Tema : AKUMA by :Tobi chan :3

## This is YAOI :o ##

Rate : M untuk chap ini belum yakkk.

(Romance, Angst, Supranatural, dll)

PAIR : NarufemSasu

Ini hanya ide yang muncul di otak saya. Jadi maaf kalo absurd dan banyak thypo ^^

Happy reading, Terima kasih.. :)

AKUMA

Perlahan sang dewi malam menenggelamkan diri digantikan dengan bola merah besar yang mulai merayap mengawali satu lagi hari baru. Hari yang disetiap pemikiran para insan menggumamkan kata "HARI INI PASTI LEBIH BAIK DARI HARI KEMARIN". Apakah semua? ku rasa tidak.

Angin pagi berhembus bahkan tak ingin mengalah dengan laser surya yang mencoba menghangatkan cuaca. Bahkan untuk seorang gadis yang masih setia dengan selimut tebalnya.

"Baru pukul 7." gumamnya pada diri sendiri setelah sejenak melihat jam weker di samping tempat tidurnya.

Kedua manik onyxnya perlahan melirik ke arah jendela kamarnya-yang entah sejak kapan sudah terbuka. 'Apa kau datang?' batinnya. Ia tersenyum dalam hati membayangkan hal yang diduga memang benar. Tak ingin berlama-lama dengan segala pemikiran yang berkecamuk, dengan malas gadis yang memiliki surai bak raven sepinggang itu turun dari ranjang-mengindahkan suhu dingin merayap dipori-pori kaki dan lengannya yang tak tertutup. Perlahan ia seret kakinya menuju dapur. Tenggorokannya terasa kering dan berinisiatif mengambil segelas air mineral saat didengarnya bell pintu rumah yang sudah ia huni selama lima tahun berbunyi. Awalnya ia hendak membiarkan seseorang entah siapa bertamu pagi-pagi di rumahnya. Tapi itu segera ia tepiskan karena sang tamu semakin memencet tombol bell dengan tidak sabaran. Sedikit merasa jengkel, dia pun melangkah ke depan untuk menemuinya.

Klek!

Pintu terbuka. Menampilkan seorang pria mengenakan topi merah-kuning berjaket kulit tebal dan membawa sebuah box di tangannya.

"Ah! maaf mengganggu. Saya hanya ingin mengantarkan paket untuk anda." Ucap pria itu menjelaskan. "Apa benar ini kediaman Sasuke Uchiha?" Pria itu bertanya pada gadis di depannya karena si gadis hanya diam dengan muka datar. "Maaf nona?" Tambahnya.

"A.. iya. itu Aku." jawab gadis yang ternyata bernama sama dengan tujuan paket tadi.

Gadis yang bernama Sasuke tadi segera mengambil paket-tak lupa menandatangani bukti terima. Kemudian masuk kembali ke dalam rumahnya. Setelah di dalam, Sasuke membuka box berukuran 30x20 cm itu. Tanpa memperdulikan kerapihan, Sasuke membuka kertas coklat pembungkus terluar dengan sekali tarikan. Membuka tutup kedua dan terlihat di dalamnya terdapat sebuah syal berwarna darkblue bergaris hitam. Diambilnya syal itu-yang ia kira panjangnya 2 meter serta sebuah surat kecil di dalamnya. Ia mendengus setelah membaca tulisan dalam surat itu. Bodoh. Seharusnya ia tahu siapa yang mengirim paket ini-seperti tahun-tahun sebelumnya dan..di tanggal dan bulan yang sama. Seketika raut mukanya berubah murung. Rasa marah atau mungkin kecewa kembali menggelayutinya. Dalam benaknya ia ingat betul sewaktu masih duduk di bangku SMP, ia sering berdo'a dan bisa dibilang itu sudah menjadi ritual wajibnya setiap pagi dan malam sebelum tidur. Tuhan. Ya! Tuhan. Sang pencipta semesta, yang di sembah dan di agung-agungkan setiap umat. Dan..Tuhan! ia tak mungkin menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi. Mendiang ibunya selalu mengatakan 'Kau harus bisa menerimanya. Itu adalah anugrah.'. Anugrah? entahlah. Apa itu pantas disebut sebagai anugrah atau sebuah ketidakberdayaan. Anugrah. Sasuke tertawa garing memikirkan satu kata itu. Kata yang menjadi penggerumbulan dalam hati dan pikirannya. Lamunannya kembali terpecah saat ia menangkap satu kalimat di akhir surat kecil itu. 'Aku tak sabar menunggu usiamu 20'. Hanya itu. Tak ada salam penutup apapun. Dan pikirannya kembali di tahun-tahun lalu dimana tulisan yang sama dijumpainya. Jika dipikir-pikir sudah sepuluh tahun lamanya-sepuluh kali pula ia membaca kalimat sama.

