Demi apa pun yang ada di muka bumi ini, 'dia' berhasil melacakku sampai ke benteng pertahanan terakhir ku!.


Sebuah helaan panjang keluar dari mulutku. Aku memutar badanku ke kanan,lalu ke kiri. Entah sudah berapa kali aku melakukannya semenjak aku mematikan lampu.

Aku membuka jendela kamar, memerhatikan sepinya langit pada malam hari ini, dan mengalihkan pandanganku ke jam yang duduk manis diatas meja belajar.

Sudah jam 10 malam, dan itu berarti sudah 1 jam aku berguling-guling di atas futon.

Aku mendengkur kesal, kejadian sore tadi tidak bisa menghilang dari pikiran ku. Gimana enggak? Coba kamu bayangkan, di sore hari yang tenang tiba-tiba seorang monster bermuka Godzila menghampiri mu?

Untuk kedua kalinya aku menghela nafas. Karena kedinginan aku cepat-cepat bersembunyi di balutan futon yang hangat.

Dan perlahan-lahan sekelilingku mulai kabur.

.

.

=0=0=0=0=0=0=0

CHAPTER 2

Party

disclaimer : I DON:T OWN KUROKO NO BASUKE

nor Akashi Seijuuro

:P

=o=o=o=o=

.

.

"…-chan, Azu-chan!" Minori melambaikan tangannya didepan mukaku.

"hm, iya?" tanyaku setelah merasakan sebuah tangan dingin menyentuh kedua pipiku, dan mendapati sebuah senyuman unjuk gigi dari Minori. Dia sedang menatap lurus kemataku dengan tatapan yang berbinar-binar.

"Jadi setuju nggak?" tanyanya secara tiba-tiba.

"Setuju apaan?" aku bingung.

Minori menggembungkan kedua pipinya, kedua tangannya dilipat didepan dada. "Mou! Berarti daritadi Minori dikacangin dong!"

Aku tertawa kecil, "Maaf..maaf. tapi beneran deh, memang tadi Mii-chan ngomongin apa?"

"Azu-chan mau ikut ke pesta ulang tahunnya Minori nggak?" tanyanya sambil memegang kedua tanganku dan menatapku dengan tatapan 'ikut ya…!'.

Untuk kedua kalinya aku tertawa kecil. Serius deh, kelakuannya mirip anak SD. "memangnya bakal diadain kapan mii-chan?"

"besok, di rumah ku", kini dia menaruh kedua tangannya di pipiku, "Azu-chan harus datang, besok sore Minori bakal datang ke apartemennya Azu-chan, acarnya mulai pada malam hari"

"heum… bisa nggak ya?" bisikku pada diriku sendiri, berharap agar suaraku tidak terdengar oleh Minori. Namun, ternyata suaraku telalu besar untuk dibilang 'berbisik', dengan kekuatan super saiyan Minori memencet pipiku dengan kedua telapak tangannya.

"ouuh, kkomouh ngopoin mihmwomwio?" [baca: Ouh, kamu ngapain Minori?] aku menahan tangannya Minori yang sedari tadi memencet pipiku.

Dia memandangi ku lekat-lekat, "Ha-rus I-kut, Titik"

"Tapi—MWOOORGH!" Minori menggencet pipiku. LAGI.

"Poko—"

*KRIIIING*

Suara bel yang berdering keras memotong perkataannya Minori, dia lalu berdecak kesal sambil berkata "aargh, sekarang pelajarannya si Hage lagi! uuuu, awas ya kalau nggak datang!" lalu berlari keluar kelas.

Awalnya aku kira itu hanya sebuah gertakan biasa, namun ternyata tidak.

Keesokan sorenya ketika aku mau beli bahan masakan untuk hari ini, seorang pria berbadan mirip Ade Rai (gagal) sedang berdiri di depan pintu apartemenku. Aku bengong beberapa saat, siap-siap untuk menonjok mukanya dan kabur kalau orang ini adalah suruhan ayah.

"Maaf nyonya!" ucapnya sebelum membekap mulutku dan membawaku kedalam lift.

Selama dalam perjalan aku sempat memberontak, tapi setiap kali aku melakukan pemberontakan pasti dia tidak berkutik sedikit pun.

Sura khas lift mulai berbunyi, sebagai tanda kalau aku sudah sampai di tempat yang bakal ditujunya. Basement.

