Title: Red Velvet.
Disclaimer: I'm not own Harry Potter. JK. Rowling's owned!
Pairing: Draco Malfoy x Harry Potter (Drarry)
Genre: Romance, Friendship
Warning(s): Slash, Ooc(?), AU, etc.
Summary: Akankah hubungan Harry dan Draco semanis Red Velvet?
O
.
.
.
.
O
.
.
.
.
O
Butiran salju mulai menyapa para insan di bumi London. Sore hari yang dingin merasuki tulang belulang setiap orang yang ingin melawannya. Detik demi detik, menit demi menit, dan jam demi jam segerombolan salju semakin menampakkan keberadaannya dengan menutupi jalanan, genteng-genteng perumahan, dan menumpuk di dedaunan pohon-pohon.
Terlihat seorang pemuda dari ujung jalan yang berkabut salju memakai jaket tebal menapaki jalanan yang bersalju. Setiap ia mengganti langkah kakinya, ia perlu berjuang melewati tebalnya salju yang mengalahkan tebalnya jaket pemuda tersebut.
Pemuda itu terbilang pendek bagi umurnya yang sudah mencapai sembilan belas tahun. Entah karena faktor genetika atau apa, kulit pemuda tersebut berwarna kecoklatan, padahal ia dilahirkan dan dibesarkan di London yang umumnya warga-warganya berkulit putih. Namun, ia dianggap seksi oleh kebanyakan orang pernah bertemu atau yang kenal dengannya.
Pemuda tersebut sudah tak tahan lagi dengan serangan hujan salju yang disertai angin kencang menimpa tubuhnya. Ia semakin mempercepat langkah kakinya untuk menuju rumahnya yang berada di ujung desa Privet Drive. Dari saat mempercepat langkahnya, ia malah berlari di gundukan salju. Karena tak berhati-hati, ia terjatuh terpeleset di atas jalan bersalju yang ia tapaki hingga membuat jaket hitamnya kotor tertempel salju-salju putih yang kontras dengan warna jaketnya. "Sial!" celetuknya.
Setelah lima menit berjuang di medan perang, melewati para sekutu salju, akhirnya pemuda yang dikenali sebagai Harry Potter itu sampai di kediamannya yang minimalis nan sederhana. Ia membuka pintu putih rumahnya dan memasuki rumahnya tanpa melepaskan sneakernya. Alhasil, lantai rumahnya mendapati jejak sneakernya yang terdapat butiran salju. Baginya, belum saatnya ia membuka jaketnya. Karena ia pikir di dalam rumahnyapun masih terasa teramat dingin.
Pemuda berkacamata itu menuju ke perapian rumahnya lalu menyalakan sepercik api ke dalamnya hingga api yang tadinya hanya sepercik menjadi seunggun.
"Ini lebih baik." katanya.
Ia duduk di atas lantai yang terlapisi permadani berornamen unik untuk menghangatkan tangannya yang semula berkaus, ia lepas. Ia menjulurkan tangannya ke depan perapian dan menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Hawa dingin mulai terkikis dari tubuhnya. Merasa suhu tubuhnya mulai stabil, Harry melepaskan jaketnya lalu sneakernya. Kemudian ia berjalan menuju dapur yang berada di paling belakang dalam rumahnya. Sesampainya di sana, ia mulai menggeledah lemari dapur yang menempel di atas dinding berwarna putih. Ia mendongakkan kepalanya ke atas dan tangannya mencoba meraih sesuatu. Sekali dua kali ia terus mencoba, ia mencoba melompat beberapa kali. Ia mengutuk dirinya sendiri. "Kenapa kau tak bisa seperti menara Eiffel, Harry?!". Mengetahui jika usahanya akan gagal, ia mengambil jalan pintas.
Diambilkannya sebuah kursi kecil dari samping wastafel, kemudian ia letakkan di sisi yang bisa ia gunakan untuk mencari sesuatu yang bisa ia dapatkan dari lemari bedebah itu. Ia menaiki kursi tersebut dan mulai menggeledah satu persatu isi lemari itu. Kopi bubuk, susu vanila kaleng, susu coklat kaleng, dan berbagai macam kebutuhan lainnya yang ia lihat.
"Ini? Tidak." Harry mengambil snack kemasan lalu memasukkan kembali ke dalam lemari di depannya.
"Nah! This is what I want!" Ia mengambil sebuah kaleng berisi bubuk coklat bermerek yang populer bagi kalangan khalayak London.
