Hari demi hari merangkak amat perlahan melalui musim yang membuat waktu membeku bersama udara. Siksaan tersendiri bagi pelaku kebosanan dalam penantian entah apa, mirip seseorang tanpa hiburan yang terperangkap keadaan dimana tidak ada peristiwa tidak monoton terjadi. Begitulah kesan yang lumrah mengemuka pada wajah musim dingin, yang di tahun ini tidak terjadi pada Vachgaux, atau Audaces lebih spesifiknya. Peristiwa demi peristiwa ganjil, yang sebenarnya bisa dinilai lebih dari sekedar ganjil, ganas menyerang bagai hujaman rentetan peluru, membuat mata kami terbelalak dalam kengerian. Hanya dalam kurun waktu seminggu sebelum kemunculan gerhana bulan darah, tragedi berdarah berurutan menimpa Audaces seolah ada kendali kekuatan besar mengaturnya dari balik perisai.
Dari kasus inilah segala teror bermula, kasus kematian misterius salah satu siswa andalan Audaces bernama Hankyung. Aku dan Kyuhyun tengah menyantap makan siang dalam ketenangan aula besar ketika terdengar suara langkah para siswa berlarian meninggalkan meja menuju koridor disertai kalimat-kalimat berakhiran tanda tanya berhamburan dari mulut mereka, mengusir pergi ketenangan. Aku hanya menjuruskan tatapan bingung, berhenti menyuapkan potongan tuna berikutnya sebelum tahu-tahu Donghae telah berdiri di hadapan dengan wajah sepucat orang sakit, menatap aku dan Kyuhyun bersama sebuah ketakutan membayangi bola mata. Tangan gemetarnya menunjuk ke arah luar aula seraya berkata parau bahwa Hankyung telah tewas.
Tanpa perlu diinformasikan dua kali, aku dan Kyuhyun mengambil langkah bergegas sebelum menemukan keramaian siswa sedang mengerumuni sesuatu di tengah-tengah koridor. Di bawah kilauan cahaya lampu, kami berdiri dengan ekspresi wajah penuh ketegangan.
"Ayo," ajak Kyuhyun, menggenggam erat tanganku, membimbing melewati celah-celah kerumunan, hingga lolos ke barisan terdepan, membeku ngeri melihat jasad tidak berdaya Hankyung terbaring dipenuhi luka-luka parah. Lumuran darah menguasai mulut berikut pakaiannya. Mata dalam keadaan membelalak seolah tengah melihat sesuatu yang menyeramkan sesaat sebelum nyawanya lepas dari tubuh. Tiba-tiba suasana berubah ricuh oleh kepanikan. Nyaris menimbulkan kekacauan jika saja para guru tidak datang dan tanggap menetralkan keadaan menyuruh kami bergegas kembali ke kamar masing-masing. Setibanya di kamar, aku dan Kyuhyun tidak berkomentar apapun atas kejadian ini. Terlalu khawatir mengungkap melalui kata-kata panjang lebar hingga kalimat yang bisa kuucapkan hanyalah, "ini baru awal, mereka sudah mulai bergerak."
Dan ya, gagasan tersebut benar. Kengerian akan pembunuhan Hankyung dan kecemasan mengenai belum ditemukannya si pembunuh masih menghantui benak semua orang ketika tiga hari kemudian, tragedi yang sama terulang, bahkan lebih mengkhawatirkan karena kali ini bukan hanya satu mayat, melainkan tujuh sekaligus yang dua di antaranya adalah Siwon dan Kibum, dua teman dekat Kyuhyun. Mayat masing-masing dari ketujuhnya tersebar mengisi koridor-koridor, dengan luka parah dan mata membelalak yang sama seperti milik Hankyung. Menyaksikan kenyataan ini, aku hanya bisa meneguk ludah bersama begitu banyak perasaan frustasi menekan dari dalam karena tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menghentikan ini semua. Berharap relativitas waktu merayap lebih cepat dalam masa-masa penantian kemunculan gerhana bulan darah yang akan berlangsung tiga hari kemudian. "Kita semua terjebak total. Badai masih belum reda, konektivitas sinyal terputus. Kuharap listrik tidak ikut-ikutan padam," Donghae berbisik di sisiku. Terlalu kelu memberi respon, lidah ini hanya terdiam kaku.
Hari berikutnya, tidak ada mayat ditemukan, namun mimpi buruk malah datang seolah menggantikan posisi mayat-mayat untuk tidak membiarkan jiwaku bebas dari ketakutan. Dalam mimpi kutemukan diriku berdiri menapak dasar sebuah jurang dengan bulan bersinar muram menggantung pada langit malam. Kesuraman menyungkup sekeliling, bau busuk mengusik indera penciuman. Aku bisa melihat sekujur tubuh ini basah oleh simbahan darah. Kuedarkan pandang memutar segala arah sebelum ketakutan mulai melanda ketika melalui cahaya bulan yang lamat-lamat, baru kusadari kedua kaki tengah berdiri diatas tumpukan hamburan mayat-mayat manusia. Seketika ketakutan menjalar cepat. Napas terengah panik, sesak saat melihat begitu banyak wajah-wajah mayat yang kukenal baik. Eunhyuk... Ryeowook... Donghae... dan guru-guru juga teman-teman lainnya. Mereka semua adalah para guru dan murid-murid Vachgaux! Getaran kengerian dalam jiwaku menjadi semakin nyata ketika menemukan Kyuhyun di antara mereka, menatap lurus menembus mataku dengan pandangan kosong orang mati.
Tahu betul tidak akan kuat berlama-lama berada disini, aku berlari meninggalkan jurang. Berlari dan terus berlari tanpa peduli arah ketika mendadak sesosok makhluk tinggi yang berdiri beberapa meter di hadapan dengan kesan seperti sengaja menunggu kedatanganku membuatku mendongak terpaku. Makhluk bersayap menakutkan setinggi tujuh kaki bertubuh manusia berwajah kambing dengan dua tanduk panjang... dialah salah satu iblis yang kulihat saat mengunjungi Minrae dan yang lainnya... sang pemimpin iblis! Teror yang menghantam jiwaku menjadi semakin tak tertahankan ketika kudengar suaranya yang seperti petir menggelegar terdengar memekakkan telinga, membentak padaku. "KAU AKAN MENJADI YANG TERAKHIR MENUMPUK DISANA!" Sekujur tubuh menjadi mati rasa hanya karena mendengar suaranya. Kemudian seakan ada yang memantik dengan kekuatan penuh, api meledak dari dalam tubuh si iblis, memenuhi wujudnya dengan kobaran membara yang dia sendiri tampak tidak kepanasan sama sekali. Sekelebat baranya menyambarku seperti cambuk sebelum pada akhirnya aku terbangun dari tidur dengan kegaduhan. Sekujur tubuh gemetar hebat bermandikan keringat. Kyuhyun yang ikut terbangun, tampak kaget untuk beberapa saat, namun tidak memberi pertanyaan apapun. Tidak berniat memaksaku menjelaskan seakan ia sudah paham sendiri tanpa penjelasan. Lengan-lengannya memeluk menghantarkan kenyamanan sambil sesekali menyeka keringatku. Alih-alih memintaku kembali tidur, ia malah mulai berkisah panjang lebar tentang hal-hal menyenangkan yang terjadi mengisi masa lalu kami, seperti sengaja menjaga diriku dari kantuk karena tahu akan rasa keberatanku untuk kembali tidur, bertemu mimpi buruk lagi. Aku mendengarkan dengan tertarik, beberapa kali melontarkan pertanyaan ingin tahu membuat kami tidak tidur semalaman. Dari sini aku mendapat fakta mengejutkan bahwa pemilik flashdisk yang berisi rekaman pertunjukan requiem murid Audaces 3 tahun lalu adalah diriku sendiri...
