Disclaimer: Bleach, written by Tite Kubo. Asleep by The Smiths. I own nothing except this galauness, I guess.

Warning: totally AU.


Embun

[Chapter 2]


Sing me to sleep

Sing me to sleep

I'm tired and I

I want to go bed

Rukia sudah mengubah posisi tidurnya berkali-kali, tetapi matanya tidak kunjung terpejam. Ia juga sudah meminum segelas susu cokelat hangat sebelumnya, tapi tetap saja kesadarannya terjaga. Ia sudah mencoba menghitung domba, tetapi konsentrasinya selalu buyar di tengah jalan.

Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

"—Kuchiki? Kau bisa ke sini sekarang?"

Ia tidak bisa melupakan kata-kata Orihime kemarin malam, apalagi kejadian setelahnya. Ichigo sudah membuka matanya. Ia sudah sadar dari koma yang cukup panjang.

Orihime menangis sambil memegangi tangan Ichigo, dan Rukia sungguh tak tahu harus berbuat atau berkata apa. Ia hanya berdiri mematung ketika ia dan Ichigo kembali bertatapan. Ia seperti merasa Ichigo menyapa dalam tatapannya.

'Hai, Rukia.'

Mau tak mau Rukia tersenyum, membalas 'sapaan kecil' Ichigo.

Ketika itu sejumlah dokter dan perawat datang, mereka menyuruh Rukia serta Orihime keluar. Mereka berdua pun duduk di ruang tunggu dengan Orihime yang masih menangis kecil.

"Berhentilah menangis," mau tak mau Rukia jadi iba juga.

Orihime menghela napas, ia tidak ingin katakan alasan sebenarnya ia menangis karena mimpi yang dirasakannya sebelumnya. Mimpi yang menuntun Ichigo bangun. Mimpi yang membuat Ichigo sadar.

Bolehkah ia berharap seperti demikian?

Dan Orihime tetap saja menangis, meski Rukia sudah beranjak duduk di sisinya dan menepuk pelan bahunya untuk menenangkan.

.

.

.

"He's gonna be okay,"

Itu adalah kata-kata yang pertama kali diucapkan Hitsugaya ketika Rukia meneleponnya tengah malam seperti ini. Bahkan sebelum Rukia mengeluarkan sepatah kata pun.

"Are you sure?"

Hitsugaya menggumam mengiyakan. Rukia bisa mendengar ketika ia menguap pelan.

"Kamu ngga pulang?"

Hitsugaya tersenyum kecil ketika dirasakannya nada merajuk dalam suara pelan Rukia. Mereka berdua sama-sama tahu yang mereka butuhkan saat ini hanyalah kehadiran masing-masing.

Dan Rukia merasa tenang ketika Hitsugaya berkata,

"I'll be there in a minute."

.

.

.

"Kau datang,"

Mereka tidak pernah saling mengontak satu sama lain selama lebih dari tujuh tahun, dan itu adalah kata-kata yang pertama kali Ichigo ucapkan ketika Rukia menjenguknya.

Mereka saling bertatapan sebelum akhirnya Rukia tersenyum dan mengganti bunga yang telah kering dengan bunga segar yang ia bawa.

"Bagaimana keadaanmu?"

"Tidak pernah sebaik ini," Ichigo mengambil salah satu tangkai bunga dan mencium wanginya.

Rukia curiga koma berkepanjangan kemarin itu membuat kesalahan pada sistem ingatan Ichigo. Ia tidak menyangka akan respon positif yang diberikan Ichigo kalau mengingat apa yang pernah terjadi pada mereka tujuh tahun belakangan.

"Kau benar baik-baik saja?"

Sebenarnya Rukia masih tidak percaya dengan jawaban Ichigo, tapi ketika ia melihat Ichigo hanya mengangguk polos dan bersemangat ia mengurungkan niatnya untuk memencet tombol emergency,

'Nanti saja kalau dia bertingkah aneh baru kupanggil dokter,' gumam Rukia.

"Bagaimana keadaanmu, Rukia?"

Rukia sempat berpikir sejenak sebelum tersenyum dan mengatakan, "Kupikir sama baiknya denganmu,"

Lalu mereka berdua terdiam. Bukan karena mereka kehabisan bahan untuk bicara, tapi karena mereka tahu pada keadaan seperti ini memang lebih baik mereka diam.

Diam merasakan kehadiran masing-masing yang lama mereka rindukan.

.

.

.

Berminggu-minggu kemudian keadaan Ichigo berangsur membaik. Ia selalu merengek pada Hitsugaya untuk segera mengeluarkannya dari rumah sakit. Padahal Hitsugaya sudah berkali-kali bilang bahwa ia tidak punya wewenang apapun untuk mengeluarkannya begitu saja tanpa persetujuan dari tim dokter yang merawat Ichigo. Tapi Ichigo terus-terusan meminta pada Hitsugaya tiap mereka bertemu.

