Suara uhu-an berulang kali meraup keheningan tengah malam yang menjadi waktu yang paling tepat bagi semua orang untuk mengistirahatkan tubuh mereka dari kelelahan, serta letih yang teramat dan terasa sepanjang melakukan rutinitas sehari. Namun, tidak bagi seorang Harry Potter. Pemuda berkacamata itu tak sedikit pun berniat menidurkan diri barang sedetik. Matanya yang sudah memerah tetap ia paksa untuk terbuka. Ia ingin tidur sebenarnya. Sangat. Tapi seminggu belakangan ini, kualitas tidurnya semakin memburuk. Membuat wajahnya nampak kusut sepanjang waktu. Dengan kantung mata yang tidak bisa dibilang ringan. Sangat jelas kentara. Dan wajah kusutnya tak hilang untuk beberapa hari ia bekerja. Benar-benar buruk.
Ia melirik jam dinding berlatar gambar jam Big Ben yang berada di dalam kamarnya, menunjukkan pukul dua pagi. Dirinya yang duduk di atas tempat tidurnya, dan menyandarkan diri pada bagian belakang ranjang, menatap ke arah luar di balik jendela kaca di dekatnya. Kelambu renda ia singkap sedemikan rupa, hingga pantulan cahaya rembulan dapat masuk sayup-sayup, menjadi sumber cahaya di dalam kamarnya yang lampunya ia matikan sejak tadi. Yah, meskipun beberapa pantulan cahaya lampu pinggir jalan juga membantu menerangi kamarnya dari luar.
Menatap nanar jalanan di luar sana. Harry mencoba mengamati tiap inci aspal hitam itu. Walaupun tak ada apa-apa di sana, melainkan dedaunan pohon mapel beku yang acapkali jatuh di atasnya. Harry melamun. Badan yang ia tekuk dan peluk sendiri, dengan sweater bergaris hijau yang ia kenakan, membuat pemandangan ini seperti melihat seorang tawanan yang menyesali hidupnya dalam jeruji besi. Tapi tidak. Dia tidak seperti itu.
Hembusan angin tengah malam berhembus semakin kencang. Memberanikan diri untuk bertamu kepada siapapun mereka yang ia temui. Harry bergedik ngeri merasakan sensasi angin yang masuk lewat celah jendela yang sedikit ia buka. Ia mendesah yang diikuti oleh helaan nafas pelan. Pemandangan luar masih ia amati. Sesekali menoleh ke arah rumah tetangga barunya itu. Draco Malfoy. Rumahnya sangat megah, dengan taman hijau yang cukup luas, dipenuhi banyak tanaman. Begitu menyejukkan mata bagi Harry.
Dari lantai dua, ia mengganggurkan diri. Ini sudah larut malam, tetapi Harry masih terjaga. Kau tahu mengapa dia seperti ini?
Pertemuan itulah penyebabnya.
Pertemuannya dengan Oliver sejumlah hari lalu di tempat kerjanya, membuat pikirannya berkecamuk. Tentu saja demikian. Karena Harry bersumpah tidak ingin lagi melihat pemuda mantan pemain Basket saat mereka kuliah dulu, datang ke kehidupannya kembali. Seminggu ini, gara-gara waktu itu Draco membawa Oliver ke Red Café, Oliver jadi sering-sering berkunjung ke sana. Harry tahu maksud Oliver tersebut. Harry yakin saat itu bahwa Oliver bukan sekedar ingin menyesap secangkir kopi, atau melahap beberapa kudapan, tetapi ada hal lain yang ia niatkan. Harry tahu itu dan ia tidak suka. Sama sekali. Berbagai macam kejadian seminggu ini telah Harry alami. Dan semuanya tidak luput melibatkan Oliver Wood. Harry berdecih, yang detik berikutnya ia mendengar suara burung hantu ber-uhu ringan, seakan ingin membalas decihan tersebut.
-oOo-
.
.
Harry Potter © J.K Rowling
Red Velvet © ScarheadFerret
Pair: Draco M. & Harry P.
Warning: Slash, AU, a bit OOC, typos maybe
.
.
-oOo-
Harry datang pagi-pagi sekali untuk bekerja. Ia sudah mengantarkan Lily lima belas menit lebih awal ke sekolah. Seperti yang ia bilang, ia berharap Nyonya McGonagall dapat menarik keputusannya untuk tidak menggaji Harry bulan Januari ini. Jadi ia putuskan untuk lebih giat bekerja di Red Café, barangkali harapannya teewujud.