Aku mulai memberontak lagi. Aku menggeliat seperti ikan kehabisan nafas dengan liar, aku mononjok perutnya menggunakan kedua tanganku yang telah diikat, aku menendang-nendang badannya seperti bola sepak.

Hingga pada akhirnya dia berhenti di depan mobil berwarna hitam. Refleksi mukaku yang udah nggak karuan itu terlihat jelas di mobil. Untung aku masih memakai wig dan kontak lens ku batin ku dalam hati sambil memerhatikan wajahku.

Sebuah suara cempreng menyadarkan ku. "Ah~ Good job Hayate-kun!" ucapnya sambil menurunkan kaca mobil.

Rambutnya yang berwarna cokelat dengan model 'bob nungging' mulai terlihat dari balik kaca. Ya, orang itu nggak lain dan nggak bukan adalah Minoru.

"Minoru!" ucapku kaget seraya terus memberontak.

"Ugh, teman nyonya tidak bisa diam!" ucapnya ke Minoru sambil terus berusaha membuatku tidak berkutik.

"HEH! Mana ada sih orang yang diam ketika sedang diculik?!" ketusku sambil terus memukuli badannya. Hingga pada akhirnya, karena kesal aku langsung menonjok dagunya, dan ternyata tonjokkan mautku mendarat mulus di target!

"Augh!" ucapnya sambil menjatuhkanku pas di pantat. Minoru yang melihat semua kejadian ini hanya tertawa terbahak-bahak didalam mobil.

"Oi!" aku mengeram kesal kearah Hayate.

"Makanya diam dong!" Hayate kembali membentakku sambil mengelus-elus dagunya.

"Udah dibilangin dibilangin mana ada orang yang diculik terus diam?!" aku berdiri dari posisi yang bisa diliang nggak-enak-dilihat.

"Siapa yang nyulik?!"

"Siapa lagi selain orang yang pake baju serba hitam, berbadan seperti Ade Rai gagal , dan menggunakan kacamata hitam waktu sore-sore?" kataku sambil menunjuk-nunjuk yang aku maksud.

"Udah-udah, mendingan kalian buruan masuk ke mobil, pantatku udah tepos nih!" Minori keluar dari mobil.

Aku menatap Minori bingung, "Emang mau kemana sih?"

"MOU! Kan kemarin Mii-chan udah bilang ke Azu-chan! Jangan bilang Azu-chan lupa lagi?" Minori menaruh kedua tangannya diatas pinggang.

"Nyonya, sepertinya nyonya harus menggunaan toa agar kata-kata nyonya bisa nyerap ke otaknya" bisik Hayate di telinga Minoru.

"Oi kedengeran tau!" aku membentak kesal.

"Oh tenyata nyonya ini bisa dengar juga toh"

Kesal, aku menatapnya tajam, lalu dibalas dengan tatapan taja juga. Aku yakin ada sebuah halilintar dibelakangku.

"Azusa! Hayate! Kalau kalian nggak masuk kedalam mobil sekarang juga….. " Minoru sengaja menggantung kata-katanya.

"Baik nyonya!" Hayate mengahadap kearahku, "ayo masuk, sebelum nyonya marah" lanjutnya sambil membukakan pintu. Atau lebih tepatnya dia memaksaku memasuki mobil itu.

"iya hage" aku meldeknya setelah masuk ke mobil.

Dan mulailah malam minggu yang melelahkan.


"ibu sama ayah sedang apa didalam sih?" aku menendang-nendang batu kerikil yang tidak bersalah kedalam kolam ikan.

Gaun selutut berwarna baby blue ku terkena cipratan air, membuat sebuah bulatan berwarna cokelat di roknya.

Melihat bulatan cokelat itu, aku langsung pundung di depan kolam. Gimana enggak? Gaun itu adalah gaun yang paling aku suka.

Aku terus memandangi refleksi wajahku di kolam hingga seseorang menyentuh pundakku.

"kamu sedang apa disana?" tanyanya sambil ikut berjongkok di sebelahku.

"sedang sedih" ucapku polos.

"kenapa sedih ?" tanyanya lagi, prihatin. Matanya yang berwarna merah menyala menatap lurus ke mataku yang berwarna violet.

Aku langsung berdiri dari posisi jongkok dan memperlihatkan sebuah bulatan cokelat di gaunku, "karena ini"

Lalu dia mengeluarkan sapu tangan ultramannya, "nih" ucapnya sambil menyodorkan sapu tangan itu kearahku.

