Title: Red Velvet

Disclaimer: I'm not own Harry Potter, J.K. Rowling's owned!

Pairing: Draco Malfoy x Harry Potter (Drarry)

Genre: Romance, Friendship.

Warning(s): Slash, AU, Ooc(?), etc.

Summary: Akankah hubungan Harry dan Draco semanis Red Velvet?

O

.

.

.

.

O

.

.

.

.

O

"Kenapa Anda di sini?" tanya Harry heran.

"Seharusnya aku yang bertanya padamu! Kenapa kau bisa tahu rumahku?" balik tanya sang Tuan rumah.

"Rumah Anda? Jadi- Anda tetangga saya?"

"Demi apa aku mempunyai tetangga sepertimu? So useless." kata sang Tuan rumah dengan raut wajah yang memperlihatkan kejijikan.

"Tuan, bisakah Anda membuka sedikit celah di hati Anda? Anda tidak akan pernah mempunyai seseorang yang spesial di hati Anda, jikalau Anda selalu mengunci rapat pintu hati Anda, Tuan." ucap Harry sembari meletakkan tangannya di dada pria yang memakai kemeja biru di hadapannya, namun dia sadar itu lancang. Dan segera mengambil alih tangannya sendiri "Maaf."

Entah kenapa saat dada bidang sang Tuan rumah disentuh oleh tangan kecoklatan Harry, ia merasakan ketenangan di dalamnya. "Ada apa ini?" batinnya.

"Apa yang kau mau sekarang?" tanya sang Tuan rumah dengan wajah dingin sedingin es.

"Saya dan adik saya hanya ingin mengenjungi Anda dan memberikan ini untuk Anda dan keluarga Anda."

Sang Tuan rumah yang sedari tadi menatap Harry yang lebih pendek sepuluh centimeter darinya mengalihkan pandangannya ke kue yang Harry berikan.

"Hanya itu keperluanmu? Pergilah."

Harry tercekat. Selama ia tinggal di Privet Drive, ia tak pernah mempunyai tetangga seperti orang yang satu ini. Benar-benar gila! Tak tahu diuntung! Setan! Batin Harry lirih. Ia menyipitkan matanya, menatap sang Tuan rumah dengan pandangan yang menakutkan.

"Baiklah! Kuharap kue itu membuatmu berubah!" ucap Harry dengan tegas. "Ayo, Lily, kita pulang." Harry menarik tangan Lily dan berbalik arah menuju rumah mereka. Sedangkan sang Tuan rumah yang namanya belum diketahui oleh Harry itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kue ini membuatku berubah? Dasar aneh!"

Sang Tuan rumah menutup pintunya dan memasuki rumahnya. Ia berjalan menuju dapur dengan membawa kue itu. Sesampainya ia di dapurnya yang cukup luas, ia meletakkan kue itu di meja makan. Lalu sang Tuan rumah memanggil seseorang.

"Scorpy.. Scorpy.."

"Iya, kak. Sebentar."

Suara langkah kaki yang menuruni tangga terdengar jelas di telinga sang Tuan rumah. Sedangkan itu, orang yang ia panggil mencari asal suara sang Tuan rumah.

"Kakak di dapur, Scorp."

Dan orang yang bernama Scorpy itu menemui kakaknya yang tengah membuka kotak kue yang tentu saja berisi kue.

"Wah, kak. Kue dari siapa, kak?" tanya anak laki-laki berrambut sama seperti sang Tuan rumah yang tak lain adalah kakaknya.

"Dari tetangga kita." jawab sang kakak. "Mari kita nikmati."

Sang kakak mengambil dua buah piring dan sendok untuknya dan Scorpy, juga mengambil sebuah pisau untuk memotong kuenya.

Sang kakak mengambilkan sepotong dengan bentuk segitiga dari kue yang luarnya berwarna putih, tapi dalamnya berwarna merah kepada Scorpy. Tanpa aba-aba, Scorpypun melahap kue itu, hingga habis.

