Naruto © Masashi Kishimoto

Story by UchiHaruno Misaki

Warn : MC, AU, OOC, Typo, Pedofil Sasuke, etc.

.

Regret In Winter Sequel

SasuSaku

.


...chapter 10...


...

Entahlah. Itu yang ada di pikiran Sasuke. Dia hanya berniat menenangkan pikirannya. Ke villa miliknya di tengah-tengah hutan. Sebenarnya di desa terpencil lebih tepatnya. Ya, benar memang di tengah hutan. Villa itu adalah hadiah ulangtahunnya yang ke-15. Hadiah dari ayahnya.

Dia kembali teringat. Dulu saat ulangtahunnya yang ke-15, ayah dan ibunya tidak datang ke pestanya. Mereka terlalu sibuk di Barcelona. Hanya ada Itachi dan seorang gadis yang mendampinginya di pesta yang begitu mewah di mansionnya kala itu. Sasuke marah. Bahkan saat keesokan harinya mereka pulang, Sasuke sama sekali tidak memedulikan orang tuanya.

Sampai seminggu Sasuke diam. Tidak bicara. Tidak menyahut saat dipanggil orangtuanya. Mikoto yang resah akhirnya meminta suaminya melakukan sesuatu, supaya putra bungsunya tidak lagi merajuk. Fugaku yang sebenarnya tidak peduli., dibuat pusing juga dengan istrinya yang terlihat ikut uring-uringan. Akhirnya Fugaku berinisiatif menghampiri Sasuke.

Sasuke sedang bermain basket sendirian di halaman rumahnya. Terdiam saat bolanya memantul tinggi dan ditangkap dengan mulus oleh tangan Fugaku. "Sepertinya kau harus menghentikan sikap manjamu, Sasuke."

Sasuke menatap ayahnya datar. "Aku akan berhenti, tapi berikan aku sebuah tempat yang jauh dari keramaian, Ayah."

Fugaku menghela napas. "Akan kaudapatkan. Sekarang temui ibumu. Minta maaf padanya. Sikapmu sungguh tidak pantas, Sasuke." Fugaku melempar bola basket pada Sasuke.

Sasuke menangkapnya dengan mulus. Menatap punggung ayahnya yang siap memasuki rumah. Sasuke segera berlari dan meraih tangan kiri ayahnya. Menciumnya. "Aku memaafkan kalian."

Sasuke segera berlari mendahului Fugaku dengan wajah sedikit bersemu. Fugaku sendiri hanya bisa tersenyum kecil. Mendengus pelan. "Anak itu."

Seminggu kemudian Sasuke dibuat tercengang saat dirinya melihat sebuah lahan yang sangat luas di tengah hutan rindang. Di sana terdapat tiga orang arsitek. Sekitar 50 pekerja dan 5 buah alat berat yang sedang mengerjakan suatu bangunan yang baru seperempat jadi. "Ayah ini..." dia menatap ayahnya.

"Villa khusus untukmu. Sebagai hadiah." Fugaku tersenyum amat tipis. Menepuk pundak Sasuke.

Sasuke tersenyum setengah. "Terima kasih, Ayah." Sasuke menatap calon villa miliknya senang. Setahun kemudian villa itu sudah berdiri bak istana.

Jika diingat, motivasinya ingin memiliki sebuah tempat yang jauh dari keramaian adalah Haruno Karin. Perempuan yang disukainya sejak umurnya yang ke-10. Saat dirinya dan keluarga diundang ke pesta ulangtahun putri pertama keluarga Haruno.

Entahlah. Sekali lagi. Sejak saat itu dia yang berencana mengajak Karin ke villa selalu gagal. Entah Karin yang mendadak sakit. Atau dirinya yang mendadak terluka parah saat pertandingan basket. Dan lainnya. Sampai saat ini dia bahkan tidak pernah membawa Karin ke villa. Yang tahu villa ini hanya keluarganya dan ... gadis itu.

Sasuke tersenyum muram. Pada akhirnya yang dia bawa adalah Haruno Sakura. Gadis yang telah dia hancurkan dengan rencana bejadnya. Gadis yang dia cintai. Ironisnya, dia menyadari perasaannya saat maut siap mengambil nyawa gadisnya. Haruno Sakura. Gadis yang dicintainya. Yang meninggal dunia dalam pangkuannya. Dalam pelukannya. Dalam ciumannya. Dan dalam kesakitannya.