Ia mengambil sebuah poci yang telah ia beri dua gelas air dan mengambil sebuah pan yang terbuat dari stainless steel yang berada di rak-rak peralatan dapur. Ia meletakkan poci itu di atas kompor yang menyalakan api berwarna biru dan menaruh pan di atas kompor yang mati. Sambil menunggu air dalam pocinya mendidih, Harry menuju lemari pendingin yang berada tak jauh dari dapur. Ia membuka lemari pendingin itu dan mengambil beberapa bahan makanan yang ia akan buat sebuah makanan. Dia melirik wadah transparan yang tertutup rapat di dalam. Ia mengambilnya lalu ia membuka tutup wadah itu. Di dalamnya menampakkan segerombolan makaroni yang masih kering. Ia mengambil bahan-bahan lainnya seperti dua lembar sawi putih lebar, dua buah wortel, dua buah kentang, dan satu cabai merah besar. Setelah merasa cukup, iapun menutup lemari pendinginnya.
Harry kembali ke dapurnya untuk memulai kegiatan masak-memasaknya. Semua bahan yang tadi ia ambil, Harry letakkan di atas meja dapur. Sebelum 'ritual'-nya ia mulai, Harry mengambil bumbu dapur tambahan seperti gula, garam, lada, bawang merah dan putih dari dalam lemari penyimpanannya tadi.
Suara berdengung dari poci terdengar oleh telinga Harry. Harry mematikan kompornya dan mengangkat pocinya, lalu ia letakkan di meja. Bubuk coklat yang Harry ambil tadi, tengah ia buka penutupnya dan ia mengambil satu setengah sendok makan bubuk coklat dan ditambahkannya ke dalam gelas putih. Tak lupa ia menambahkan satu sendok makan gula pasis ke dalamnya. Lalu, ia tuangkan air dari dalam poci tadi. Terlihat air panas yang mengeluarkan uap terjun dari mulut poci menuju ke dalam gelas yang berisi bubuk coklat dan gula tadi. Tampak tercampur ketiga bahan tersebut, Harry mengaduknya dengan sendok kecil agar coklat panasnya benar-benar tercampur rata. Harry mengaduk coklatnya searah jarum jam dengan dua puluh satu putaran. Merasa coklatnya benar-benar tercampur rata, Harry berhenti mengaduknya, lalu menutup coklatnya dengan penutup gelas.
Setelah Harry membuat coklat, ia mulai melakukan kegemarannya. Yup! Memasak. Harry terlebih dahulu mengupas tiga siung bawang merah dan putih, lalu mencincangnya menjadi potongan dadu kecil di atas talenan. Ia juga merajang cabai merah. Tak lupa Harry mencuci terlebih dahulu sayur-mayur yang ia ambil tadi sebelum mulai mengelolanya. Wortel dan kentang ia kupas kulitnya, kemudian memotongnya. Untuk wortel, Harry memotongnya bulat, dan dadu untuk potongan kentang. Dan sawi putihnya, Harry memotongnya menjadi lebih kecil. Untuk makaroni nya, Harry merebusnya terlebih dahulu bersama dengan wortel, kentang, dan sawi putih di atas panci yang di dalamnya didihan air terlihat. Perebusan membutuhkan waktu tiga menit, hingga keempat bahan menjadi setengah matang.
Agar tak memakan waktu lama, Harry memulai memasak potongan bawang merah, bawang putih, dan cabai di atas pan yang di atasnya terdapat minyak yang telah panas. Ia mengaduk-aduk tiga bumbu dapur itu hingga tercium aroma yang khas pertanda sudah masak. Harry mengambil saus tomat yang berada di meja dapur paling pojok. Ia menuangkan cairan oranye kemerahan kental ke pan lalu mengaduk-aduknya dengan bumbu yang telah masak tadi.
Sudah tiga menit, ini berarti saatnya meniriskan makaroni dan sayur-mayur dari rebusan. Memastikan air rebusan telah menetes berkurang, makaroni dan sayur-mayur tadi ia campurkan dengan bumbu dan saus pada pan tadi. Harry mulai mengaduknya kembali sampai sausnya merubah warna makaroni yang putih menjadi oranye kemerahan. Tak lupa ia menambahkan gula, garam, dan lada secukupnya, lalu mengaduknya kembali. Ia mendiamkan masakannya beberapa saat, lalu mematikan kompornya. Masakan yang berada di pan tadi ia tuangkan di atas piring putih cembung. Terlihat sangat menggugah selera.
Aroma lezat masakan Harry tercium oleh adiknya yang berada di kamar. Adiknya keluar dari kamarnya untuk mendatangi Harry yang masih berada di dapur.
"Hummm..." ucap Lily, begitu adik Harry disapa menutup matanya dan mencium aroma makanan yang telah Harry buat.
"Hahaha... Lily, kau kebiasaan dari dulu sampai sekarang selalu mencium masakanku." canda Harry.