"Hummm.. Kue ini enak sekali! Aku mau lagi kak!"

Sang kakak yang masih menikmati kuenya mau tidak mau memotong kue di hadapannya dan meletakkannya ke piring yang disodorkan Scorpy.

Sang kakakpun tak bisa mengelak apa yang dikatakan Scorpy bahwa kue yang ia makan sangatlah enak nan lezat.

"Red velvet ini memang enak." Entah kenapa setiap gigitan kue itu membuat pria itu mengingatkan kue yang sering Ibunya buatkan untuknya.

Lima menit belum terlewati, kue yang disantap Scorpy sudah lenyap. Dan iapun menyodorkan piringnya ke kakaknya.

"Blimey, Scorp. Kau sudah duabelas tahun tapi dalam hal makan-memakan kau seperti anak kecil!"

"Biarin. Kuenya enak sih. Kuharap Scorpy bisa menemui orang yang membuat kue ini."

Sang kakak hanya bisa menghela nafas. Untuk kesekian kalinya, ia memotong kue itu untuk Scorpy, menjadi kue itu tersisa separuhnya saja.

Setelah mereka menyantap setengah dari Red Velvet, yang mana Draco hanya menghabiskan satu potong saja, dan Scorpy tiga potong tanpa saja. Mereka bermain playstation dengan sangat asyiknya di ruang tengah.

Di waktu yang sama, tempat yang berbeda. Pansy tengah sibuk dengan hasil-hasil jepretannya yang ia edit di komputer. Tampak di layar monitor satu keluarga yang mana memperlihatkan seorang Ayah dan Ibu, dan dua orang anaknya tengah berlarian di atas pasir pantai yang putih. Langit di gambar itu berwarna oranye pertanda saat itu senja mendatangi mereka. Di tengah-tengah pekerjaannya, Pansy bertanya-tanya tentang bagaimana pertemuan Harry dengan sepupunya.

"Akan kutanyakan besok."

Di tempat yang lain, Harry dan Lily tengah beradu cakap. Lily menyalahkan kakaknya yang langsung menyuruhnya pulang.

"Kakak! Kenapa kita kembali? Kita belum lima menit di sana dan kakak berhubungan jelek pada kakak yang tampan tadi."

"Hah?! Dia tampan? Dia tak jauh beda dengan seekor sigung. Apa kau tak mendengar apa yang dia ucapkan tadi?" Harry bertanya dengan wajah yang mendramatisir. "Dia menyuruh kita pulang, Lils! Dan aku tak terima itu."

Tak mau kalah dengan Harry, Lilypun menanggapi ucapan kakaknya layaknya orang dewasa.

"Kalau memang kakak tak terima, kenapa kakak tak berbicara kepadanya jika kakak tak hanya ingin mengunjunginya dan memberikannya kue, tapi juga ingin bercakap-cakap dengannya di dalam?"

Harry terkejut dengan perkataan Lily. Ia berpikir, bahwa terkadang perkataan Lily ada benarnya. Tapi untuk hal ini ia tidak dapat membenarkan perkataan adiknya.

"Kau tidak tahu yang sebenarnya, Lils." Mulailah Harry menceritakan pertemuannya dengan orang yang Lily bilang tampan itu. Dari saat di cafe, orang itu sangatlah berlebihan. Membesar-besarkan masalah sepele, hingga Mrs. McGonagall tak akan menggajinya selama sebulan.

"Jadi, kakak..."

"Benar, Lils. Gara-gara dia kakak jadi drop seperti ini."

"Maafkan aku, kak." ucap Lily menyesal dengan menundukkan kepalanya.

"Tak apa, Lils. Bukan salahmu." akhiri Harry dengan memeluk erat satu-satunya keluarga yang ia miliki.

Besok adalah hari minggu, itu berarti Harry libur bekerja. Ia besok berencana mengajak Lily berjogging di taman terdekat Privet Drive.