"Sakura..."

Untuk yang ketiga kalinya. Entahlah. Ini takdir. Kebetulan atau apa. Saat dirinya bangun dari tidur sorenya dan berencana mencari angin di luar. Sudah ada orang itu di sana. Berdiri. Terbengong dengan tatapan kosong. Menatap villa miliknya.

Dan untuk kesekian kalinya ... entahlah. Apa yang membuatnya kembali berulah. Meski tahu ini salah. Meski tahu dia bukanlah gadisnya. Meski tahu semuanya tidak seharusnya seperti ini ... Sasuke merasa lelah dan menyerah dengan hatinya. Dia berlari dan merangkap gadis belia itu dalam pelukannya. Menyesap bibir itu pada bibirnya. Segala tentang gadisnya bagai candu yang tidak dapat Sasuke lewatkan.

"Bercintalah denganku. Aku merindukanmu."

•••

Mengedipkan kedua bola matanya yang jernih, Sakura mengabaikan lumatan demi lumatan yang diberikan pada bibirnya. Bercinta? Apa itu?

"Paman ..." dengan sedikit paksaan, Sakura mendorong bahu pria yang sudah dua kali mencuri ciumannya. "Maksudnya apa? Bercinta itu apa?"

Sasuke dengan napas tersengal tersenyum frustasi. Mengacak rambut ravennya gusar, pria dewasa itu berbalik membelakangi Sakura. Bahu lebar pria itu terlihat naik turun tak beraturan. Ya, Tuhan. Sasuke mengusap wajahnya. Dia benar-benar merasa kacau.

Sementara Sakura masih memerhatikannya dalam diam. Rambut merah mudanya tersibak angin sore yang berhembus. Entah kenapa ... Sakura begitu merasa perasaan aneh menyelimuti hatinya. Sakura merasa, begitu merindukan pria di depannya. Sangat merindukannya. Ada apa sebenarnya? Kedua telapak tangannya saling menggegam gelisah, Sakura perlahan menghampiri Sasuke. Entah keberanian dari mana, tanpa ragu Sakura menyentuh punggung Sasuke.

"Paman," Sakura dapat merasakannya. Punggung itu menegang saat dia menyentuhnya. "Terima kasih."

Sasuke menoleh dan kedua matanya menegang. Sakura tersenyum manis dengan angin yang dengan indah menyapu rambut merah muda panjangnya. Hatinya terasa berdetak begitu kencang. Gadis di depannya begitu mirip. Dan senyuman itu ... "untuk yang waktu itu," Sakura menyampirkan helaian rambutnya ke telinga. "Aku tidak sempat mengucapkannya. Banyak hal yang membuatku bingung." Sakali lagi, Sakura menatap iris obsidian di depannya dalam-dalam. "Siapa Haruno Sakura?"

deg!

Kedua tangan Sasuke jatuh di kedua sisi tubuhnya. Menatap kosong wajah gadis belia di depannya. "Haruno Sakura, itu kau!" dan kedua bola mata Sakura melebar saat tanpa segan Sasuke menariknya ke dalam villa.


.

oOo

.


Tubuh Menma terpental. Semua orang menatap ngeri kejadian yang begitu cepat dan mendadak di depan mereka. Saat dengan gerakan spontan Sai berlari dan memukul wajah sahabatnya itu tanpa ampun. Shikamaru bahkan melotot tak percaya.

"Apa yang kaulakukan, Bangsat!" Menma berteriak dengan mulutnya yang berdarah. Sai hanya menatapnya datar. Tanpa ekspresi. Berusaha bangun dan berlari ke arah Sai, Menma mencoba membalas pukulan. Shikamaru dan Sasori segera menahannya. Bagaimana pun pasti terjadi kesalahpahaman di sini. Jangan sampai terjadi baku hantam di kelompoknya yang akan membuat Shikamaru pusing sebagai ketua tim. Sudah cukup berita Sakura hilang. Jangan ditambah lagi.

