Disclaimer: Naruto belong to Masashi Kishimoto. I don't have the chara in this story.

Genre: Family and Hurt/Comfort.

Rated: T Plus (Ucapan, kata-kata, dll).

Characters: Hinata Hyuuga, Sasuke Uchiha, Kotomi Uchiha (OC), other chara + OC.

Warning: Semi-Canon, typo(s), garing, gaje, belum tentu memusakan pembaca, dll.

A/N: DLDR! Kalau gak suka jangan dibaca. Nanti nyesel malah nyalahin authornya.

.

#*ENJOY IT*#

.

.


Previous

Zzzzhhhh

BLAAR

Chidori itu beradu dengan rasengan Naruto. Mereka terpental cukup jauh.

"Kenapa kau menghalangiku, dobe!"

"KAU GILA! KAU BISA MEMBUNUHNYA!"

"AKU TAK AKAN MEMBUNUHNYA! SUDAH KUBILANG AKU HANYA AKAN MEMBUATNYA MENGERTI APA ARTI PENDERITAAN SESUNGGUHNYA!

Cahaya keemasan menyelimuti tubuh Naruto. Ia harus melindungi Kotomi, ah tidak tapi semua orang dari amukan Sasuke.

"Naruto apa yang terjadi?" Shikamaru datang ketika mendengar suara keras dari hutan miliknya. Chouji dan Kiba berada di samping kanan dan kirinya.

Sasuke bertambah marah ketika melihat banyak orang di sekelilingnya "Argh! Kalian menyebalkan!" Teriaknya tertahan. Kegelapan telah mengambil alih dirinya sepenuhnya.

"Akan kujelaskan nanti. Sekarang kalian bantu aku menangkap Sasuke dan membuatnya tak berkutik!"

Shikamaru, Kiba, dan Chouji yang mengerti segera membantu Naruto. Dari adegan perkelahian itu tak terlihat Sasuke akan kalah. Aura yang dikeluarkan Sasuke semakin gelap dan kelam. Hinata sudah diamankan Naruto di dekat Sakura. Dia pun hanya bisa menangis melihat suaminya yang menjadi seperti itu. Ditambah Kotomi yang mendapat banyak luka di bagian punggung dan kepalanya.

Kage bunshin no jutsu

Naruto menyerang Sasuke dari segala arah. Tapi semua itu tak mempan bagi Sasuke yang mempunyai mata rinnegan dan sharingan. Pedang kusanagi menjadi senjatanya kali ini.

Shikamaru dengan konsentrasi yang tinggi berusaha menangkap kaki Sasuke dengan kagemane-nya. Namun lagi-lagi Sasuke dapat membaca jutsunya. Chouji berubah besar dan bergulung dengan kiba yang melayangkan gatsuga ke arah Sasuke. Pepohonan di sekitarnya sudah tak dapat diselamatkan.

Mungkin inilah puncak kefrustasian Sasuke. Dia yang sudah tak dapat menahan kesedihan yang merenggut kebahagiannya.

Cliing

Kotomi membuka matanya. Bola matanya yang hitam sudah berganti dengan merah.

ZLAASH!

Chapter 10

*Kotomi POV

Semua mata memperhatikanku setelah beberapa detik lalu melayangkan batu kecil dengan cepat tak tentu arah. Pada akhirnya batu itu mendarat tak lebih dari 1 meter tepat di depan Uchiha Sasuke. Mereka menatapku tak biasa. Apa ada yang salah?

"Sharingan."

Sakura ba-san berucap pelan sambil memandangiku. Aku jadi teringat dengan kata-kata yang baru kuketahui sekitar 1 minggu lebih beberapa hari itu. Bukannya itu mata khusus yang dimiliki oleh gen Uchiha?

"Sharingan-mu muncul, Kotomi," ucap Nanadaime. Aku terkejut. Tak mengira sharingan akan secepat ini bangkit di mataku. Aku meraba mataku yang sepertinya masih normal. Bagaimana aku bisa tahu kalau ini sharingan sungguhan?