Keadaan Audaces masih belum bisa dikatakan kembali normal ketika pada puncaknya, tepat dihari gerhana akan terjadi saat malam hari, di pagi harinya kami diusik suara teriakan memekakkan, bergema dari arah aula besar. Mendengar ini, sebagian siswa memilih tetap tinggal di kamar demi keamanan, tapi tidak denganku dan Kyuhyun juga beberapa siswa lain yang ketakutan mereka dikalahkan oleh besarnya rasa penasaran. Semakin kami melangkah mendekati aula, suara teriakan tersebut nyata semakin hilang kendali. Bulu kudukku merinding mendengarnya. Teriakan itu seperti campuran antara teriakan manusia dan geraman hewan liar. Kami akhirnya tiba bersama rangkaian keterkejutan berikutnya ketika menyaksikan si pelaku teriakan ternyata adalah salah satu guru yang kini telah, entah bagaimana, merayap-rayap menjelajahi dinding sebelum berhenti menatap kami satu per satu dengan mata dipenuhi warna hitam keseluruhan. Tanpa diberi tahu kami segara yakin bahwa dia tengah kesurupan. Yesung songsaenim bersama enam guru lainnya mengawasi rekannya dengan kewaspadaan tinggi namun tidak bisa berbuat apa-apa. Meja kursi berantakan, beberapa ada yang hancur. Mungkin mereka tidak berniat mendekati rekannya karena tidak mau bernasib sama seperti meja kursi tersebut.
Diiringi geraman marah, guruku yang tengah kesurupan berteriak lagi, suaranya melengking nyaring. "PERGI KALIAN SEMUA! KELAS INI MILIK KAMI!"
Ia mengakhiri teriakannya sembari menerjang maju. Semua yang ada di aula serentak mundur menghindar kecuali aku. Entah mendapat suntikan keberanian dari mana, bukannya menjauh, kakiku malah melangkah maju meski Kyuhyun sudah berusaha mencegah dengan menahan lenganku yang segera kutepis sebelum ia sempat mengeeratkannya. Ada apa denganku? Entahlah, hanya merasa ada dorongan kuat dari dalam diri untuk segera menghadapi makhluk yang merasuk ke dalam tubuh guruku ini.
Tiba-tiba keheranan menyeruak ketika menyaksikan dia malah mundur seperti terganggu akan keberadaanku, meski tatapannya tetap membelalak menunjukkan kemarahan. Apa makhluk ini... takut? Kenapa dia mundur? Aku berhenti melangkah, terheran-heran mengamati gelagatnya. Mendadak teringat informasi dari babushka women tentang mata ketiga yang membuat pemiliknya aman dari gangguan makhluk halus jahat. Pihak makhluk haluslah yang justru tidak berani berbuat macam-macam. Jadi apakah dia mundur karena tahu aku memiliki semacam indera keenam dan takut karenanya? Ini sebenarnya termasuk keuntungan, meski harus tetap waspada karena ulah makhluk tidak kasat mata memang lebih sering tidak terduga.
"Siapa kau?" Pertanyaan terlontar dengan nada yang kuatur setenang mungkin.
Tatapan lain dalam mata guruku memandang penuh kebencian. Berbanding terbalik dengan suaranya yang melunak, tidak berteriak-teriak seperti tadi. "Kau sudah bertemu pemimpin kami dalam mimpi!"
"Dia mengutusmu kemari?"
Si iblis menganggukkan kepala guruku seolah enggan menjawab dengan kata-kata. Geraman rendahnya masih lolos mendesis-desis.
"Apa yang akan kalian lakukan jika kami pergi dan apa yang akan kalian lakukan jika kami tidak pergi?" Sembari menahan diri untuk tidak dikuasai kepanikan, aku bertanya santai seolah sama sekali tidak mengkhawatirkan jawaban yang akan ia lemparkan.
Tiba-tiba tawanya menggelegar menyeramkan sampai menggetarkan meja-meja. Nyaliku ciut dibuatnya. "JIKA KALIAN PERGI, KEMATIAN KALIAN AKAN DITUNDA! JIKA TIDAK PERGI KALIAN AKAN MATI SAAT INI JUGA!"
Bukankah sama saja kami pergi ataupun tidak, toh tetap akan dibunuh? Apalagi aku tahu betul 'mereka' tidak pernah main-main dalam mengancam. Pembunuhan seluruh Vachgaux menjadi kemungkinan yang tidak bisa dianggap enteng. Disisi lain aku juga enggan mengekori aturan main para iblis. Hal itu sama dengan mengundang kekalahan pada pihak kami bahkan sebelum dimulainya pertarungan. Sementara kulihat tubuh guruku mulai membiru ganjil, membuatku cemas akan keselamatannya. "Pergilah, kembali ke dimensimu sendiri. Kasihan tubuh guruku terpaksa menanggung wujudmu seperti ini," aku mencoba bernegosiasi.
Entah mengapa mulut menghitam itu malah membentuk seringaian aneh. "Kau mengkhawatirkan tubuh ini?" Ia bertanya, lagi-lagi disertai desisan mirip ular.
Mataku menyipit curiga. "Bukankah sudah jelas?"
Segalanya terjadi secepat kerjapan kilat tanpa satupun dari kami sempat mencegah. Tubuh guruku, atas kendali iblis, berlari menuju jendela kaca, menerjangnya! Bunyi pecahan terdengar memekakkan sebelum pada akhirnya hanya menyisakan keping-keping berantakan bersama lenyapnya tubuh guruku yang melompat dari lantai enam! Tak ayal suasana berubah panik. Beberapa siswa ada yang berlari keluar dengan tubuh bergetar. Sebaliknya beberapa yang pemberani malah bergegas mengecek jendela berlubang, menjulurkan kepala melihat ke bawah lantas terbelalak ngeri. Pastilah tubuh guruku sudah hancur di bawah sana! Oh, aku tidak akan sanggup berbuat hal yang sama. Jangankan melihat kengeriannya, untuk bergerak pun rasanya sulit. Hatiku mendadak sakit ketika benak ini dihantui pertanyaan mengenai apakah karena terprovokasi permintaanku sehingga si iblis memilih mengarahkan tubuh guruku melompat bunuh diri? Satu lagi korban dan secara tidak langsung itu karena kebodohanku! Ya Tuhan, aku sama sekali tidak bermaksud menggiring keadaan menjadi seperti ini. Oh, seandainya aku lebih pintar memilih kata-kata, tidak akan semengenaskan ini akibatnya! Kepalaku menunduk dibebani penyesalan.
"Hey, kau tidak apa-apa? Ini bukan salahmu, mengerti?" Ujar Kyuhyun mencoba menenangkan. Sepasang lengannya menggiringku masuk ke dalam dekapan.
Yesung songsaenim bersama guru lainnya datang mendekat bersama langkah-langkah tergesa. Wajah mereka tampak membiaskan keputus asaan bercampur kebingungan. Pertanyaan Yesung songsaenim terlontar menuju Kyuhyun. "Kepemilikan sekolah ini tertulis atas namamu. Aku akan menyerahkan pengambilan keputusan padamu mengenai apa yang sebaiknya kita lakukan. Perintahkanlah kami melakukan sesuatu."