"Ayolah, kau tidak bosan melihat wajahku terus di ruangan ini? Cepat keluarkan aku, Hitsugaya-san!"

Biasanya sehabis itu Hitsugaya hanya akan menjawab dingin permintaan Ichigo. Dan Ichigo akan kembali mengulang perkataannya. Dan Hitsugaya akan menjawab hal yang sama.

Selalu seperti itu sampai Orihime menghentikan tingkah mereka berdua sambil tertawa.

Rukia tahu Hitsugaya bukan orang yang mudah beramah-tamah. Ia sering mendengar Hitsugaya mengeluhkan itu ketika ia dimarahi oleh ketua residen di rumah sakit. Tapi ia juga tahu Hitsugaya bukan orang yang mudah terbawa perasaan jika bertindak. Ia tahu, di balik tindakannya, Hitsugaya sudah memikirkannya matang-matang.

Dan Rukia tengah berpikir apa alasan Hitsugaya jadi sering mengunjungi Ichigo di ruangan ketika ia sedang menjenguknya. Ia tahu Hitsugaya salah satu residen yang juga ikut menangani Ichigo, hanya saja ada sesuatu yang ia belum ketahui dan mulai mengganggu pikirannya.

It just felt so good and bad at the same time. And she's still trying to figure out how that could be.

Rukia pernah hampir menanyakannya ketika hari itu Hitsugaya pulang ke apartment-nya. Ia sudah merencanakan dan merangkai kata-kata dalam pikirannya dan membuat kata-kata itu bernada seringan mungkin dan tidak akan menimbulkan kecurigaan.

"Hitsu..."

Dan semua kata-kata yang telah dipersiapkannya lenyap begitu melihat Hitsugaya menatapnya.

"Tidak apa-apa. Ayo makan yang banyak,"

Rukia berpikir mungkin ia belum siap menanyakannya. Dan hari itu bukan saat yang tepat. Jadi ia biarkan saja keingintahuan itu menggantung. Walau pikirannya yang harus menanggung beban untuk kembali memikirkannya esok dan seterusnya.

Ketika dirasakannya ia hanya mulai mengulur waktu, Rukia mulai bertanya-tanya apa yang membuatnya belum siap...

.

.

.

"Jadi kau sudah bertunangan dengan Hitsugaya dan hanya tinggal menunggunya melamarmu?"

Ichigo sedang mengunyah apel yang sudah dikupas sebelumnya oleh Rukia. Matanya memicing tajam ke arah Rukia.

"Hal baik apa yang kau lakukan di masa lampau hingga membuat calon dokter sukses sepertinya bertekuk lutut untuk melamarmu?"

Rukia mendengus. "Kau mau kugorok lehermu biar kau terus dirawat di sini selamanya?"

Ichigo pura-pura terkejut, "Wah, kau pasti melakukan hal yang sama makanya Hitsugaya-san bertekuk lutut padamu,"

Rukia melempar beberapa kulit apel ke arah Ichigo, "Diam kau!"

Ichigo terbahak ketika kulit apel itu mengenai wajahnya. Mau tak mau Rukia jadi ikut tertawa. Dari awal Rukia pun tidak marah, ia malah senang karena sudah lama sekali Ichigo tidak pernah mengejeknya seperti tadi.

Mereka berdua tahu, mereka sama-sama merindukannya. Masa-masa yang mungkin tidak pernah bisa terulang.

"Ichigo!"

Inoue masuk dengan wajah yang berseri-seri. Ia memberitahukan pada Ichigo bahwa akhirnya tim dokter telah mengizinkannya untuk rawat jalan dengan konsekuensi Ichigo harus datang ke rumah sakit untuk kontrol satu minggu sekali. Ichigo senang bukan main. Ia mengatakan pada Rukia dan Inoue bahwa akhirnya keinginannya untuk pulang terpenuhi. Ia sudah kangen dengan udara selain di rumah sakit ini. Ia sudah mulai bosan dengan makanan yang ada. Dan yang paling penting, ia sudah sangat kangen dengan rumahnya.

Ichigo meraih Inoue ke dalam pelukannya.

Dan Rukia merasa senang sekaligus sedih. And she's still trying to figure out how that could be.

.

.

.

"Sudah lama ya, nunggunya?" Hitsugaya mengecup pucuk kepala Rukia. Rukia memutar kepalanya sehingga ia bisa melihat dengan jelas wajah Hitsugaya. Dan Rukia hanya ingin tersenyum.

"Tidak juga..."

Rukia ingin mengangkat kepalanya dan tidak lagi bersandar pada meja bundar di kamar residen Hitsugaya. Ia ingin bangkit dan menghampiri Hitsugaya yang sedang menaruh jas putih dokternya lalu memeluknya dari belakang tanpa suara.

Ia ingin menyandarkan kepalanya di punggung Hitsugaya, bukan di atas meja bundar ini.

Tapi ia tidak punya tenaga untuk melakukannya. Dan Rukia hanya memandang Hitsugaya yang kembali menghampirinya.