*Normal POV

Putra bungsu Uchiha Fugaku itu mendekat ke arah putrinya. Sang putri yang merasakan hawa mencekam mundur dengan menyeret pantatnya. Dirinya ketakutan dengan mata belang yang dimiliki oleh lelaki di depannya.

"Hey, Sasuke," panggil Kiba. Tangannya berusaha menggapai tangan Sasuke, namun Sasuke mengalirinya dengan lisrik. Hal itu membuat Kiba tak melanjutkan gerakannya.

"Gotcha!" Shikamaru berucap puas. Saat ini tubuh Sasuke sudah terikat dengan kagemane-nya. Takut jika Sasuke memberontak, ia memaksimalkan chakranya pada ujung kage yang menarik kaki Sasuke. Keadaan lengah tadi memberikan peluang bagi Shikamaru untuk melancarkan aksinya.

Benar saja. Tubuh Sasuke menggelinjang ingin melepas diri. Seperti yang diperkirakan Shikamaru. Walaupun mungkin bisa terlepas karena kekuaran besar Sasuke, butuh waktu lama untuk melepas jeratan yang mencekal pergelangan kakinya. Apalagi dengan syaraf kaki yang dibuat serasa mati oleh Shikamaru.

"Mungkin kau perlu dibuat tidak sadarkan diri," ujar Naruto sambil berjalan 2 langkah mendekati Sasuke. Saat ini, ia sudah berada di belakang Sasuke.

"Pengganggu!" desis Sasuke. Tubuhnya tak melawan lagi. Namun pancaran warna biru keunguan itu menjadi penggantinya. Awalnya tipis namun semakin Sasuke berkonsentrasi pancaran itu makin lama makin membesar. Naruto sudah akan mentotok tengkuk Sasuke jika suara putri temannya itu tidak menghalangi.

"Kau membuat ini menjadi lebih sulit." Kotomi menyuarakan suaranya. Dengan perlahan ia mendekati lelaki itu dengan keadaan tubuh yang masih terluka.

Sasuke melihat putrinya berjalan ke arahnya. Mata hasil jerih payahnya selama ini tak menampakkan kehidupan barang secuil pun.

Dalam hati, Kotomi merasa ketakutan. Namun ketakutannya sirna karena kali ini ada yang menjamin keselamatannya. Terimakasih kepada Nanadaime, Shika ji-san, Kiba-san, Chouji-san, Sakura ba-san yang sudah menolongnya dan memberikan keamanan kepadanya dari amukan buas sang ayah.

*Kotomi POV

Pergerakanku semakin melambat akibat luka yang kualami. Ketika sudah berada di depan lelaki itu, tak ada hal yang aku lakukan. Aku bingung kenapa aku malah mendekati lelaki ini. Kulihat dia tak lebih dari sekedar menatapku. Aura kebencian dia arahkan kepadaku. Sedikit ngeri aku membayangkan apa yang terjadi jika Shika-jii tidak mengamankannya.

"Apa yang kau inginkan?!" Lelaki di depanku ini menyentakku dengan suara beratnya. Aku masih menatap perut yang ada di hadapanku. Mungkin aku lebih kecil dari lelaki ini. Tubuhku tak mencapai dadanya. Iyalah, mana mungkin umurku yang masih 8 tahun bisa sebanding dengan lelaki yang bahkan hampir berumur 30 tahunan itu.

"Jangan buat kekacauan lebih dari ini!" ucapku sembari menatap matanya. Pikiran dan mataku terfokus saat ini. Entah kenapa dengan mata ini, aku bisa mengatur kerja mataku. Tiba-tiba, lelaki itu ambruk ke depan. Aku yang tidak siap pun terjatuh dengan bobot yang tak setara dengan berat badanku. Punggung yang masih terluka tadi bertubrukan dengan tanah berkerikil yang membuatku berteriak kesakitan. Kurasakan darah merembes dari punggungku. Mataku kembali berkunang-kunang. Bobot melibihi kapasitasku itu sudah tak berada lagi di atasku. Suara panggilan masih bisa terdengar samar di telingaku. Hanya saja penglihatanku sudah tak sejelas sebelumnya. Mataku menutup dari cahaya,

*M*A*T*M*A*

"Lakukanlah yang terbaik. Menyesal bukanlah sebuah pilihan."

