Pray in Abyss © Ivyluppin
Pairing : Krisoo and Kaisoo
Summary : titik rentan dalam hidup Kyungsoo terdiri dari tiga hal; Pertama, kakak yang pembenci. Kedua, statusnya. Ketiga, seorang fucker bernama Kai. Jika semua terhubung maka hidupnya hancur.
.
Kyungsoo : 17 tahun
Kris dan Kai : 23 tahun
.
.
Chap 1 : The Distance Between Us
.
.
Kyungsoo Pov
Hari di tanggal 27 Juli menjadi jam-jam penuh kesibukan, dini hari kakakku terbangun hanya untuk terpaku di balik meja kerjanya, memeriksa tumpukan proposal dalam mac miliknya sebelum memulai perang tender di esok harinya. Kakak memang sering melakukan hal ini –bangun terlalu pagi dan mulai bekerja- dia workaholic. Kakak mulai minum banyak kopi, kecanduan kafein tingkat tinggi.
Sisa kelelahannya menjadi ampas di penghujung hari, dia pulang dengan wajah lelah, keberhasilan tentu berada di pundaknya, kakak orang yang hebat, dia cekatan dan cerdas. Tapi kakakku bukan orang yang penuh syukur, dia melalui hari-harinya dengan sedikit ekspresi. Hidupnya nyaris bolong, ia tak merasakan sensasinya. Kupikir kakakku telah lama meletakkan hasratnya tentang sesuatu di umur 15 tahun, saat orang tuanya meninggal. Dia tak pernah menjadi dirinya yang bahagia. Dan dia takkan pernah menjadi kakak yang kuharapkan ada. Dia membenciku.
Namaku Kyungsoo, marga Do. Kakakku Kris, marga Wu. Kami bersaudara. Dia anak keluarga Wu, pengusaha kondominium kelas jetset. Kami saudara tiri. Aku anak haram dari ibunya. Hanya wanita itu yang menghubungkanku dengan Kris ge, kami satu ibu, darah dari wanita yang sama mengalir dalam tubuh kami, kenyataan itu membuatku sedikit lega. Meski kenyataan lain menghantam realitas. Ibu Kris ge meninggal saat melahirkanku, ayah kandungku seorang gigolo, ia kena AIDS, meninggal 8 tahun yang lalu. Dan aku sebatang kara, hal yang sama seperti Kris ge, ia juga kehilangan ayahnya yang bunuh diri karena dihianati oleh ibu. Dan beginilah jadinya, kami sebatang kara.
Saat usiaku 13 tahun, Kris ge mengambilku dari panti sosial. Dia tak banyak berkata saat itu, hanya saja sebaris kata-katanya kuingat sampai saat ini, hal yang membuatku sedikit merasa bahwa aku tidak benar-benar sendiri "Namaku Kris Wu, kakak tirimu. Kau tinggal denganku mulai hari ini."
Umur kami berbeda 6 tahun, tinggal di bawah atap yang sama, tapi secara konotasi, jarak antara aku dan gege terpaut ribuan mil. Kakakku enggan berbicara banyak, wajahnya dingin nyaris tak bersahabat, dia tak pernah memarahiku, tak pernah memujiku, nyaris tak ada kata untukku. Kris ge menganggapku seperti udara, hanya terasa namun tak terlihat. Ia merasakan aku ada tapi ia tak benar-benar melihatku di sana.
Di lain sisi aku merasa seperti sampah, mungkin baginya aku adalah kumpulan sakit hati dan kekecewaan, ibunya berselingkuh dengan ayahku. Menghancurkan keluarga kecilnya dan aku harus lahir di tengah kehancuran itu. Rasanya…sama saja seperti sekarat, aku menunggu waktu hingga bom dalam diri gege meledak dan menghancurkanku. Kupikir dia menunggu waktu untuk memusnahkanku, meski nyatanya dia sedang membunuhku pelan-pelan. Menjadi sesuatu yang tidak diinginkan, menjadi sesuatu yang tidak pernah dianggap ada, bukankah sama saja dengan mati? Karenanya, aku sedang sekarat sekarang.
Tapi, meski dia membenciku…Aku menyayangi Kris ge sepenuh hati. Aku sungguh menyayanginya.
.
.
.