Hinata segera menghampiri Sai dan menggenggam tangan kekasihnya yang terkepal erat. Hinata tahu Sai sedang sangat marah saat ini, entah darimana Hinata tahu padahal Sai tidak menunjukkan ekspresi apapun. "Tenanglah, S-Sai-kun ..." Sai hanya diam dan menghela napas panjang.

Ino menendang kaki Menma keras dan membuatnya menjerit. "Ino!" Yang lain berteriak frustasi ada apalagi dengan Ino.

"Tidak lucu, Menma." Ino mendekatkan mulutnya di telinga Menma, "cari Sakura sampai ketemu. Aku tahu persis ini semua ulahmu, Brengsek." Menma menatapnya horor. "Atau aku akan melaporkan semuanya pada ayahmu. Kau tahu kan? Ayahmu masih berada di bawah Ayahku?"

Menma melepas paksa kedua lengannya yang dipegang Shikamaru dan Sasori. Dia menatap Ino nyalang, "lihat saja pembalasanku!" dan Menma pergi membuat semua orang yang di sana menatapnya bingung.

"Kakakku," Hinata menatap Ino, "bagaimana dengan kakakku?"

Ino menatap Shikamaru, seakan mengerti Shikamaru menghela napas panjang. "Baiklah, sebagai ketua Tim ... aku meminta, kita rahasiakan ini semua sampai tugas kita selesai di desa ini."

Tenten, Shizuka, Hana, Sasori, dan Hinata menatap Sikamaru shock. "Apa?" Hinata berjalan cepat dan mencengkram baju Shikamaru keras. "Apa maksudmu? Kakakku hilang, dan kau meminta kami diam saja? Kau gila?" amarah Hinata tak dapat dibendung lagi. Ada apa ini? Kenapa mereka memperlakukan kakaknya seperti ini. Demi Tuhan, kakaknya hilang!

Sai dan Ino saling tatap sepersekian detik. Setelahnya, Ino menatap semua temannya serius. "Teman-teman, mohon tenang. Kita harus tetap tutup mulut jika tidak ingin sekolah kita ditutup gara-gara hal ini. Aku yakin Sakura baik-baik saja. Ini demi kebaikan kita semua, keadaan sekolah kita sedang tidak stabil," Ino menghela napas. "Itu informasi dari ayahku. Setelah kejadian 17 tahun lalu, dimana seorang siswi menghilang dan ditemukan meninggal setelah melahirkan di rumah sakit, sekolah kita sampai saat ini pun jadi perhatian para orangtua." Yang lain mendengarkan dalam diam, tidak dengan Hinata yang air matanya mulai mengalir.

"Jika informasi ini menyebar, Sekolah kita akan ditutup. Dan seluruh murid tidak akan diterima di sekolah manapun. Bayangkan, tinggal 3 bulan lagi kita lulus." Ino menatap Hinata penuh penyesalan, "waktu kita masih 2 minggu. Aku mohon Hinata, jangan beritahu orangtuamu. Kita cari Sakura bersama-sama. Ya?"

Hinata jatuh bersimpuh dan menangis terisak. "Maafkan aku, Nee-san."

Pada akhirnya yang lain setuju dengan ucapan Ino. Mereka bukannya tidak peduli dengan Sakura, hanya saja mereka harus memikirkan nasib banyak siswa sekolah. Mereka juga yakin pasti Sakura baik-baik saja. Pasti Sakura berada di suatu tempat dengan orang yang menolongnya. Pikiran anak SMA yang sangat naif bukan?

Ino segera membawa Hinata ke penginapan mereka diikuti Shizuka, Hana dan Tenten. Sementara Sai, Shikamaru dan Sasori masih terdiam di tempat.

"Kau sudah gila?" Sai menatap Shikamaru tajam. "Kau berpikir ini semua hanya lelucon?" Sai mengahampiri Shikamaru dan menepuk bahunya pelan, "kau hanya harus bersiap-siap. Setelahnya bukan hanya Sakura yang hilang." Perkataan Sai membuat Shikamaru terdiam seribu bahasa.


.

oOo

.


"Jadi?" Sakura menatap punggung Sasuke dari balik meja bar dapur. Gadis itu duduk. Bertopang dagu dengan wajah yang sangat polos. "Ayah Sai ... maksudmu apa? Aku? Haruno Sakura?"