Sasuke menghela napas panjang dan meletakkan kembali syal itu ke dalam box. Entah mengapa ia ingin hari seperti ini tak akan pernah datang. Suara jam dinding mengalihkan lamunannya. Diliriknya jam berwarna putih di atas lemari es. Tepat pukul 8 pagi. Sepertinya ia terlalu lama berkutat dengan hal-hal yang ia sendiri tak mengharapkannya-hingga ia lupa akan hausnya.

"Menyebalkan." gumamnya.

"Hai Suke!" sapa seorang gadis berambut hitam panjang.

"Hai." jawab Sasuke singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari novel ditangannya.

"Sudah lamakah?" Tanya gadis tadi seraya duduk dikursi depannya.

"Tak pernahkah kau berfikir sekali saja tidak membuat orang lain menunggu?"

"Baiklah. Maafkan aku, aku sedikit sibuk." Ucap gadis tadi merasa bersalah.

"Ya. alasan lainnya."

"He! sudahlah.. aku tahu kau bukan orang pemarah Suke." Rengek gadis itu. Disingkirkannya buku dari tangan Sasuke.

"Baiklah.. aku memang tidak bisa marah padamu Hime."

Wanita yang ternyata bernama NHinata itu tersenyum manis. "Jelas saja. Jika kau marah pasti sudah hancur restoran ini." Ucap Hinata menyindir.

"Hm."

Ya! Pasti restoran ini akan hancur. Hancur dalam arti yang sebenarnya. Dalam hati Sasuke sedikit bersyukur dengan pembawaannya yang cuek dan tak gampang emosi. Sangat memudahkan dirinya. Dan hal keterlambatan sahabatnya-sahabat satu satunya ini akan menjadi alasan terkonyol jika dia merusak restoran seseorang. Sungguh menggelikan.

"Apa hari ini tidak ada kuliah?" Tanya Hinata yang entah sejak kapan sudah memesan secangkir kopi-melihat sahabatnya tidak membawa buku mata kuliah selain novel berjudul Death In Venya yang tadi dibacanya.

"Aku malas. Hari ini mungkin aku hanya dirumah."

"Oh."

Hanya mendengar jawaban 'Oh' dari Hinata, alis Sasuke berkerut, tapi tak satupun pertanyaan lolos dari mulutnya.

"Hari ini spesial kenapa kau murung?"

"Tidak apa-apa."

'Hari spesial ya?' batinnya. Ia mendengus karenanya. Hinata hanya memutar kedua bola matanya melihat kelakuan sahabatnya ini.

"Haahh..dasar. Ini untukmu." disodorkannya sebuah otak kecil berwarna merah ke arah Sasuke.

"Apa ini? kau mau melamarku?" Tanyanya dengan nada malas.

"Itu akan kulakukan dan merupakan hal terakhir jika di dunia ini tidak ada kewarasan. Apa kau mau?".

Sebuah senyum terukir di wajah manis Sasuke.

"Happy birtday Sasuke." Ucap Hinata dengan senyum tulus. "Maaf tahun lalu aku tidak memberimu apa-apa." Tambahnya.

Hari ini tepat tanggal 23 Juli, Sasuke berulang tahun. Lebih tepatnya yang ke 19 tahun. Kado satu-satunya-ah! ralat. Kado kedua yang ia terima pagi ini. Sasuke membuka kado itu dan terlihat sebuah kalung perak dengan ukiran namanya yang indah.

"Bagus." Komentarnya cuek.

"Tidak adakah kata terima kasih?" tuntut Hinata.

"Ada jika kau memberiku dua sebagai pengganti tahun lalu." balasnya tentu dengan nada bercanda.

"Dasar kau." Senyum terpampang di wajah dua gadis tadi.

Siang yang menyenangkan bukan? bisa tertawa dengan sahabat dekatmu. Melupakan kepenatan tak penting dan memilih bersenang-senang. Apalagi dengan seorang yang bisa menerimamu-merentangkan kedua tangannya kapanpun kau butuh. Sahabat yang sungguh baik bukan?