Dengan ragu-ragu aku mengambilnya, "Terimakasih. Oh iya, ngomong-ngomong namaku Azusa, nama kamu siapa?"

"Nama ku…"


"Nyonya, kita sudah sampai di kediaman Akifumi" ucap Hayate megintip lewat spion mobil.

Ketika mobil berhenti, terdengar suara kaki yang berjalan kearah kami. Dan benar seperti dugaanku, para maid dan butler keluarga Akifumi sedang membungkuk kearah kami.

"SELAMAT DATANG NYONYA MINORU DAN NYONYA AZUSA!" teriak para maid dan butler sambil terus membungkuk.

"Nyonya, ini daftar tamu yang akan datang malam hari ini" ucap seorang butler sambil memberi Minoru seberkas kertas.

Minoru menatapnya males, "Padahal aku cuman bikin acara kecil-kecilan…" ucap Minoru sambil menghela nafas.

"Maaf nyonya, tapi menurut—"

"Menurut tuan nggak boleh" potong Minoru sebelum butler malang tersebut menyelesaikan kata-katanya. "Oh iya, tolong antarkan Azusa ke kamarku" lalu Minoru menghadap kearahku "aku pergi dulu ya Azu-chan, Father is getting annoying lately"

Tidak kusangka Minoru mengatakan hal itu tentang ayahnya, aku langsung menatapnya dengan tatapan datar, aku menggunakan topeng poker face ku. "Have a safe trip to your father room"

Minoru hanya ber-hmm-ria sambil berjalan menjauh, dengan sigap sepasang maid dan butler mengantarkanku ke kamarnya Minoru.

Kamar Minoru bisa dibilang sangat bertolak belakang. Dilihat dari pribadi Moniru yang nggak karuan, menurutku kamar yang didominasi warna pastel ini sangat feminim.

Ketika sampai dikamarnya, sebuah telepon langsung berdering. Maid yang sedaritadi di sebelahku langsung bergegas pergi ke arah telpon tersebut.

Untuk beberapa saat dia mengangguk-anggukkan kepalanya, mengajukan beberapa pertanyaan (hanya tuhan yang tahu apa yang ia pertanyakan. Serius deh, aku bingung dia sedang berbicara atau sedang berbisik-bisik melelui telepon).

Aku yang mulai kebosanan berjalan mengelilingi ruangan, tentu saja dengan butler kurang kerjaan yang mengikutiku dari belakang. Aku berjalan mendekati balkon yang terbuka lebar, dia mengikutiku. Aku berjalan menuju WC, dia mengikutiku…. Namun langsung aku cegat di tengah jalan sih.

Setelah beberpa menit bolak-balik keluar masuk ruangan, seseorang memanggilku. "Azusa-san, silahkan masuk kesini" ucap seseorag tadi sambil menunjukku ruangan yang dimaksud. "Akigawa-san, mohon tunggu di depan" ucapnya lagi,

Ternyata butler yang kurang kerjaan tadi namanya Akigawa….

Ruangan yang barusan ia tunjuk adalah lemarinya Minoru. Ya, Minoru memiliki koleksi baju yang sangat banyak, sampai-sampai ada satu ruangan khusus yang isinya baju-bajunya dia.

Dengan malas ku langkahkan kedua kakiku untuk memasuki ruangan tersebut. Maid-yang-kalau-ngomong-seperti-bisik-bisik sudah menunggu didalam ruangan.

"Nyonya Azusa, perkenalkan ini Mrs. Haruka, dia sudah menjadi perias profesional kepercayaan keluarga Akifumi." Lalu dia mengeluarkan sebuah kertas. "Nyonya Minoru juga menitip salam kepada nyonya" dia menyodorkan kertas berwarna hijau muda itu dengan ragu-ragu.

Ketika aku membukanya, sebuah tulisan dengan tinta berwarna hitam dan tulisan yang segeda gajah langsung menampakkan dirinya disana. Tulisan itu berbunyi [Azusa tidak boleh pulang sebelum berdandan cantik dan mengikuti acara pesta ini] – with love, Minoru.

Belum sempat aku menutup kertas itu dan membuangnya keujung dunia. Seseorang menepuk pundakku, reflek aku llangsung menengok kearahnya. Tatapanku dibalas dengan seringai selebar jembatan Cina.

"Ehem!" berdeham, "Jadi gimana Azusa-chan?" dia tetap memasang seringai liciknya.

"gimana apanya?" aku bertanya balik.

"Ehem!"

