Title : Missin' U
Genre : Brothership, Family, Hurt, Tragedy
Cast : Cho Kyuhyun, Kim Kibum, Shim Changmin, Leeteuk Park, Kim Heechul
Rated : Fiction T
Warning : Typo(s), Geje, Bored, Bad Plot, Ooc(Out of Character). Dia *nunjuk Cho Kyuhyun* masih diusahakan milik saya
Disclaimer : All cast isn't mine. I own only the plot. Don't like it? Don't read it!
Summary : Dulu aku mengira tak ada yang salah dengan persaudaraan kita. Sekarangpun aku masih berpikir begitu. Tapi hyung, mengapa kau berubah? Aku merindukanmu yang dulu, yang memelukku ketika musim dingin datang, yang menggandengku ketika musim semi datang. Hyung—12 tahun, apa kau tak merindukanku?
.
.
Present..
Enjoy reading!
.
.
Chapter 3
Kim's Mansion
3 Juni, Pukul 20.30 KST
Sepasang suami istri itu tampak terdiam cukup lama, membiarkan kebisuan membelenggu keduanya. Ada 2 cangkir teh hangat diatas meja, salah satu maid yang mereka punya mengantarnya tadi. Hanya helaan nafas yang terdengar hingga salah satu diantara mereka –seorang pria, memecah keheningan. "Kita akan memulainya lagi dari awal"
"Suamiku—"
"Yoora-ya, aku tahu ini sulit bagimu. Akupun begitu. Tapi—tidakah kau berpikir kita telah cukup membiarkan Kibum dalam kesepian. Kibum juga putramu. Biarlah takdir yang akan mengurus sisanya. Yang harus kita lakukan hanyalah menjalaninya" Tuan Kim memotong. Dielusnya pundak istrinya dengan sayang. "Aku tahu dalam hatimu kau tak sungguh kesal dengan sikap Kibum. Kau hanya butuh waktu, sama sepertiku. Kita akan menemukan Kyuhyun dan mengembalikan Kibum kita seperti dulu" lanjutnya.
Nyonya Kim mengangguk, seulas senyum tersungging diwajahnya. Benar, dirinya hanya butuh waktu untuk mengembalikan semuanya pada tempatnya. Ya, semoga seperti itu.
Suara pintu ditutup itu membuat Tuan dan Nyonya Kim menoleh, mendapati putra mereka berjalan masuk dengan pandangan kosong, datar, tak berekspresi. Kibum sedikit tersentak ketika sepasang obsidian hitam legamnya mendapati Ayah dan Ibunya tengah menatapnya dengan senyum. Hangat sekali. Tanpa ia sadari, ia ikut larut dalam senyum itu.
"Kalian dirumah?" tanyanya konyol. Demi apapun, Kibum yakin jika tidak dalam kondisi seperti ini, dirinya tak akan bertanya konyol seperti itu.
"Ya, dan kami sudah lama menunggumu untuk makan malam" Tuan Kim menjawab sambil tertawa pelan.
"Ayo kita makan, Kibumie" Nyonya Kim menepuk pundaknya, memberi isyarat untuk mengikuti keduanya.
Hangat. Kibum mengangguk samar, masih mengamati punggung kedua orangtuanya yang sudah berjalan menuju ruang makan. Tanpa ia sadari, air mata sudah menumpuk dipelupuk matanya, siap turun kapan saja. Dan benar saja, ketika Kibum berkedip, air mata itu turun membasahi wajah datarnya.
Kibum bergegas mengikuti Ayah dan Ibunya ketika Ibunya menatapnya bingung. Pemuda itu menelusup diantara Ayah dan Ibunya. Kibum tertawa ketika kedua orangtuanya memeluknya sepanjang jalan menuju ruang makan. Inilah yang dia inginkan selama ini. Kehangatan keluarga yang sesungguhnya.
Musim gugur, dua belas tahun lalu
Myungdong, Pukul 18.20 KST
"Enak?"
"Ini yang terbaik, Kibum hyung!"
Bocah dengan pipi chubby itu menjawab dengan ekspresi menggemaskan, membuat kakaknya –Kibum, segera mengacak surai cokelat eboni yang terasa begitu halus milik adiknya. Adiknya yang makan dengan lahap, membuat pipinya kotor oleh bekas ddaebokki panas yang sejak tadi tak henti-hentinya dilahap adiknya. Dilapnya pipi adiknya yang kotor itu dengan tissue.
"Kyu juga mengatakan itu ketika kita mampir di Namdaemun minggu lalu" katanya gemas, mengingatkan adiknya.
Adiknya nampak berpikir sejenak, "Itu karena memang begitu hyung. Apapun makanan yang dibelikan oleh Bum hyung, bagi Kyu itu yang terbaik" bocah 7 tahun itu tertawa lebar, menampilkan gigi-giginya yang berjajar rapi. Jawaban polos yang mampu membuat Kibum terenyuh.