Bisikan kecil itu membuatku membuka mata. Aku merasa seseorang berbisik lirih di dalam pikiranku. Kugerakkan tubuhku perlahan. Ada apa ini? kenapa tubuhku terasa sakit? Kulirik selang yang menancap di punggung tanganku. Pemandangan ini sangat membuatku takut. Tempat yang sangat tak ingin kudatangi akhirnya kudatangi juga. Terlebih bau obat ini yang bisa membuatku muntah kapan saja.

Kembali lantunan lirih itu memenuhi otakku. Aku tak tahu apa maksudnya, tapi aku bisa sedikit mengerti. Kalimat itu pasti ditujukan kepadaku. Aku berpikir lebih dalam, apakah yang kulakukan sudah benar?

Selain itu, kenapa aku bisa disini? Seingatku, aku sedang berada di Hutan Nara. Um ya, bersama si pengganggu itu. Huh, jika bukan karena dia, aku tidak akan berada disini. Ngomong-ngomong dimana dia sekarang? Tidak-tidak. Yang lebih penting, dimana mama? Kenapa aku tak melihatnya disini? Apa dia sedang keluar?

Kumiringkan kepalaku ke kanan. Kudapati rambut hitam yang berserakan di kasur putih yang kutempati. Aku tak percaya ini. Orang ini menungguiku di rumah sakit? Menamaniku? Tidak mungkin.

Tak sadar mata hitam itu terbuka. Pupilnya menatap tajam ke arahku. Aku hanya bisa terkejut dan takut.

"Kau sudah sadar?" tanyanya dengan pelan. Ditegakkan badannya yang kulihat semakin kurus itu. Dia sangat kurang nutrisi.

Kuanggukkan kepalaku sebagai jawaban. Dalam benakku, aku tak ingin membuat keributan saat ini. Selain tubuhku yang sangat menyedihkan, tempat ini adalah rumah sakit. Keributan bisa membuat para pasien atau parlemen yang berada di rumah sakit ini terganggu.

"Syukurlah." Dia tersenyum tipis.

Ya Tuhan, bagaimana aku bisa menjelaskan keadaannya saat ini? Badannya yang kurus membuat tulang-tulangnya terlihat apalagi di bagian rahang wajahnya, kedua matanya nampak sayu, rambutnya terlihat tak terurus, kulitnya seperti mayat hidup. Hatiku merasa kasihan pada orang ini untuk pertama kalinya.

Aku tak tahu ada apa. Rasa panas menjalar di bagian mataku. Apa sharingan akan bangkit lagi?

Tetesan pertama turun dari mataku. Entah kenapa sekarang ini aku menangis. Ada apa ini? apa yang terjadi? Kami-sama, Tolong jelaskan padaku.

"Kenapa kau menangis?" Pria itu menggenggam tanganku. Dingin. Air es telah pindah ke tangan pria ini. Lliquid bening itu semakin jatuh berulang kali.

Aku menggelengkan kepala tak mampu bersuara. Kenapa hatiku merasa sakit melihat pria itu seperti ini? Padahal aku membencinya bukan? Tapi ini tak seperti yang kubayangkan. Aku menangis melihatnya. Aku sedih melihatnya kurus kerempeng seperti ini. Hatiku seperti hancur saat menyadari dirinya terlihat seperti manusia diambang kematian.

Tanganku semakin digenggam oleh tangan besar miliknya. Aneh. Perasaan hangat mengalir dari tangannya yang dingin. Aku merasa familiar dengan genggaman tangan ini. kehangatan ini sama seperti kehangatan yang diberikan mama kepadaku. Mataku tak lepas memperhatikan penampilannya. Sangat menyedihkan untuk ukuran Pahlawan Desa Konoha.

Digerakkan tangan satunya untuk mengahapus air mataku. Tak ada hawa kebencian di dalam dirinya seperti sebelum ini. Dia mengusap air mataku dan pipiku pelan. Tergerak hatiku dengan perlakuannya saat ini. Puing-puing kebencian terhadap lelaki ini memudar.