Normal Pov
"Kyungsoo, kau telah melewatkan darmawisata selama 2 tahun berturut-turut. Ini darmawisata terakhirmu di SMA, tidak bisakah kau meminta ijin keluargamu. Sayang sekali jika lulus tanpa kenangan manis." Lee Sosaengnim menghembuskan nafasnya, mengetuk tutup bulpoin di atas meja kerjanya.
Kyungsoo masih menunduk, menyembunyikan guratan tak suka pada topik ini. Biar saja tak ikut darmawisata, masa SMA-nya tak pernah terlihat berharga, Kris pun tak akan sudi menggoreskan tanda tangangannya di surat ijin. Selama ini yang menandatangani rapotnya adalah supirnya.
"Kyungsoo, aku berbicara padamu." Nadanya naik dua oktaf.
"Saya akan berbicara pada keluarga saya." Suaranya lirih, nyaris tertelan di tenggorokan.
"Kuharap kau bisa ikut kali ini…Cha! Pergilah, jam selanjutnya akan segera dimulai."
Kyungsoo menunduk hormat, mendesah diam-diam. Ini lebih sulit daripada mempertahankan nilai sempurna pada tiga kali ulangan berturut-turut.
Langkah kakinya menggema pelan dalam lorong sepi, jam istirahat telah berakhir dan mata pelajaran selanjutnya telah dimulai 5 menit yang lalu, tapi Kyungsoo kehilangan hasratnya untuk tenggelam dalam papan tulis dan cuap-cuap sosaengnim-nya.
.
.
.
Pagi ini jam berdetik-detik di angka 7 dan jantung Kyungsoo berdetak-detak di seperempat hembusan kegugupannya. Sarapan pagi berlangsung dingin, selalu sama bahkan setelah ribuan kali Kyungsoo melaluinya dengan Kris.
Kyungsoo melirik Kris yang makan dalam diam, mengiris roti gandum isi selai aprikot dalam gerakan anggun, ekspresinya dingin. Rasa was-was tidak menentu perputar-putar dalam perut Kyungsoo, seperti krim kocok yang siap meledak.
"Kenapa?" Kris membuka suara pertama, memandang jengah ke arah Kyungsoo. Ia paham betul jika adik tirinya lebih menikmati memandangnya diam-diam daripada memakan sarapan paginya.
Kyungsoo berjenggit, tubuhnya menegang. Ia mengigit lidahnya, meremas-remas celana sekolahnya. Sebelah tangannya menggenggam erat surat ijin yang sudah dipegangnya di bawah meja makan, genggaman pada kertas itu mengerat dan remasan di celananya menjadi lebih kuat. Ia panik.
"Ge, akan a-ada darmawisata…ke China, ak-hir pekan pertama bulan depan." Ia mengambil jeda, mencuri nafas diam-diam lalu melanjutkan "A-akankah kau memberiku…ijin?" ia meremas celananya lagi seakan itu untuk hidupnya.
Kris melanjutkan makannya tanpa terganggu seakan-akan permintaan Kyungsoo hanya embusan angin di sore hari.
"Gege.." Kyungsoo bersuara lagi.
Kris memandang jam tangannya, berdecak pelan "Terserah saja."
Kyungsoo menaikkan alisnya, ia terkejut. Jadi apa Kris gege mengijinkanku?
Namun saat Kris buru-buru beranjak dari tempat duduknya, Kyungsoo teringat akan surat ijin di tangannya. Itu bahkan belum ditanda tangani dan Kris telah berlalu meninggalkannya.
"Pada akhirnya, Park ahjusshi lah yang memberikan tanda tangannya lagi." Gumam Kyungsoo.
.
.
.
Di jam ini saat Han Nara -pelayan wanita paruh baya penuh senyuman- mengemasi perbekalannya di jumat malam yang dingin. Kyungsoo berceloteh di atas tempat tidurnya sambil mendekap pororo di dadanya dengan gemas. Tubuh mungilnya sedikit memantul di atas ranjang, tersenyum dengan polos dan bahagia.
"Ahjumma, ini pertama kalinya lho aku ikut darmawisata. Siapa sangka jika kakakku mengijinkanku." Kyungsoo berguling dalam selimutnya, merasa seolah ia bocah TK yang untuk pertama kalinya akan mengikuti darmawisata.