Sejenak Kyuhyun bungkam, seperti menimbang-nimbang. Semua menatapnya lekat-lekat, menunggu bersama begitu banyak debaran menghantam dada. Hawa tegang berputaran di sekeliling kami.
"Sterilkan seluruh lantai 6." Pada akhirnya ia memberi instruksi, membuatku kagum dengan kestabilan nada suaranya ditengah situasi sekacau ini. Ia tampak tidak terpengaruh keadaan sama sekali seakan sengaja menahan kecemasannya sendiri agar yang lain tidak ikut-ikutan panik. Mungkin ini pengaruh bakat leadershipnya.
"Sterilkan seluruh lantai 6," Kyuhyun mengulang tegas. "Evakuasi semua penghuni Audaces, Texere, Arma dan Lacrime ke ruangan darurat di lantai 4 tanpa meninggalkan siapa pun. Bawa barang-barang penting secukupnya saja, lebih baik tidak perlu membawa apapun. Kunci pintu utama Audaces dari luar, perintahkan petugas keamanan menjaga tangga-tangga menuju lantai 6 dari siapapun yang mencoba naik. Kunci juga pintu-pintu keluar Vachgaux, jangan biarkan guru, siswa atau pekerja keluar dari sekolah. Kalian bisa memulainya sekarang."
Serentak para guru bergerak cepat mirip anak buah mematuhi perintah komandan. Selanjutnya Kyuhyun menahan Yesung songsaenim dengan kata-kata mengejutkan. "Aku dan Sungmin tidak ikut evakuasi."
Huh? Jadi kami tetap di audaces? Namun kupikir aku tahu alasannya.
Yesung songsaenim terdiam sebentar, memandang kami setengah ragu. "Itu sangat berbahaya. Kalian hanya akan berdua saja dalam keadaan pintu utama terkunci."
"Tidak ada pilihan lain. Tengah malam ini, Sungmin harus melaksanakan misi darimu. Aku sendiri akan tetap berada disini sebagai pertanggung jawabanku selaku pemilik sekolah. Kunci cadangan ada padaku. Setelah semua selesai, jika berhasil, kami bisa langsung keluar."
Jika berhasil... Bisakah takdir melenyapkan kata 'jika' itu?
Yesung songsaenim masih tampak agak keberatan, namun disisi lain seperti mengerti bahwa kamilah yang harus melakukannya, bukan orang lain. Seketika tatapannya beralih dari cemas, berubah menjadi pengertian. Pada akhirnya ia hanya berucap 'semoga beruntung', lalu berbalik untuk memulai pengaturan proses evakuasi. Sebaliknya aku dan Kyuhyun berjalan saling berangkulan kembali menuju kamar. Menanti tengah malam datang...
.
"Begitu banyak hal besar terjadi, sampai lupa memberi tahumu soal ini." Sebuah jurnal lama terjulur kepada Kyuhyun beberapa menit setelah kami duduk diam mengisi sofa depan perapian. "Periksalah."
Kening Kyuhyun mengernyit heran, mengecek lembaran halaman-halaman depan. "Jurnal absensi Audaces angkatan Minrae? oh ya, dia sekretaris kelas kan?"
"Lihat halaman paling belakang," pintaku to the point.
Tanpa bertanya dari mana aku mendapatkannya, Kyuhyun membalik jurnal, menguak langsung halaman terakhir, mendekatkan lembaran tersinari cahaya, membaca tulisan petunjuk, lantas tampak merenunginya. Memutuskan untuk tidak mengganggu dengan pertanyaan-pertanyaan remeh, aku memilih bungkam hingga dia sendiri yang mulai mengatakan sesuatu.
Saat ini kami harus puas dengan penerangan emergensi yang sewaktu-waktu baterainya bisa habis akibat listrik padam sedari sore. Segalanya diperparah oleh perapian listrik yang tidak bisa lagi dimanfaatkan menghalau dingin. Beruntung ada persediaan kayu bakar, kami temukan di tempat penyimpanan darurat. Pemantik milik Kyuhyun juga belum habis gas. Dua hal sederhana yang membuat perapian tetap benderang berikut pemakaian mantel berlapis-lapis, membuat kami urung dibuat sekarat oleh hawa beku. Dari atas meja, bunyi detak jam mengudara nyaring menandakan betapa sunyinya ruang santai. Jarumnya menunjukkan pukul 22.48. ini berarti satu jam 12 menit lagi menuju gerhana bulan... satu jam 12 menit lagi menuju kebenaran dan penyelesaian... itupun jikalau kami berhasil menyelesaikan, bukannya menambah masalah diatas masalah...
"Sudah kuduga Minrae dibunuh, bukan bunuh diri," menepis hening, Kyuhyun pada akhirnya berbicara sesuatu.
"Sudah kau duga?" Semangat keingin tahuanku terpancing keluar setelah sempat tertidur akhir-akhir ini. Jadi sebelum ini, dia sudah menduga kalau Minrae dibunuh? Apa dasar dari dugaannya tersebut?
Sayangnya Kyuhyun lebih memilih mengutarakan kesimpulan mengenai catatan Minrae. "Setelah menghabisi nyawa Minrae, kupikir si pelaku merekayasa situasi seolah Minrae bunuh diri sehingga bebas dari kemungkinan dicurigai. Namun rupanya ia tidak cukup waspada karena diam-diam Minrae sempat menuliskan fakta si pelaku. Melihat dari kekacauan bentuk huruf, dapat dipastikan Minrae tengah dalam keadaan sekarat saat menuliskannya, disaat si pelaku sedang tidak ada. Alasan Minrae memilih menulis di buku absensi kelas karena yakin seseorang dari Audaces pasti datang mengambil. Ia lebih memilih menuliskannya pada sesuatu dimana kemungkinan tulisannya ditemukan sangatlah besar."
Hmm.. analisa Kyuhyun terdengar masuk akal. "Dimana Minrae ditemukan bunuh diri saat itu?"
"Di rumahnya saat liburan semester," ia terdiam sejenak seperti memutar kembali peristiwa beberapa tahun lalu mengisi memorinya sebelum lanjut bicara. "Penemu pertama adalah aku dan Ren. Kami baru pulang dari kafe ketika menemukan rumah dalam keadaan sunyi. Sadar ada yang tidak beres, aku langsung menuju salah satu kamar, menemukan tubuh Minrae tergantung tali bersambung pada langit-langit dengan mata pecah. Pemandangan itu membuatku tidak bisa tidur berhari-hari."
Tanganku otomatis mengusap tengkuk yang merinding karena mata kepalaku sendiri pernah menyaksikan penampakan tersebut. Benar-benar menakutkan bahkan hanya untuk sekedar diingat. "Kalau memang ia dibunuh, siapa pelakunya? Coba lihat, tulisan ini seperti tidak membantu sama sekali. Tidak bisakah langsung saja menulis nama si pelaku alih-alih teka-teki membingungkan?"
"Dia justru sengaja tidak langsung menulis nama, khawatir si pelaku menemukan lantas membuangnya sehingga tidak ada harapan lagi si pelaku akan diketahui orang lain," jawab Kyuhyun yakin.
"Jadi Minrae sengaja memberi petunjuk tersirat di balik tulisannya?" Tanyaku seraya berpikir-pikir.