"…"

"EHEM!" berdeham lebih keras.

"Ok-ok!" akhirnya setelah 5 menit adegan berdeham-ria aku menetujuinya. Ralat, dia memaksaku untuk menyetujuinya. Kasihan juga sih melihat yang berdeham terus seperti kucing yang ingin mengeluarkan bulu dari mulutnya.

Seketika ekspresi wajahnya yang kusut berubah menjadi selicin pakaian yang baru disetrika, pipinya yang lagsung merah merona lantaran gembira. "Oh iya…" aku memotong kegembiraannya. "Urusan rambut Azu ngurusin sendiri ya"

"SIP BOS!" dia menirukan gaya tentara.

Entah apa yang terjadi selanjutnya. Yang pasti… hal hebat akan menungguku.


"Azu-chan, kamu cantik banget!" Minoru berlari kearahku lalu langsung memeluk erat tubuhku.

Aku meringis pelan, entah kenapa aku merasa aneh dengan pakaian yang dipilih oleh .

Dress selutut berwarna biru-tosca-muda dengan model mengembang pada bagian bawahnya dan tidak memiliki tangan, bagian pundakku hanya ditutupi oleh satu tali yang terletak pada pundak bagian kananku, tali itu lalu ditutupi oleh mawar kain berwarna senada. Sedangkan bagian pundak kiriku tidak ditompang oleh satu tali pun.

Stocking berwarna hitam pekat melekat kakiku, lalu dengan sepatu wedges berwarna abu-abu dengan pita didepannya. Lalu seperti kataku, rambut atau wigku aku yang mengurusnya sendiri. Yap, hanya dikeritingkan bagian bawahnya lalu selasai. Untuk make-up dan teman-temannya aku hanya menggunakan eyeliner dan lipgloss berwarna pink.

Aku agak terjungkang ketika Minoru memelukku. Seriously? Dipeluk dari belakang dengan tenaga sekuat banteng dan menggunakan wedges setinggi 5 cm? No thanks.

"hehehe, Mii-chan juga cantik" ucapku berusaha menutupi kecanggungan yang aku rasakan. Dengan gerakan lihai Minoru mengajakku turun ke ruangan utama, tempat dimana pesta ulangtahunnya dirayakan.

Karpet merah langsung menyambut kami ketika pintu menuju ruang utama dibuka, seluruh tamu undangan langsung bergerombol di sekeliling Minoru. Berbagai pembicaraan menyakngkut ulangtahun dan apa-yang-akan-kamu-lakukan-kedepannya-nanti langsung pecah dihadapan Minoru.

Takut terbawa ke dalam gerombolan manusia, aku langsung menepi ke pinggir ruangan, memerhatikan tingkah-laku orang-orang yang berada di dalam ruangan. Berharap agar salah-satu dari mereka tidak mengenal diriku. Setidaknya penyamaranku tidak terbongkar malam ini. Tidak malam ini.

Aku berjalan menyelusuri ruangan, mencari sebuah oasis diantara padang gurun, atau lebih tepatnya aku mencari tempat duduk yang kosong. Kakiku mulai terasa sakit berjalan dengan wedges, entah sudah berapa lama aku tidak menggunakan sepatu yang tinggi-tinggi.

Setelah 2 menit berjalan mengelilingi ruangan, akhirnya aku memutuskan untuk ke balkon, setidaknya kalau tidak ada tempat duduk aku bisa melepaskan wedges ini tanpa dilihat orang lain.

Untungnya ketika aku sampai di balkon, tidak ada seseorang pun disana. Degan badan yang sudah pegal-pegal aku berjongkok dan melepaskan wedges berwarna abu itu.

Aku memandangi langit malam yang penuh bintang dengan malas-malasan. Semua kejadian di pesta ini mengingatkanku akan rumah. Rumah yang tadinya tempat ku tuju , dan sekarang berubah menjadi tempat yang paling ku hindari.

Topeng palsu yang mereka pakai disebarkan dalam ruangan, exactly the same when 'they' attend my mother funeral.

.

.

.

.

'sabar ya Azusa, tante akan selalu mendukungmu disini…'

'Kalau ada masalah bilang saja ke Oom'

'kasihan Griselda…'

'Pasti semua akan baik-baik saja'

.

.

Everything will be alright you said?

.

.

Memuakkan

.

.

"Kenapa kamu menangis?" suara baritone seseorang membuyarkan lamunanku, tanpa sadar air mataku mengalir.