Han Nara hanya mengangguk-angguk, ia tersenyum sambil terus memilih mana yang harus dibawa Kyungsoo besok ke China. Ia tahu bahwa ini darmawisata tuannya yang pertama, ia harus mempersiapkannya dengan maksimal.
"Tuan, anda ingin membawa handuk warna apa?" bagi Kyungsoo, warna adalah penting. Hidup yang bahagia diatur dari untaian warna yang dikenakan. Kyungsoo suka dengan warna cerah, membuatnya terlihat ceria meski nyatanya ia mendekam dalam kegelapan.
"Biru, aku ingin bahagia seperti samudera."
Han Nara mengangguk-angguk dan menata isi kopernya, menutup resletingnya dan menepuk tanganya tanda selesai.
"Boleh kubawa pororo?" Tanya Kyungsoo.
Han menggeleng tegas setelahnya wajah Kyungsoo mulai tertekuk. Pemuda itu merajuk.
Han tersenyum, Kyungsoo begitu polos, jiwa kekanakannya tak pernah beranjak dewasa meski usianya sudah 17 tahun ini. Tapi mengingat masa kecil tuan mudanya itu, Han tahu jika Kyungsoo tak pernah mengalami masa kecil yang bahagia. Kyungsoo hidup di panti sosial selama 13 tahun, ia tak pernah melihat ibunya, tak pernah tahu wajah ayahnya. Ia tak pernah bermain selayaknya teman sebayanya kebanyakan. Hidupnya dalam tekanan, ia banyak mendapat hujatan. Bahkan saat Kris, kakak tirinya mengambilnya dari panti sosial. Kyungsoo tak pernah diperlakukan selayaknya keluarga. Kris dan Kyungsoo tinggal di bawah atap yang sama, tapi mereka seperti tidak berada dalam dimensi yang sama. Ada tembok tak kasat mata yang memisahkan dan Kris lah yang membuatnya.
"Tuan, ini sudah malam. Anda harus pergi ke bandara pukul 10 pagi besok. Lebih baik pergi tidur lebih awal." Ujar Han.
"Ahjumma, menurutmu…Apa kakakku akan mengantarku besok?" Tanya Kyungsoo.
Han mengentikan sejenak nafasnya, ia memendam rasa bersalah di hatinya. Rasa sakit saat melihat seseorang disia-siakan oleh anggota keluarga lainnya.
"Tuan Kris pergi ke Jepang sore tadi." Ujarnya kemudian, ia menatap Kyungsoo dan mendapati wajah kecewa pemuda itu.
Keheningan merambat pelan-pelan, sebuah kombinasi antara rasa sesak dan kecewa.
"Apa kakakku tahu aku akan pergi besok?" Tanya Kyungsoo selanjutnya, suaranya lebih rendah, menahan kepedihan dan harapan untuk diperhatikan terlalu tinggi.
Han mengambil nafas diam-diam. Ia tersenyum sambil menaikkan selimut Kyungsoo.
"Tentu beliau tahu, anda adalah adiknya satu-satunya."
Kyungsoo menatap Han dengan mata bulatnya yang terpaku, lalu ia mengerdip dan mengumamkan kalimat terakhir wanita paruh baya itu 'adiknya satu-satunya.' Lalu ia tersenyum lamat-lamat. Merasa begitu hangat mendengar kalimat tersebut.
"Terima kasih." Ujarnya sebelum kesadarannya menembus alam mimpi.
.
.
.
Sarapan paginya terasa kosong, meja lonjong itu seperti memiliki panjang ribuan mil dan Kyungsoo terpisah jarak antara dirinya dan rasa kenyang. Bahkan sebelum ia merasakan perutnya terisi, Kyungsoo lebih dulu merasakan kelelahan. Ini sama seperti ritual makannya dengan Kris. Tapi meja kosong milik Kris lebih terasa menyakitkan daripada keterdiaman Kris di meja itu. Kekosongan di hati Kyungsoo telah lama menjelma menjadi sosok monter yang menonjok dadanya.