Hinata, gadis berambut hitam dengan manik indigo. Tubuhnya tak terlalu kecil namun lebih tinggi 5 cm dari pada Sasuke. Seorang mahasiswi di salah satu Universitas jepang-sama sepertinya. Hinata dan Sasuke bertemu saat kelas 2 SMP-saat yang tidak tepat! atau mungkin Tuhan telah merencanakan ini. Dimana saat itu gadis cilik bersurai raven sedang menangis? marah? entahlah. Hinata yang kala itu bersembunyi hanya bisa mendengar suara-suara benda pecah, erangan dan teriakan.

'Apa yang terjadi?' pikirnya kala itu.

Dari balik persembunyiannya, Hinata bisa melihat gadis tadi mengerang dengan mencengkeram kepalanya. Di sekitarnya terlihat beberapa anak laki-laki tergeletak-di lengan dan kaki mereka tertancap pecahan-pecahan benda kaca-meraung kesakitan. Darah bercecer dan mengenai seragam sekolah mereka tak terkecuali si gadis tadi. Perlahan Hinata mendekati si gadis. Tenggorokannya tercekat saat meihat kedua pupilnya menyala hampir kemerah-merahan. Tapi, kenapa air mata mengalir?

Tak lama tiba-tiba si gadis tadi ambruk ke lantai. Dan saat ia mendekatinya baru ia sadar,ia begitu simpati dengannya-gadis yang setahunya tak pernah sekalipun bersosialisasi. Dan sekarang, 7 tahun mereka bersahabat. Tak sekalipun Hinata membiarkannya sendirian.

"Hei Hime! kenapa malah melamun?" Tanya Sasuke.

Sepertinya Hinata melamun cukup lama. "Ah.. kau mengagetkanku Suke!"

"Hm..jam berapa sekarang?" Sasuke kembali membaca buku dengan santai.

"Hm.. sekarang jam..astaga! aku bisa telat!" pekik Hinata saat menyadari jam tangannya menunjukan pukul 13.45 siang-15 menit sebelum kuliiah dimulai.

"Aku pergi dulu. Kau yakin tak ingin berangkat?"

"Tidak." Hinata memutar bola matanya, lagi.

Di tempat lain-tempat yang sangat gelap. Seorang pria tengah tertidur di kursi yang biasa dia tempati. Dari sini hanya surai kuning jabriknya yang samar-samar bisa terlihat-semuanya gelap.

"Aku tahu kau masih bisa mendengarku." Suara berat seseorang terdengar entah dari mana.

"Kau harus menghentikannya." terdengar suara lelaki lain menyahut.

"Bagaimana jika aku menolak?" pemuda bersuarai kuning tadi angkat bicara. Dia bangkit dari kursinya dan berjalan santai melewati dua pria yang ternyata berada di depannya. Pria itu menuju salah satu jendela yang masih tertutup kelambu merah,menariknya-membiarkan mentari langsung menyergab ruangan yang tadinya gelap.

Kini terlihat seorang pria yang juga berambut pirang seleher dengan mata biru dan seorang lagi bersurai dan bermata jade-keduanya menatap tajam pria lain yang dengan acuh bersandar di daun jendela membuat wajah tampan dan tiga garis di kedua pipinya terlihat jelas..

Pria bermata jade hendak mengatakan sesuatu saat tangan si rambut kuning terangkat.

"Tou-san tidak perlu khawatir." ucapnya pada pria tadi yang ternyata adalah tou-san nya. "Kau juga Nii-san." tambahnya.

Kini pria itu membalikkan tubuhnya ke arah dua orang itu-Tou-san dan Nii-san nya.

"Kau bercanda?" tanya Tou-san nya.

"Apakah aku terlihat bercanda?"

"Naruto! kau..apa maks-"

"Diam Gaara!" potong pria tua tegas. Tangan kirinya menggenggam lengan kanan Gaara kuat,mencoba menahan amarah putra sulungnya. Gaara sendiri sekuat tenaga menahannya. Kedua tangannya terkepal sampai memutih. Otot leher dan rahangnya menegang.

"Diam." kata pria tua itu lagi lebih halus namun tetap tegas.

Naruto hanya memandang Nii-sannya lewat sudut tanpa ekspresi.