"Bisa dikatakan seperti itu," Kyuhyun mengangguk setuju. "Disini Minrae menulis seolah-olah memiliki cinta sepihak, padahal hubungan asmara sama sekali bukan ketertarikannya. Dia juga tidak pernah jatuh cinta dengan siapa pun. Pendidikan lebih penting, jawaban itulah yang selalu ia andalkan saat aku menanyakan pandangannya tentang hubungan percintaan. Jelas tulisan ini hanya kamuflase untuk melindungi petunjuk itu sendiri."
Tiba-tiba udara ruangan terasa berat terbebani tumpukan hawa aneh. Seolah suasana ini tercipta dari berkumpulnya makhluk tidak kasat mata untuk ikut mendengarkan pembicaraan kami. Bergerombol di sudut-sudut, memperhatikan melalui senyapnya kegelapan...
Aku berdehem mencoba tidak terpengaruh hawa ganjil, fokus pada diskusi. "Ini cukup sulit. Aku sendiri telah berkali-kali merenunginya. Tidak ada pencerahan selain kesimpulan bahwa ini hanyalah semacam tulisan ungkapan hati akan kekecewaannya pada seseorang."
"Sudah kuduga." Tiba-tiba Kyuhyun bergumam.
"Apa?" Belum mengerti apa maksud 'sudah kuduga' tersebut, aku bertanya cepat.
"Nama si pelaku sudah ketemu," dengan mata tidak lepas dari catatan, Kyuhyun membuat pernyataan mengejutkan.
"Huh?"
"Kode yang tidak begitu sulit, sebenarnya," ia menggeser jurnal menjangkau penglihatanku dengan jari menunjuk bagian 'p.s'. "Kunci utama ada pada kalimat 'ia pembunuhku, lihat haluan'. Coba kita pikir, haluan hanya berkaitan dengan kapal. Jika kau membayangkan sebuah kapal berikut bagian-bagiannya, dimana letak haluan?"
Otomatis menjelma ilustrasi kapal bersama bagian-bagiannya mengisi benakku...
Aku menjawab cepat. "Di depan"
"Minrae ingin kita mengibaratkan tulisan ini menyerupai sebuah kapal." Jarinya bergerak dari atas ke bawah, menekan permukaan kertas menelusuri huruf tertentu seraya menjelaskan maksud tindakannya. "Jika kau ingin melihat haluan, hanya perlu melihat deretan huruf paling depan, huruf kapital. Sekarang bacalah deretan huruf yang kutunjuk secara vertikal. Kau akan menemukan nama seseorang."
Cara ia memperlakukanku istimewa
Hari-hari seperti dipenuhi kejutan
Orang ini berbeda
Sampai akhirnya terbawa perasaan
Entah mengapa, aku jatuh cinta
Untuk ia seorang, tidak yang lain
Namun ternyata ini cinta sepihak
Gagal dalam perasaan sungguh menyakitkan
Rasa cintanya bagai lintah darat
Ia hanya memanfaatkanku
p.s : ia pembunuhku, lihat haluan
"CHO SEUNGRI?!" Tanpa sadar mulutku memekik. Seungri... membunuh Minrae?
"Yeah."
Kepalaku menggeleng menegaskan ketidak percayaan. "Ini mustahil! Pasti ada kesalahan! Pasti ada tafsiran lain!"
Kyuhyun mengangkat alis menantang, tampak agak keberatan dengan ketidak percayaanku. "Kesalahan apa? Sesuai petunjuk, bukankah sudah jelas hanya nama Cho Seungri yang tertera disitu? Silahkan utak-atik semua huruf, kau tidak akan menemukan nama lain. Dan satu-satunya Cho Seungri yang Minrae kenal di dunia ini adalah Cho Seungri sepupuku sekaligus sahabatmu. Mereka memang berteman baik di masa lalu, meski aku sudah mencoba memperingatkan Minrae untuk tidak terlalu bergaul rapat padanya."
"Aku tidak percaya!" Aku bersikeras menyangkal. "D-dia... dia orang baik."
Apa ini? Seungri dan Minrae teman baik? Mengapa Seungri tidak pernah mengatakannya? Ini berarti Seungri berbohong? Atau Kyuhyun yang mengada-ada?
Kyuhyun menghela napas menanggapi kekeras kepalaanku. "Kau begitu yakin padahal setengah tahun mengenalnya saja belum."
Mendadak benak teringat sesuatu yang segera kutanyakan langsung. "Jadi maksud pernyataanmu menduga seseorang... itu adalah Seungri?"
"Dan ayahnya." Kyuhyun menjawab otomatis tanpa beban, seolah kecurigaannya pada dua orang itu telah mendarah daging sehingga ia tampak biasa saja melempar tuduhan. "Kucurigai mereka bukan tanpa alasan."
"Jelaskan."
Dari arah depan, kobaran api semakin mengecil pancarannya. Di tengah udara beku musim salju tanpa aliran listrik seperti ini, satu-satunya pemanas yang bisa diharapkan adalah api unggun. Jika yang satu ini padam, entah apa yang akan terjadi pada kami.
Kyuhyun mengawali penjelasannya dengan kalimat singkat. "Dia dan ayahnya sudah lama menaruh perasaan buruk padaku dan ayahku."
"Karena ketidak adilan?" Aku lekas bertanya beberapa detik setelah mulutnya mengatup rapat. "Bukankah kakekmu selalu mengutamakan kau dan ayahmu?"
"Itu saja yang Seungri katakan?" Kyuhyun mengernyit tidak senang.
"Ketimbang Seungri dan ayahnya... kau dan ayahmu semacam mendapatkan prioritas lebih. Hal tersebut disebabkan kau dan ayahmu lebih banyak membuat kakek Cho bangga sehingga Seungri dan ayahnya tersingkir. Seungri berkata kau dan ayahmu meremehkan dia dan ayahnya," sembari mengusap-usap kedua telapak tangan, aku mencoba mengatakan informasi ini dengan bahasa sehalus mungkin, tidak mau menjadi semacam pengadu domba karena memang bukan itu maksudku. "Versi cerita dari Seungri kurang lebih seperti itu."
Suara Kyuhyun menanggapi datar. "Itu karena kesalahan ayah Seungri sendiri, meski ada beberapa kesalahan kakek dan ayah disana. Percayalah, jika paman adalah orang yang tidak berbahaya, kakek pasti akan memperlakukannya dengan setara. Ayah sama sekali tidak pernah meremehkan paman. Ayah menjauh dari paman bukan karena kesombongan, melainkan demi melindungi keluarganya sendiri."
"Jadi dia orang berbahaya?" Awalnya kupikir masalah ayah Kyuhyun dan ayah Seungri hanyalah kesalah pahaman dimana sebenarnya kedua belah pihak sama-sama orang baik.
Ekspresi wajah Kyuhyun kentara sekali menguarkan pancaran terluka ketika berkata, "nenek meninggal dengan tembakan menembus jantung saat tengah pulas dalam tidur. Apakah kau akan percaya jika kukatakan putra sulungnya yang saat itu masih berusia 10 tahun lah sang pelaku penembakan?"
"Ayah Seungri?!" Mataku membulat tidak menyangka. Ya Tuhan! Anak sepuluh tahun? "T-tapi... setelah itu... kalian mengambil jalur hukum atau bagaimana?"