Hitsugaya menceritakan pengalamannya hari itu mulai dari ia harus menangani pasien yang sangat menyebalkan sampai ia dimarahi beberapa dokter utama karena ia terus-terusan bersikap ketus terhadap pasien itu. Padahal pasien itu sebenarnya adalah pasien VIP dan Hitsugaya tahu ia harus bersikap manis melayaninya, paling tidak jangan sampai membuat pasien itu kesal seperti yang dikatakan ketua residennya. Tapi memang sulit mengubah sikap ketusnya dan ia mulai menceritakan kekhawatirannya kalau ia mungkin bisa tidak lulus jadi dokter spesialis kalau ia masih belum mengubah sikapnya.

Rukia tahu, Hitsugaya bukan tipe orang yang bercerita panjang lebar tentang masalahnya.

Dan ia tahu, Hitsugaya menceritakan semua ini hanya agar Rukia bisa melupakan apapun yang sedang mengganggu pikirannya.

Rukia perlahan mengangkat kepalanya dan memindahkannya di lekuk leher Hitsugaya.

Ia merasa nyaman sekaligus khawatir.

And she's still trying to figure out how that could be.

.

.

.

Sing me to sleep

Sing me to sleep

I don't wanna wake up

On my own anymore

Entah sudah berapa malam lagu itu terus berputar mengiringi Rukia tidur. Terus-menerus, non-stop.

Hitsugaya membelai pelan rambut hitam Rukia. Ia tahu persis apa yang sedang dipikirkan Rukia. Dan ia hanya berharap Rukia mulai menceritakan padanya. Seperti dulu.

Tapi Rukia masih bergeming. Ia belum mengatakan apa-apa semenjak Ichigo sudah sadar. Dan Hitsugaya hanya tidak ingin menjadi orang yang bertindak tanpa berpikir mengenai akibatnya. Ia memutuskan untuk menunggu Rukia mengatakan langsung padanya.

Tapi ia mulai berpikir, sampai kapan ia membiarkan Rukia dalam keadaan seperti ini?

Hitsugaya bukannya tidak tahu kalau lagu yang selalu mengantar Rukia tidur adalah lagu kenangannya dan Ichigo bertahun-tahun lalu. Ia hanya ingin Rukia yang mengatakan alasannya mengapa ia kembali ke kebiasaan lama seperti dulu.

"Sulit tidur," hanya itu yang dikatakan Rukia ketika Hitsugaya tertegun mendengar lagu itu kembali berputar dari music player-nya.

Tidak ada lagi selain itu.

Sambil membelai lembut anak rambut Rukia, Hitsugaya masih berpikir sampai kapan semua ini berakhir dan keadaan akan kembali seperti semula. Ia sempat berpikir untuk ikut campur dan menyadarkan Rukia akan keadaan yang sebenarnya terjadi. Tapi ia tahu, ia begitu memercayai Rukia. Dan tidak ada gunanya melakukan hal itu kalau ia memercayainya.

Maka Hitsugaya hanya bisa kembali membelai rambut hitam Rukia. Mengecup pucuk kepalanya, matanya, hidungnya, dan bibirnya dengan lembut.

Dan ia berharap itu lebih dari cukup untuk memberikan keberanian bagi Rukia. Memberikan petunjuk bagi Rukia untuk kembali menyelamatkan dirinya sendiri dari jeratan rasa bersalahnya. Seperti dulu.

Jauh dalam hatinya, Hitsugaya yakin. Rukia sudah mampu memaafkan dirinya untuk ibunya. Atau ibunya untuk dirinya.

Rukia juga pasti mampu memaafkan Ichigo untuk dirinya. Atau dirinya untuk Ichigo.

Hitsugaya berharap, Rukia dan Ichigo mampu memaafkan untuk dirinya dan juga untuk Orihime Inoue.

.

.

.

To be Continued.


Author's Note:

So, saya nulis chapter pertama ketika lima hari sebelum ujian proposal dan sekarang saya lagi menghitung mundur 9 hari lagi mau ujian skripsi :))

Saya nulis chapter pertama ketika saya belum mulai kkd dan sekarang saya udah say goodbye sama kkd :')

How time flies sooooooooooooooooo fast!

Maafin karena baru bisa update sekarang... awalnya udah mau nelantarin fic ini lagi.. tapi tiap inget post-it di kamar tulisannya EMBUN gede-gede siapa yang ngga tega coba untuk nelantarin.

Terima kasih untuk lagu Asleep - The Smiths yang rela saya puter berkali-kali untuk bantu menciptakan mood. Well, baru aja selesai baca The Perks of being a Wallflower beberapa hari yang lalu (meski udah dari kapan tau nonton filmnya) jadi maaf kalau deksrip di sini tiba-tiba jadi ke-Charlie-an. *sembah-sembah Om Stephen Chbosky*

So, lemme know what you've been thinking for this chapter. Yuk, dikomen! :D