"Permisi Minato-sama!". Tiba-tiba seorang pria berambut dan bermanik hitam masuk dan dengan sedikit tergesa-gesa berjalan ke arah Minato.

"Ada apa Iruka?" tanya Minato tak sabar.

Pria yang baru datang tadi agak ragu untuk menjawab. Pandangannya terarah pada Gaara dan Naruto-sepertinya mengerti dengan keadaan saat ini. Merasa yang di tanya tak kunjung menjawab, Minato selaku tou-san dari kedua putranya kecuali Iruka mengernyitkan alis ke arahnya.

"Ah! maaf Minato -sama. Sebenarnya..saya baru mendapatkan info baru dari pusat." Iruka menelan ludah gugub. Minato masih menunggu dengan sabar.

"Lanjutkan." Perintahnya.

"Sesuatu telah 'mereka' mempercepat langkah, karena menurut yang saya dengar,waktu untuk penentuan tidak tepat seperti seribu tahun lalu. Kali ini lebih cepat. Saya sendiri juga tidak tahu kenapaa hal ini bisa terjadi. Jadi.. kita pun harus bergerak cepat." Jelas Iruka panjang lebar. Rautnya semakin gugup tatkala Minato sama sekali tak menjawab ataupun memberi perintah. "Minato-sama?"

Tak menghiraukan panggilan Iruka, Minato justru beralih kembali kepada putra bungsunya." -san ingin kau mengerti."

"Aku mengerti." jawab Naruto.

"Kalau begitu lakukanlah seperti apa yang harus kau lakukan." Minato melangkah maju mendekati Naruto. "Tou-san tidak ingini kau-"

"Dan aku telah melakukan apa yang harus kulakukan Tou-san." potong Naruto cepat.

Minato membelalakkan mata mendengar ucapan putra bungsunya itu. Gaara yang mulai tenang, kini emosinya kembali membuncah. Iruka sang penyampai pesan hanya daiam menyaksikan drama keluarga di depannya.

"Naruto..?"

"Dan aku akan tetap mempertahankannya."

Sudah. Cukup sudah kesabaran Gaara pada adiknya. Ia mengerang tertahan, napasnya ,ulai memburu,kedua tangannya mengepal erat dan mata merahnya semakin berkilat. Minato dan Iruka yang mengetahuinya hendak mencegah tapi gagal karena tiba-tiba tubuh keduanya terpental.

"NARUTO..! KAU YANG MEMINTA INI!" teriaknya pada Naruto.

"Benarkah?" tanya Naruto santai. Membuat emosi Gaara tambah parah.

Detik berikutnya, Gaara berlari menerjang Naruto tapi Naruto menghindar. Gaara semakin berang. Dengan sedikit membungkuk,tangan kanannya mengeluarkan sebuah cahaya merah dan biru berbentuk seperti awan menyelubungi sampai pergelangan tangannya.

"KAU...ADIK MACAM APA KAU?!" Gaara berteriak dengan lantang-berlari secepat kilat ke arah yang juga sudah mulai terbawa emosi,kedua tangannya juga mengeluarkan cahaya seperti Gaara. Hanya berwarna putih-biru. Ia bersiap-siap menyerang akan tetapi sebuah cahaya seperti api datang dari arah kiri-menebas seperti kipas. Dengan agak kaget Naruto segera melompat-berputar di udara menghindari serangan kakaknya yang kini menghancurkan sebuah lemari dan menciptakan retak di dinding.

"Cih!ingin membunuhku rupanya." gumam Naruto dengan mulus mendarat di sebuah meja. Gaara mendengus, seringai muncul di wajahnya menampakkan sepasang taring tajam.

"HENTIKAN GAARA!"

Tanpa di duga,Naruto dan Gaara langsung menghantam ke tembok sebelum saling membunuh. Padahal sebelumnya jarak antara keduanya sudah kurang dari dua meter untuk melepas serangan masing-masing. Tapi dengan sigap Minato melompat dam mencengkeram kuat leher putra-putranya di tembok sampai menghasilkan suara 'BRAK' cukup keras.

"HENTIKAN!" bentaknya lagi-semakin kuat mencengkeram dua pemuda itu hingga tubuh mereka terangkat. Minato benar-benar muak menghadapi kedua putranya yang tidak pernah akur.

"M-Minato-sama!" tegurIruka karena kasihan melihat Gaara dan Naruto mengerang kesakitan. Minato langsung menarik tangannya yang mungkin jika di teruskan akan meremukkan leher kakak-adik itu.