"Aku lelah dengan semua ini." Ucapannya seperti seseorang yang tak sanggup lagi hidup. Kedua tangannya sekarang menggenggam tangan kananku. Kusadari kantong hitam tebal di bawah matanya. Aku berpikir lagi, apa yang terjadi dengan pria ini?

"Aku sadar aku bukan manusia yang baik. Kau pun juga berpikir seperti itu bukan? Tapi andaikan saja kau tahu bagaimana perasaanku saat itu. Tak ada bedanya dengan perasaanmu kepadaku saat ini. Pembunuhan berantai orang terdekatmu terlebih orang tuamu di depan matamu oleh orang yang sangat kau sayangi? Apa yang bisa kau pikirkan saat itu? Saat itu aku juga seusiamu. Dan hal yang kupikirkan saat itu hanyalah balas dendam. Kau benar, saat itu aku tak tahu kebenarannya. Namun kau juga harus tahu bahwa Itachilah yang membuat skenarionya. Itulah penghasut yang membuatku menjadi seperti yang kau ketahui."

Pria itu menundukkan kepalanya. "Setelah berhasil balas dendam. Kenyataan itu datang. Liku-liku itu membuatku merubah orientasiku untuk balas dendam ke Konoha. Memang kebencian sudah mendominasi. Lalu kenyataan paling nyata baru ku ketahui saat sudah di ambang Perang Dunia ke-4. Mulailah perbaikanku dimulai. Akhirnya aku jatuh cinta kepada mamamu setelah perang dunia terjadi. Kupikir kesalahanku di masa lalu bisa ditebus dengan jalan yang kujalani, Tapi sepertinya masih belum untuk membuatmu menerimaku."

Baru kali ini kuketahui pria ini menangis terang-terangan di hadapanku. Mataku kembali memanas. Perkataannya membuatku sesak. Pikiranku kembali berpikir mana yang benar dan salah. Teringat bisikan sebelum aku terbangun. Mungkinkah aku harus merubah cara pandangku terhadap pria yang katanya papaku ini?

Sebagai Uchiha Sasuke yang terkenal dingin seantero Konoha, dia bercerita sambil menangis membuatku terrsentuh juga. Ditambah dengan keadaan fisik yang tak layak disebut baik itu.

"Aku tidak akan menyerah dengan semua ini. Seperti aku yang tak pernah menyerah untuk balas dendam terhadap Itachi yang akhirnya sia-sia. Aku akan membuatmu mengakuiku, memaafkanku, dan menerimaku sebagai papamu. Kau tak ingin bahagia seperti keluarga lain? Dengan papa dan mama yang menemani kehidupanmu? Jika terus seperti ini kita sama-sama dirugikan. Aku yakin kau pasti tahu itu."

Uchiha Sasuke memaksa senyum dibibirnya. Keletihannya sangat jelas terlihat. Apa dia menungguiku sampai tidak tidur? Apa dia juga tidak makan?

Kelopak mataku menutup dan kembali terbuka. "Apa kau tidak tidur seharian? Apa kau juga tidak mengisi nutrisi ke tubuhmu? Kau terlihat sangat menyedihkan," ucapku serak.

"Aku tidak bisa tidur karena kau tak juga bangun. Ketika makan aku juga tidak merasa enak karena kau juga tidak makan," Bibir kering dan berwarna putih miliknya menjawab pertanyaanku. Tubuhku mematung.

Suaranya yang pelan tanpa emosi itu seperti air yang mengalir dari otak sampai ke hatiku. Hangat sekali. Sampai-sampai aku terharu dibuatnya. Tidak salah lagi, mungkin karena tubuhku yang sedang sakit. Tak mungkin karena perkataan pria itu kan?

"Tapi tubuhmu kurus sekarang. Kau sakit... Mungkin."

"Bukan aku tapi kau."

Dengan semua kata-kata yang diucapkannya membuat hatiku melunak. Aku pun mulai berpikir jernih. Mungkin saja dia tak seburuk yang aku pikirkan. Lagi pula aku juga tak ingin hubungan buruk ini terus berkelanjutan. Nasihat-nasihat yang selalu bahkan sering terucap dari bibir orang-orang juga menyadarkanku.