"Kakek tidak mau melaporkan anaknya sendiri. Lagipula usia paman masih dibawah umur, tidak ada hukum yang bisa menjeratnya. Pada akhirnya peristiwa pembunuhan itu hanya menjadi rahasia yang dibiarkan terkunci mati diantara keluarga Cho dan kesaksian beberapa pelayan. Awalnya pistol yang entah ia dapat dari mana sudah diarahkannya menuju kakek yang berada di sebelah nenek yang sudah mati. Beruntung ayahku tepat waktu mendorong, sehingga pelurunya meleset," pandangan mata Kyuhyun menerawang ke depan seperti membayangkan kejadian dimana bahkan dia masih belum lahir. "Aku sudah melihat rekaman cctv-nya. Ayahku yang menyimpan."
Tenggorokanku bergerak-gerak meneguk ludah yang terasa seperti duri. "Dan sampai sekarang ayahmu masih belum melaporkannya?"
"Kakek tidak pernah mau melaporkan anaknya ke polisi, jadi ayah menurut saja. Ditambah bukti rekaman itu tidak akan berguna mengingat paman masih kecil saat membunuh."
"Tapi mengapa? Bagaimana mungkin dia membunuh..." Aku masih kesulitan mengisi mulut dengan kata-kata. "Maksudku, bukankah anak kecil tidak akan terpikir melakukan hal seperti itu?"
"Dia mengaku melakukannya berdasarkan bisikan," Kyuhyun menjawab cepat.
Kulit diantara kedua alisku melipat belum paham. Sekecil itu sudah mendapat bisikan keburukan sampai tega membunuh? Apakah penyakit jiwa parah juga bisa menimpa anak kecil yang pikirannya masih sederhana? Semacam skizofrenia? "Sudahkah ia dibawa ke dokter?"
"Berulang kali. Anehnya setiap diperiksa, dokter selalu menyimpulkan tidak ada yang salah. Kejiwaannya baik-baik saja. Kupikir dokter tidak akan pernah bisa mengungkap apapun karena menurut cerita ayah, paman sengaja berlaku normal saat berhadapan dengan dokter. Seolah ia tahu betul mengatur kapan waktu menunjukkan sisi normal, kapan waktu menunjukkan sisi tidak wajar. Ia mampu melakukannya serapi mungkin."
"Ayahmu pernah bercerita tentang saat saat pamanmu menunjukkan sisi tidak wajar?"
"Ayah bercerita banyak, berharap agar aku lebih hati-hati. Ayah dan paman tidur di kamar yang sama sampai ayah berusia 8 tahun, sehingga segala macam hal-hal aneh cenderung menakutkan yang dilakukan paman di masa kecil, ayahku yang paling tahu karena dia saksikan sendiri."
Menilik raut wajah Kyuhyun membuatku merasa cerita ini pastilah lebih mencekam dari suasana muram ruangan sekeliling. "Apa saja?"
"Beraneka ragam," ujarnya. "Mulai dari berhari-hari diam dalam bayang-bayang, berbicara sendiri, makan daging mentah, minum darah, membawa-bawa pisau, diam-diam melukai para pelayan.. semacam itu."
Mencoba mengabaikan sensasi tidak nyaman yang merasuk tulang sumsum, aku lanjut bertanya, "tidakkah beliau mengadukannya pada kakekmu?"
"Ayah tidak berani karena ancaman yang ia terima nyaris setiap hari. Paman mengancam akan membunuh seisi rumah jika nekat memberi tahu kakek. Ayah masih kecil dan lemah, tidak ada pilihan selain menurut. Tapi kakek bukannya buta sama sekali. Gerak-gerik paman yang tidak seperti anak-anak pada umumnya, cara bicaranya yang sering kali memuat kebohongan, beberapa pelayan ditemukan terluka selalu saat ada dia di tempat kejadian, nyaris setiap teman-teman dekatnya berakhir lenyap entah kemana... Itulah mengapa secara berkala dibawanya paman ke psikiater, meskipun kesimpulannya tetap sama, tidak ada yang salah dari kejiwaan paman. Paman terus melakukan hal-hal aneh, kakek terus-menerus curiga, dan ayah terus berada dalam ketakutan, hingga puncaknya saat paman membunuh nenek di depan mata kepala kakek sendiri, kecurigaannya membuahkan hasil, meski harus dibayar dengan harga mahal."
"Mengerikan sekali," secara refleks aku bergeser mendekat Kyuhyun. Rasa takut mulai menunjukkan pengaruhnya. Kyuhyun membawaku ke dalam pelukan ketika aku mulai lagi dengan pertanyaan berikutnya, "lalu setelah itu apa yang terjadi?"
"Tidak ada. Itulah kesalahan kakek. Entah mengapa ia malah menyuruh saksi mata tutup mulut. Memberikan upaya pengobatan kejiwaan dengan lebih intensif pun tidak. Aku mengerti seandainya hal ini sampai tersebar, akan merusak reputasi keluarga Cho. Namun itu tidak bisa dijadikan pembenaran membiarkan orang seberbahaya paman berkeliaran bebas."
"Jadi... hanya dibiarkan begitu saja?"
Kyuhyun menjawab pelan meskipun kalimat demi kalimat masih jelas tertangkap pendengaran. "Tidak sepenuhnya. Kakek menyewa jasa detektif untuk menyelidiki motif anaknya yang masih sangat muda bisa melakukan berbagai macam hal tidak wajar. Fakta bahwa anak sekecil itu sudah membunuh ibu sendiri betul-betul menggelisahkannya. Belum lagi beberapa teman-teman paman yang tiba-tiba menghilang, dicurigai telah dibunuh. Selama ini kakek dan nenek memang selalu disibukkan urusan bisnis, jarang memantau tumbuh kembang anak-anaknya. Tahu-tahu paman malah tumbuh menjadi psikopat berbahaya berwujud anak kecil, pasti tersembunyi sesuatu. Penyelidikan dilakukan sampai terkuaklah latar belakang dibalik semua tindakan mengerikannya."
"Apa?" Tanyaku cepat didorong rasa penasaran, sementara kayu api perapian berderik samar.
"Ia terdaftar dalam kelompok satanisme sejenis dark pagans, bahkan menjadi anggota termuda dan dibanggakan. Pemimpin kelompok telah mengangkat paman sebagai anak. Entah mengapa paman lebih memandang si pemimpin sebagai ayahnya ketimbang mengakui ayah kandungnya sendiri. Kemungkinan besar, ayah angkatnya lah yang sangat berperan mengubah paman menjadi seperti itu, entah untuk tujuan apa."
"Usia berapa pertama bergabung?"
"6 tahun. Kakek betul-betul shock putranya bisa mendaftar sekaligus menjalankan syarat-syarat rumit sekte, yang salah satunya membunuhi orang-orang secara berkala, dengan begitu mulus. Dia tidak pernah mengerti bagaimana hal itu bisa terjadi."
"Apa sebab ia bergabung dalam kelompok?"
"Entahlah. Kakek tidak pernah menginterogasi secara langsung."
"Mengapa?"
"Terlalu berisiko jika paman tahu kakek mengetahuinya. Nenek sudah menjadi korban, ia tidak mau ayah mengalami kemalangan yang sama. Demi melindungi ayah, kakek membiarkan saja paman melakukan apa yang dia mau. Sejak pembunuhan nenek pun, paman lebih banyak tinggal bersama ayah angkatnya. Kakek membiarkan, karena lebih jauh iblis-iblis pujaan paman dari kehidupannya bersama ayah, lebih baik. Berjalan seperti itu terus hingga ayah dan paman sama-sama dewasa, memiliki putra masing-masing dan kakek meninggal. Seungri sendiri adalah anak hasil hubungan seks salah satu wanita anggota sekte. Apakah dia benar-benar anak biologis paman, tidak pernah ada yang tahu karena selain melakukan dengan paman, ibu Seungri juga telah berhubungan intim dengan banyak lelaki di sekte tersebut. Meski tidak menikahi si wanita, paman tetap berperan sebagai ayah yang membesarkan Seungri. Mungkin benar Seungri anak kandungnya mengingat bisa saja ia sudah melakukan tes DNA. Yang pasti sampai saat ini ayah selalu mewanti-wantiku untuk jaga jarak dengan Seungri."