Red Café selalu dibuka oleh Tuan Quirrell pada jam enam pagi. Biasanya ia membawa serta segala keperluan yang dibutuhkan pada jam kerja, seperti bahan makanan, dan sebagainya. Tuan Quirrell sedikit terkejut memang saat Harry sudah berada di pintu belakang Red Café. Tapi hal itu tidak menjadi masalah, melainkan ia anggap itu adalah peningkatan kinerja yang Harry usahakan. Pagi itu Harry mengepel lantai kafe yang terdapat banyak jejak-jejak alas kaki dari banyak pengunjung. Setelahnya, ia melanjutkan menata bangku-bangku dan meja-meja pelanggan yang semula ditata menumpuk. Ia kerjakan sendiri saat itu. Sedangkan Tuan Quirrell mengontrol keperluan lainnya.
Hari Rabu kala itu Harry awali dengan peluh keringat yang bercucuran. Setelah dirasa semua sudah rapi, ia memutuskan untuk membersihkan diri kembali ke kamar mandi kafe yang dikhususkan untuk pegawai. Teman-teman Harry yang datang dua puluh lima menit berikutnya, nampak terperangah ketika mendapati kafe sudah nampak tertata penuh kilauan menyambut kedatangan mereka. Beberapa orang menanyakan hal yang sama kepada Tuan Quirrell yang berada di balik bar. 'Siapa yang sudah membereskan segalanya?'. Dan Tuan Quirrell memberitahu mereka bahwa Harry lah yang melakukannya sendiri. Yang membuat beberapa orang sedikit tak percaya, karena menurut mereka fisik Harry tak mumpuni untuk melakukan itu semua. Yah, begitulah orang-orang yang Harry kenal. Sebagian besar seperti menganggap remeh kemampuannya.
Saat Harry sudah selesai dengan urusannya tadi, setelah memakai seragam, dan merapihkan penampilannya, ia lalu bergegas memulai pekerjaannya sebagai pelayan. Di sana ia beberapa kali mendapat pujian dari teman kerjanya karena kinerjanya pagi-pagi itu, seperti Hermione yang mengaku tidak menyangka jika Harry yang membereskan semua. Atau Fred yang mengatakan bahwa Harry adalah calon suami yang baik kelak. Dan Myrtle yang menyolek Harry beberapa kali disertai ucapan 'My Harry'.
Sangat belebihan bagi Harry. Sungguh.
Hari itu berjalan dengan lancar bagi Harry. Ia senang karena tidak ada sesautu pun yang menghambat pekerjaannya. Terlebih saat itu Nyonya McGonagall juga terlihat memberikan seutas senyum kepadanya. Ia berharap dapat mempertahankan ini semua. Namun…
Sepuluh menit sebelum Red Café akan ditutup, Oliver datang ke sana. Seorang diri. Duduk di dekat jendela kaca besar. Harry yang mendapati kedatangannya, mencoba bersikap biasa dan sewajarnya. Biarpun mata Oliver sepanjang waktu menatapnya lekat. Ia berbisik kepada Astoria dan meminta tolong untuk melayani pemuda itu. Astoria yang melihat Oliver dari balik bar, terlihat berbinar-binar.
"Oh, Harry. Dengan senang hati aku akan mendatanginya." Ucap Astoria penuh girang. Harry hanya bisa menggeleng menatap pemudi itu. Heran, bagaimana ia begitu mudah melirik bermacam pemuda.
Menit berikutnya, Harry pura-pura izin kepada Tuan Quirrell untuk ke toilet dengan alasan bahwa perutnya melilit sejak tadi. Yang untungnya Tuan Quirrell mengizinkannya. Padahal niat Harry hanya untuk menghindari dirinya dari tatapan berbagai arti dari Oliver.
Dari dalam toilet, ia menatap arlojinya yang memperlihatkan pukul tiga sore. Yang Harry asumsikan bahwa teman-temannya sudah membalikkan papan menjadi 'Close' dan membereskan peralatan dan perabot kafe. Dan itu berarti Oliver juga pasti sudah keluar dari sana.