"Gaara. Jangan buat Tou-san menyesal telah memilihmu sebagai ketua kelompok ini. Kendalikan emosimu berpikirlah!" kata Minato melihat putra sulungnya yang masih terdiam meredam emosi dan merasakan sakit dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Dan kau Naruto. Kau bukan lagi anak kecil."

Naruto pun hanya diam meraba lehernya yang tadi di cengkeram Tou-san nya. Dan sama seperti Gaara, dia juga merasakan sakit dari kepala sampai kaki-seperti aliran listrik yang menusuk.

"Apa yang terjadi?!" seorang wanita-Kushina-masuk menghambur masuk setelah mendengar suara gaduh. Sedikit ketika mengetaui kamar putranya kini sangat berantakan. "Sayang,apa yang terjadi?" tanya Kushina pada suaminya.

Minato menoleh sedikit kemudian berjalan pelan ke arah istrinya. "Hanya memberi pelajaran bocah yang bertingkah dewasa." jawabnya. Dia berhenti tepat de depan memandang wanita yang tingginya hanya sebatas telinganya. Tangan putih ramping Kushina terangkat dan membelai lembut pipi sang suami. Wajahnya berubah kecut melihat kilat emosi, sedih dan khawatir dimata suaminya. Kushina menunduk-tangannya menyusuri lengan Minato dan turun meraih telapak tangannya untuk digenggam, seakan dengan begitu dia bisa menyalurkan ketegaran kepada suaminya.

"Dan..jangan sekali-kali kau gunakan kekuatan itu pada anggotamu Gaara. Kau tahu itu belum sempurnya." ucap Minato seperti berbisik tanpa menoleh kepada Gaara. Tapi masih cukup bisa didengar jelas olehnya. Sepertinya Naruto juga mendengarnya karena saat ini dia melihat ke arah kakaknya-tangan kirinya memegang pergelangan tangan kanannya yang terlihat masih kemerahan seperti terbakar. Minato menghela napas sebelum akhirnya meninggalkan ruang di ikuti istrinya.

"Benar-benar kakak adik yang merepotkan." gumam Iruka tak peduli apabila di dengar oleh Naruto maupun Gaara. Dengan agak malas, dia membantu Gaara berdiri dan berjalan ke kamarnya untuk mengobati luka Namikaze sulung.

Naruto yang kini hanya sendirian di ruang itu terlihat murung. Mata biru langitnya menerawang ke arah retakan di dinding di sisi tembok lain-yang di hasilkan dari serangan pertama Gaara. Dirinya yang notabene tidak terlalu pintar pun bisa tahu walau kekuatan kakaknya belum sempurna,tapi kekuatan itu sangat mematikan kelak. Tak salah bila Tou-san nya memilih Gaara untuk menjadi ketua kelompok mereka-Akuma, tiga bulan lalu. Ia mendengus memikirkan hal itu. Tidak bisa di pungkiri ia sangat mengerti. Naruto merasa iri pada kakaknya. Tapi bukan Naruto bila harus menyerah begitu saja!

Sasuke terlihat berjalan-jalan menyusuri taman kota. Pandangannya terarah ke segala arah-terlihat beberapa orang sedang duduk di kursi maupun di ayunan. Ia menengadah memandang langit setelah melihat jam tangannya menunjukkan pukul empat sore. Ia melangkah lebih cepat ke arah rumahnya tak ingin pulang terlalu lama. Tapi,baru beberapa langkah ia keluar arrea taman,tiba-tiba Sasuke merasakan kepalanya mendadak pusing. Dia pun berhenti-memejamkan mata tangan putih pucatnya memegang kepalanya.

"Kau tidak apa-apa?" tanya seorang wanita setengah baya khawatir saat melihat gadis-Sasuke-di depannya pucat.

Sekali lagi Sasuke memejamkan mata dan menggeleng. "Tidak. Aku tidak apa." ucapnya sopan.

"Baiklah." meskipun begitu, tatapan cemas wanita itu masih terlihat.

Tak ingin merepotkan orang lain, Sasuke tersenyum simpul dan kembali memberitahu ia baik-baik saja. "Terima kasih."