Sasuke meletakkan jus jambu dan jus tomat di meja. Menumpu kedua tangannya di meja, Sasuke menatap Sakura tajam, "bagaimana kau sesantai itu di tempat orang asing?"

Sakura mengedikkan bahunya. "Entahlah," dia meninum jus jambunya dengan tenang. Tatapan matanya menelusuri setiap senti yang ada di dalam villa mewah ini. Benar-benar orang kaya. Ya, awalnya dia memang agak takut saat Sasuke membawanya masuk, tapi segera dia tepis karena Sasuke adalah ayah Sai. Dan juga penyelamat hidupnya. Sakura cukup percaya dengan fakta itu. Kenapa harus takut? Lagipula Sakura lebih memilih berduaan di dalam villa dengan manusia daripada di luar sendirian. Di hutan. Membayangkannya saja membuat bulukuduknya berdiri.

"Kau tersesat?" Sasuke memilih duduk di samping Sakura. Meminum jus tomatnya. Menatap Sakura dari balik gelas.

"Iya," mengangguk polos, Sakura balas menatap Sasuke. "Untung saja aku bertemu paman, bukan orang lain."

"Mau kuantar kembali?"

Sakura menggeleng. "Tidak sebelum paman menjelaskan, siapa Haruno Sakura. Kenapa keluarga paman bersikap aneh dan ...," gadis itu menatap Sasuke marah, menggemaskan. "Kenapa paman mencuri ciumanku, dua kali." Rasa penasarannya sangat tinggi. Sakura harus mendapatkan jawabannya. Bagaimanapun caranya.

"... dua minggu."

"Apa?" kedua iris klorofilnya berkedip bingung. "Maksud, Paman?"

Iris obsidian itu menatapnya dalam. "Tinggalah di sini selama dua minggu," suaranya begitu dalam. "Dan aku akan memberitahumu. Semuanya."

Sakura terdiam. Membisu. Menatap dada Sasuke yang terbalut kaos hitam polos dengan tatapan kosong. Dua minggu? Bagaimana ini? Bagaimana dengan teman-temannya. Hinata. Keluarganya ... tapi, kembali lagi. Semua pikiran rasionalnya kalah dengan rasa penasarannya yang tinggi. Wajar saja bukan? Umurnya masih 17 tahun dan tentu dia tidak pernah berpikir konsekuensinya. Yang penting rasa penasarannya terjawab. Toh, tugasnya di desa juga masih 2 minggu lagi.

"Baiklah, aku setuju."

Tipikal gadis yang sangat polos.

Sasuke menyeringai penuh arti. Apakah dia berdosa memanfaatkan kepolosan gadis di depannya ini. Persetan dengan dosa. Yang penting adalah kesempatan ini tidak akan pernah Sasuke sia-siakan.


.

oOo

.


Hujan deras mengguyur sebagian bumi. Ketika ada yang bilang hujan itu rahmat yang dapat menenangkan hati, Kizashi berpikir sebaliknya. Pria tua itu bersimpuh, mengusap batu nisan pada sapuan tangannya yang kasar. Jas kantor mahalnya basah kuyup, tubuh menggigil tidak dia pedulikan. Tersenyum getir, air mata seolah kering. Sesedih apapun dia, sesakit apapun dia, semenderitanya dia. Haruno Kizashi sudah tidak bisa mengeluarkan air matanya lagi.

Tujuh belas tahun putri bungsunya meninggal. Dua tahun istrinya menyusul pergi. Meninggalkannya dan menghampiri mendiang Sakura di Surga sana. Kizashi merasa dirinya bukan apa-apa sekarang. Pencapaian bisnisnya yang terus meningkat tidak berarti apapun. Yang dia miliki sekarang hanyalah Karin dan penyesalan tiada akhir.

"Sakura, Anakku ...," Kizashi mengusap batu nisan yang berada di sebelah kanan dan kembali bergumam lirih. "Istriku, Sayang," pria tua itu berdiri dengan mata yang mulai memerah. "Aku sudah tidak kuat lagi."