Dentingan alat makan menjadi suara yang mengalir di udara, jernih dan memercik seperti nyala kembang api. Kyungsoo menelan sarapan paginya di jam 8, ia mengamati jam tangannya dan smartphone di sisi kanan piringnya, setidaknya saat Kris tak ada di rumah, Kyungsoo bisa sesuka hati memainkan ponselnya saat makan. Ia tidak sedang mengirimkan pesan di line, seseorang tak pernah menghubunginya, alasan satu-satunya ia memiliki handphone adalah aplikasi musik dan permainan Pou. Itu mengingatkannya tentang pororo. Itu juga mengingatkannya bahwa dirinya dibutuhkan, meski hanya untuk memberi makan aplikasi virtualnya, membersihkan kotorannya, dan membuatnya bahagia dengan permainan kecil-kecilan.
"Tuan, mobil anda sudah siap, semua koper anda sudah saya masukkan di bagasi." Han Nara muncul di balik pintu.
"Terimakasih ahjumma, lima menit lagi ya, Pou-ku harus makan dulu." Sambil menyingkirkan setengah sisa sarapan paginya, Kyungsoo mulai memainkan aplikasi game tersebut sambil sesekali terkikik.
Han telah menyingkir dari hadapannya. Dan setelah Kyungsoo memastikan tidak ada siapapun di ruang makan. Ia mengalihkan pandangannya ke sebelah kiri, tempat kakaknya biasa berada.
"Gege, aku berangkat dulu ya. Gege baik-baik di Jepang, Kyungsoo akan bawa oleh-oleh. Kris ge, jaga kesehatan, aku sayang padamu." Ujarnya sambil bangkit dan memeluk bangku kosong tersebut, mengelus-elus sandaran kursinya dari kayu oak. Lalu memberi kecupan singkat di atas lapisan peliturnya.
.
.
.
Udara di China berhembus dingin, cuaca di sini hujan, rasanya awan cerah telah di gulung dan langit melemparkan permadani abu-abu di angkasa. Rombongan darmawisata Kyungsoo nyaris terjebak di hotel sejak kehadirannya yang pertama. Kyungsoo mendengar banyak keluhan dari teman-temannya sepanjang malam terakhir, keluhan semacam; akan lebih baik jika tahun ini pergi ke Jepang; pihak sekolah benar-benar tidak berpikir jernih, udara gila ini hanya membuat flu; lebih baik berjemur di Bali; seharusnya kita pergi ke Amerika, atau Eropa, mereka punya banyak tontonan di sana.
Tapi keluhan itu dibungkus menjadi serangkaian kalimat bertendensi dari Pauli, guru bahasa Perancis mereka yang baru saja diangkat sebagai pegawai tetap oleh yayasan 6 bulan lalu.
Akhirnya walau hujan, darmawisata tetap berlanjut. Meski semua kunjungan ke arena outdoor dibatalkan, mereka hanya mengunjungi pagelaran teater, gelanggang olahraga, museum, atau saran indoor lainnya. Tapi walau semua keluhan dilayangkan nyaris oleh semua peserta darmawisata, Kyungsoo masih merasakan sensasi menyenangkan dalam hatinya. Bagaimana pun ini pengalaman pertamanya. Ia bersumpah untuk menikmatinya hingga akhir.
.
.
.
Akhir pekan di China masih diisi oleh tirai hujan di luar kaca jendela. Kyungsoo sedang terpaku saat teman sekamarnya memanggilnya, menyuruhnya untuk membeli bir di supermarket dengan wajah mengancam.
"Do, pergilah beli bir!" sentak temannya berwajah bulat.
"Pergi! Beli yang banyak, jangan kembali kalau kau tidak membawanya." Timpal yang lainnya.
"Kau akan tidur di luar jika tidak membeli, beli yang paling mahal. Kau kaya kan?"
Dan sentakan-sentakan lainnya hingga akhirnya Kyungsoo mematuhi semua perintah teman-temannya.
Kyungsoo terbiasa dibully. Bahkan sejak ia masih berada di panti sosialnya dulu. Wajahnya memang mengkonstruksi opini orang-orang bahwa dia pria cenggeng dan lemah. Mangsa embuk bagi preman kelas teri.
.
.
Saat itu malam telah beranjak ke pukul 23.00 waktu setempat dan semua orang jatuh dalam mimpi. Kyungsoo mengeratkan jaket dan pegangan di payung pororo miliknya, menembus hujan yang berlapis-lapis di depannya. Minimarket berada sekitar 500 meter dari hotel tempat mereka menginap. Ancaman untuk membeli bir membuat hati Kyungsoo gemetar, ia tak bisa kembali dengan tangan kosong.