O

.

.

.

.

O

.

.

.

.

O

Esok paginya, Harry dan Lily memulai aktivitas joggingnya. Dengan kaus oblong singlet berwarna putih, memperlihatkan pergelangan tangan mulus Harry. Sedangkan Lily hanya memakai kaus sehari-seharinya, dengan memakai celana pendek, dan kakinya dilapisi sneaker sama seperti kakaknya. Tak lupa, mereka juga membawa handuk kecil yang mereka lingkarkan di leher mereka dan dua air mineral dalam botol. Merekapun memulai berlari-lari kecil dari rumah menuju ke taman Privet Drive. Salju yang menemani jalanan, menyelimuti pepohonan, mulai mencair secara perlahan. Musim dingin akan segera digantikan oleh musim semi.

'Tap tap tap tap tap'

Suara tapakan sepatu Harry dan Lily terdengar seirama. Mereka sudah tiba di sebuah taman rerumputan dan pepohonan di Privet Drive. Dengan keluh peluh yang masih sebutir jagung, mereka berhenti sejenak. Tampak pemandangan umat manusia yang tengah berlarian kesana-kemari. Anak-anak, remaja, bapak-bapak, ibu-ibu semua yang ada di sini. Ada yang bilang dangdut tak goyang bagai sayur tanpa garam kurang enak kurang sedap- Oh, maaf, saya mulai ngaco. Baik muda, tua, manula, dan yang mulai berbau tanah tampak sangat bersemangat berolahraga. Ada yang lari ringan, senam, yoga, bersepeda, dan sejenisnya. Memang, pada hari minggu seperti sekarang ini taman yang luasnya hampir satu hektar itu di penuhi warga-warga Privet Drive yang memiliki dua ratus jiwa di dalamnya yang melakoni aktivitas menyehatkan itu. Apa lagi saat-saat seperti ini, yang mana musim dingin akan segera berakhir.

"Ramai sekali, kak." ucap Lily tengah membulatkan mulutnya.

"Benar, Lils." tanggap Harry. "Bagaimana kalau kita membuat permainan?"

"Permainan? Mau mau!" jawab Lily dengan antusias.

"Kita berpencar dari sini ke area taman. Kau menjadi polisi, dan aku menjadi pencuri. Kau harus bisa menangkapku. Bagaimana?"

"Baiklah. Kakak ingat penghargaanku? Juara pertama lomba lari seratus meter." ucap Lily menyombongkan dirinya.

"Hahaha... Kau lucu sekali, Lils. Kau kan sering terjatuh jika berlari." ejek Harry.

"Itu kan dulu. Not now."

"Baiklah, baiklah. Kakak percaya sajalah. Bisa kita mulai sekarang?"

"Sangat bisa!"

Merekapun mulai memecahkan diri. Harry pergi ke arah timur, sedangkan Lily ke arah barat. Misi polisi menangkap pencuri dimulai!

Harry berlari menuju kawasan pepohonan, ia mengendap-endap agar ia tetap dalam posisi yang aman. Lily yang dengan santainya berjalan di kawasan rerumputan, ia beberapa kali melirik kanan-kiri depan dan belakang. Lily kebingungan, bagaimana ia bisa menemukan kakaknya di taman yang seluas ini? Banyak semak-semak di taman ini sehingga bisa menjadi tempat persembunyian kakaknya. Tapi, Lily optimis bisa menangkap kakaknya, benarkah?

Insting Lily berkata jika kakaknya berada di kawasan pepohonan. Ia memasuki kawasan itu di antara banyaknya orang. Harry yang melihat adiknya mulai mencarinya. Ia pun berlari lurus mengikuti deretan pohon-pohon yang berjajar rapi. Merasa sudah jauh dari tempat adiknya mencari, ia beristirahat sejenak, mengatur tekanan jantungnya. Ia meminum air mineral yang ia bawa hingga tersisa setengahnya saja. Di sela-sela istirahatnya, ia melihat anak lelaki yang berlari kencang menuju arah selatan. Tepat saat anak itu berlari di depan Harry, ia terjatuh akibat tersandung batu yang cukup besar hingga melukai lutut anak itu.