Kesunyian semakin terasa hening. Bahkan perapian tidak kedengaran berderik lagi.
"Aku masih belum ingin percaya. Seungri... dia orang terakhir yang bisa kuduga sebagai pelaku," aku mengutarakan rasa sulit percaya dengan raut wajah cemas. Siapapun pasti akan mengekspresikan hal yang sama jika sahabat baiknya tahu-tahu dikabarkan pernah membunuh orang, lantas menggantung jasadnya di langit-langit! "Dia sangat baik... selama kami sekamar tidak pernah menunjukkan gelagat aneh yang paling tidak bisa memancingku untuk curiga," aku masih bersikeras mengungkap sisi baiknya yang kuharap bisa menjadi bukti bahwa dia benar-benar orang baik dan menghargai nyawa orang lain. "Apakah benar dia betul-betul pembunuh Minrae?"
"Untuk menutupi apa yang hendak ditutupi, seseorang tentu rela berbeda sikap saat sendiri dengan dimuka umum," Kyuhyun mengangkat bahu. "Selama apa yang ingin ia sembunyikan tidak mengandung kejahatan, kupikir itu bukan masalah. Setiap orang punya hak menyimpan kisah pribadi masing-masing yang dimana hanya ia dan Tuhan yang tahu. Tapi kasus Seungri ini berbeda. Dia memiliki tujuan tertentu yang dalam menggapai tujuannya tersebut, ia rela melakukan apa saja, bahkan menjadi lelaki manis dimuka umum sekaligus pembunuh keji di kala sepi."
Memilih tidak merespon gagasannya, mulutku mengatup rapat. Memandang lurus ke arah Kyuhyun dengan kesan keberatan berkilat di mataku.
Kyuhyun mendesah lelah menyadari aura ketidak setujuan sebelum dengan perlahan melepas tubuhku dari rengkuhan. Matanya menatap tajam meski nada suara masih tetap tenang ketika berkata, "tidak percayalah sesuka hatimu, aku memang tidak berniat memaksamu percaya. Tapi kau juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa nama Cho Seungri lah yang dimaksud Minrae dalam catatan sebagai pembunuhnya, tidak ada nama lain lagi. Mereka juga saling kenal. Diperkuat kecocokan tambahan seperti riwayat ayahnya yang terdaftar kelompok satanisme, sampai sekarang pun masih menjadi anggota, jika itu belum cukup aku menyimpan alamat villa tempat kelompok mereka melakukan ritual rutin dan membawamu kesana lain waktu. Kalau kita memikirkan, kemungkinan ayahnya menanamkan kepercayaan sesat pada Seungri sangatlah besar. Kudengar juga member kelompok seperti itu bersifat turun-temurun sehingga kemungkinan pencucian otak yang dilakukan pada Seungri dengan doktrin semacam 'tidak masalah memuja iblis', 'membunuh adalah kebaikan', 'jalan hidup iblis, jalan hidup kebenaran', dan ideologi-ideologi kacau sejenis itu telah ditanam-tumbuhkan dalam pikiran Seungri sedari kecil. Jelas kepercayaan ini memiliki kekuatan tidak sehat dimana dapat langsung mempengaruhi penganutnya."
Menggigit bibir bawah bersama perasaan resah, aku merasa tidak bisa mengelak lagi. Apalagi memang... meski tidak bisa disebut curiga, lebih kepada penasaran, mengenai ketidak biasaannya menghilang akhir-akhir ini. Padahal dulu dia semacam tidak bisa pisah dariku. Kalaupun kami jadi jarang bertemu karena ia yang sibuk latihan, paling tidak ia selalu menyempatkan diri menemui meski hanya mengobrol selama beberapa menit, juga sebaliknya, aku juga selalu bisa menemuinya. Tapi kini dia seperti susah ditemui. Terakhir kami bertemu saat makan siang sekitar sepuluh hari lalu. Sempat kusapa dan diapun seperti senang sekali pada akhirnya memiliki kesempatan mengobrol. Saat kutanyakan mengapa ia jarang terlihat, dia beralasan jadwal latihan kelas seperti tidak ada habisnya sehingga dia bisa makan siang di aula saja sudah termasuk beruntung. Aku langsung percaya karena memang seperti itulah nasib murid hard class. Tapi setelah percakapan tersebut, aku tidak pernah lagi melihat batang hidungnya. Sesibuk itukah dia, bahkan saat tragedi berdarah satu minggu ini dimana beberapa kali kelas diliburkan?
Baiklah, sepertinya benar-benar harus menerima kenyataan walau sejauh apapun dari harapan. Menghadapi kasus sejenis ini tidak bisa mencampur adukkan perasaan pribadi dengan fakta yang ada, akan sangat menyulitkan memperoleh kebenaran itu sendiri. "Jadi... kau sudah mantap si pelaku pasti Seungri?"
"Sudah mantap?" Kyuhyun termenung sebentar, menimbang-nimbang. "Jika maksudmu 'si pelaku utama semua tragedi ini', aku masih belum mantap mengiyakan. Kita lihat nanti saat gerhana bulan. Tapi aku sudah tidak meragukan teori mengenai keterlibatannya. Mengingat-ingat riwayat gelap hidup ayahnya dan mencocokan ke dalam diri Seungri memang membutuhkan sedikit pemikiran mendalam. Awalnya aku memang sekedar menduga-duga, tapi sekarang saat menemukan bukti catatan kode Minrae, aku sudah tidak menduga-duga lagi. Keyakinanku bahwa Seungri pasti terlibat semakin jelas. Seandainya aku bisa bertatap muka dengannya untuk lebih memastikan lagi... sayang sekali dia sudah ikut evakuasi."
Alisku menjungkit naik. "Kau sempat melihatnya?"
"Kulihat dia keluar pintu utama diantara teman-teman lain sebelum Yesung songsaenim mengunci dari luar."
Kami terdiam lagi beberapa jenak. Dalam benak sibuk mengurai informasi demi informasi yang masih seperti benang kusut bersarang bersama rasa penasaran. Ruangan gelap ini kembali terselimuti keheningan hingga aku bisa mendengar detak jantung sendiri. Ayah seungri pemuja setan? Aku jadi ingat dan menyadari suatu kecocokan.
"Jadi ayah Seungri kah yang dimaksud babushka women saat aku menanyakan siapa si pelaku utama?" Tanyaku pada diri sendiri dengan volume suara yang sedikit lebih nyaring daripada bisikan.
Kyuhyun melayangkan tatapan serius. "Hm?"
Aku balas memberikan tatapan lekat meyakinkan. Kali ini tidak berniat membawa-bawa perasaan pribadi. "Babushka women berkata si pelaku terdaftar anggota pemuja setan, iblis-iblis sudah lama mengenalnya. Bukankah ciri-cirinya cocok dengan ayah Seungri?"