Harry lalu keluar dari toilet setelah tak melakukan apapun di sana. Ia berjalan mengendap-endap menuju bar. Barangkali asumsinya tentang Oliver tadi salah. Tapi untungnya ia tidak mendapati sosok tersebut, bahkan sebatang hidungnya sekali pun. Harry bernafas lega. Ia tidak melihat pemuda itu lagi. Bagaimana pun rasa cemasnya masih terpatri di dalam hatinya. Bisa saja Wood itu datang lagi ke sini. Dan benar saja, ketika Harry akan membantu teman-temannya membereskan kafe, ia dihampiri oleh Astoria dengan wajah berbunga-bunga, serta membawa secarik kertas putih yang ia berikan kepada Harry.
"Di sini kau rupanya. Dari mana saja kau? Astoria memandang Harry kesal, yang mana pertanyaannya tak dijawab Harry, "Ini ada sesuatu untukmu," kata Astoria ketus seraya menyodorkan kertas berlipat dua itu kepada Harry.
"Untukku? Dari siapa?" tanya Harry melihat kertas yang sudah berpindah tangan tersebut dengan kerutan dahi di wajahnya.
"Dari pelanggan yang tadi kau suruhku untuk melayaninya," jawab Astoria diikuti senyum yang nampak menggelikan.
Sial, kata Harry dalam hati. Ia tahu pasti Oliver tidak akan pergi begitu saja. Seharusnya Harry sudah tahu itu dari tadi. Dengan tatapan kesal, ia lalu berterima kasih kepada Astoria, kemudian membuka lipatan kertas itu. Kertas putih yang diambil dari binder menera rentetan tulisan dengan tinta hitam di atasnya.
Harry, kau tahu, aku sudah lama tidak bertemu denganmu. Kuharap kau tidak menyesal bertemu denganku lagi setelah sekian lama.
Harry menjeda sesaat. Ia memutar bola matanya bosan membaca dua kalimat awal dari pesan itu. Lalu ia melanjutkan membaca kembali.
Sekalian aku juga ingin meminta maaf atas perlakuanku terdahulu terhadapmu. Kuharap kita bisa memperbaiki hubungan pertemanan kita, mungkin?
Pemuda berambut berantakan itu meremas pelan kertas yang ia pegang. Rasa benci dan kesalnya mencuat kembali jika ada yang berbicara peristiwa itu.
Semoga kau memaafkanku dan mengerti. Aku benar-benar menyesal.
Tepat pada kalimat akhir yang ia baca, kertas itu sudah tak berbentuk utuh lagi karena sudah dirobek Harry berulang kali, merubah benda tersebut menjadi remahan yang kemudian ia buang sembarangan di atas lantai ubin kafe yang berwarna putih. Deru nafasnya tak beraturan.
"Dia pikir aku akan memaafkannya begitu saja? Tidak akan," rutuk Harry sendiri, sangat pelan. Ia lalu mulai mengambil sapu lantai di dekat tempat sampah di belakang bar, dan mulai menyapu kekacauan—sampah—yang ia buat tadi, "Pengecutnya lagi, lewat sebuah kertas!" Harry menghentakkan sapunya dengan keras penuh kekesalan. Sepanjang sore itu, Harry tak henti-hentinya bergumam penuh sumpah serapah. Benar-benar jelek mood-nya saat itu.
-oOo-
Uapan keras dari mulutnya menandakan bahwa kantuknya sudah menghampiri. Matanya semakin berat namun tidak serta membuat Harry mencoba untuk tidur. Kacamatanya yang ia kenakan berembun karena dinginnya udara dan nafas Harry yang berhembus. Akhir Januari masih dijumpai dengan musim dingin. Biarpun tidak sedingin bulan lalu, tetapi dinginnya masih mampu menusuk tulang belulang. Harry mencoba menghangatkan diri dengan menggosok-gosok telapak tangannya dan menarik selimut hingga menutupi sebagian besar tubuhnya yang terbalut sweater.
Ia memutuskan untuk menutup jendela kamarnya beserta kelambunya. Harry mencoba membaringkan diri, barangkali beberapa menit berselang ia dapat tidur. Ditatapnya langit-langit kamarnya—tanpa mengenakan kacamata—yang berwarna putih tulang. Berusaha membuat gambaran dari imajinasinya pada langit-langit di atasnya. Mungkin bentuk bangunan Red Café, atau membayangkan gambaran dirinya yang berdiri di ujung tebing, dan banyak gambaran-gambaran lainnya, yang sama saja tidak berhasil membuat Harry terlelap untuk hitungan menit. Harry membuang nafas keras. Ia ingin tidur sekarang juga. Hari ini hari Minggu, ia sangat bahagia karena pagi ini ia tidak bekerja tentu saja. Dan itu berarti ia juga tidak akan bertemu dengan Oliver, rencananya ia ingin habiskan untuk mendekam di kamarnya seharian. Ia tersenyum puas untuk beberapa saat sebelum teringat bahwa tugasnya sebagai seorang kakak akan selalu ia bawa. Ia membuang nafas kembali.