Mungkin memang aku yang salah dengan semua ini. Benar, aku yang terlalu serius menanggapi semua masa lalunya. Tak kuhiraukan juga perasaan orang lain, Kemungkinan akulah iblis yang sesungguhnya bukan? Aku terkekeh pedih di dalam hati. Ternyata di dalam lubuk hatiku, aku menginginkan keluarga utuh seperti yang sering aku gambar diam-diam di kamarku. Tertawa bersama, bermain bersama, liburan bersama, dan banyak lagi. Hal itu tak akan menjadi kenyataan jika aku seperti ini terus. Apa aku boleh mengulangnya dari awal lagi?

"Ma-maafkan aku." Suara seperti bisikan itu menyadarkan pria itu dari keheningan. Dia seperti tak percaya dengan apa yang kuucapkan.

"A-apa?" tanyanya memastikan.

"Maafkan aku atas semua ini. Aku sadar kesalahanku. Aku menyakitimu dan mama. Aku anak durhaka. Maafkan aku. A-aku ti-tidak tahu apa yang bisa kulakuan. Aku baru sa-sadar kesakitanmu se-sekarang ini... Hiks.. Kumohon, maafkan a-aku." Tangisku menggema di ruangan ini.

SREEK

Bunyi kursi dan gerakan cepat pria ini membuatku terbelalak. Pria ini memelukku untuk pertama kalinya. Aku semakin tak kuasa menahan isak tangisku.

"Harusnya aku yang meminta maaf. Gomen, Kotomi. Kau tak bahagia mempunyai papa sepertiku kan? Maaf membuatmu memiliki papa penuh dosa sepertiku."

Hatiku teriris. Kali ini entah kenapa aku tidak menyukai perkataan itu. "TIDAK! Hiks... Ma-maafkan aku."

Bahuku basah. Air mata pria ini mengalir deras sampai membasahi bajuku. Aku kasihan melihatnya. Kubalas pelukannya yang hangat. Tak sampai hati aku memeluknya erat lantaran tubuhnya yang kurus tak berisi ini.

"Terima kasih. Syukurlah kau sadar setelah 3 hari ini. Aku minta maaf tentang kejadian kala itu yang membuatmu seperti ini" Ucapannya yang bercampur dengan tangisan itu menimbulkan pertanyaan di benakku.

"Hiks.. Apa kau menungguiku selama itu sampai tidak tidur dan tidak makan?" tanyaku pilu. Tak habis pikir kenapa dia melakukan hal aneh itu.

"Sudah kujawab tadi."

Isakanku bertambah lirih. Ternyata pria ini sungguh baik. Dia rela sampai seperti ini hanya demi putri keji sepertiku. "Hikss... Aku ingin memanggilmu papa..."

Pelukan itu terlepas. Pria itu menatapku lembut. Aku semakin menangis. "Aku sudah menunggu saat ini tiba. Panggil aku papa, Kotomi. Akulah papa kandungmu. Bukan Naruto atau yang lain."

Ucapannya itu membuatku mengangguk kuat. Aku tersenyum tulus. Inilah perasaanku sebenarnya.

"Ternyata aku memang sangat menyangimu, papa."

*M*A*T*M*A*

*Normal POV

Pagi-pagi sekali, Hinata bangun dari tidurnya. Dirinya harus melakukan check-up terhadap janinnya. Setelah itu, ia langsung kembali menuju tempat putri kesayangannya dirawat.

Ceklek

Flat shoes-nya melangkah masuk ruangan. Netranya tak percaya dengan apa yang sedang ia lihat.

"Kotomi..." Panggilnya. Ia masih berdiri di ambang pintu.

Putri kecil Hinata itu melongok dari bahu sang ayah. "Mama..."

Wanita cantik itu langsung bergegas mendekati ranjang inap. Tak kuasa dirinya menahan air mata yang sudah menggenang. "Yokatta, kau sudah sadar, hime." Kotomi mengangguk. Hinata memeluk tubuhnya erat.

Adegan itu hanya disaksikan oleh pria yang berada disana. Tak ada niatan untuk mengusik kedua ibu dan anak itu. Hinata mengalihkan atensinya dari Kotomi ke Sasuke.