"Awww..." reaksi kesakitan anak itu terdengar jelas oleh Harry.

Harry yang melihatnya segera menolong anak itu.

"Kau tak apa?" tanya Harry perhatian kepada anak di hadapannya yang tengah memegangi lututnya yang berdarah. Anak itu melihat Harry dengan tatapan intens. Harry berdecak tak percaya. 'Kenapa anak ini mirip dengan setan sialan itu?'

"Sakit." lirih anak itu

"Mari kubantu." Harry mengulurkan tangannya kepada si anak agar bisa membantu si anak berdiri.

Lalu ia berjongkok, mengarahkan anak itu agar bersandar pada punggungnya alias digendong dari belakang. Dan hap!

"Ugh." Seketika wajah Harry memerah. Ia tak habis pikir jika anak itu sangatlah berat. Iapun mau tidak mau harus berdiri. Dengan tenaga dan kekuatan yang ia miliki, ia mencoba untuk berdiri hingga berhasil. Ia menyeimbangkan badannya dan anak itu.

Harry yang baru sepuluh menit berolahraga, harus memberhentikan aktivitasnya.

"Rumahmu di mana?"

"Di ujung desa ini, kak."

Harry bernafas lega, beruntung baginya karena rumah anak itu sejalan dengan rumahnya. Iapun keluar dari kawasan pepohonan dan meninggalkan taman Privet Drive dan Lily yang ia lupakan.

Setelah lima menit menggendong anak berambut platina klimis itu, sampailah mereka di gang yang terdapat perumahan yang saling berhadapan.

"Rumahmu yang mana?" tanya Harry sembari memastikan lutut anak itu agar tak mengenai kausnya.

"Di sana, kak." tunjuk anak itu ke sebuah rumah yang terlihat paling besar dan mewah di antara deretan rumah-rumah di gang itu.

"Apa?!" reflek Harry.

"Kenapa, kak? Ada yang salah?"

"Tidak."

Harrypun semakin mendekati rumah anak itu dengan perasaan yang campur aduk, antara iba dan kesal. Iba karena melihat anak itu terluka, apa lagi ia sangat menyukai anak-anak. Dan kesal karena ia mengira bahwa anak ini adik dari si setan sialan itu.

Dan sampailah ia di rumah sang anak. Rumahnya terlihat begitu sepi. Harry melihat sekeliling dalam rumah. Nampak ada beberapa koleksi kristal yang terdapat di beberapa sudut rumah itu. Langit-langit rumah itu dicat bergambar langit biru nan indah dengan memperlihatkan gambar awan putih dan burung camar, dan ada pula lampu besar yang menggantung di atasnya.

Harry menurunkan anak itu di sofa ruang tamu.

"Peralatan obat ada dimana? Biar kuambilkan."

"Itu." Sang anak menunjuk ke kotak obat yang tertempel di dinding berwarna biru. Harrypun segera mengambil beberapa obat yang diperlukan, dan kembali ke si anak.

Harry menuangkan cairan anti-septic berwarna kuning ke kapas yang ia pegang, lalu ia membersihkan darah yang berkeliaran di lutut sang anak dengan sangat pelan dan hati-hati agar sang anak tak kesakitan. Ia juga menuangkan obat anti-septic berwarna merah ke lutut sang anak dan meratakannya dengan kapas. Seketika darah sang anak membeku dan lututnya berubah menjadi warna coklat kemerahan. Harry meniup-niup lutut sang anak agar anak merasa tenang. Iapun membalut luka itu dengan kapas yang diikat dengan kain kasa yang melingkar di lutut sang anak dan sepotong kecil plaster untuk menempelkan ujung kain kasa.