Jalanan sepi dan gelap seperti hamparan ganggang hitam, basah dan lembab. Genangan air dan lumpur kacang merah di pinggir jalan. Dinginnya malam menjelma menjadi jarum-jarum es yang menusuk-nusuk kulitnya dan sepanjang tulang belakangnya.
Ia telah tiba di setengah jalan menuju minimarket saat sepasang mata bulatnya menatap siluet seorang pria yang menyandar di depan toko sepatu yang tutup. Pria itu menunduk, di depannya ada sebuah ponsel yang rusak, seperti dibanting.
Kyungsoo berusaha melewatinya dengan tenang, tak ingin menambah masalah pada setumpuk beban hidupnya. Jadi, ia berjalan lebih cepat saat melewati pria tersebut, tubuhnya terasa sedikit gemetar, jujur saja ia takut sampai harus menahan nafasnya. Bisa saja pria misterius itu seorang penjahat, preman gang, atau penculik yang menyamar.
Kyungsoo menekan rasa takutnya sampai sedalam yang ia bisa. Meski gemetar di tubuhnya, Kyungsoo menyempatkan diri melirik pria itu. Mengambil ancang-ancang untuk berlari dan berteriak jika si pria macam-macam.
Tapi, saat ia telah benar-benar melewati pria itu, Kyungsoo terpaku di jalan. Lama ia bergulat pada keheningan dan suara-suara dalam otaknya untuk berbalik dan memastikan sesuatu yang janggal.
Badannya seperti dua besi berkarat yang diputar. Terlihat kaku dan pelan-pelan, Kyungsoo menatap pria itu lama, menyusuri hal aneh yang dirasakannya dan mencernanya.
Darah. Tangan orang tersebut berdarah. Darah yang menetes sampai ke ujung jari manisnya. Sampai menetes hingga pelataran. Deru nafas lelah yang serasa membanjiri tubuh pria itu. Kyungsoo telah memutuskan untuk mendekat. Ia tak bisa membiarkan seseorang mati di depan matanya.
"Tuan, anda tidak apa-apa?" ujarnya dalam bahasa mandarin yang tidak lancar.
Pria itu menengadahkan wajahnya saat ia merasa hujan berhenti di atas kepalanya. Sebuah suara mengalir di telinganya.
Kyungsoo mendapati dirinya tercekat, nyaris berteriak, sekonyong-konyong wajahnya berubah panik. Darah itu tak hanya di tangan, tapi orang itu…wajah yang penuh luka, kepala yang berdarah. Semuanya tampak seperti korban aniaya.
"Ya Tuhan, tuan, anda terluka." Pekiknya, ia meremas celananya, kebiasaan buruknya saat gugup dan panik.
Pria itu mengerutkan dahinya saat Kyungsoo berusaha menariknya untuk berdiri dan mengalungkan tangannya di pundaknya.
"Pergilah bocah, kau sampah penganggu." Ujar pria itu dingin, ia menarik lengannya kembali, mendorong Kyungsoo ke belakang.
"Aku tahu aku sampah, sudah lama aku tahu, tentu saja. Tapi anda harus pergi ke klinik, anda berdarah. Akan aku antar." Ujar Kyungsoo panik.
Pria itu berkerut semakin dalam, sederet kalimatnya di balas dengan kata-kata yang tak pernah ia duga. Meski demikian ia tak membiarkan Kyungsoo mendapatkan keinginannya, ia mendorong pemuda itu kebelakang dengan keras hingga Kyungsoo nyaris terjatuh di aspal.
Kyungsoo diam sejenak, memandang pria di depannya yang kembali menunduk dan bergumam tak jelas. Bagi Kyungsoo pria di depannya tidak tahu apa yang dilakukannya, lukanya bisa jadi parah.
"Tunggu di sini dulu, aku akan kembali."ia meletakkan payungnya di samping si Pria, lalu berlari menjauh menembus hujan.
.
.
15 menit kemudian Kyungsoo mendesah lega karena pria itu masih di sana, dengan posisi yang tak berubah.
