Naruto © Masashi Kishimoto
New Life, Give Me a Chance
Sequel of Regret In Winter
A Naruto FanFiction by UchiHaruno Misaki
.
Warn : AU, Typo, Bad feel, Boring, Pedofil Sasuke.
Rate : T+
SasuSaku with others~
…
Bagian 1
…
Rintik hujan mulai membasahi sebagian belahan bumi. Salah satunya adalah kota Tokyo. Ya, bulan ini adalah awal musim hujan di Tokyo. Hujan semakin deras membuat sebagian para penduduk merasa enggan untuk menjalani aktivitasnya hari ini.
Berbeda dengan seorang wanita paruh baya yang kini tengah duduk tenang di hadapan sebuah pusara dengan foto seorang gadis muda cantik berhelaian soft pink sebahu tersimpan apik di depan pusara itu. Dia tetap duduk tenang tanpa terganggu sedikit pun dengan air hujan yang mengguyur seluruh tubuhnya. Tubuhnya menggigil, tetapi dia tidak merasa kedinginan karena sejak enam bulan yang lalu dia sudah tidak bisa merasakan apa pun lagi. Dirinya telah mati rasa.
Haruno Mebuki menatap foto putrinya kosong. Kedua tangannya mencengkeram rumput basah yang dipijakinya dengan begitu erat. Matanya memerah dan lagi air mata kembali tergenang di pelupuk matanya. Air hujan bagai selimut untuk menutupi aliran air matanya.
"Sakura, ayo kita pulang, Nak. Apa kau tidak kedinginan terus di dalam sana?" tanyanya lirih. Mebuki tersenyum dan mulai merebahkan dirinya di samping pusara itu, lalu memeluk pusara putri bungsunya erat. "Baiklah, kalau Saki tidak mau pulang biarkan Ibu menemanimu di sini, ya? Lihat! Ibu memelukmu sekarang. Ibu pastikan Saki tidak akan kedinginan." Dan air mata itu terus mengalir mengiringi lirihan seorang ibu yang telah kehilangan putrinya. Putri yang telah dia sia-siakan.
Haruno Karin berdiri lima meter dari tempat Mebuki dengan payung hitam yang dikenakannya. Dirinya hanya dapat membungkam mulutnya seraya terisak pilu. Dengan pandangan buram, dia menatap sang ibu miris dengan tubuh gemetar hebat. "Ibu ... hikss- Sakura." Gumamnya pelan di sela isak tangisnya yang tersamarkan oleh suara gemuruh hujan.
Jauh dari tempat pusara. Di sebuah rumah mewah bergaya eropa terlihat sangat sepi. Di suatu ruangan seorang pria paruh baya terlihat tengah duduk di bawah meja dengan sebuah gaun mungil di pelukannya. Air matanya terus mengalir deras dari kedua bola matanya yang membengkak.
Haruno Kizashi seorang pria pengusaha tersukses kedua setelah Uchiha Fugaku kini tengah dirundung rasa penyesalan dan duka yang sangat mendalam. Bayangan-bayangan perlakuan keji terhadap putri bungsunya membuat tubuhnya semakin bergetar hebat. Tampar, pukul bahkan meninggalkan Sakura di tengah jalan pun pernah dia lakukan. Apa lagi? Entahlah. Terlalu banyak perlakukan buruk yang telah dilakukannya. Ayah macam apa dia ini?
Kenyataan pahit ini membuatnya hampir hilang arah. Kepergian sang putri bungsu membuat hidupnya hancur seketika. Pria berhelaian serupa dengan bunga sakura itu bahkan tidak peduli dengan keadaan istri dan putri sulungnya yang tidak jauh berbeda dengan keadaannya. Hancur.
Yang ada di benaknya hanya sang putri bungsu dan segala penderitaan yang ia berikan. Dulu, bahkan dia sadar jika dia telah meniadakan keberadaan Sakura, kini Tuhan benar-benar memberikan karma untuknya. Tuhan dengan mudah meniadakan putrinya, putri kecilnya yang malang dan itu adalah resiko yang dia dapat dari perbuatan kejinya kepada Sakura selama belasan tahun terakhir.
Kizashi semakin memeluk erat gaun Sakura ketika dia berumur lima tahun. Ya, gaun terakhir yang Sakura pakai selama hidupnya karena sejak dia mencampakkan putri bungsunya, Sakura tidak pernah lagi memakai gaun karena Sakura pikir percuma saja mengenakan gaun indah jika semua orang tidak pernah menganggapnya ada. Hati Kizashi semakin berdenyut perih mengingat semua itu.