"Bagaimana?"

"Sedikit lebih baik. Terimakasih, kak." kata anak itu semb ari tersenyum pada Harry. Harrypun membalas senyuman anak itu dengan senyuman miliknya.

"Oh ya, kalau boleh aku tahu. Siapa namamu?"

"Scorpius Malfoy. Panggil saja Scorpy. Kalau kakak?" balik tanya Scorpy.

"Harry Potter. Kau bisa memanggilku Harry." jawab Harry dengan senyuman. "Kakakmu kemana?" lanjutnya

"Kak Draco sedang keluar, kak."

Harry membulatkan mulutnya pertanda mengerti. 'Jadi, namanya Draco. Pantas dia menakutkan seperti naga.' hatinya berkata.

"Orang tuamu?"

Scorpy tak menjawab, air matanya mulai berair. Melihat anak di depannya akan mulai menangis, Harrypun memeluknya dengan lembut.

"Maafkan aku, jika pertanyaanku menyinggungmu, Scorpy." ucap Harry tengah menenangkan Scorpy dengan mengelus punggungnya. Harry menyimpulkan bahwa orang tua Draco dan Scorpy telah meninggal dunia. Harry tahu bagaimana perasaan Scorpy, karena iapun mengalami apa yang Scorpy alami.

"Kau bukanlah satu-satunya orang yang ditinggal orang tua," lirih Harry. "termasuk aku." lanjutnya sembari masih memeluk Scorpy.

Scorpy yang sedari tadi matanya berair tapi tak menangis, terkejut. "Orang tua kakak meninggal? I'm so sorry." kata Scorpy yang melepaskan diri dari pelukan Harry.

"Tak ada yang perlu disesali, Scorpy. Setiap manusia pasti meninggalkan kehidupan dunianya." ucap Harry memandang Scorpy.

Entah apa yang dirasakan Scorpy saat Harry menatapnya. Scorpy merasa nyaman, apa lagi saat ia dipeluk oleh Harry. Ia merasakan kedamaian didekap oleh Harry. Seperti sempurna kehidupannya.

"...di dunia yang beberda. Scorpy? Scorpy?" Harry melambaikan tangannya ke depan wajah Scorpy.

Scorpy yang tadi melamun, akhirnya kembali lagi pada dunianya.

"Oh, iya, kak. Hmmm.. Kakak tidak lapar?" tanya Scorpy yang perutnya menperdengarkan bunyi 'kruk kruk kruk' di dalamnya dengan sangat jelas. Harry yang mendengar itu, gelak tawanyapun mengisi seluruh ruangan rumah Scorpius.

"Kau lapar, Scorp? Hahaha... Baiklah baiklah... Aku akan memasak sesuatu untukmu." ucap Harry di tengah tawanya yang menggelegar. Scorpius berlagak malu.

"Omong-omong, dapurnya ada di sebelah mana?"

"Ayo ikut aku, kak!" seru Scorpy menarik tangan Harry agar ia mengikuti kemana Scorpy berjalan. Sambil berjalan, Harry mendapati Scorpy memberitahukannya beberapa ruangan yang mereka lewati.

"Ini adalah ruangan kerja kak Draco," tunjuk Scorpy pada pintu besar yang di baliknya terdapat ruangan yang luas.

"Ini ruang tengah, kita bisa main playstation nanti ya, kak,"

"Di atas sana kamarku sama kak Draco," tunjuk Scorpy pada lantai kedua yang tak kalah luas dari lantai pertama. "Dan...," Scorpy berlari ke ruangan paling dalam dengan masih menggandeng Harry yang tersentak. Bahkan lupa dengan lututnya yang terluka. 'Anak ini kelewat semangat.' ujar Harry dalam batinnya.