Kakinya mulai gemetar. Perlahan Kizashi berdiri dan berjalan meninggalkan pemakaman dengan tertatih. Mendadak dadanya merasa sangat sakit. Detak jantungnya berdetak sangat kencang. Dia tidak bisa menyetir. Meninggalkan mobilnya yang terparkir, Kizashi berjalan dengan susah payah ke jalan raya. Dia harus mencari taksi. Penyakitnya kambuh disaat yang tidak tepat. Kebetulan yang mengerikannya ponselnya mati.

Hari ini Haruno Kizashi baru saja kembali ke Tokyo setelah sekian lama kabur dari masalalu. Entah hanya perasaannya saja atau apa, dia merasa harus kembali ke sini. Melihat makam putrinya dan berusaha berdamai dengan masalalu dan berusaha untuk memaafkan dirinya meski sampai mati pun Kizashi tahu dirinya tidak dapat dimaafkan.

Jalan raya begitu ramai. Nyatanya hujan deras tidak membuat orang-orang berdiam diri di rumah. Kizashi mencengkram dadanya semakin erat. Ya, Tuhan ... rasa sakitnya semakin menjadi. Dia memiliki penyakit jantung dan darah tinggi setelah Mebuki meninggal. Selama setahun ini dia menyembunyikannya dari Karin. Kizashi tidak ingin semuanya tahu tentang penyakitnya. Dia ingin merasakan bagaimana jadi seperti Sakura dulu. Menyimpan penyakitnya sendirian tanpa oranglain tahu sampai ajal menjemputnya. Menderita sendirian.

Terisak lirih, pria tua itu tanpa sadar menangis. Dia kembali bisa menangis setelah sekian lama. Mengingat kembali penderitaan mendiang putrinya. Haruno Sakura. Tubuh ringkihnya bergetar hebat. Taksi berada di sebrang jalan, tanpa berhenti menangis Kizashi menyebrangi jalan dengan hati yang kembali hancur dan ... yah.

Tubuhnya terpental sesaat setelah sebuah truk menghantam tubuhnya. Beberapa kendaraan berhenti dan orang-orang mulai mengerubungi tubuhnya.

Ya, Tuhan! Cepat panggil ambulance!

Siapa pria ini?

Kasihan sekali, bagaimana dengan ambulance? Sudah dihubungi?

Cepat cari dompet atau ponselnya hubungi keluarganya.

•••

Suara bising itu semakin lama semakin tidak terdengar dengan jelas. Apakah ini akhir dari hidupnya? Haruno Kizashi dengan segala dosa-dosanya.

Bolehkah dia berharap?

Tuhan ... aku ingin bertemu anak dan istriku...

Sakura sayang, mohon maafkan Ayah.


.

oOo

.


"Ayah!" Sakura menjerit. Seluruh tubuhnya basah oleh keringat. "Ya, Tuhan!" Menutup wajahnya, Sakura tidak tahu mengapa dirinya menangis saat ini. Hatinya sangat sakit. Sangat sakit. Tangisannya semakin keras diiringi kilatan petir dan hujan di luar sana. "Ayah, hikss!"

Pintu terbuka kasar. Dengan langkah lebar Sasuke menghampiri Sakura dan memeluknya. Pria dewasa itu tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya terus memeluk Sakura dengan jantung yang berdetak sangat cepat. Kali ini bukan karena dekat dengan Sakura, melainkan ketakutannya. Sasuke begitu terkejut dan kacau saat mendengar Sakura menjerit. Dia sangat takut terjadi sesuatu pada Sakuranya.

"Ada aku," akhirnya dia berkata di telinga Sakura yang masih terisak memanggil ayahnya. "Sakura, tenanglah. Kau mimpi buruk?"

Menggeleng di sela tangisannya,. Sakura mencengkram punggung Sasuke—nyaris mencakarnya, "ayah, ayah!"

Seketika hatinya mencelos. Sasuke seakan ditampar oleh kenyataan bahwa, gadis dalam dekapannya setara dengan putranya. Uchiha Sai. Betapa hinanya dirinya telah memcabuli gadis yang bahkan pantas menjadi putrinya. Mencium termasuk tindak pencabulan, 'kan?