"Ada banyak kemiripan tapi kita lihat nanti." Telapak tangan Kyuhyun menyentuh punggung tanganku, suaranya melembut. "Saat ini yang menjadi pertanyaan paling utama adalah apakah kau sudah memutuskan akan melakukan apa dalam upaya penyelamatan arwah-arwah dan jiwa yang tersegel?"
Sejujurnya inilah pertanyaan paling tidak kuharapkan melontar dari bibirnya. Namun kali ini aku tidak bisa mengelak lebih jauh. Gerhana bulan sudah menanti di depan mata, tidak ada alasan untuk menghindar.
"Itu... belum. Semakin keras berpikir semakin buntu rasanya aliran ide. Aku bahkan masih agak bingung dengan permasalahannya, bagaimana mungkin bisa menemukan solusi?"
"Masalah ini memang kompleks karena bukan disebabkan oleh sebab tunggal. Kupikir semua kejadian ini lahir dari berbagai macam kepentingan dan faktor. Kita masih seperti meraba-raba dalam gelap, belum menemukan secara keseluruhan mengenai akar masalah, pemicu, orang-orang yang terlibat, dan pihak yang memperuncing situasi. Wajar jika segalanya terasa membingungkan."
Fokus pandangku beralih memaku bara api, kadang-kadang saja menatap Kyuhyun. Seperti inilah sikapku apabila tengah kecewa pada diri sendiri, mendadak kehilangan kepercayaan diri bahkan untuk sekedar menatap langsung lawan bicara. "Kupikir aku sama sekali tidak cocok dipercayakan tanggung jawab seberat ini. Seandainya bukan aku yang mereka pilih... begitu banyak orang lain yang pantas, kau contohnya. Pola pikirmu di atas rata-rata... selalu tahu apa yang harus dilakukan... jika itu kau, tingkat keberhasilannya akan lebih menjanjikan. Aku tidak punya semua itu sedangkan musuh yang harus kuhadapi sangat kuat dan mengerikan. Mungkin keheranan ini sudah kesekian ratus kali kutanyakan pada diri sendiri, tapi mengapa pula aku yang dipilih?"
Kyuhyun meletakkan tangan menyentuh pundakku, memberi remasan lembut menguatkan. "Pertanyaan seperti itu tidak akan bisa terjawab seberapa keraspun dipikirkan karena kau salah sangka disini. Dalam bayanganmu mungkin seseorang yang terpilih haruslah memiliki kehebatan tertentu, kedalaman pikiran... kecerdasan luar biasa... selalu tahu harus melakukan apa... padahal tidak mesti seperti itu." Bibirnya mengatup rapat lagi, memandangiku intens namun jauh dari kesan menghakimi dan menuntut. Tampak sekali ia hanya ingin agar aku tidak dilemahkan oleh prasangka buruk. "Intinya, karena sudah dipilih, satu-satunya yang harus kau lakukan adalah menggunakan potensi dan kecerdasan yang kau miliki sebaik mungkin, meski tidak sehebat orang lain sekalipun. Keputusan inti ada padamu. Aku hanya bisa memberi saran. Aku tidak memintamu untuk tidak memiliki perasaan takut, hanya saja jangan biarkan ketakutan itu sendiri mempengaruhi mentalmu lebih dalam, karena apapun yang menjadi bebanmu, otomatis menjadi bebanku juga. Misi ini adalah tanggung jawabmu dan kau adalah tanggung jawabku. Entah kau ingin menempatkanku di depanmu sebagai pelindung, di sampingmu sebagai penolong, dibelakangmu sebagai pendukung, kau hanya perlu ingat bahwa kau tidak sendiri. Jadi jangan pernah merasa rendah diri lagi, mengerti? Tidak sadarkah kau bahwa seseorang itu kuat bukan karena tidak ada kelemahan, justru dia mengakui kelemahannya dan menerimanya sebagai bagian dari dirinya berdampingan bersama kelebihannya."
Mendengar kata-kata penuh motivasinya, tatapan putus asa dan rasa takut yang tadi menghantui, kini perlahan lenyap, menghasilkan senyuman tulus melekuk untuknya. "Kau memang selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik."
Ia balas tersenyum menyambut berpulangnya semangat kembali ke dalam diriku sebelum lanjut membahas pertanyaan utama. "Jadi... apa yang akan kau laku-
Tiba-tiba kyuhyun berhenti, seperti memasang telinga tajam-tajam mendengarkan sekeliling secara seksama. Telunjuknya berada dibibir, menyuruhku diam. Oh, ada apa ini? Gelagatnya seakan ia mendengar sesuatu yang mencurigakan. Bukankah kami hanya berdua di Audaces?
Keheningan total mencengkram kami lagi. Kyuhyun melangkah hati-hati ke arah lemari pendek yang berada beberapa meter di belakang sofa tempat kami duduk. Kemudian ia bergerak sigap, mengulurkan tangannya ke arah bawah. Terdengar pekikan dan sebelum aku bisa menebak apa yang terjadi, kepala donghae tertarik muncul dari balik lemari, dicengkram genggaman Kyuhyun pada helaian rambutnya. Eunhyuk ikut muncul. Ekspresinya panik bercampur mati kutu.
Mataku mengerjap kebingungan, heran menyaksikan kehadiran tidak terduga dua orang ini. "Eunhyuk... Donghae..."
"Hai..." Eunhyuk menyengir gugup seraya melambaikan tangan. "Lama tidak bertemu."
"Malam yang cerah," Donghae menunjuk atap seraya tangan satunya merapikan rambut berantakannya yang telah lepas dari cengkraman Kyuhyun, cengirannya segugup Eunhyuk.
Kyuhyun berdecak sembari menyandar dinding terdekat dengan tangan dimasukkan mengisi kedua sisi saku celana. "Siapa sangka?" Sindirnya.
Aku memperhatikan mereka berdua, masih heran. Bukankah Donghae sudah ikut evakuasi? Dan Eunhyuk? Bagaimana dia bisa masuk Audaces? Bukankah kuncinya hanya ada pada Yesung songsaenim dan Kyuhyun?
"Sudah berapa lama kalian disini? Mengapa bersembunyi, tidak langsung menemui kami saja?" Tanyaku dengan nada suara agak mirip penginterogasi.
"Sejak kalian membahas catatan terakhir Minrae," jawab Eunhyuk jujur.
Donghae melirik Kyuhyun sekilas. "Sebenarnya Kyuhyun sudah melarang kami ikut campur demi keselamatan. Kami mengiyakan agar dia diam, meski tidak mungkin bagi kami membiarkan kalian mempertaruhkan nyawa, sementara kami duduk santai sambil mengira-ngira apakah masih bisa bertemu kalian besok dalam keadaan sehat atau sudah menjadi mayat. Oh, itu tidak akan terjadi. Pada akhirnya... yeah kami terpaksa pura-pura lupa dengan janji. Seandainya tidak dipergoki begini, kami berencana ingin membantu diam-diam, dan baru akan menunjukkan diri pada saat momen krusial. Tapi berkat kebodohan Eunhyuk, belum ada satu jam kita sudah ketahuan," Donghae mengakhiri penjelasannya dengan putaran mata.
Raut wajah Eunhyuk berubah keruh. "Siapa suruh kau menginjak kakiku!"
"Aku tidak sengaja," Donghae membela diri. "Aksimu saja yang berlebihan sampai membentur lemari segala!"
"Aku sedang tegang mendengar pembicaraan mereka!" Eunhyuk mulai berang. "Dicolek sedikit saja pastilah membuatku kaget luar biasa! Kau saja yang terlalu banyak bergerak!"