"Sakura, putri kecil Ayah. Kembalilah, Sayang! Ayah merindukanmu ... kembalilah, kembalilah, KEMBALI! ARGGH!"
Dengan perasaan berkecamuk, Kizashi menggulingkan meja kerjanya hingga dokumen, laptop dan barang-barang yang ada di atas meja jatuh berserakan. Kizashi bahkan tidak memedulikannya. Kecuali, lubang yang menganga lebar di dadanya. Rasanya sangat sakit. Sampai rasanya dia ingin mati.
"Sakura ... Ayah mohon, kembalilah."
…
Pintu itu diketuk cukup pelan untuk yang kesekian kalinya pada hari ini. "Tuan muda, ini Chiyo. Bolehkah saya masuk? Saya mengantarkan makan malam untuk Anda, Tuan." Pintu itu tetap tertutup tak terbuka sedikit pun. Ketika pelayan paruh baya itu hendak membuka pintunya, mendadak suara di dalam kamar itu membuat dia mengurungkan niatnya.
"Pergilah. Aku tidak lapar." Suara yang dingin dan datar itu terdengar samar. Sangat kecil nyaris seperti bisikan.
Pelayan yang berumur kepala enam itu menghela napasnya pasrah. "Baiklah, tapi jika Tuan Muda lapar mohon makanlah sesuatu. Jangan terlalu memaksakan diri Anda, Tuan." Katanya pelan.
Hening. Tidak ada jawaban apa pun dari tuan mudanya. Menghela napas, Chiyo hanya bisa tersenyum muram. Membalikkan tubuhnya, pelayan itu mulai melangkahkan kakinya menuju ruang makan guna untuk melaporkan kejadian ini kepada sang tuan dan nyonya rumah.
Chiyo membungkukkan tubuhnya sejenak kepada tiga orang di depannya yang sedang memakan makan malamnya dengan tenang. "Maaf mengganggu. Tuan muda Sasuke menolak untuk makan lagi." Kata Chiyo sopan ketika dirinya sampai di ruang makan.
Serempak Fugaku, Mikoto dan Itachi menghentikan acara makan mereka. Mereka bertiga hanya diam dengan tatapan kosong menatap ke arah piring yang masih terisi makanan. Mikoto menggigit bibir bawahnya getir, Fugaku mengeraskan rahangnya dan Itachi menggenggam erat sendok yang sedang digenggamnya.
"Hn, kau boleh pergi, Nenek Chiyo." Sahut Itachi tenang.
Chiyo menatap para majikannya miris, semuanya telah berubah. Ya, berubah hanya karena satu orang. Dia membungkuk sopan lalu kembali melangkah menuju dapur, sebelum sampai ke dapur sejenak Chiyo menghentikan langkah kakinya tepat di koridor rumah mewah tersebut seraya memandang getir foto berukuran besar yang terpajang di sana.
Di sana terdapat lima orang yang sedang berdiri dengan wajah bahagia. Fugaku yang merangkul Mikoto di sisi gazebo diikuti Itachi yang mengusap kepala Sasuke dan seorang gadis manis berhelaian soft pink sebahu yang duduk di tengah-tengah mereka sambil tersenyum lebar dengan mata hijau bersihnya yang berbinar-binar.
Terlihat dengan jelas keluarga Uchiha yang dikenal dengan wajah datar dan dinginnya itu terlihat sangat Out of Character di dalam foto tersebut. Sakura yang membuat mereka tersenyum bahagia termasuk Sasuke. Walaupun Sasuke menampilkan raut wajah datar, akan tetapi jika kita lihat lebih teliti lagi, dia sedang tersenyum tipis dengan mata yang memandang ke arah Sakura.
Nona Sakura. Ya, itu adalah kenangan satu-satunya yang mereka miliki bersama gadis itu. Foto itu diambil sebelas bulan sebelum kepergia Sakura.
Chiyo kembali melangkahkan kakinya dengan langkah gontai dan bahu bergetar. Dia tahu, sangat tahu bagaimana menderitanya kehidupan gadis musim semi itu selama belasan tahun terakhir hidupnya.
Dulu ketika dia berbelanja di supermarket pinggir jalan yang lumayan jauh dari kediaman Uchiha, Chiyo melihat sebuah mobil yang sangat dia kenali berhenti di pinggir jalan. Saat itu pintu penumpang terbuka, lalu Chiyo membulatkan kedua bola matanya ketika melihat Sakura yang berumur sebelas tahun diturunkan dengan sedikit kasar oleh tuan Haruno, dan mobil itu pergi meninggalkan Sakura yang tengah menatap sendu mobil itu di trotoar jalan.