"Kakak sih.. Masak masakan selalu lezat seperti ini. Bikin perut Lily keroncongan sore hari yang dingin ini."
"Hahaha... Baiklah, baiklah. Kau ingin mencoba Makaroni Asam Pedas ini, Lils?"
"Tidak! Tapi aku ingin memakannya." semangat Lily hingga membuat Harry mengacak-acak poni si adik yang berambut merah yang berbeda dengan Harry yang berambut hitam pekat. Karena Harry mirip James ayahnya, dan Lily seperti ibunya yang namanya serupa dengan Lily. Namun kedua orang tua mereka sudah meninggal dua tahun yang lalu akibat kecelakaan pesawat. Kenangan yang pahit memang.
Sore itu Harry habiskan waktunya bersama Lily dengan menyantap masakannya dan minumannya. "Ah, aku kenyang." ucap Lily sembari mengelus perutnya.
"Aku tak percaya jika kau kenyang, Lils. Aku yakin jika aku membuatkannya lagi, semuanya habis dalam sekejap olehmu." ejek Harry.
"Kakaaaaakkk...!"
Melihat adiknya mulai menampakkan 'tanduknya' , Harry bergegas berlari ke kamarnya yang berada di lantai kedua rumahnya dan Lily. Sang adikpun tak ingin kalah begitu saja, ia menyusul sang kakak dan siap untuk memulai perang dunia ketiga.
"Ouch, Lily! Kau curang! Ini bantalku. Kau pakai bantalmu sendiri dong!" terlihat Harry mengelus kepalanya yang terkena hantaman bantal dari Lily.
"Lily tak mau! Ini kan di kamarmu, kak." bantah Lily.
"Oh, jadi begitu?" Harry menyeringai dan mengangkat sebelah alisnya. Dan...
"Uh, ah.. Hahahaha.. Kakak! Hentikan! Hahaha.." tawa kegelian Lily yang tergelitik oleh tangan jahil kakaknya. "Kakak.. Ini menggelikan. Hahaha.. Kakak! Perutku sakit!"
"Kau berbohong, kan?" tanya Harry yang masih tengah menggelitiki adiknya.
"Kakak, aku masih merasa kenyang. Jangan membuatku.. Hahaha.. Tertawa! Perutku sakit." tak tega melihat adiknya menderita dalam tawa, Harrypun memberhentikan kegiatannya. Sementara itu, Lily yang masih tertawa-tawa kecil mencoba mengatur nafasnya. Setelah nafasnya mulai teratur, ia balik menyerang kakaknya yang lengah.
"Ah, Lily.. Hahahaha.. Kau! Hahaha.. Kau curang lagi! Huhaha.." tawa Harry pecah di ruang kamarnya.
"Biarin! Memangnya tak capek apa digelitik?!" ucap Lily tak terima.
Sedetik kemudian, suara panggilan masuk berdering dari ponsel Harry yang berada di saku celana jeansnya.
"Lily, hentikan. Kakak mohon... Ada yang menelepon kakak."
Dengan berat hati, Lilypun menuruti kakaknya. "Okay. Tapi perang kita belum selesai." ancam Lily. Harry hanya bisa tersenyum. Ia keluar dari kamarnya lalu menjawab telepon seseorang yang di layar ponselnya terdapat nama 'Pansy'.
"Iya, Pans. Ada apa? Tumben kau meneleponku?"
/Dasar kau, ya! Masih untung aku meneleponmu daripada tak ku telepon sama sekali/
"Hehe.. Iya iya, maaf. Sekarang, apa yang ingin kau sampaikan?"
/Kau tahu kan rumah besar yang tak berpenghuni semenjak seminggu yang lalu di depan rumahmu itu?/
"Ya iyalah... Memang ada apa?"
/Sekarang, ada seorang pemuda yang menempatinya. Uh, kau tahu?/
"Tidak."
/Aku belum selesai berbicara, Harry. Dengarkanlah!/
"Ok ok, baiklah.."
/Dia sangat tampan, Harry! Uuuggghh.. Ketampanannya sampai bertumpah ruah./ ucap Pansy kegirangan.
Harry hanya bisa memutar bola matanya di balik kacamata bulat yang tebal. "Lalu?"
/Lalu? Kau bertanya 'lalu'? Lalu, apa kau tak punya rencana untuk menyambutnya?/
Sejenak Harry menggeledah isi otaknya untuk menemukan rencana yang tepat.
"Aha! I got it!"
/Apa rencanamu, Harry?/
"Come on, Pans! Rumah kita berdampingan. Kau bisa datang ke sini besok sore."
/Hehe.. Ok, jadi besok sehabis kau pulang kerja dari cafe itu, kan?/
"Yup! Jam empat sore."