"Saya minta maaf sebelumnya, ini mungkin akan perih." Kyungsoo membersihkan luka-luka tersebut dengan kain kassa dan alkohol lalu mengambil plester dan perban di dalam kantong belanjanya.
Si Pria mendesis saat rasa perih memercik di lukanya. Tapi diam-diam ia mengamati wajah Kyungsoo yang mengobatinya dengan sungguh-sungguh.
Kyungsoo lalu menyampirkan handuk kecil di bahu si Pria misterius tersebut, tapi pria itu hanya memperhatikan Kyungsoo, tidak mengerti apa yang diinginkan pemuda di depannya. Kyungsoo mendengus kecil, ia mulai menyentuh handuk tersebut di kepala si Pria. Tapi sebuah tampikan mendarat di tangan kirinya, Kyungsoo terkejut meski ia buru-buru tersenyum.
"Tenang, saya bukan orang jahat. Percayalah saya hanya ingin mengeringkan rambut anda." Kyungsoo diam sejenak, menunggu sebuah kata-kata meluncur dari bibir pria di depannya, namun pria itu masih diam bahkan tak menunjukkan gesture penolakan.
Jadi, perlahan-lahan Kyungsoo mengusap rambut pria tersebut. Hal aneh dirasakan dalam hatinya, rasanya seperti sedang mengusap rambut kakaknya sendiri. Suatu saat Kyungsoo juga ingin mengusap rambut Kris, membantu kakaknya mengeringkan rambutnya, membantu kakaknya apapun itu. Dia sangat ingin, suatu saat nanti.
"Nah, sudah." Kyungsoo berdiam di samping pria misterius itu. Merasa bodoh karena kehilangan ide untuk melakukan sesuatu, ia didera rasa canggung luar biasa. Kepalanya juga mulai lupa tentang pesanan botol bir yang diminta kawannya.
"Kau tidak takut padaku?" suara baritone milik pria di sampingnya memecahkan keheningan malam di antara hujan yang turun dan payung di atas tubuh mereka.
"Untuk apa? Anda terluka, justru saya merasa khawatir. Itu cukup parah, dimana-mana. Setelah hujan selesai, pergilah ke rumah sakit atau klinik. Mereka akan menanganinya lebih baik." ujar Kyungsoo.
Pria itu memandangnya tidak percaya "Kau mengkhawatirkanku?"
"Ya." Jawabnya singkat saat tiba-tiba telephone di sakunya berdering.
Teman-temannya melemparkan umpatan padanya sejak ponsel itu menyentuh telinganya, Kyungsoo baru teringat akan pesanan bir-bir itu. Ia harus cepat kembali.
"Saya harus pergi, tunggu sebentar, saya akan menelphone taksi untuk mengantarkan anda ke rumah sakit." Kyungsoo menyentuh layar ponselnya dan berbicara dengan perintah. Meminta taksi cepat datang untuk si Pria seakan-akan itu adalah hal paling kritis di dunia ini. Pria itu memperhatikannya dalam diam.
"Nah, saya harus pergi sekarang. Sampai jumpa, Tuan." Kyungsoo hendak melangkah sebelum tangannya di tahan.
"Namamu?"
"Apa? Ah, Kyungsoo, Do Kyungsoo. Salam kenal….sampai jumpa." Kyungsoo berlari tapi belum jauh ia berlari Kyungsoo kembali lagi.
"Ini untuk anda saja, tempat tujuan saya tidak jauh. Baiklah sampai jumpa." Ujarnya sambil meletakkan payung miliknya di samping si Pria misterius dan berlari menembus hujan malam itu.
Pria itu menengadahkan kepalanya. Lalu menyentuh plester di ujung bibirnya, tersenyum untuk sesuatu yang melintas di kepalanya.
.
.
.
Tiga hari kemudian.
Osaka. Jepang.
Kris menunggu dengan jengah di tempat duduk. Hari ini pertemuan penting yang menyangkut berlangsungnya pembangunan kondominium terbarunya di Osaka. Seorang group mafia yang berkuasa wilayah Osaka nampak tak terima saat ia merencanakan pembangunan kondominium dan buruknya Kris baru tahu tentang masalah ini saat kondominiumnya mencapai setengah penggarapan dan telah menelan dana ratusan juta dollar.