Dengan tergesa waktu itu Chiyo menghampiri Sakura dan mengajaknya duduk di taman tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Chiyo memaksa Sakura menceritakan apa yang terjadi pada gadis itu dan pada saat itu pula hatinya seakan tercubit ketika melihat putri bungsu Haruno menceritakan semuanya dengan beruraian air mata dan pancaran cahaya emerald yang redup itu menampilkan tatapan penuh akan luka yang mendalam.
Setelah kejadian itu, tanpa semua orang ketahui Sakura selalu mengeluarkan keluh kesahnya kepada sang pelayan Uchiha itu setiap pulang sekolah. Ya, Chiyo sudah Sakura anggap sebagai Neneknya sendiri.
Semoga nona Sakura tenang di alam sana, Nenek merindukanmu Saki. Batin Chiyo seraya terisak dalam diam.
Mikoto menatap suaminya sendu, "Fugaku-kun," lirihnya pelan seraya menggenggam tangan suaminya.
Itachi menundukkan kepalanya, sedangkan Fugaku menatap sang istri datar, namun memiliki pancaran cahaya redup di kedua matanya. "Hn, kita harus menghampiri Sasuke. Sekarang." Perintahnya. Mikoto dan Itachi mengangguk setuju lalu mereka pun beranjak meninggalkan makanan mereka menuju kamar Sasuke.
Kini mereka bertiga berdiri tepat di hadapan pintu kamar sang bungsu Uchiha. Mikoto mengangkat tangannya dan mulai mengetuk pintu. "Sasuke, ini Ibu. Buka pintunya, Nak!" ujar Mikoto sedikit berteriak.
Tak ada jawaban dari sang pemilik kamar yang membuat mereka menghembuskan napas berat. Fugaku meronggoh saku celananya lalu mengeluarkan sesuatu yang ternyata adalah kunci duplikat kamar Sasuke. Fugaku memasukan kunci tersebut dan pintu pun terbuka menampilkan kegelapan di dalamnya. Mikoto meraba dindin, mencari saklar lampu. Dapat. Lampu pun menyala membuat mereka dapat melihat sesuatu yang membuat dada mereka sesak.
Mereka bertiga mulai melangkah memasuki kamar bak arena peperangan. Ranjang berantakan, bantal dan selimut tergeletak di lantai, meja dan kursi terbalik, pecahan kaca berserakan di lantai, tirai tidak terpasang lagi di jendela melainkan teronggok di lantai, buku-buku berserakan di bawah meja belajar. Tetapi yang paling parah adalah., lukisan-lukisan yang tersayat pisau dan tergeletak di lantai dengan cipratan darah yang berasal dari luka tangan Sasuke.
Berdiri di tengah ruangan, pemuda itu Uchiha Sasuke terdiam membeku dengan wajah kosong tanpa ekspresi dengan tangan terangkat hendak melempar hiasan bola salju ke dinding.
Rambut raven-nya yang biasanya tertata rapi dengan gel yang sering dia gunakan kini acak-acakan. Dia masih mengenakan kemeja hitam yang dikenakannya saat menghadiri pemakaman gadis itu. Dengan perlahan Sasuke membalikkan tubuhnya, lalu menatap mereka dengan kondisi menyedihkan dan kedua iris obsidiannya memandang mereka datar tanpa ekspresi.
Mikoto menghampiri putranya, tetapi Sasuke dengan reflek berjalan mundur. Mikoto berhenti melangkah, "Sasuke?" lirihnya parau.
"Pergilah!" ujar Sasuke dingin.
Mikoto menatap putra bungsunya sendu, Itachi menundukkan kepalanya lemah. Sungguh dia tidak tega melihat keadaan adiknya yang mengenaskan seperti ini. Fugaku mengeraskan rahangnya lalu menatap putra bungsunya itu tajam, "Apa yang kaulakukan pada dirimu, Sasuke? Sampai kapan kau akan seperti ini?" desis Fugaku seraya memerhatikan keadaan Sasuke yang memprihatinkan.
Sasuke menundukkan kepalanya lemah tanpa menyahuti desisan sang ayah. Fugaku menghela napas berat, lalu dia membuang wajahnya dari pemandangan mengerikan di depannya.