"Sa-Sasuke-kun..."

Sasuke bergumam menjawab. Suaranya sampai tak bisa terdengar

Hinata menatap kecewa bercampur sedih ke arah Sasuke. "Kenapa kau tidak memakan makananmu lagi? Kau sedang sakit, anata. Aku sudah bilang jangan kesini sebelum tubuhmu pulih," ujar Hinata lirih.

Akibat perkataan ibunya, Kotomi menatap wajah ayahnya nanar. Jadi, seperti dugaannya. Ayahnya memang sedang sakit dan berbohong kepadanya. Menyembunyikan fakta yang membuatnya sangat sedih.

"Aku menemani Kotomi, Hinata," jawab Sasuke. Punggung tangannya yang masih sedikit menyisakan darah itu menggenggam tangan istrinya. "Aku tidak sakit. Putri kitalah yang sakit. Aku ingin melihatnya. Hanya itu."

Mata Hinata memerah. Tangannya mengangkat tangan Sasuke yang menggenggamnya. "Kau tidak henti-hentinya melepas selang infus ini," bisiknya ketika melihat bekas darah di tangan pucat Sasuke. "Aku tak bisa bergerak menggunakan itu. Jika memakainya, aku tak bisa kesini. Alat itu membuatku susah saja." Sasuke menolehkan kepalanya tanda tak ingin tahu.

Helaan nafas keluar dari mulut Hinata. Kotomi tak bisa berkata apa-apa lagi. Mendengar penjelasan pria itu tak ayal membuat hati batunya hancur tak tersisa. Dirinya sungguh menyesal membenci pria seperti ayahnya ini.

"Papa, maafkan aku... Hiks..."

Panggilan asing itu menyentakkan tubuh Hinata. "Pa-papa?" ulang Hinata.

Kotomi menundukkan kepala. "Maafkan Kotomi, papa..." Air suci dari hati itu muncul kembali dari netra hitam putri Uchiha itu. Tubuh kecil itu bergetar tak bisa menahan isakan.

Sasuke memeluk Kotomi. "Ini bukan salahmu, sayang. Maafkan papa juga sudah mencelakakanmu."

"Papa..."

Hinata menangis karena senang. Akhirnya... Akhirnya sang anak berubah. Betapa ia sangat senang dengan hikmah kejadian 3 hari lalu. Seperti kata pepatah "Kebahagiaan akan datang pada waktunya."

Dengan emosi yang meluap, kedua tangan Hinata memeluk kedua orang yang paling dia sayangi. "Mama sangat bahagiaa, hime. Akhirnya kebahagiaan yang mama tunggu-tunggu datang juga..."

Ketiga orang yang terbentuk dalam satu keluarga itu meluapkan kebahagian mereka. Menyalurkan segala kerinduan dalam masing-masing hati mereka. Tangisan kedua genre yang terlahir sebagai perempuan itu menjadi alunan musik yang bertalu-talu.

"Hiikss... Hikss.."

"Arigatou. Kami-sama."

3 kepala itu menyatu satu sama lain. Tubuh mereka berhimpitan. Tak menyisakan ruang sedikitpun. Hari ini adalah peristiwa bahagia setelah selama ini menjejaki kerikil-kerilil tajam. Sasuke mengulum senyum. Mulai hari ini, dia sebagai tuan Uchiha, Hinata sebagai nyonya Uchiha, dan Kotomi sebagai Putri Uchiha akan menyambut kehidupan baru mereka bersama janin yang masih menunggu untuk menikmati dunia!

.

Jangan kau melihat wajah karena bisa menipu

Jangan pula kau melihat harta karena bisa hilang

Lihatlah hanya pada sepotong hati

Walaupun tingkah menginjak bumi

Walau dusta menggelora

Tak terpungkir bahwa hati tetap sama

.

Fatamorgana boleh menipu

Cassanova boleh memikat

Aurora borealis boleh indah

Namun perasaan tak bisa dibohongi

Keindahan dan ketulusan selayak kunci

Kebaikan dan kejelekan seperti gembok

Pemilik hatilah yang bisa menentukannya

.

