenyum maklum pada Rivaille yang memang sedari dulu tidak banyak bicara dan sering canggung setiap bertemu dengan orang lain.

Setelah acara sapa menyapa tersebut, Carla menyadari maksud kedatangan Erwin. Walaupun sebenarnya Carla resah, ia tetap menarik kedua ujung bibirnya ke atas, "Ah, tunggu sebentar, ya. Akan kubawa dia ke sini."

Wanita itu masuk ke kamar lalu kembali ke ruang tamu sambil menggendong bayinya, "Nah, Erwin, Rivaille. Perkenalkan, ini Eren. Eren, ayo sapa mereka…" Carla mengarahkan wajah Eren pada Erwin dan Rivaille, memperkenalkan.

Eren menatapi kedua orang yang baginya sangat asing layaknya melihat cicak itu lurus-lurus. Matanya yang bulat besar itu nyaris tidak berkedip saking bingungnya dengan kehadiran Erwin dan Rivaille, seakan sedang menerka-nerka apakah mereka sejenis makhluk berbahaya atau tidak. Ditatapi seperti itu, Erwin tersenyum ramah dan mendekati Eren yang gerak matanya mengikuti Erwin.

"Dia lucu sekali, Carla. Lihat matanya! Emerald, seperti Grisha. Indah sekali," puji Erwin sambil memperhatikan manik hijau cerah Eren yang bergerak-gerak bingung. Pipinya yang tembem dengan hidung dan bibir mungil membuat Erwin harus menahan diri untuk tidak mencubit gemas pipi Eren karena takut membuat Eren menangis kesakitan dan menjadikan Erwin sebagai musuh abadinya.

Sementara itu, Rivaille hanya menatap Eren dari kejauhan di tempat duduknya. Setelah mendengar komentar Erwin mengenai mata Eren, Rivaille tertarik untuk mengamati kedua mata emerald itu. "…manis," gumamnya pelan tanpa sadar.

"Iya, kan, Rivaille?" Rivaille terkesiap mendengar pertanyaan Erwin. "Dia sangat manis. Aku yakin kau dan dia akan menjadi pasangan yang serasi!" seru Erwin semangat sambil menjawili hidung Eren dan menggenggam tangan mungil Eren.

Tanpa Erwin sadari, senyuman di wajah Carla sudah semakin memudar. Ia tidak mungkin membohongi Erwin. Perasaan sesak muncul dari dalam dadanya. Carla menghela napas. Mengatakan yang sebenarnya. "Anou… Erwin-san…" panggil Carla.

"Hm?"

Carla menggigit bibir bawahnya, "Aku rasa… sebaiknya perjodohan itu dibatalkan."

Kening Erwin berkerut, "…Dibatalkan?" pria blondie itu menatap Carla heran. Melihat ekspresi Carla yang tidak karuan membuatnya paham bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan semestinya, "Alasannya?"

"Aku tidak keberatan."

Tiba-tiba saja Rivaille bersuara. Erwin dan Carla menoleh ke arah Rivaille bersamaan. Erwin dengan wajah heran dan Carla dengan raut terkejut. "Aku tidak keberatan dijodohkan dengannya," ulang Rivaille, memastikan kedua orang dewasa di hadapannya tidak salah dengar.

"Rivaille setuju dengan perjodohan ini. Aku harap kau-"

"Dia laki-laki."

Alis Erwin terangkat sebelah. Untuk yang kali ini, pria itu berharap telinganya salah mendengar. Semoga saja yang baru saja ia dengar adalah suara desiran angin bertemu dedaunan hijau di luar sana. "Dia… Eren… laki-laki."

Tak kuasa menahan rasa bersalahnya pada Erwin karena tidak dapat memenuhi perjanjian yang mereka buat beberapa bulan yang lalu, Carla menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dipeluknya Eren yang mulai mengantuk dalam dekapannya erat-erat. Tapi bagaimanapun juga, ia tidak akan pernah menyalahkan Eren. "Maafkan aku, Erwin-san…"

Erwin terdiam. Sedetik kemudian ia menghembuskan nafas. Paham. Tidak semua hal yang direncanakan manusia selalu berjalan mulus. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. "Aku mengerti, Carla. Ini bukan salahmu. Kau tidak bisa melawan takdir," ujarnya mencoba menenangkan Carla dari penyesalannya. Lagi-lagi Erwin menarik bibirnya untuk tersenyum, seakan menganggap masalah itu hanyalah masalah sepele layaknya menjatuhkan sebutir beras dari satu karung beras.

"Lagipula, Eren cukup manis. Kau seharusnya bersyukur memiliki anak sepertinya. Anak laki-laki yang manis," lanjut Erwin sembari mengelus lembut kepala Eren yang mulai ditumbuhi surai-surai cokelat halus, "tidak seperti dia, ekspresinya hanya satu." Erwin memiringkan kepalanya ke arah dimana Rivaille berada.