/Baiklah. Kukira cukup aku meneleponmu. Kau tau? Setiap kali aku meneleponmu, saldo pulsaku berkurang drastis./ Harry hanya bisa tertawa akan apa yang Pansy beritahukan tadi.
/Bye, Harry./
"Bye, Pans."
Setelah memastikan jika hubungan teleponnya terputus, Harry memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia penasaran dengan apa yang dikatakan oleh pemudi berambut hitam sebahu yang meneleponnya tadi. Iapun melihat rumah megah di depan rumahnya dari balik jendela berkaca tembus pandang berembun yang terdapat korden yang terbuka lebar. Rumah yang jaraknya hanya tujuh langkah dari rumah Harry menampakkan beberapa banyak pekerja yang sedang memindahkan berbagai perkakas dari mobil angkutan ke dalam rumah yang serupa dengan istana. Ia menganalisa bahwa tetangga barunya adalah orang yang teramat sangat kaya. Terlihat dari banyaknya barang yang harganya terbilang cukup mahal dan mewah. Sesaat kemudian Harry melihat seseorang berbadan jangkung, bersurai platina, dan berbaju hitam polos. Namun Harry tak bisa melihat jelas wajahnya, karena pemuda itu membelakanginya. Ia juga menganalisa bahwa orang itu adalah tuan rumah dari rumah megah itu sendiri.
"Diakah?" Harry mengernyitkan alisnya pertanda penasaran. Namun, ia tak ingin terlalu lama larut dalam rasa keingin tahuannya. Ia berbalik arah dan kembali menuju ke kamarnya. Harry lupa jika Lily masih berada di dalam kamarnya. Dan ketika Harry sampai di depan kamarnya, iapun membuka pintu kamarnya. Tiba-tiba sebuah bantal 'menyambut' kedatangannya dengan sangat 'lemah lembut'.
"Lily!"
O
.
.
.
.
O
.
.
.
.
O
Sang surya mulai menyapa para umat manusia di wilayah Inggris, mencairkan segumpal salju yang memenuhi hampir seluruh sudut negeri Inggris.
Tampak dua manusia yang berada dalam rumah sederhana bersiap-siap menjalankan aktivitas keseharian mereka.
"Lils, apa kau sudah sarapan?" tanya Harry sembari merapihkan seragam kerjanya yang berwarna merah dan putih.
"Tadi aku baru saja menghabiskan serealku, Kak." jawab gadis bernama lengkap Lily Luna Potter itu.
"Ok. Mari kita pergi." seru Harry sembari melihat jam dinding yang berpukul tepat jam setengah tujuh.
"Alright!"
Mereka berdua keluar dari rumah, dan Harry mengunci rumahnya. Harry mengeluarkan sebuah sepeda dari bagasi kecilnya. Sebenarnya ia mempunyai sebuah motor, tapi ia lebih menyukai bersepeda. Lily pun melakukan hal yang sama seperti Harry. Merekapun mulai bersepeda berdampingan menuju dua tempat yang berbeda. Jika Lily pergi ke sekolahnya yang tak jauh dari Privet Drive, Harry pergi ke sebuah cafe tempat kerjanya di pusat kota London.
Sederetan salju yang masih tersisa di jalanan, mereka lalui. Dalam keadaan jalanan yang seperti ini, para pengguna jalan harus lebih berhati-hati, tak terkecuali Harry dan Lily karena licinnya jalan beraspal.
Saat Lily sampai di depan sekolahnya, Harry memberikan kunci rumah kepadanya. Dan tak lupa Harry menasihati Lily.
"Belajar yang rajin ya, Lils."
"Selalu, kak! Kakak hati-hati ya di jalan, dan kerja yang giat."
Harry tersenyum simpul mendengar perkataan adiknya. Ia begitu sayang Lily, begitupun Lily kepada Harry. Lily memasuki sekolahnya dengan melewati sebuah gerbang besar. Lily melambaikan tangannya ke Harry, Harrypun melakukan hal yang sama.
"Lima belas menit lagi. Aku harus cepat-cepat pergi ke cafe." kata Harry yang melihat arloji yang menempel pada tangan kirinya.
Tiga belas menit berlalu, Harry akhirnya sampai di depan cafenya. Terpampang jelas tulisan 'Red Café' pada papan nama cafe tersebut. Sebelum memasuki cafe, Harry memarkir sepedanya di tempat parkir. Ia lalu membuka pintu cafe yang telah di buka seseorang, lalu masuk ke dalamnya. Ia tak perlu berpikir panjang siapa yang datang terlebih dahulu. Karena setiap hari, kecuali hari minggu, salah satu teman kerjanya selalu datang tiga puluh lebih awal ke cafe yang temboknya berwarna merah cerah dengan sentuhan warna putih, sehingga terkesan romantis namun tetap elegan.