Kumpulan anak buahnya yang tidak becus mengharuskan Kris turun tangan untuk menyelesaikan secara langsung delik permasalahannya. Ini bukan masalah ringan, ini krusial. Para mafia itu mengancam untuk membuat usaha kondo-nya hancur dengan menekan para pembeli dan penanam modal, pengurangan investasi besar-besaran akan membuatnya collapse.
"Harus berapa lama lagi aku menunggu?" Tanya Kris pada seorang pria berjas hitam di depannya, seorang asisten si Pemimpin mafia.
"Tuan saya masih dalam perjalanan kemari, sebentar lagi ia akan sampai. Ia baru tiba di bandara pukul 9 tadi."
Kris membuang nafas, mendengus dalam kekesalan. Pertama kali ia diperlakukan dengan sebegitu menyebalkan. Dan pertama kali dalam hidupnya ia disuruh menunggu seseorang. Orang-orang lah yang biasanya menunggu untuk dirinya, menanti kehadirannya dan perjumpaan dengannya adalah suatu prestasi. Kris orang sibuk, tentu saja. Tapi ia begitu arogan untuk menemui orang-orang kelas bawah.
Selang 15 menit, pintu ruangan terbuka. Seseorang pria berjas hitam masuk dan langsung membungkuk hormat ke arah pintu, sama persis yang dilakukan oleh pria berjas hitam lain yang menemaninya di ruangan itu sejak tadi. Kris menaikkan alisnya saat orang yang menerima penghormatan itu masuk dengan pakaian parlente-nya, berjalan angkuh.
"Kau menunggu lama…Kris Wu?" ujarnya dalam sederet kalimat congak.
Kris mendesis tak suka, tapi melihat wajah pria di depannya, membuatnya jauh lebih tak suka.
"Jadi mafia kampung itu dirimu? Kai?" cibir Kris merendahkan.
Anak buah Kai menggeram kesal. Tak terima bos mereka di hina, sedangkan orang-orang Kris pun memasang siaga di samping kanan kiri tubuhnya.
"Alangkah bagusnya untuk kita bernostalgia berdua, kan? Sobat! Kenangan kita terlampau banyak."Kai memberikan tanda bagi anak buahnya untuk keluar. Lalu sepasang alisnya mengerut ke arah Kris, berharap pria tinggi itu melakukan hal yang sama. Mengusir anak buahnya keluar.
Kris mengangkat tangan dan dengan hormat anak buahnya pun keluar ruangan. Kini hanya tinggal mereka berdua.
"Kau mau minum?" Tanya Kai sambil menuangkan bir.
"Aku tidak kemari untuk minum, ini tentang kondo milikku."
"Tentu saja, tentu saja kita akan membahasnya kawan, tapi bersantailah sedikit." Ujar Kai sambil mengoyang-goyangkan gelasnya dan menyesapnya.
"Kau tak pernah jadi kawanku." Tandas Kris, wajahnya nampak tak suka. Jujur saja ia terkejut jika pemimpin mafia yang dimaksud adalah seseorang paling dibencinya di masa lalu. Musuh terbesarnya.
"Ya, kupikir memang demikian. Tak ada kata kawan setelah kau membunuh Sehun…tak ada kawan setelah penghianatan, jarak di antara kita tak terbendung. Ada sebuah jurang pemisah. Dan aku tak berkawan dengan pembunuh adikku." Suara Kai menajam. Ada rasa sengit dan dendam dalam kalimatnya.
"Sedang dirimu…kau memperkosa kekasihku, membuatnya frustasi hingga bunuh diri di depan mataku. Tao-ku yang kukasihi, kau menghancurkannya." Timpal Kris, merasakan perihnya masalalu. Menaburi garam di atas lukanya yang tak pernah mengering.
"Tsk..." Kai meletakkan gelasnya dengan pelan "Kau membunuh adikku, Sehun, bocah itu, kau melenyapkannya." Tambahnya lagi, bisa ia rasakan kobaran amarah menyentuh hingga setiap jengkal pembulu darahnya. Kai tak akan pernah melupakan dendamnya seumur hidup.
"Kau memperkosa kekasihku lebih dulu, bangsat." Geram Kris, ia berdiri dari tempat duduknya.