Mikoto menatap Sasuke yang tengah berdiri lima meter di depannya dengan tubuh yang gemetar. "Sasuke," panggil Mikoto lembut. Sasuke menoleh ke arah sang Ibu dengan tatapan kosong, "kenapa kau masih tidak mau makan? Makanlah, nanti kau sakit." Ujarnya dengan nada suara bergetar.
Tersenyum kosong, Sasuke menyahut datar. "Aku tidak lapar."
Mikoto melangkah mendekati putra bungsunya itu dan saat itu juga jantungnya terasa mencelos melihat keadaan sang putra. Wajahnya kosong dan ada lingkaran hitam di sekitar matanya.
"Keluarkanlah Sasuke ... keluarkanlah! Jangan kaupendam semuanya," ujar Mikoto lirih.
"Aku tidak ingin membicarakannya," jawabnya dingin. Mikoto segera mengangkat tangannya untuk memperingatkan Fugaku yang sudah siap memarahi Sasuke karena berbicara pada ibunya seperti itu. Sasuke memandang lantai dengan tatapan kosong, "Aku tidak ingin melakukan apa pun. Aku hanya ingin sendiri. Aku ingin ... mati."
…prang!
Hiasan bola salju di tangannya terjatuh. Hancur berkeping-keping di lantai. Pandangan Fugaku, Mikoto dan Itachi tertuju pada kaki Sasuke yang tidak beralaskan apa-apa. Tergores. Mengeluarkan cairan merah pekat.
"Sasuke Ibu tahu apa yang kaurasakan dan Ibu yakin kita―"
"TIDAK! KAU TIDAK BISA MELAKUKAN APA PUN!" suaranya mencapai titik tertinggi. "Kau tidak bisa melakukan apa pun! Ibu, kau tidak bisa. Tak ada yang bisa. Sudah terlambat, aku ... dia―dia ..." Sasuke berhenti, bahunya bergetar hebat.
Mikoto menggenggam tangan putra bungsunya lembut, "Sasuke sudah cukup, Ibu mohon!" ujar Mikoto parau. Fugaku memalingkan wajahnya miris, sedangkan Itachi tetap menundukkan kepalanya semakin dalam.
Menghela napas pelan Mikoto mengusap bahu putranya lembut, "Berbaringlah, Ibu akan mengobati kakimu, dan nenek Chiyo akan membawakan makanan. Kalau kau sudah merasa lebih baik, Ibu janji Ibu akan memberikan semua yang kauinginkan―"
"Yang kuinginkan hanya ... dia." Lirih Sasuke dalam kepedihan. "BAWA DIA KEMBALI PADAKU! AKU INGIN DIA KEMBALI!" Jeritnya penuh kepiluan. Oh, lihatlah seorang Uchiha Sasuke dengan penderitaannya.
"Sasuke!" suara Mikoto pecah. Ia tak tahan melihat keadaan putranya yang seperti itu dan lebih parahnya lagi, dia tak bisa menenangkannya.
"Kenapa aku tidak tahu apa-apa tentangnya?!" Sebuah guci hiasan di ujung ruangan meledak akibat emosi yang ditimbulkan Sasuke. "Aku seorang Uchiha jenius, tapi kenapa aku begitu bodoh? Begitu tolol? Kenapa aku memanfaatkannya? Kenapa aku menyia-nyiakan perasaan cinta tulusnya? KENAPA SAMPAI DETIK TERAKHIR PUN AKU MENYAKITINYA? KENAPA TUHAN TIDAK ADIL PADANYA? KENAPA! Kenapa Tuhan mengambilnya dariku di saat aku begitu membutuhkannya ... KENAPA?!" Sasuke menangis histris seraya mencengkeram dada kirinya yang berdenyut pedih.
Itachi menyangga tubuhnya yang lemas di ambang pintu, Fugaku mengepalkan tangannya dengan tubuh gemetar, sedangkan Mikoto menggigit bibirnya kuat.
"Sasuke, Ibu mohon berhentilah! Ini sudah enam bulan berlalu, kapan kau akan berhenti? Sakura dia pasti tidak tenang di sana, Nak. Relakanlah!" pecah sudah pertahanan Mikoto. Pada akhirnya air mata itu menyeruak keluar dari kedua manik onyx-nya.
Mendengar Mikoto menyebutkan nama gadis itu membuat Sasuke berteriak sebelum menjatuhkan dirinya ke lantai, dan membuat jantung Mikoto sebagai ibunya seakan ditarik keluar.