"Selamat pagi, Harry." ucap seorang pemudi berambut pirang gelap panjang menyambut kedatangan Harry.
"Pagi, Luna." balas Harry dengan senyuman.
"Bagaimana kabarmu hari ini?"
Harry bosan menjawab pertanyaan yang sama yang Luna lontarkan kepadanya setiap hari. Namun, Harry menganggap bahwa itu adalah salah satu bentuk perhatian Luna kepadanya. Jadi, mau tak mau Harry harus menjawabnya.
"Seperti biasa, Lun. Baik."
Semenit kemudian, para pekerja dari Red Café mulai berdatangan. Mari kita kenalkan. Hermione Granger, Ron Weasley, Cho Chang, dan Astoria Greengrass sebagai pelayan seperti Harry dan Luna. Kemudian ada Gilderoy Lockhart, Irma Pince, Poppy Pomfrey, dan Cedric Diggory yang termuda dari ketiga juru masak tersebut. Ada pula Daphne Greengrass, Theodore Nott, dan Blaise Zabini selaku asisten juru masak. Moaning Myrtle, Millicent Bulstrode, Maria Edgecombe, Fred Weasley, dan Hannah Abbot yang membuat berbagai macam minuman. Kemudian, George Weasley, Vincent Crabbe, Gregory Goyle, Susan Bones, dan Su Li terjun ke dunia cuci-mencuci peralatan dapur yang kotor. Adapun Angelina Johnson dan Ernie Macmillan bekerja di depan mesin kasir. Sementara itu, Quirinus Quirrel bekerja dengan title Slave's Direction atau yang mengatur kinerja para pelayan. Dan Minerva McGonagall selaku pemilik cafe.
Pukul tujuh tepat, Harry membalikkan papan kecil yang tergantung di atas gantungan pintu, yang semula menampakkan tulisan 'Close' dari luar cafe menjadi 'Open'. Semua bangku dan meja sudah ditata, dirapihkan, dan dibersihkan oleh pelayan yang dibantu Mr. Quirrell. Dua menit berselang, nampak dua gadis berwajah identik menuju Red Café. Mereka adalah satu dari sekian banyak pelanggan setia Red Café ini. Maka tak heran jika pekerja di cafe ini tak ada yang tak kenal mereka. Mereka membuka pintu cafe hingga membunyikan lonceng yang berada di atas pintu. Sesaat kemudian, Mr. Quirrel menyambut kedatangan mereka.
"Selamat pagi, Ms. Patil."
"Selamat pagi, Mr. Quirrel." jawab mereka bersamaan.
"Bagaimana kabar kalian?"
"Kami sedikit terkena flu." jawab mereka sembari bersin-bersin. Uh, mereka benar-benar seperti Fred dan George.
"Baiklah, silahkan kalian duduk di bangku 'keramat' kalian."
Kedua gadis berketurunan India tersebut bergelak mendengar ucapan Mr. Quirrel. Mereka menuju meja yang berada di dekat jendela kaca yang lebar yang tidak lain adalah meja favorite mereka.
Sesaat kemudian, Astoria Greengrass mendatangi mereka untuk menuliskan pesanan mereka. Bersamaan dengan itu pelanggan yang lain mulai berdatangan. Seperti, seorang kakek tua berjenggot panjang berwarna putih. Ada juga seorang wanita bermuka gila berambut keriting, dan masih banyak spesies-spesies orang yang datang ke Red Café. Pelayan lain sudah mulai melakukan tugasnya.
Delapan jam lebih empatpuluh lima menit, semua staff Red Café telah bekerja. Dan lima belas menit cafe akan tutup. Di waktu yang sama, datanglah seorang pemuda jangkung bermata kelabu biru memakai kaus warna hijau tosca di balik jaketnya, celana jeans yang tidak terlalu ketat, dan sepatu hitam. Dia adalah pelanggan terakhir yang datang pada hari ini. Para staff wanita di Red Café seketika memindahkan arah pandang mereka ke pemuda berrambut pirang tersebut. Seketika itu pula naluri keperempuanan mereka muncul.
"Awww... He's an my angel !" kata Moaning Myrtle yang berada di belakang bartender dengan suara cemprengnya.
"What the charming man!" ucap Astoria Greengrass yang tengah terpaku di tempatnya.
"I'm melted." singkat Hannah Abbot.
Ketika pemuda tersebut duduk di meja nomer tujuh, semua para pelayan wanita mendatanginya, kecuali Luna yang tengah membaca majalah anak-anak di bangku yang kosong.