Yang secara tidak langsung diejek Erwin hanya memalingkan wajahnya keluar jendela sambil memangku dagunya dengan telapak tangan. Sesuai perkataan Erwin, ekspresinya masih tidak berubah.

Setelah mendengar penuturan Erwin barusan, sedikit rasa lega menyelimuti perasaan Carla. "Terima kasih kau bisa mengerti, Erwin-san."

Erwin mengangguk. "Baiklah, kalau begitu kami pamit. Ah, sepertinya aku tidak melihat Grisha?" ujarnya di ambang pintu diikuti Rivaille yang kembali mengekor di belakangnya.

"Grisha sedang bertugas di luar kota," jawab Carla sambil menggendong Eren.

Sebuah gerakan menggeliat dirasakan Carla. Rupanya Eren kembali terbangun. Mungkin dirinya tidak ingin melewatkan saat-saat pertamanya mengantarkan tamunya ke depan pintu?

"Cepatlah besar, ya, Eren," diusapnya kepala Eren dengan lembut sambil tersenyum hangat pada Eren yang lagi-lagi menatapnya lurus-lurus dengan wajah polosnya. Carla tertawa melihat ekspresi Eren kecil yang terlihat masih menyelidiki Erwin dan Rivaille.

"Semoga ia bisa berteman akrab dengan Rivaille," ujar Carla sambil menatap Rivaille.

Rivaille sendiri sepertinya sibuk menatap ke arah… Eren? Lihat saja, matanya menatap lurus ke Eren tanpa ingat mengedipkan mata. "Oh, sepertinya mereka bisa akrab." Timpal Erwin. "Ayo, Rivaille. Kapan-kapan kita berkunjung lagi." Erwin menggandeng tangan Rivaille dan mengangguk singkat pada Carla sebelum pergi.

Erwin membuka kunci mobilnya dan masuk diikuti Rivaille. "Sayang sekali, ya Rivaille. Padahal tadinya kukira kau akan mendapatkan calon istri yang cantik. Tapi ternyata dia laki-laki," kata Erwin sembari menyalakan mesin mobilnya.

BRRRMMM…

"Aku tidak keberatan." gumam Rivaille pelan bersamaan dengan suara mesin mobil dinyalakan.

"Hm? Kau mengatakan sesuatu, Rivaille?"

Rivaille melirik Erwin sekilas, "Tidak, bukan apa-apa."

Roda kendaraan berbahan bakar bensin tersebut mulai berputar saat pedal gas diinjak Erwin, meninggalkan kediaman Jaeger. Dari ekor matanya, Rivaille melihat Carla menutup pintu rumahnya melalui kaca spion. Ah, sepertinya bukan Carla yang menjadi fokus penglihatannya. Tapi sosok mungil yang ada dalam dekapan Carla. Si kecil yang membuatnya penasaran sekaligus kagum. Ya, sepasang kelereng emerald itu telah menyentil kelereng abu-abu miliknya.

"Tenang saja Rivaille, perjalanan hidupmu masih panjang. Aku rasa, masih banyak wanita lain yang jauh lebih baik yang akan akan kau temui suatu saat nanti. Sekarang, pusatkan pikiranmu pada tes ujian masuk lusa," ujar Erwin di balik kemudinya dengan pandangan lurus ke depan.

Rumah sederhana yang nyaman milik keluarga Jaeger kini sudah tidak tampak setelah Erwin membelokkan mobilnya di pertigaan terdekat. Mata Rivaille kembali menatap ke depan. Bocah bersurai ebony itu memandang jalanan tanpa minat. Ia bahkan tidak menanggapi perkataan Erwin selama perjalanan menuju bandara. Baginya, suara Erwin seperti suara sekerumunan lebah madu yang sedang sibuk berseliweran di sekitarnya untuk mencari madu.

Perjalanan yang diperkirakan berdurasi hanya sekitar 30 menit ternyata harus diperpanjang. Entah sudah berapa kali Rivaille mengumpat kesal lantaran terjebak macet parah disertai Erwin yang terus menerus memintanya mengangkat panggilan masuk dari Hanji –dengan pertanyaan serupa persis— karena Erwin tidak mau mengambil resiko menambah urusan karena mengemudi sambil menerima telepon.

"Rivaille, angkat teleponnya!" perintah Erwin ketika Rivaille membiarkan benda elektronik persegi panjang tipis itu menyenandungkan alunan musik beriringan dengan getaran seirama ditambah lagi dengan tulisan 'Hanji is calling' pada layar lebar tersebut. Bukannya mentouch ikon berwarna hijau di sudut bawah kiri, bocah teflon itu malah mentouch ikon berwarna merah pada sudut kanan bawah handphone Erwin.

"Aku bosan mendengar radio rusak," ujarnya sekenanya tanpa rasa bersalah atau menyesal, atau apalah itu ia tidak peduli. Hei, siapa yang tahan dengan panggilan masuk bertubi-tubi lalu ditanyai pertanyaan yang sama setiap menit? 'Enyahlah kau manusia terkutuk,' batin Rivaille gusar mendengar ringtone tersebut lagi dan lagi.