Dan sampailah mereka pada ruang dapur yang sangaaaaaat luas. Peralatannya lengkap, langsung berhadapan dengan meja makan. Ada lemari pendingin dua pintu yang amat besar. Pannya berbagai bentuk. Pisau, piring, wadah, kompor yang besar, dan segalanya terlihat baru dan mewah berbeda dengan dapur Harry yang serba minimalis.

"Wow." kagum Harry

"Ayo, kak! Buatkan aku masakan. Aku lapaaarr." rengek Scorpy.

"Eh, baiklah. Emmm.. Tapi apa tidak apa-apa? Maksudku, apa kakakmu tak marah jika ada orang lain yang menggunakan sarana dan prasarananya?" tanya Harry khawatir.

"Tidak. Tidak akan! Jika kak Draco marah, aku janji tak akan mau makan selama seminggu."

"Baiklah, kau duduk saja dulu di meja makan." ucap Harry sambil menggelengkan-gelengkan kepalanya mendengar ucapan Scorpy.

"Ok!" Scorpy menuju meja dapur dan duduk di salah satu kursi dimana terdapat enam kursi. Dua kursi di sebelah kanan, dan dua lagi di sebelah kiri, terdapat satu buah kursi lagi di setiap ujungnya. Meja makan yang besar memang.

Sementara itu Harry mulai memilih-milih bahan yang akan ia buat untuk memasak. Dan sepertinya Harry sedikit lebih senang memasak saat ini. Tidak hanya dapur yang ia gunakan saat ini luas dan nyaman, hal yang ia paling benci dalam hal masak-memasak tak ia dapati. Yup, lemari penyimpanan! Jika kita mengingat, lemari penyimpanan yang berada di dapur rumah Harry tertempel tinggi pada dinding putih dapur, di dapur rumah Draco ini lemari penyimpanannya berada di bawah kompor. Iapun membuka satu persatu yang berjumlah lima buah. Garam, bubuk lada putih, tepung terigu, tepung maizena, dan minyak zaitun dalam kemasan ia keluarkan dari dalam lemari penyimpanan itu lalu ia letakkan di samping kompor. Target selanjutnya ialah lemari pendingin yang berada di samping wastafel dan pispot. Ia membuka lemari pendingin yang mempunyai dua pintu itu. Jari telunjuk lentiknya ia ketukan di bibir merahnya yang menggoda. Harry kebingungan memilih bahan-bahan yang akan ia masak nanti.

"Mungkin Scorpy bisa membantuku." Harry melirik Scorpy yang tengah asyik memainkan piring, sendok, dan garpunya. "Scorpy..," panggil Harry.

Scorpypun seketika mengalihkan pandangannya ke Harry.

"Iya, kak?" respon Scorpy.

"Bisakah kau membantuku memilih bahan-bahannya?"

"Ah, tentu saja!" Scorpius dengan semangat menghampiri Harry yang berada di depan lemari pendingin.

Ia dengan cekatan mengambil beberapa bahan dari bagian kiri dan kanan. Lalu ia berikan kepada Harry yang langsung diterima oleh Harry.

"Selesai, kak." ucap Scorpy dengan senyumnya yang merekah.

"Terimakasih, Scorp. Kau boleh kembali." ucap Harry tak kalah merekah senyumannya. Ia melihat bahan-bahan yang Scorpy berikan kepadanya.

"Kakap merah fillet, dua butir telur, dan tiga buah kentang? Sepertinya aku sudah punya gambaran untuk masakan kali ini! Hanya kurang satu. Aha!" lampu pijar di atas kepala Harry seakan bersinar terang.

"Scorpy, kau tunggu di sini sebentar saja. Aku akan kembali." Harry keluar dapur dan keluar rumah megah itu. Ia pulang ke rumahnya untuk mengambil sesuatu yang ia yakini akan menjadi sesuatu yang berbeda pada masakannya kali ini.