Wanita itu kemudian pergi meninggalkannya karena sepertinya Sasuke tidak membutuhkan bantuan. Tak ingin terlalu lama di jalan,akhirnya Sasuke terus melangkah. Setelah sepuluh menit berjalan dengan susah payah,akhirnya ia sampai di depan rumahnya. Ia menarik napas sejenak merasakan kepala dan otot-otot kakinya tambah berdenyut. Di ambilnya kunci rumah di saku celananya. Napasnya terdengar tak teratur. Uap udara mengepul saat dia menghembuskan napas dengan kasar. Tangannya sedikit gemetar saat memutar kenop pintu. Sebelum dia berhasil membuka pintu,tiba-tiba sesuatu melintas dalam pikirannya. Tangan kanannya yang semula memegang kenop langsung beralih memegang kepalanya-lagi- hingga tubuhnya terhuyung ke depan dan bahu kanannya menghantam pintu.

"Ugh!"

Sasuke menarik napas dalam dan dengan sisa tenaganya ia membuka pintu dan langsung menutupnya lagi. Tubuhnya merosot dengan masih bersandar di pintu. Ia memejamkan mata lagi ketika sesuatu-bayangan-berkelebat di otaknya. Sasuke mengerang tertahan lagi saat di kepalanya muncul sesososk laki-laki berkulit pucat, di sampingnya berdiri seorang wanita cantik-mata hitamnya berkilat penuh tipu muslihat.

"Ber...henntthh...tiihhhh..!" Sasuke menggigit bibir bawahnya mencoba menahan teriakan. Sekelilingnya serasa bergemuruh. Segala benda di sekitarnya terlihat bergetar menimbulkan suara gemeretak ia seperti mendengar suara bisikan tak jelas seakan saling menyahut.

"Nghhh!"

PRANGGG. Suara benda kaca berjatuhan di sekelilingnya. Suara gmuruh pun juga semakin berdengung-dengung.

"BERHENTHHIIIHHHH-AARRRRHHHHH!" teriak Sasuke bersamaan dengan munculnya sosok bermata merah menyala seperti darah yang juga berteriak mengisi seluruh kepalanya.

Sasuke membuka mata perlahan,mengerjap beberapa kali untuk menjernihkan pandangannya. Tubuhnya kini terbungkus selimut tebal sebatas perut.

"Naruto?" ucapnya saat mengetahui ada seorang pria berdiri membelakanginya. Pria yang di panggil Naruto tadi sepertinya terlalu sibuk menerawang kegelapan di balik kaca jendela hingga saat ia menoleh, Sasuke sudah duduk di tepi ranjangnya. Naruto tak mengucapkan apa-apa, dia hanya tersenyum. Disandarkan punggungnya di daun menyilang di dada.

"Sudah berapalama?" ternyata Sasuke yang angkat bicara.

"Ku pikir dua jam setelah kedatanganku."

Sasuke menunduk mendengarnya. 'Tidak lebih lama dari biasanya'.

"Apa kau mendapat serangan lagi?" Naruto mendekati Sasuke dan menuntunnya berdiri untuk bisa duduk dikursi samping jendela-tempat favoritnya.

"Apa yang kau lihat?"

"Seperti biasa. Gumaman tidak jelas." jawabnya. Matanya memandang ke arah jendela dimana terpantul bayangannya dan Naruto. Dia sedikit bergidik saat matanya melihat pantulan manik Naruto ditambah jubah hitam yang ia kenakan seperti melebur dengan gelapnya keadaan diluar jendela hingga hanya tampak potongan kepala dan rambut kuning jabriknya yang terlihat. Saat itu lah ia teringat sosok terakhir yang muncul di pikirannya. Ia menimbang-nimbang apakah harus mengatakannya atau tidak.

"Ada apa?" tanya berjongkok di depan Sasuke dan menyentuh tangannya.

"Tidak apa-apa Naru." jawab Sasuke tersenyum merasakan dingin tangan Naruto menjalar di lengannya. Sasuke terus memandang pria di depannya. Manik mereka bertemu. Onyx dengan biru langit. Sasuke sangat senang jika melihat mata Naruto yang seperti ini. Ia sendiri juga tidak tahu sudah berapa sering matanya memandang lekat mata Naruto. Dan bahkan ia sendiri juga tidak ingat kapan,di mana, dan bagaimana mereka saling mengenal. Yang jelas Sasuke merasa sangat lama sudah mengenal Naruto.

"Ada apa memandangku seperti itu?" pertanyaan Naruto membuyarkannya dari lamunan."Jangan berfikir mesum." Naruto terkekeh sambil mencubit hidung mancung kekasihnya.