Pemuda itu melirik mereka satu persatu sebelum.
"Cowo ganteng ini mau pesan apa?" tanya Moaning terkesan genit.
"Di sini kami punya menu-menu terbaik lho." kata Astoria dengan desahan-desahan yang malah terdengar menjijikan.
"Aku akan merekomendasikan untukmu." ujar Hermione seraya mengedipkan sebelah matanya dan memanyunkan bibirnya.
"Aku akan menemanimu mengobrol selama kau menikmati menunya." tawar Cho sembari mengedipkan kedua matanya.
Namun, pemuda tersebut menatap mereka tajam dengan ekspresi horror. Ia dengan dingin menjawab. "Aku tak butuh kalian."
Mereka berempatpun memasang wajah penuh sesal. Pemuda itu mengalihkan pandangannya ke arah Harry yang tengah duduk di meja dekat jendela kaca cafe melihat pemandangan lalu-lalang orang-orang di luar cafe.
"Hei, kau!" panggil pemuda itu kepada Harry. Harry tak sadar jika ia dipanggil.
"Kau yang memakai kacamata bulat!"
Lagi-lagi panggilan pemuda itu tak terdengar oleh Harry yang tengah melamunkan sesuatu. Pemuda itu mulai naik tikam. Dihampirinya Harry yang masih menoleh ke kanan jendela. Tiba-tiba, dagu Harry dipengang pemuda itu dan mengarahkannya tepat berhadapan. "Apa kau tak..."
DEG!
Jantung pemuda tampan itu seakan ada yang menariknya.
Kelabu bersua Hijau.
Harry langsung sadar dari lamunannya, dan segera bergegas berdiri.
"Maaf, Tuan. Saya tak menghiraukan Tuan. Sekali lagi, saya mohon maaf." ucap Harry dengan membungkukkan badannya."
Mendengar ada kegaduhan di luar, Mrs. McGonagall yang semula berada di ruangannya bergegas menuju asal kegaduhan itu.
"Potter! Ada apa ini?"
"Eh, Mrs. McGonagall. Itu.. Anu.. Ini.."
"Itu anu ini, apa?"
"Dia tidak bisa melayaniku dengan baik." kata pemuda itu membesar-besarkan masalah sepele.
"Tapi, Tuan. Saya hanya tidak men..."
"Cukup, Potter." potong Mrs. McGonagall. "I won't pay you for a month." ancamnya.
Harry shock, ia ingin mengelak. Tapi, yang ia hadapi ialah atasan. He can do nothing. "Baiklah, Mrs. McGonagall."
Pemuda yang melihat adegan itu hanya bisa menyeringai licik.
"Bagus, Potter. Sekarang layani dia dengan sebaik mungkin." perintah wanita paru baya tersebut.
"Baik, Mrs. McGonagall." patuh Harry. Mrs. McGonagallpun kembali ke ruangannya. Sementara itu Harry masih lemas akan apa yang atasannya katakan. Ia tidak akan digaji selama sebulan. Dengan mata yang nampak kekecewaannya di dalam, Harry mulai mempersilahkan pemuda di hadapannya duduk dan memilih menu. Tapi pemuda itu dengan banyak gaya mengatakan "Aku jadi tak berselera makan di sini. Semua gara-gara kau." pemuda itu mengacungkan jari telunjuknya ke arah Harry. Harry hanya bisa menatap pemuda di depannya dengan senyuman, namun matanya mengandung kekesalan.
Melihat Harry menatapnya, pemuda itu sekali lagi merasakan desiran misterius di hatinya. Sial! Ada apa ini? Batinnya.
Pemuda itu dilanda kebingungan. Ia berbalik arah dan bergegas meninggalkan cafe itu dengan mobil sporty warna hitamnya.
"Dasar, setan!" ucap Harry melihat pemuda itu mulai tertelan kejauhan.
O
.
.
.
.
O
.
.
.
.
O
Pansy yang usai pulang dari pekerjaannya sebagai fotografer, langsung menuju ke rumah Harry yang berada di samping rumahnya.
"Pasti Harry menungguku lama." katanya sembari melirik arlojinya yang berpukul empat lebih sepuluh menit sore.
'Tok tok tok...'
"Harry, aku datang."
"Sebentar..."
"Lily? Kakakmu mana?" tanya wanita bermanik hitam kepada gadis berumur duabelas tahun di depannya.
"Kak Harry belum pulang, kak. Kakak boleh menunggu kak Harry di dalam."
"Oh, baiklah." Pansy mengikuti Lily dari belakang sambil berbenak di hatinya 'Tumben Harry belum pulang?". Merekapun duduk di sofa ruang tamu.