-oOo-
"Waiter…"
Mendengar ada seorang pelanggan memanggil, para pelayan di meja bar saling bertatapan mengartikan sebuah pertanyaan siapa yang akan mendatangi seorang bapak berambut plontos yang memanggil mereka. Di balik bar terdapat Ron, Harry, dan Hermione yang saling ragu. Sedangkan pelayan lainnya masih melayani pelanggan yang ada. Masalahnya adalah, bapak tersebut adalah pelanggan setia Red Café yang terkenal garang dan menyeramkan.
Hampir tiap waiter dan waitress di sana pernah terkena 'semprot' oleh bapak botak tersebut hanya karena masalah sepele seperti suatu hari Ron sangat gugup berhadapan dengan orang itu, sehingga ia terkena ocehan si bapak yang tidak menyukai cara bicara Ron yang saat itu gagap karena ketakutan. Atau Myrtle yang pernah sekali tidak sengaja salah menyebut nama si bapak yang harusnya Salazar, tetapi oleh Myrtle dipanggil Sazalar. Akibatnya Myrtle menangis sepanjang hari itu, karena disebut sebagai Nenek muda oleh bapak itu.
Untuk beberapa detik ketiganya saling bertatapan dan sesekali menyolek satu sama lain, sebelum Tuan Quirrell menunjuk Hermione untuk mendatangi pelanggan tersebut. Harry dan Ron bernafas lega, sedangakan Hermione dengan tangan berkeringat, mau tidak mau harus melayani pelanggan yang memiliki tampang seperti primata tersebut.
"Dan, kau, Harry…" Tuan Quirrell melirik Harry sekilas, "tolong bereskan sampah di dapur, dan buang ke tempat sampah di belakang," perintah Tuan Quirrell yang tengah mencatat sesuatu entah apa pada catatan kecil yang ia genggam.
"Baik, Tuan." Kata Harry menyanggupi.
Ia kemudian melangkahkan kakinya menuju ke dapur. Tempat di mana juru masak Red Café bekerja. Sebelumnya ia sudah menggunakan sarung tangan di kedua tangannya.
Saat ia sudah akan sampai ke dapur, dan akan memasukinya, sosok Astoria membelakanginya, kemudian berbalik dengan membawa nampan yang di atasnya berisi sepiring Sphagetti Bolognaise. Ia agak terkejut dengan sosok Harry di hadapannya.
"Astaga, Harry, kau mengagetkanku!"
"Hehe… maaf, Asto," Harry menggaruk-garuk tengkuknya merasa tak enak.
"Untung aku tak menumpahkan sphagetti ini," Astoria membenarkan letak sepiring Sphageti Bolognaise yang sempat bergeser ke samping. Kemudian ia menatap Harry. "Boleh aku ke depan, Harry?" Tanyanya bernada sarkastis.
"Er, oh… silahkan," Harry bergeser sedikit yang kemudian Astoria melewatinya.
Harry mengikuti arah pandangnya ke Astoria yang melewatinya untuk beberapa detik. Kemudian memandang kembali ke depan, dan kini giliran ia yang terkejut melihat sosok Cedric di hadapannya.
"Cedric!"
Yang disebut hanya tertawa renyah, "Kau mau apa Harry?"
"Aku ingin mengambil sampah di dalam."
Cedric mengernyitkan dahinya, "Mengambil sampah? Kau yakin?"
Harry membalas dengan kernyitan dahi yang sama, "Iya, aku yakin. Mengapa kau bertanya begitu?" Tanyanya tak begitu paham.
"Sayang sekali nanti tangan mulusmu terkena kotoran. Aku tak yakin tanganmu itu akan mulus kembali setelahnya," ucap Cedric penuh canda disertai senyuman menggoda.
Harry yang mendengar godaan pemuda tampan di hadapannya itu tak tahan mengeluarkan semburat merah di pipinya.
"Apa-apaan kau, Ced! Aku pakai sarung tangan. Jadi tak masalah," sergah Harry setengah malu. "Biarkan aku masuk."