"Makanlah lagi"
Kyuhyun mengangguk. "Aku tidak akan makan ddaebokki tanpamu, hyung"
Kibum yang sempat sibuk dengan pikirannya sendiri, kini kembali beralih pada adiknya setelah mendengar ucapan Kyuhyun. Sepasang manik hitam legamnya menatap sepasang obsidian caramel milik Kyuhyun. Tajam. "Jangan bicara ngaco, Kyuhyun!"
Kyuhyun menautkan alisnya, heran mendengar nada yang digunakan Kibum menjadi dingin. Apa yang salah dengan ucapannya? Dia hanya tak ingin makan ddaebokki tanpa kakakknya. Apa yang salah dengan ucapan itu? Mengapa kakaknya begitu marah?
"Maaf" katanya pelan setelah berhasil menghindar dari tatapan tajam milik Kibum. Sungguh, tatapan Kibum yang seperti itu sungguh tidak disukainya.
"Dan jangan terlalu sering minta maaf" lanjut Kibum.
"Tapi—" jeda, Kyuhyun yang sempat menatap Kibum kembali menunduk. "—tapi Ibu bilang, kalau Kyu nakal, Kyu harus minta maaf"
Kibum menghela nafas, adik polosnya itu sungguh membuatnya mati kutu. "Apa hyung bilang kalau Kyu nakal?" Kyuhyun menggeleng pelan, masih tak berani menatap sepasang manik hitam milik Kibum, "Jadi jangan minta maaf terus huh?"
Kyuhyun mengangkat wajahnya ketika Kibum mengangkat dagunya. Bocah 7 tahun itu tersenyum lebar ketika mata bulatnya melihat senyum diwajah Kibum. Senyum yang ia sukai, yang selalu membuatnya nyaman. Senyum yang mampu mengubah wajah dingin kakaknya menjadi sangat hangat.
"Apa Kyu haus?" Kyuhyun mengangguk, "Hyung akan mencari minum. Kyu diamlah disini huh? Dan jangan kemana-mana" lagi, Kyuhyun hanya mengangguk, membiarkan Kibum berlalu dari hadapannya. Tak sadar jika mungkin itu adalah saat terakhir dirinya menemukan kakaknya yang tersenyum hangat dan menjaganya.
Seoul University,
7 Juni, Pukul 08.30 KST
Kibum menatap datar pada sosok Changmin yang kembali membuat mood-nya buruk. Padahal 4 hari ini mood-nya tengah berada dipuncak karena Ayah dan Ibunya lebih sering menghabiskan waktunya dirumah bersamanya. Kadang mereka akan mengadakan piknik ditaman belakang atau sekedar bercanda diruang keluarga yang mulai kembali menghangat. Dan hari ini, hoobae-nya yang punya tinggi badan berlebihan itu menghancurkan mood baiknya. Sial.
"Ada apa?"
Changmin tertawa mengejek, wajahnya memerah menahan amarahnya. "Seharusnya aku yang bertanya padamu. Ada apa Kibum sunbaenim? Mengapa kau bersikap seperti itu pada Kyuhyun?"
"Jangan menyebut namanya didepanku" desis Kibum.
"Kenapa? Kau mau menyangkal bahwa adik yang kau buang sudah kembali?" Changmin tertawa pelan ketika melihat wajah datar Kibum menatapnya kesal.
"Adik? Adikku sudah mati, Shim Changmin" datar, dingin dan tegas.
Changmin menggeram, mendorong tubuh Kibum yang lebih kecil darinya agar hingga terkantuk pada dinding. Beruntung sekali karena Changmin membawa Kibum kebelakang bangunan fakultasnya. Dan ia yakin, tak akan ada mahasiswa yang akan lewat.
"Benarkah? Kau yakin hatimu berbicara seperti itu Kibum Kim?" tanyanya dengan penekanan disetiap katanya.
"Jangan ikut campur, Shim!"
Sekali disentak, lengan Changmin langsung turun dari kerah kemeja Kibum. Bukan berarti Changmin terlalu lemah, tapi karena hatinya kembali terluka. Luka lama yang belum mengering dan terpaksa kembali. Pemuda 19 tahun itu menyandarkan punggungnya begitu Kibum berjalan menjauhinya.
"Sebenarnya kau kenapa, Kibum hyung? Mengapa kau menjadi hyung yang berbeda, yang bahkan tak kukenal" lirihnya. Kibum berhenti berjalan. "Aku tak paham hyung. Mengapa kau melukai Kyuhyun? Bukankah dia adik yang begitu kau cintai? Aku bahkan masih ingat saat kau—"
"—hentikan Shim Changmin!" Kibum membalikan badan. "Kau mau tahu mengapa aku berubah? Kau sungguh ingin tahu dan tak akan menyesal jika sudah tahu?"