END

Halo Minna :D Fic MATMA akhirnya happy end XD Silahkan review untuk yang terakhir kalinya. Haha. Saya ingin tahu bagaimana reaksi kalian tentang ending yang acak adul ini :v Ini udah End. tapi kalau para reader/review banyak yang meminta sequel. akan saya buatkan :v

Akhir salam. Arigatou gozaimasu bagi pembaca, fav, foll, dan semua yang sudah berpatisipasi dalam fic ini. Saya sangat berterima kasih dan tersanjung.

Oh, iya untuk bonus saya buat omake-nya. Silahkan di baca jika ingin

OMAKE

"Laki-laki? Kembar?"

Pemimpin Hyuuga itu terkejut. Tak menyangka putrinya akan melahirkan bayi kembar. Setelah melewati berbagai hal sulit dalam menumbuhkan bayi ajaib penuh kekuatan itu, kini mereka telah lahir dengan selamat bersama ibunya yang sehat.

"Jii-san, bagaimana dengan adikku?" tanya bocah perempuan kecil yang berada di gandengannya. Mata tajam itu melihatnya penuh harap.

"Mereka baik-baik saja, hime. Mulai hari ini kau harus menjadi kakak yang baik. Mengerti?" Gadis kecil itu mengangguk paham.

Langkah kaki yang penuh keributan itu mendatangi mereka berdua. "Bagaimana, Hiashi-sama?" Tanya Neji selaku keluarga pasien yang berada di ruangan depan mereka.

"Cucuku sudah lahir. Hanya saja kita belum boleh melihatnya. Mereka selamat dan sehat." Jawaban penenang hati itu membuat mereka semua menghela nafas lega.

Seorang dokter keluar bersama dengan lelaki berwajah rupawan. Tubuh sexy lelaki itu tercetak jelas karena bajunya yang penuh keringat.

"Sasuke-kun, omedetto,"

"SELAMAT, SASUKE TEME. Kuharap dia tak menuruni sifatmu... Lagi..."

"Waahh, kembar... Selamat."

Ucapan-ucapan selamat itu mau tak mau dijawab oleh ciri khas Sasuke yang membuat para anggota team 7, team 8, team 9, team 10 seangkatannya geram-geram sabar (?)

"Kau tetap saja dingin, Sasuke-kun~" Sakura memajukan bibirnya tak senang. Hal itu membuat teman-teman seangkatan Sasuke tergelak.

Dokter itu memberikan izin kepada mereka yang berada diluar untuk melihat Hinata dan buah hatinya. Dari mereka semua, tak tahu kenapa yang paling antusias adalah Sakura.

"Aku ingin melihat Sasuke versi chibi. Hahaha," tawanya. Ia berada di paling depan dengan Kotomi serta Hiashi di belakangnya. Setelah sampai di inkubator, mata Sakura berbinar. "Tampannya~"

Mereka sibuk mengomentari bayi merah itu, Kotomi hanya melihat dengan kedua telapak tangan yang menempel pada kaca inkubator. "Kecil," panggilnya pelan. Ia lalu tersenyum senang kala melihat salah satu bayi itu membuka mulutnya seperti menjawab panggilannya.

"Hey, jangan mengerubiku bayiku seperti itu!" Sasuke berucap kesal. Ia tak ingin anaknya kepanasan (?)

"Bayimu-bayimu, mbahmu!" ucap Lee masih dengan melihat kedua bayi kecil itu dan mengeluarkan muka-muka bodoh yang di ajarkan oleh seorang guru penuh bling-bling masa muda.

Keheningan menjadi ajang awal hawa kehitaman di sekitar Sasuke.

"ROCK LEE!" Sasuke berucap geram. Lee menoleh patah-patah.

"Huaa!"

Semua yang ada disana tertawa terbahak-bahak melihat wajah kegarangan Sasuke dan ketakutan Lee. Kotomi menampilkan wajah cengegesannya. Ayahnya kini menampilkan gahar-gahar kekonyolan.

Uhum. Kau yakin itu hanyalah kekonyolan, Kotomi-chan?

FINISH