Sasuke memejamkan matanya. Terisak, dan kemudian air mata mulai mengalir di pipinya semakin deras. "Aku tidak tahu, aku tidak tahu," Sasuke terisak lagi dan lagi. "Dia gadisku, Kekasihku, Sakuraku! Bahkan tidak bisa bertahan cukup lama untuk memberiku waktu, untuk menyadarinya ... dua bulan bersamanya dan aku tak pernah bisa mengatakannya betapa aku―" Sasuke mengigit bibir bawahnya kuat hingga meninggalkan rasa kebas yang dirasakannya.
Mikoto memeluknya, menenggelamkan wajah Sasuke pada ceruk leherya. Hati Mikoto terus berdenyut pedih ketika merasakan putranya yang terkenal dingin, arogan, egois dan angkuh kini terasa sangat lemah dan rapuh dalam pelukannya.
Mikoto membatin pilu berharap wanita berparas cantik itu bisa memutar waktu kembali, mengambil semua penderitaan putra bungsunya yang Sakura tinggalkan pada tubuh Sasuke. Mengubah dunia sehingga Sasuke tidak akan pernah merasa tidak bahagia, tidak pernah merasa hancur seperti ini. Tapi ada banyak hal yang tidak bisa dilakukan oleh seorang Ibu. Ibu memang akan melakukan apapun untuk Anaknya tapi ingat, tidak semuanya karena seorang ibu bukanlah Tuhan yang dapat melakukan segalanya.
"Bagaimana dia bisa meninggalkanku?" Sasuke bertanya dengan suaranya yang serak. "Bagaimana dia bisa meninggalkanku? Aku … mencintainya."
Selama beberapa waktu tak ada suara yang terdengar selain isak tangis Sasuke. Mikoto memandang dinding bercat hitam di depannya dengan tatapan kosong seraya terus memeluk tubuh putranya. Sampai Mikoto mendengar suara langkah kaki.
Ibu dari dua anak itu menoleh dan melihat suaminya; Uchiha Fugaku, membungkuk ke arah mereka berdua—Mikoto dan Sasuke— Fugaku meletakkan tangannya di bahu Sasuke lalu mengelusnya lembut.
"Semuanya akan baik-baik saja, Nak. Semuanya akan baik-baik saja." Ucap Fugaku dengan tatapan penuh kasih sayang yang tak pernah ia berikan pada putra bungsunya itu. Dan dengan cepat Sasuke memeluk tubuh ayahnya erat seraya terisak pilu di bahu lebar sang ayah. Biarlah untuk kali ini saja Sasuke berkeluh-kesah pada ayahnya. Hanya untuk kali ini saja.
"Ssshh, menangislah Sasuke, jangan kaupendam semuanya sendirian. Kami juga ingin merasakan apa yang kaurasakan." Ucap Fugaku seraya mengelus punggung putranya lembut. Hatinya sebagai ayah tentu hancur melihat sang putra kebanggaannya kini sangat rapuh di dalam dekapannya. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, Mikoto dan Itachi tidak bisa mempercayai kata-kata dan kelakuan Fugaku saat ini.
Uchiha Fugaku adalah sosok seorang ayah yang keras, kaku dan dingin, tapi saat ini Fugaku bersikap layaknya seorang ayah yang sesungguhnya, dan itu karena melihat penderitaan putra bungsunya yang begitu bagai neraka di depannya. Fugaku hanyalah manusia biasa, ia bukanlah iblis yang tak punya hati. Melihat darah dagingnya yang tersiksa seperti ini tentu membuat hatinya sebagai seorang ayah hancur.
Menatap miris pemandangan di depannya, perlahan Itachi beranjak meninggalkan kamar adiknya dengan setetes air mata yang mengalir dari kedua ujung matanya.
Tidak ada yang akan baik-baik saja, Ayah. Tidak, sebelum cahaya dalam hidup Sasuke kembali, sebelum embun segar dalam tubuh Sasuke kembali, sebelum puzzle kehidupan Sasuke yang hilang kembali ... dan kita tahu melebihi apapun bahwa semua itu tak akan pernah terjadi. Karena satu-satunya hal yang bisa mengembalikan cahaya, embun dan puzzle itu telah pergi untuk selamanya. Cahaya, embun dan puzzle itu adalah ... Haruno Sakura ... hamba yang telah Tuhan ambil. Batinnya Sang sulung Uchiha itu sendu.
.
.
.
.
.
...kesempatan kedua. Tuhan akan memberikannya kepada mereka yang benar-benar merasakan penyesalan mendalam tanpa dusta di hatinya—UchiHaruno Misaki.