"Lils, aku mempunyai rahasia untukmu. Tapi jangan bilang ke kakakmu ya. Janji?" kata Pansy yang mengacungkan jari kelingkingnya pada Lily yang diterima dengan tautan kelingking Lily pula. "Baiklah. Lily janji."
Pansy yang mempunyai satu rahasia dalam hidupnya yang selama ini belum diketahui Harry, ia ingin memberitahukannya kepada Lily. Dia memberitahukan bahwa tetangga baru yang ada di depan rumah Harry itu adalah sepupunya. Ia menceritakan seluk beluk sepupunya itu dari mulai keluarganya hingga kehidupan pribadinya. Sepupunya itu adalah yatim piatu seperti Harry, ia tinggal berdua dengan adiknya. Ayah dan Ibunya meninggal karena kecelakaan pesawat sama yang terjadi dengan kedua orang tua Harry. Semasa kecil, sepupunya itu hampir tidak mempunyai teman. Karena kedua orang tua dari sepupunya sangat selektif dalam memilih teman untuk sepupunya. Hingga saat ini, sepupunya tak mempunyai teman bahkan pacar. Karena orang yang ingin menjadi teman atau pacarnya itu hanya memandang kekayaannya. Oleh karena itu Pansy ingin meminta bantuan dari Lily untuk menjadikan Harry sebagai temannya.
"Lils, kau mau membantuku kan? Membantuku untuk menjadikan kakakmu sebagai teman sepupuku?
"Kenapa kakak tidak meminta langsung pada kak Harry?"
"Aku tidak mau Harry iba pada sepupuku itu. Jadi, biarlah dia menjadi teman sepupuku secara murni. Kau mau kan? Kau mau kan? Kumohon..." wajah Pansy terlihat nampak mengemis.
"Ok. Baiklah!"
Lima menit kemudian Harry tiba di rumah dengan wajah yang awut-awutan. Ia melepaskan tasnya dan meletakkannya ke sembarang tempat, begitu juga jaketnya.
"Harry? Kau kenapa?" tanya Pansy.
"Pansy? Kau sudah di sini? Maaf aku telat. Aku tidak apa-apa, kok. Hanya sedikit lelah saja."
"Kau lelah? Beristirahatlah kalau begitu."
Mendengar sahabatnya berkata seperti itu, Harry sekejap mata menghilangkan raut lelahnya.
"Aku kan bilang 'sedikit lelah' bukan berarti aku sepenuhnya lelah. Ayo ke dapur! Mari kita berikan tetangga baru kita sesuatu yang manis."
Pansy dan Lily saling bertukar pandang dan tersenyum. Pansy mengedipkan mata kanannya ke Lily mengisyaratkan bahwa misi dimulai.
"Baiklah!" jawab mereka serentak.
Mereka bertiga menuju ke dapur. Harry menyiapkan bahan-bahan kue yang telah ia beli dari toko-toko kue. Pansy yang melihat semua bahan yang Harry persiapkan bertanya-tanya.
"Kau akan membuat kue untuknya?"
"Iya."
"Kue apa, kak?" tanya Lily.
"Nanti kalian juga akan mengetahuinya." jawab Harry santai.
Pansy mengangkat kedua bahunya. Ia mulai menyiapkan peralatan untuk membuat kue, seperti beberapa wadah, loyang, mixer, dan sebagainya. Sedangkan Lily terlihat akan membuat 'gempa bumi' . Dasar, anak kecil!
Sebelum memulai proses membuat kue, mereka menggunakan celemek. Setelah itu, Pansy memulai dengan memanaskan oven hingga seratus 175' celcius, dan menaruh rak di tengah-tengahnya. Ia juga mengoleskan dasar loyang bundar yang berdiameter 23 centimeter dengan mentega, lalu ia lapisi dengan kertas alumunium, dan iapun memasukkan loyangnya ke tengah oven.
Sedangkan itu Harry mengaduk 250 gram tepung terigu, 15 gram coklat bubuk, dan satu sendok makan garam dengan manual hingga tercampur rata. Kemudian ia mengambil sebuah mixer dan menyalakan mixer elektrik itu. Iapun mulai mengaduk 113 gram mentega saltless atau yang tidak asin selama dua menit hingga halus. Sembari tetap mengaduk, ia menyuruh Pansy memasukkan 300 gram gula pasir. Setelah dua menit dan memastikan jika mentega dan gula sudah tercampur rata, Pansy memecahkan dua butir telur dan memasukkan isinya ke dalam adonan.
Melihat dua orang dewasa tengah sibuk bergulat dengan adonan kue, Lily protes kepada mereka. "Lalu, aku melakukan apa?"
Harry yang sedari tadi mencampur adonan, sejenak mematikan mixernya dan memikirkan suatu ide. Dan dapatlah dia!