Harry menuju dapurnya yang minimalis namun tetap elegan dan membuka lemari pendinginnya. Ia dengan cepat mengambil wadah yang berisi sesuatu yang kasar berwarna coklat namun bukan coklat. Ia kembali menutup lemari pendinginnya, dan kembali ke rumah Scorpy. Saat ia akan kembali ke rumah Scorpy, Harry dihalangi oleh adiknya yang bercucuran keringat.

"Kakak mau kemana, huh? Apa kakak tak kasian denganku? Meninggalkanku di taman selama limabelas menit. Dan ternyata di sini." ucap Lily dengan rumus panjang kali lebar.

Harry terkejut dengan kedatangan Lily yang secara tiba-tiba. Ia mengutuk dirinya, kenapa ia bisa melupakan Lily? Dengan gugup ia menjawab pertanyaan Lily.

"Eh, tadi aku bertemu dengan Pansy di taman dan ia menginginkan sedikit dari bumbu ini." jelas Harry berbohong.

Lily menyipitkan matanya, menandakan ia curiga dengan apa yang dikatakan oleh kakaknya.

"Lalu, kenapa kakak lupa denganku?" interogasi Lily pada kakaknya.

"Eh, karena aku buru-buru. Sudah, kau masuk! Aku janji, nanti akan aku buatkan makanan favoritmu!" Harry mendorong adiknya untuk masuk rumah, sontak Lily teriak.

"Kakaaaak..."

"Aku janji!" suara Harry dari luar yang terdengar samar-samar.

Harry berjalan menuju rumah Scorpy kembali dengan menggunakan sandal yang sebelumnya ia menggunakan sneakernya.

"Scorpy... Aku kembali..." seru Harry sembari berjalan menuju dapur. "Scorpy... Aku sudah si- "

"Siapa yang mengizinkanmu masuk ke sini?!" potong seorang pria mirip dengan Scorpy dengan versi dewasa.

"A a a.. Aku.." ucap Harry terbata-bata.

"Apa yang telah kau lakukan pada adikku?" Draco maju satu langkah.

"Kenapa kau menggeledah isi dapurku?" Draco menambah selangkah lagi.

"Dan, apa yang kau bawa?!" dan jarak Dracopun sangat dekat dengan Harry.

"Scorpy.. Scorp.. Scorpy tadi.." Harry merasa tidak nyaman dengan keadaan dan posisi yang berlangsung saat ini. Ia mendorong Draco agar menjauh dari dia. Dan iapun menjelaskan kepada Draco.

"Malfoy, Scorpy tadi terjatuh saat berlari di taman dekat Privet Drive. Dan lututnya berdarah. Dan, ia aku obati. Ia lapar, dan aku berniat memasak makanan untuknya. Dan, berhenti menginterogasiku, Malfoy!"

"Apa katamu? Memasak? Dengan badanmu yang kecil ini?" seringai Draco mulai muncul.

"Kau meragukanku? Ok, akan kubuktikan!"

"Silahkan saja."

Harry mulai berkutat dengan bahan-bahan yang sudah ia siapkan. Ia memulai mengambil wadah kecil dan meletakkan enam potong ikan kakap yang sudah difillet. Lalu ia mengambil satu buah lemon dan memotongnya menjadi dua bagian. Harry memeras sebagian lemon yang telah ia potong dengan tangannya dan menyiramkan air lemonnya ke daging kakap fillet agar bau amisnya hilang. Ia juga menambahkan sedikit lada dan garam. Kemudian ia mengambil wadah yang lain yang lebih besar. Ia memecahkan dua butir telur dan isinyapun dengan mulus masuk ke wadah tersebut. Dikocoknya dengan pengaduk yang terbuat dari stainless steel secara manual. Setelah tercampur sempurna antara putih dan kuning telur, Harry memasukkan garam dan lada masing-masing setengah sendok makan, lalu ia mengaduknya lagi. Ia memasukkan duaratus gram tepung terigu, satu sendok makan minyak zaitun, dan duaratus mililiter air putih, dan ia aduk lagi hingga adonan mengental.