"Tidakkah kau mengerti betapa pegalnya kakiku berjongkok seperti itu!" Donghae membalas gemas.
"Aku juga pegal tapi tidak kebanyakan tingkah sepertimu!"
"Selalu sa-
"Bagaimana kalian bisa lolos dari evakuasi?" Kyuhyun menyela cepat sebelum perdebatan tidak penting ini membesar menjadi pertengkaran yang sama tidak pentingnya.
Donghae menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tampak agak bingung memilih kata-kata klarifikasi. "Yesung songsaenim sudah memberi ijin. Kubilang bahwa kau membutuhkan kami, dia percaya, kami menyelinap, kalian menemukan kami, dan berakhirlah kita bercakap-cakap disini."
"Karena kami sudah ketahuan, tidak ada alasan bagi kalian untuk menolak dan tidak ada alasan bagi kami untuk kembali," Eunhyuk menimpali tanpa kompromi.
"Tentu saja ada," respon Kyuhyun sengit. "Pertolongan kalian tidak ada gunanya kali ini. Bahaya yang menunggu didepan sudah diluar kemampuan kalian. Bukan lagi sekedar seorang sakit jiwa." Salah satu tangannya meraih sebuah kunci dari dalam saku sebelum melambaikannya sekilas di hadapan Donghae-Eunhyuk. "Kuantar kalian keluar."
Eunhyuk merengek tidak setuju. "Tapi-
"Tidak ada tapi. Ayo," punggung Kyuhyun sudah meninggalkan dinding, hendak beranjak pergi menyeret mereka berdua sebelum Donghae menantangnya dengan argumen tidak terduga yang berhasil membuat Kyuhyun terdiam.
"Kalau memang ini sudah diluar kemampuan kami, memangnya apa bedanya denganmu? Ini diluar kemampuanmu juga kan? Toh mengusir kami tidak akan membawa perbedaan sama sekali. Aturan mainnya adalah jika berhasil, satu sekolah selamat. Jika gagal, satu sekolah mati. Aku hargai maksudmu untuk tidak membawaku dan Eunhyuk dalam bahaya, tapi bukankah tidak ada perbedaan apakah kami ikut maupun menunggu, pointnya toh kami tetap mengalami bahaya yang sama. Berada diantara dua opsi berjuang atau menunggu, tentu saja aku lebih memilih berjuang. Akan sangat tidak adil jika kau menghambat niat orang lain berjuang, padahal kau sendiri melakukan perjuangan itu."
Kyuhyun membuka mulut untuk menyanggah tapi Eunhyuk malah sengaja mendahului, memperkuat argumen Donghae.
"Dan kau bilang tadi pertolongan kami tidak ada gunanya?" Eunhyuk berkacak pinggang, kentara sekali ia tengah tersinggung hingga membuatnya lupa bahwa yang ia lawan adalah seorang pemilik Vachgaux. "Jangan terlalu cepat memberi penilaian. Memulai saja belum, tahu dari mana kau pertolongan kami pasti tidak ada gunanya? Kita semua tidak akan pernah tahu hasil akhirnya seperti apa, jadi akan lebih baik jika saat prosesnya kita berempat tidak berpisah satu sama lain sehingga seandainya harus ada nyawa yang dikorbankan untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa, akan terasa adil jika kita mati berempat. Dengan begitu tidak perlu ada yang mengalami kesakitan ditinggalkan maupun meninggalkan diantara kita."
Diserang dua lawan satu seperti ini, membuat Kyuhyun menghela napas lelah. Pada akhirnya menyimpan kembali kuncinya ke balik saku sebelum mengangguk setuju. "Ini pilihan kalian sendiri. Aku sudah setuju kalian ikut, tapi tetap saja yang memutuskan adalah Sungmin. Semua tergantung persetujuannya."
Donghae beralih padaku dengan harapan membayang mengisi mata. "Jadi bagaimana Min? Apa kami boleh ikut?"
"Dari awal tidak masalah bagiku kalian ingin ikut atau menunggu. Karena kalian sudah tahu segala resiko tapi tetap memilih untuk ikut, jadi yeah apa lagi yang bisa kulakukan selain mengizinkan," aku mengangkat bahu sembari mengulum senyum. Tekad mereka begitu kuat, sayang sekali jika disia-siakan.
Eunhyuk langsung menerjang memelukku sedetik setelah aku selesai berbicara. "Kau memang sahabat terbaik!" Pekiknya heboh.
"Yesss!" Donghae mengekspresikan kemenangannya dengan meninju udara.
Aku hanya tersenyum geli melihat tingkah mereka yang kekanakan. Yeah, hitung-hitung sebagai hiburan ditengah suasana tegang. Meskipun tidak sepenuhnya lega, namun keberadaan mereka membuatku jadi lebih rileks.
Suara Kyuhyun terdengar bagaikan alarm yang membangunkan kami dari mimpi indah menuju dunia realita yang kejam. Matanya menyorot serius, menatap kami satu per satu. "Tiga puluh menit lagi gerhananya muncul."
Oh, aku nyaris lupa tentang ini. Mendadak kengerian merayapi sekujur tubuhku ketika sadar bahwa inilah saatnya.
Kyuhyun menoleh pada Donghae, melempar kunci yang diambilnya dari saku yang berbeda. Donghae sigap menangkap benda kecil tersebut sebelum Kyuhyun memerintah tegas. "Ambil dua pistol di brankas. Isi dengan semua peluru yang ada." Tanpa banyak kata Donghae segera berbalik, melesat cepat. Eh? Aku baru tahu isi brankas yang berada di kamar dekat ruang latihan ternyata pistol. Pantas saja Kyuhyun tidak pernah mau memberikan kuncinya padaku.
"Ambil senter di lemari perlengkapan." Ia lanjut memberi instruksi pada Eunhyuk sambil menunjuk arah ruangan yang membuat Eunhyuk langsung mengangguk patuh sebelum berlari menuju tempat yang dimaksud.
Kali ini giliranku diberi instruksi apapun itu. Selagi menunggu apa yang akan Kyuhyun katakan, debaran jantungku berdetak keras seolah sengaja mengintimidasi pemiliknya sendiri. Tapi rupanya Kyuhyun tidak kunjung memberi instruksi. Ia malah mendekat, menanyaiku bersama kelembutan mengisi suaranya. "Kau benar-benar sudah siap mental? Apa perlu pil penenang agar lebih rileks?"
Refleks kepalaku menggeleng dua kali. "Tidak... tidak perlu. Aku bisa mengatasinya."
Kyuhyun tampak lega. "Bagus. Kau menyimpan EVPnya di...?"
"Ada di kamar," jawabku dengan kerongkongan kering.
"Kau sudah menentukan tempat menggunakannya?" Tanyanya lagi.
"Di gudang bekas aula Audaces 3 tahun lalu."
"Kita kesana sekarang."
.
.
.
TBC
a/n
Haaaaiiiii lama tidak berjumpa hehehe, saya datang bawa chapter baru niiihhhhh, mudahan masih ada yang menikmati, walaupun saya tau ini dah berabad-abad yang lalu wkwk saya terharu dengan kesabaran kalian mwah mwah
Btw kalian apa kabar? Semoga masih kuat nunggu next chapternya, oh ya sisa 1 atau 2 chapter nih, pokoknya dah mau ending heuheu terimakasih atas semua support kalian yaaaaaaa pokoknya I lop yu lah mwaaaaahhhhh
See you next part!1!1!