"Kau ikut menghias kue saja ya, Lils."
"Baiklah, aku ke kamarku dulu." ucap Lily dan melepaskan celemeknya, lalu ia pergi ke kamarnya.
Sedangkan itu, Harry dan Pansy masih sibuk dengan kegiatan mereka. Yang mencampur ini lah, itu lah, apapun itu hingga adonan sudah siap dituangkan di loyang dan dioven.
Setelah tigapuluh menit, akhirnya oven membunyikan bunyi 'ting' pertanda kue sudah matang. Namun belum selesai, masih ada dua tahapan lagi. Sebelumnya kue di dinginkan selama tiga puluh menit, dan dimasukkan ke lemari pendingin selama sejam. Hal ini memudahkan Harry, Pansy, dan Lily untuk melakukan tahapan selanjutnya.
Sejam berlalu, dan saatnya mengeluarkan kue dari lemari pendingin. Kemudian Harry memotong kue menjadi dua empat bagian secara horizontal. Dan mereka mulai menyusun kue itu. Susunan pertama, Harry mengolesinya dengan cheese cream frosting secara merata. Hal yang sama ia lakukan hingga susunan paling atas. Keseluruhan kue tersebut berwarna putih jika dilihat dari luar. Namun, jika kue itu dipotong, akan menampakkan warna merah darah yang menggugah selera.
Seperti janji Harry kepada Lily, Harry mempersilahkan Lily membantunya menghias kuenya itu. Lily memulai dengan menuangkan saus strawberry di bagian atas kue, ia juga memberikan taburan biskuit yang halus, dan terakhir, memberikan satu buah strawberry yang telah dibelah.
"Wow, Lils! Cantik sekali hiasan yang kau buat!" puji Pansy. Lily tersipu malu.
"Ternyata kau tidak hanya bisa menghancurkan saja ya." ejek Harry. Lily memukul tangan kakaknya.
"Jadi, Harry. Kukira aku tau apa nama kuenya." simpul Pansy.
"Yup! Red Velvet!" pungkas Harry.
Setelah semua selesai, Harry membersihkan kotoran yang berserakan di lantai dan meja dapur. Sehabis itu, ia ingin membersihkan badannya terlebih dahulu, tentunya dengan bermandi ria. Tapi sebelumnya, ia berkata kepada Pansy.
"Pans, terimakasih telah membantuku. Apa nanti kau ikut denganku mengunjungi tetangga kita?" tanya Harry.
"Ehmmm.. Sepertinya aku tidak bisa ikut. Aku mempunyai tugas-tugas yang menumpuk yang harus kuselesaikan malam ini juga."
"Begitu ya? Ya sudah, deh. Sekali lagi terimakasih ya, Pans."
"Anytime, Harry. Kalau begitu, aku pamit dulu ya.. Bye.. " ucap Pansy pada Harry yang tengah berdiri di depan pintu rumahnya.
Nanti malam, Harry berencana mengajak Lily menemui tetangga baru depan rumah.
O
.
.
.
.
O
.
.
.
.
O
Tepat pukul tujuh malam, Harry bersiap mengunjungi tetangga barunya bersama Lily. Ia memakai kemeja berwarna hijau muda dan celana jeansnya. Sedangkan Lily memakai gaun santai berwarna merah. Ia dan Lilypun melangkahkan kakinya ke rumah yang berhadapan dengan rumah mereka. Tak lupa, Harry membawa red velvet yang telah ia buat bersama Pansy dan Lily. Red velvetnya ia bungkus di dalam kotak kue.
Sesampainya di depan rumah mewah nan megah, Harry mengetuk-ngetuk pintu besar di depannya.
"Permisi."
Tak ada respon.
"Permisi... Anybody home?"
Lagi-lagi tak ada jawaban.
"Kak, ada bel. Tak usah repot mengetuk." celetuk Lily yang membuat Harry malu.
Harrypun memencet bel rumah yang menempel pada tembok.
'Ting Tong'
Dengan sekali pencetan, pintu yang besar itu terbuka. Harry yang tengah memandangi kuenya segera mengalihkan pandangannya ke depan.
"Selamat malam.. Kami... Anda?" Harry terkejut setengah mati.
"Kau?!" sang tuan rumahpun tak kalah terkejutnya.
O
.
.
.
.
O
.
.
.
.
O
To Be Continued.
-ooo-
AN: Hai semua.. Aku membawakan fic baru untuk kalian. Rencananya mau dibuat twoshot, doain aja ya semoga ficnya manis semanis judulnya eh, kuenya . Haha.. Tell me if there was typos.
Terimakasih sudah membaca.
Mind to review? ^_^