"huh?" aku membalikkan badanku, berusaha mencari sumber suara di gelapnya malam.

Tatapan mataku langsung dibalas dengan manik merah seseorang, "nih" ucapnya sambil memberi sapu tangan. Dengan canggung aku menerima pemberiannya.

"um… terimakasih"

"Tidak usah dipikirkan" ucapnya santai. Aku mengintip dibalik rambut yang menutupi wajahku, penasaran akan pria yang berdiri di depanku ini.

Rambutnya yang merah menyala terlihat sangat indah dibawah sinar rembulan, sorot matanya yang tajam ketika menatapku itu menunjukkan setitik kesedihan didalamnya. Aku seperti menyaksikan lukisan.

Merasa diperhatikan, pria tadi kambali menatapku. "Ada yang aneh dengan muka ku?" tanyanya sambil menaruh kedua tangannya didalam saku.

"ehm…. Nggak" aku membalas tatapannya, matanya ternyata berbeda warna! Emas dan merah, heterochromatic eyes… "kamu nggak masuk kedalam lagi?"

Dia langsung terkejut, lalu sambil terkekeh dia mengatakan "maksudmu aku nggak boleh disini gitu?"

Mukaku langsung memerah. Gawat, salah kata lagi… "NGGAK! maksudku bukan begitu!" aku berteriak kencang, dan langsung dibalas dengan tawanya yang pecah.

Dia tertawa begitu keras sampai-sampai suaranya memenuhi balkon, "kamu nggak apa-apa?" tanyaku bingung.

"he? Nggak apa-apa kok, cuman….. cuman…" dan ketawa pecah lagi. Aku langsung menatapnya dengan tatapan kamu-nggak-salah-makan-kan?

"aneh…" ucapku sambil berbisik, mengomentari perilakunya.

Entah dia mendengar atau tidak, dia menghadap kearahku. Matanya sedikit mengeluarkan air mata lantaran terlalu banyak ketawa "Kamu sendiri nggak masuk?" dia menunjuk pintu balkon dengan dagunya.

"Males. Keramaian bukan tempat yang cocok untukku" aku menutupi maksud dari kata-kataku itu. Sebearnya aku ingin mengatakan 'berkumpul dengan orang-orang yang menggunakan topeng politik dan ekonomi itu? Nggak terima kasih. Cukup dengan ayah saja'.

"hooh" dia menggaruk-garuk belakang lehernya, bingung harus menjawab apa. Bibirnya mulai bergerak, namun sebelum ia mengeluarkan suara, suara bapak-bapak yang jauh lebih nge-bass menggema di balkon.

"Seijuuro, kemana saja kamu?" ucapnya sambil berjalan mendekat, matanya yang berwarna ungu menatap tajam ke arah ku.

Suara itu….

Suara yang dulu dapat menjadi obat di hati….

Dan sekarang menjadi racun…

Rambut berwarna silvernya diikat kebelakang. Guratan-guratan di mukanya menunjukkan kelelahan yang amat sangat. Apakah itu kesedihan?

Tidak, sepertinya aku salah lihat…

Tidak mungkin kan?

Seseorang dengan sebutan 'sang macan putih' tidak mungkin berekspresi seperti itu.

Tidak dia, dan bukan dia.

Bukan seseorang yang telah menghancurkanku.

Bukan seseorang yang aku kenal dengan sebutan ayah….


Chapter 2 selesai~~

AKHIRNYA! Setelah mandi kembang 7 rupa selama 7 hari 7 malam…. Chapter ini selesai juga~

*lempar confetti*

Kini tinggal fokus ke UKK…

Note:

Griselda = Ibunya Azusa, yang menurunkan sifat keras kepala dan tidak-mau-kalah ke anaknya. Rambutnya berwarna hitam pekat, warna matanya biru toska.

Kensuke = Ayahnya Azusa, rambutnya berwarna silver dan bermata ungu. Kalau dibanding Griselda, Kensuke lah yang paling mirip dengan Azusa.

Minoru = Sahabatnya Azusa, bisa dibilang dari pertama kali takdir mempertemukannya, sebuah getaran-getaran membuatnya bersama. Putri sulung dari keluarga Akifumi.

Hayate = Butler pribadi Minoru, umurnya sepantaran dengan Azusa. Rambutnya berwarna baby blue, dan hanya bersikap sopan kepada Minoru dan ayahnya.

Seijuuro = … [NO DATA]

Yang pasti OOC!

:P