Harry melewati Cedric yang tertawa geli. Saat ia masuk ke dalam dapur, dilihatnya banyak juru masak yang sibuk dengan kegiatan mereka. Aroma berbagai masakan dan makanan menyelubungi indra penyiuman Harry. Ia kemudian mengambil dua bungkus besar kantung kresek yang berisi sampah basah dan kering yang berada di dekat wastafel pintu masuk dapur. Diangkatnya kedua kantung sampahnya di tangan kanan dan kirinya.
"Ughh…" Harry melenguh sekilas merasakan beratnya beban sampah yang ia angkat. Ia berusaha sekeras mungkin agar dua kantung tersebut tak lepas dari genggamannya. Mencoba mempercepat langkahnya menuju halaman belakang kafe, setelah Cedric sempat menawarkan bantuan yang ia tolak.
Sesampainya di halaman belakang yang terhubung langsung dengan gang yang lumayan lebar, ia sejenak menurunkan benda yang ia bawa tadi. Tugasnya belum selesai. Harry harus memasukkan dua kantung sampah itu ke dalam bak besar yang biasa digunakan untuk membuang sampah. Bak itu lumayan tinggi, setidaknya tingginya setara dengan pundak Harry.
Harry menghela nafas keras, dan kembali mengangkat salah satu dari kantung sampah tersebut dengan susah payah. Sarung tangannya yang ia kenakan sedikit basah karena keringat di tangannya, sehingga membuat kantung yang ia angkat tadi hampir terlepas dari genggamannya sebelum sebuah tangan menangkap kantung itu dari belakang. Harry sedikit terlonjak mendapati ada seseorang yang membantunya sebelum ia mengucapkan terima kasih pada orang itu. Ia lalu membalikkan diri mencoba ingin tahu siapa yang membantunya.
"Wood?!" Mata di balik kacamata bulatnya melebar. Detak jantungnya mulai berdetak sesak. Nafasnya ia hela secara cepat. Rasa benci menyelimuti diri Harry.
"Harry, dengarkan aku… Harry!" Panggil Oliver kepada pemuda berumur sembilan belas tahun yang kini beranjak dari sana, dan dengan cepat kembali masuk ke dalam kafe. Meninggalkan Oliver sendiri bersama kedua kantung sampah yang Harry lepas tanggung jawabnya.
Harry tak menyangka dan heran, bagaimana Oliver bisa tahu ia ada di halaman belakang. Harry melepaskan sarung tangannya lalu menyampirkannya pada gantungan besi berbentuk persegi. Ia memijat pelipisnya yang terasa pening. Dan mencoba mengatur helaan nafasnya kembali.
-oOo-
Harry menggeleng keras mengingat kejadian hari-hari yang lalu. Ia tidak mau mengingat. Sama sekali tidak. Yang menjadi problema adalah bahwa kejadian-kejadiannya yang berkaitan dengan Oliver tersebu setiap hari terjadi. Seperti setelah kejadian di halaman belakang tersebut, esoknya saat ia tengah bekerja, ia mendapat kiriman dari seorang kurir, sebuah kudapan yang paling ia favoritkan. Cokelat. Ia sempat bahagia karena mendapatkan kiriman sekotak permen berbagai jenis cokelat, sebelum mendapati sebuah kartu ucapan bertuliskan 'I hope you like it. And I'm still waiting for your forgiveness. Xx', yang tanpa Harry perlu menebak dari siapa cokelat itu, ia sudah tahu terlebih dahulu. Pada akhirnya pula, saat itu ia memberikan sekotak permen cokelat tersebut kepada Myrtle yang giginya beberapa ompong.
Dan di hari Sabtu lalu, Oliver menghadang Harry di tempat parkir Red Café saat Harry akan pulang. Ia mengenggam tangan Harry dengan sangat keras, hingga membuat Harry meringis. Di sana ia mengajak Harry ke London untuk dinner di sebuah restoran mewah. Tentu saja Harry menolak. Oliver yang saat itu akan mendekapnya, mendapatkan hujaman keras dari kepalan tangan Harry pada mulutnya. Dan Harry buru-buru mengayuh sepedanya menjauhi Oliver yang menatapnya kesal dari kejauhan.