"Bukan aku, Tao yang menggodaku. Dia sangat seksi Kris. Sayang sekali ketahuan, jadi dia bunuh diri karena merasa bersalah padamu. Kupikir, kaulah yang membuatnya mati. Tao takut padamu, ia begitu frustasi memiliki kekasih yang dingin sepertimu. Jadi, dia lari mencari kehangatan padaku." Ujar Kai.
"Shut the hell up!" Kris membentak, merasa tersinggung oleh kata-kata Kai. Ia mengambil jeda untuk merilekskan tubuhnya. Dan Kai tampak menunggu di depannya.
"Berapa yang kau mau untuk melepaskan Kondo-ku?" ujar Kris pada akhirnya.
Kai tersenyum lalu lama-lama tertawa keras "Lucu sekali Kris, lucu sekali. Kau merubah topik kita menjadi masalah sampah semacam itu." Tapi melihat wajah Kris yang tampak menggelap, Kai menghentikan suara tawanya, ia mengusap sudut matanya karena air mata "Ah, baiklah, baiklah…Bagaimana jika US$ 2,4 milyar untuk pembebasan kondominium-mu? Itu harga yang murah mengingat kita pernah saling berteman di masa lalu."
"Baiklah, beri saja alamat bank-nya. Aku akan mengirimkan setelah sampai di Korea." Ujar Kris sambil berlalu menuju pintu. Pertemuannya dengan Kai tak boleh berlangsung lama, itu hanya membuat rasa sakitnya memuncak.
"Wow, secepat itu? Kau tak mau bernegosiasi dulu?" ujar Kai pura-pura terkejut.
"Aku tidak mau berurusan lagi denganmu." Ujar Kris sambil menyentuh pegangan pintu.
"Kris…kudengar kau memiliki seorang adik?" Tanya Kai dengan suaranya yang licik.
Kris berhenti di tempat, mematung sebentar akan kata-kata Kai. Merasa firasat buruk akan menghampiri adik tirinya. Tapi apa pedulinya?
"Bukan urusanmu, bajingan." Ujarnya sambil berlalu dan menghilang di balik pintu.
Kai menyeringai. Sebuah cara lain melintas di otaknya untuk menghancurkan Kris, pemuda itu harus tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang adik.
Tak berapa lama setelah Kris menghilang di balik pintunya, Kai memandang jendela kaca yang menampilkan padatnya perkotaan. Ia meminum sisa bir dalam gelasnya. Pandangannya beralih pada papan nama di atas meja yang bertuliskan namanya. Kai Kim. Ada pantulan wajahnya di sana. Ia jadi teringat sesuatu.
Kai menyentuh bekas luka di wajahnya, ia mendapatkannya saat berkelahi dan menghancurkan mafia Hongkong tiga hari yang lalu. Pertarungan yang seru menurutnya, ia puas telah membunuh banyak musuhnya di sana. Tapi luka yang didapatnya memang cukup parah, tulang rusuknya bahkan masih terasa nyeri sampai sekarang.
Lalu tangan Kai berlaih mengusap luka yang ditutup dengan handsaplast, ia mengingat dengan jelas siapa yang menempelkannya di wajah Kai. Seorang pemuda berwajah lugu, penuh kepolosan, mengobatinya di tengah derasnya hujan. Seorang pemuda yang bahkan tidak memperdulikan hujan dan menembusnya hanya demi mengobati lukanya. Seseorang yang untuk pertama kali dalam hidupnya, peduli padanya. Seseorang yang memberinya senyum tulus dan rasa khawatir.
Lagi-lagi Kai menyentuh lukanya di atas handsaplast. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Kai menarik sebuah garis senyum.
"Do Kyungsoo, aku akan menemukanmu. Sampai jumpa lagi, secepatnya." Ujarnya.
.
.
.
-to be continued-
Ide cerita ini mucul setelah aku menyelesaikan tugas kuliah. Lagi-lagi di sela-sela tumpukan tugas, ide mengalir lancar. Padahal bulan depan udah UAS T.T
Oh iya kalau ada pertanyaan, kritik, dan saran. Tulis aja di kotak review atau lewat PM juga bisa. Ini demi kemajuan penulisan Ivy serta kualitas cerita itu sendiri.
Ivy penasaran banget sama pandapat kalian untuk fanfic ini?
Perlu lanjut atau nggak ini fic?
-with love Ivyluppin-