"A-apa? aku tidak mesum." Sasuke menepis tangan Naruto pura-pura sebal. "Aku hanya penasaran bagaimana waktunya sangat pas saat kau datang?
Naruto mengedikkan bahu. "Entahlah. Ku kira kau sengaja tidak mengunci pintu saat aku menemukanmu di bawah."

Sasuke mengangkat sebelah alisnya heran. "Pintu?"

"Ya. Kenapa?"

Sasuke malah tertawa karenanya. "Sejak kapan makhluk sepertimu mulai memakai pintu?" tanyanya mengingat biasanya Naruto datang ditengah malam lewat jendela kamarnya.

"Hanya ingin bertingkah sopan seperti kalian...para manusia." jawab Naruto santai. Ia berjalan ke arah pintu kaca di samping ranjang yang mengarah ke balkon-'pintu' lain yang biasa di gunakan Naruto. Sedangkan Sasuke hanya diam-tertegun dengan apa yang di ucapkan Naruto. Pernyataan itulah yang mebuat kenyataan merka begitu berbeda. Dan kenapa itu begitu menyakitkan?

Dari balik punggungnya Sasuke bisa mendengar Naruto membuka pintu itu mebiarkan sang napas bumi berhembus membelai tirai krem di pintu. Menciptakan suasana dingin tapi cukup nyaman. Sasuke berdiri dari kursinya dan berbalik menghadap Naruto. Terlihat di balkon Naruto berdiri diam-kedua tangannya direntangkan membiarkan surai jubah hiitamnya sedikit menari-nari dengn angin malam. Naruto membuka matanya karena merasakan seseorang telah berdiri disampingnya.

"Hm?" gumamnya seakan bertanya pada Sasuke, sedang apa di sini?

"Naruto.." panggil Sasuke membelakanginya. Naruto mendekati dan merengkuhnya dari belakang. Membuat dirinya dan Sasuke tenggelam dalam balutan jubah hitamnya.

'Hm?" guman Naruto lagi-menyandarkan dagunya di atas kepala Sasuke yang memang tingginya hanya sebatas lehernya.

Sasuke tak melanjutkan ucapannya. Dia menikmati kehangatan yang Naruto berikan. Dia merasa nyaman tapi memang tak bisa di pungkiri ada ras takut dalam benaknya. Dia juga tahu ada begitu banyak makhluk lain seperti Neruto yang mungkin kini beberapa pasang mata sedang memperhatikannya. Pelukan Naruto semakin erat ia rasakan.

"Sasu-chan?" panggil Naruto lembut. Sasuke agak heran terutama dengan embel-embel 'chan' di belakang namanya. Sudah cukup lama Naruto tidak memanggilnya seperti itu.

Sasuke memutar tubuhnya mendongak menatap Naruto. "Ya Naruto?"

Naruto merunduk dan menempelkan dahinya di dahi Sasuke. Terlihat ia memejamkan mata. "Apa yang kan kau lakukan seandainya...kita tidak bertemu lagi?". karena jarak mereka yang sangat dekat, Sasuke bisa mendengar ucapan Naruto walau seperti sebuah bisikan.

Sasuke tak menjawab pertanyaan itu. Ia ikut memejamkan mata-kedua tangan pucatnya di sandarkan di dada bidang Naruto. Sasuke pun sebenarnya tidak tahu apa yang akan di lakukannya bila hal itu terjadi. Dan bila ia boleh jujur, Kenapa hal itu seolah akan terjadi?

.

.

.

TBC~~~

Yup.. ff baru lagi haha..

Ya ampun berasa enggak bertanggung jawab nehh *liat ff samping yang terbengkalai.

xixiiii… maaf yehh maaf *bungkuk. Dan maaf lagi, mungkin story agak kurang tepat karena tadi ada ultahnya si Teme imuut XD tapi mau gimana lagi, ini buat menunjang jalan cerita *halahhapaan. heheheh

Oh ya.. buat kaka author2 *yang bukan author juga boleh nyumbang :3, yang mau join bikin cerita sasunaru or narusasu sama aku bisa add trus inbox di fb aku (Mumuut Fujo) sekali lagi MUMUUT FUJO. Soalnya aku lagi butuh binggiitttzzzzzz T3T

Arigatou~~ *cium atu2

MIND To REVIEW? ^^