Ketika ia sampai di depan halaman rumahnya, ia sempat berpapasan dengan Draco yang sepertinya saat itu berjalan dari arah rumah Pansy. Ia mendapatkan pertanyaan meremehkan dari Draco tentang mengapa wajahnya terlihat panik. Yang dijawab Harry dengan gelengan kepala, dan ia segera masuk ke dalam rumahnya. Sedangkan Draco di luar sana memutar mata kelabunya menatap tingkah Harry.
Pada malamnya, ia mendapatkan panggilan di ponselnya, dari sebuah nomor yang tak ia kenal. Harry mengangkat panggilan itu untuk sekali, namun dalam waktu yang sangat singkat setelah ia mendengar suara dari seorang pemuda yang terus menerus mengusiknya. Setelahnya, ia mendapatkan banyak panggilan-panggilan kembali yang sengaja tak ia angkat. Dan juga sejumlah pesan singkat yang tak ia balas pula. Sepanjang malam itu ponselnya selalu berdering. Karena merasa teeganggu, Harry memutuskan untuk mematikan ponselnya.
Dan kinilah Harry berbaring sejak tadi mencoba untuk tidur biarpun tak berhasil. Ia sungguh sangat lelah. Keheningan subuh itu membuat Harry semakin tak bisa tidur akibat memikirkan kejadian-kejadian di atas. Ia berteriak di dalam kamarnya. Cukup keras. Hingga membuat eksistensi burung hantu yang sejak tadi bertengger pada pohon mapel di depan rumahnya kini terbang meninggalkan pohon itu. Suaranya terdengar sampai luar rupanya. Harry tak perduli jika ada tetangga yang mendengarnya.
Dan benar saja, menit berikutnya, suara ketukan beberapa kali pada pintu kamarnya terdengar.
"Kak… kak Harry? Kau baik-baik saja?" Dan itulah suara Lily bertanya dari luar. Harry yang mendengar adiknya itu, tak segera memberikan jawaban. Sepertinya Lily terbangun akibat teriakan Harry.
Lily yang tak mendapatkan jawaban dari kakaknya, mencoba memutar daun pintu. Beruntung pintu kamar kakaknya tidak terkunci, jadi ia dapat memasuki kamar kakaknya tersebut.
Setelah masuk beberapa langkah dan menutup pintu di belakangnya, Lily menghampiri Harry yang tengah berbaring menghadap ke arah jendela. Ia naik ke tempat tidur Harry, dan kemudian melingkarkan tangan mungilnya ke pinggang Harry setelah membaringkan diri.
"Kak Harry kenapa tadi berteriak?" Tanya Lily sekali lagi dengan nada lirih. Harry sedikit terkejut akan kehadiran adiknya. Ia lalu berbalik berhadapan dengan Lily. Dengan mata yang memperlihatkan kantuk yang amat jelas, ia mencoba tersenyum.
"Aku baik-baik saja, Lils. Hanya sedikit pusing saja," jawab Harry berbohong.
"Benarkah?"
"Tentu saja,"
Kemudian Lily berpikir sejenak memikirkan sesuatu, "Bolehkah aku tidur menemanimu, kak?"
Senyuman Harry melebar, terlihat jenaka, "Tidur menemaniku? Mengapa, Lils? Kau takut tidur sendirian?" Tanya Harry mengejek.
Lily cemberut mendapatkan pertanyaan itu dari kakaknya, "Takut? Tidak. Aku hanya ingin menemani kakak. Itu saja," pandangan Lily yang tadi menatap Harry kini sejenak menurun, "Kulihat kakak tidak bisa tidur."
Pandangan Harry menyendu melihat adiknya. Ia merapatkan pelukan Lily terhadapnya, lalu mengelus lembut rambut merah Lily yang terurai. "Baiklah, adikku sayang. Temani aku kalau begitu."
Lily tersenyum mendengarnya. Detik berikutnya mereka berdua menyamankan diri, dan menidurkan diri saling berpelukan. Bersyukurnya, Harry saat itu juga terlelap.
Yah, setelah beberapa hari tidak dapat tidur.
Selamat tidur, Harry… dan Lily.
-To be continued-
Author's Note:
Maaf ya, kalau Drarry momentnya sedikit. Karena memang chapter ini berfokus menceritakan pertemuan-pertemuan Harry dengan Oliver. Dan cerita-cerita yang diitalic itu flashback moment ya…
Kalau ada kritik dan saran yang ingin disampaikan, monggo disampaikan di kolom review, atau bisa lewat PM ❤
Mind to review?