"Kau ingin pulang?" walau dengan berat hati Sasuke mengatakannya, dia harus bijaksana. Dia tidak boleh mengurung Sakura di sini. Setidaknya jangan sampai hal di masalalu terulang kembali karena keegoisannya. Menyakiti gadisnya.

Tangisan Sakura mulai mereda, bertahan cukup lama dengan posisi memeluk Sasuke. Sakura perlahan mengangkat wajahnya menatap Sasuke sayu. Bekas air mata masih ada. Mata bengkak dan wajah yang memerah. "Tidak," suaranya serak. "Aku masih ingin di sini. Sampai paman menjelaskan semuanya kepadaku." Sasuke diam.

"Aku hanya mimpi." Beranjak dari pelukan nyaman itu, Sakura mengelap wajahnya lemah, "begitu terasa nyata. Aku bermimpi ayah meninggal." Kembali menatap Sasuke sayu, Sakura kembali menangis, "tapi itu bukan ayahku."

Sasuke menatap Sakura prihatin, tapi entah mengapa di sisi lain Sasuke merasa bahagia. Dia bisa duduk sedekat ini dengan Sakura. Bolehkah dia membohongi diri sendiri? Dan menganggap Sakura ini adalah Sakuranya. Sakura di depannya begitu mirip dengan kekasihnya. Sasuke merasa dirinya benar-benar bermimpi bisa melihatnya lagi.

"Paman juga, kenapa main rahasia-rahasiaan denganku?" Sakura cemberut dengan wajahnya yang kacau. "Kenapa paman tidak mau bilang siapa Haruno Sakura?"

"Heh," Sasuke tersenyum meremehkan. "Kenapa? Rindu dengan keluargamu? Pulang sana, kalau kau menyerah dengan tantanganku. Dan lupakan tentang Haruno Sakura."

Sakura melotot tidak terima. "Hei, setidaknya aku tidak mau mati penasaran ya. Lihat saja, Paman. Aku pasti bisa bertahan hidup di villa ini selama 2 minggu!" iris klorofilnya berkilat penuh tekad, "dan kau, Paman! Harus menepati janjimu."

"Baiklah," Pria itu terkekeh renyah dan mengacak rambut Sakura. "Sudah merasa lebih baik?" Sasuke memberikan segelas air putih yang berada di nakas tepat di samping ranjang. "Minumlah."

"Terima kasih," Sakura memberikan kembali gelas yang sudah kosong. "Paman kau tahu?" Sasuke mengangkat alisnya. "Kau cukup menyenangkan. Meski paman orang asing, tapi aku merasa tidak asing denganmu." Sakura tersenyum sangat manis.

Jantungnya kembali berdetak tak karuan. Sasuke pertama kali dalam hidupnya merasa wajahnya sangat panas. Dan ... tersenyum tak habis pikir, Sasuke manatap gadis belia di depannya dalam-dalam. "Masih jam 1 malam, mau lanjut tidur sendiri atau," Sasuke mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah Sakura yang bengong. "Mau aku temani?"

Blush.

Wajah Sakura bak kepiting rebus. Oh, lihatlah bahkan kedua telinganya memerah. Lucu sekali. Sasuke menyeringai kecil, "hn, kita impas." Sasuke berjalan santai keluar kamar dengan gelas kosong di tangannya. Meninggalkan Sakura yang terbengong dengan wajah memerah.

Pintu tertutup. Sasuke jatuh bersimpuh di balik pintu. Kedua matanya memerah, hatinya sakit. Bolehkah? Bolehkah dia seperti ini? Sakura ... apa yang harus aku lakukan?


to be contunue


a.n : Haiiii semuanyaaa... duh, #gigitjari Sasa mulai dari mana ya? Sebelumnya mohon maaf ya readersss berapa lama Sasa mencampakkan fict ini? #nangisdipojokan #barenggaara #plak

Yahh, pokoknya makasih banget fict ini udh tembus 1k review 600 fave 400 follow. Yaampun apa atuh ya Sasa bukan apa apa tanpa kalian... yah intinyaa nikmatin yaa ceritanyaaa lanjutt sampai enddinggg ... ditunggu lohhh kritik sarannya setelah 4 tahun wkwkwk #laririangbarengitachi btw siap siappp chapter depan fulll sasusaku momentt hihiwww