Harry mengambil wadah lagi. Kali ini ia memasukkan tujuhpuluh lima gram tepung maizena. Ia memanaskan minyak di pan di atas kompor dengan api sedang. Sambil menunggu minyaknya panas, delapan potong daging kakap merah tadi, Harry baluri dengan tepung maizena secara merata. Lalu kakap merah tadi ia celupkan ke dalam adonan tepung yang kental. Dan saatnya memasak!

Harry mencelupkan lumuran kakap merah tadi ke minyak panas, dan tergorenglah. Nampak minyaknya berbuih mengelilingi kakapnya. Harry menunggu dua menit sebelum ia membalikkan kakapnya. Setelah memastikan jika kakapnya matang, ia pun mengangkatnya dan meniriskannya. Tinggal dua hal lagi yang belum ia kerjakan. Harry segera menyelesaikannya. Ia mencuci kentang yang tadi Scorpy berikan kepadanya, lalu mengupas kulit kentang yang berjumlah tiga tadi dengan sangat cepat. Kentang itu ia potong-potong memanjang dan ia goreng.

Sementara itu, Draco dan Scorpy berbincang-bincang sesuatu yang tak bisa Harry dengar.

"Bagaimana dia menurutmu, Scorp?"

"Kak Harry sangat baik, aku suka melihatnya. Matanya seakan menghipnotisku." kata Scorpy berbinar-binar. Draco kaget, adiknya merasakan yang sama dengan apa yang Draco rasakan. Ia merasa terhipnotis dengan mata itu. Selain itu, Dracopun terhipnotis dengan bibir merah Harry. Rasanya setiap kali melihat bibir menawan Harry, ia sangat ingin sekali menciumnya.

"Sial! Kenapa aku pindah haluan?! Sial kau, Potter!" desisnya.

Kembali pada Harry, ia mengangkat kentang goreng tadi dan meniriskannya juga. Proses terakhir ia lakukan pula. Dibukanya wadah yang berisi sejenis bumbu padat yang ia ambil dari rumahnya sendiri. Ia memasukkan bumbu tersebut dua sendok makan ke dalam mangkuk kecil. Diambilkannya air panas dari dispenser dan ia masukkan ke dalam mangkuk yang berisi bumbu tadi. Ia menumbuk bumbu padat tadi dengan penumbuk berwarna putih. Setelah beberapa menit, akhirnya bumbu padat tadi berubah wujud menjadi seperti saus.

Kakap dan kentang goreng yang tadi ia masak, ia letakkan di piring saji, tak lupa dengan bumbu tadi.

"Well! Aku selesai!" Harry menuju meja makan dengan membawa masakannya kepada dua orang yang baru ia kenal. Ia meletakkan masakannya di hadapan Draco dan Scorpy.

"Fish and Chip? Dasar konyol, Potter! Ini masakan rakyat jelata, dan aku sudah sering mencobanya. Pasti ini lebih buruk dari semua yang telah kucoba." cerca Draco.

"Terserah kau mau ngomong apa. Coba saja" berputarlah mata hijau Harry.

Scorpy mendahuli Draco. Ia memotong kakapnya dengan pisau makan, dan menusuknya dengan garpu, lalu ia masukkan ke bumbu berwarna coklat pucat sebelum masuk ke dalam mulutnya. Hal yang sama Draco lakukan.

"Bagaimana?" tanya Harry dengan senyum lebar

"..."

"..."

O

.

.

.

.

O

.

.

.

.

O

To Be Continued

-ooo-

AN:

Halo, readers and reviewer! Akhirnya update juga yaaa... Entah kenapa ini malah jadi Multichapters padahal pengennya twoshot doang. Haha..

Terimakasih buat yang udah baca, dan yang review chapter pertama. Kalian semangatku, okay?!

Mind to review again ? ^_^