Erwin nampaknya sudah putus asa. "Kemarikan handphone -ku," ujar Erwin setelah memastikan mobil-mobil di depannya tidak bergerak untuk 30 detik. "Hanji, batalkan penerbanganku dan Rivaille sekarang dan pesan penerbangan ke Paris tercepat besok."

Bosan. Rivaille sangat bosan. Kakinya yang tadi menggantung manis nyaris mencapai lantai mobil kini ia naikkan dan duduk bersila di jok mobilnya karena bokongnya sudah terasa panas. "Apa?... Jalan pintas? Oke, pandu aku."

Oh, akhirnya Dewi Fortuna turun tangan. Erwin melihat kaca spion dan kaca tengah. Memastikan semuanya aman, Erwin membelokkan mobilnya menuju sebuah jalan kecil yang kebetulan sekali berada tak jauh dari mobil Erwin berhenti. Rivaille mengernyit, "Oy, kau yakin menuruti orang freak itu?" tanya Rivaille. Erwin tidak menjawab dan tetap memusatkan konsentrasinya pada kemudinya hanya satu tangan, sementara tangan lainnya ia gunakan untuk memposisikan handphonenya di telinga. Oke, sekarang pria yang taat aturan itu telah melanggar aturan untuk tidak menelpon saat mengemudi.

"Oh, baiklah. Aku sudah menemukan bundaran itu. Setelah ini belok kanan dan ikuti saja, kan? Terima kasih."

Sambungan pun diputus. Erwin menyerahkan handphone-nya pada Rivaille, membuat anak itu memutar matanya.

"Hahaha… Tenang saja, Rivaillle. Sebentar lagi kita akan segera sampai di bandara." Diacaknya rambut Rivaille. Yang diacak rambutnya menepis kasar tangan besar Erwin yang raut wajahnya sudah tidak sekusut saat mereka terjebak macet.

"Berhenti menyentuhku dengan tanganmu yang menjijikkan itu!" omel Rivaille.

Erwin hanya terkekeh mendengar anak semata wayangnya mengomeli dirinya. Sebenarnya yang mana yang lebih dewasa di antara mereka berdua? Erwin yang jahil atau Rivaille yang tsundere?

"Sisa 15 menit," ujar Rivaille.

"Sebentar lagi kita sampai," Erwin memacu gasnya ketika lampu hijau menyala. Kendaraan berwarna hitam mengkilap itu melaju cepat membelah lalu lintas kota Shiganshina.

Begitu keduanya baru saja menginjakkan kakinya di Maria International Airport, sesosok wanita berkacamata langsung melangkakan kakinya secepat kilat. Jangan lupakan raut wajah konyol yang didukung cengiran freak-nya. Rambut hazelnya yang diikat ekor kuda berkibari-kibar mengiringi langkahnya, "Danchou~ Heichou~" serunya girang sendiri melihat dua manusia yang sejak satu setengah jam yang lalu dinanti kehadirannya.

Dahi Erwin melipat, "Jangan panggil aku begitu, Hanji. Ngomong-ngomong kami sedang buru-buru. Apa semuanya sudah beres?" tanya Erwin.

Hanji mengacungkan ibu jarinya tepat beberapa senti di depan hidung mancung Erwin, "Sudah, Danchou!" cengirannya semakin melebar. Memamerkan deretan gigi putih berkilau miliknya karena pagi siang dan malam selalu ia bersihkan gara-gara sering tersedak makanan yang rasanya sungguh diluar kemampuan indera perasanya.

Tanpa kedua orang dewasa itu sadari, Rivaille berulang kali menghembuskan nafasnya. Kelihatan sekali ada yang mengisi kepala bersurai hitam miliknya. Anak itu tetap diam di tempat sambil menatapi langit ketika Erwin dan Hanji sudah bergerak, padahal ia sendiri tahu jadwal keberangkatan tinggal beberapa menit lagi.

"Rivaille, sedang apa kau? Ayo, cepat!"

Rivaille memalingkan wajah dari langit cerah ke arah Erwin yang telah melangkah semakin jauh memasuki bandara. "Eren Jaeger, ya…" gumamnya sambil bergerak menuju Erwin dan menyiapkan passportnya.

.

.

~TBC~

Halo~ Mohon maaf atas segala bentuk keanehan, typo(s), alur, ketidakjelasan, dan segala kekurangan yang terselip di sana karena ini fanfict pertama Sao di fandom Shingeki no Kyojin. #sungkem#

Maaf chapter pertama ini pendek karena sejujurnya Sao sendiri ga tau sebenernya ini fict gimana akhirnya -_- #plak! Habisnya ide yang ada di kepala Sao udah banyak banget dan numpuk gitu aja. Karena itu, Sao mau coba menuangkan apa yang ada di pikiran Sao hehehe..

Oke, untuk chapter selanjutnya Sao usahakan lebih panjang dan lebih greget. Terima kasih untuk readers sekalian yang rela mampir di fanfict ini. Mohon sarannya, Minna~

Review…?