Kibum kembali berjalan mendekati Changmin, berdiri didepan pemuda tinggi itu, menatap Changmin dengan pandangan datar –yang tak pernah disukai Changmin. "Aku tak pernah berubah Changmin. Mungkin selama ini kau salah melihat kedekatanku dengan bocah itu. Aku—" jeda Kibum, sepasang obsidian hitamnya menatap mata Changmin tajam, "—dia merebut semua yang seharusnya kumiliki. Ayah, Ibu, semuanya. Dia mengambil perhatian mereka semua. Dan menyebalkannya dia masih bisa bersikap polos didepanku"
Deg
Deg
Deg
"Aku—tak pernah menyukai kehadirannya dikeluargaku. Kau pikir selama ini aku mau begitu menjaganya? Tidak. Aku tak pernah menjaganya. Dia hanya beruntung, terlalu beruntung hingga akhirnya aku bisa membuatnya pergi dari kehidupan kami" kata-kata kasar itu entah mengapa mudah sekali keluar dari mulut Kibum. Dan Changmin terluka olehnya.
"Kibum hyung—"
"—Aku belum selesai Shim Changmin! Dan aku tak akan membiarkannya masuk kembali pada keluargaku"
"Cukup Kibum hyung!"
"Karena sahabatmu itu—kau ingat Changmin, Ayah dan Ibu tak pernah mengingat ulangtahunku. Dipikirannya hanya ada bocah menyebalkan itu, bocah sial yang—"
"Kyuhyun!"
Ucapan Changmin dengan nada kaget itu membuat Kibum menghentikan ucapannya. Pemuda berwajah datar itu membalikan badan, melihat apa yang Changmin lihat. Sesosok pemuda putih pucat yang tengah menatap mereka dalam diam. Pandangannya terkesan datar dan kosong. Dan entah mengapa membuat Kibum langsung merasa kesal.
"Baguslah kau juga mendengar semuanya"
"Kibum hyung!"
Changmin menjerit kesal, namun Kibum tak mengacuhkannya. Pemuda berwajah datar itu malah berjalan mendekali Kyuhyun, menatap sepasang onyx caramel yang terlihat kelam, sebelum menyunggingkan senyum sinis diwajahnya.
"Bocah menyebalkan? Bocah sial?" desis Kyuhyun. Datar tanpa penekanan. Namun mampu membuat Kibum menghentikan langkahnya sebentar sebelum kembali melangkahkan kakinya meninggalkan belakang gedung fakultas seni.
"Kyu—" Changmin tak dapat melanjutkan panggilannya ketika sepasang onyx caramel Kyuhyun menatapnya datar. Ada luka yang bisa dilihatnya dari tatapan itu. Dan Changmin menyesal ia membawa Kibum kebelakang gedung fakultasnya. Kalau saja dia membawa Kibum ke taman saja, mungkin Kyuhyun tak akan mendengar pembicaraan mereka.
Dua pemuda itu hanya saling diam sejak tadi. Pemuda yang lebih tinggi sesekali mencuri pandang pada pemuda yang lebih pendek darinya. Ini sudah setengah jam sejak kejadian dibelakang gedung fakultasnya, namun keduanya tak juga membuka pembicaraan mereka, lebih memilih menikmati pemandangan universitas dari lantai atas fakultas seni.
Changmin –pemuda yang lebih tinggi itu, menghela nafas –lagi, entah untuk keberapa kalinya, kembali menatap pemandangan didepannya –dibawahnya, yang entah mengapa meskipun banyak gadis-gadis yang mencuri pandang kearahnya dia abaikan begitu saja. Ya, dari tempatnya duduk kini, ia bisa melihat seluruh area universitasnya. Gedung-gedung fakultas yang berjajar rapi dengan taman diantaranya.
"Shim Changmin—" jeda Kyuhyun tanpa mengalihkan pandangannya entah pada objek apa. Changmin menoleh heran, "—betapa bodohnya aku, mengapa aku tak sadar bahwa kau adalah Chwang-ku?"
Tes
Changmin merutuki dirinya sendiri begitu setetes air mata jatuh dipipinya. Sungguh, ia bukan tipe pemuda yang sensitif yang mudah sekali meneteskan air mata. Tapi, memang hanya Kyuhyun-lah yang mampu membuat air matanya turun tanpa bisa ia cegah. Hanya Kyuhyun, sahabatnya.
"Hei mengapa menangis huh?" datar. "Sekarang kau lebih mudah meneteskan air mata ya?" ejeknya masih dengan nada datar.
Sreet
Dipelukanya tubuh pemuda pucat itu dengan erat, sama seperti pelukan saat dirinya meninggalkan Korea karena Ayahnya dipindah tugaskan ke Jepang. Dan Kyuhyun-pun hanya menepuk punggungnya tanpa bicara apapun. Seperti deja vu. Air mata Changmin semakin tak bisa berhenti. Akhirnya, dirinya bisa memeluk lagi sosok yang dirindukannya selama di Jepang. Belahan jiwanya, orang yang mengerti dirinya tanpa harus ia jelaskan. Kyuhyun. Sahabatnya.
Changmin ingat dirinya begitu terpukul saat mendengar kabar Kyuhyun hilang saat dirinya kembali ke Korea untuk liburan setahun kemudian. Ia merasa dunianya langsung lenyap, kakinya lemas seketika, membuat Nyonya Kim menangis dan segera menghubungi Tuan Shim –ayah Changmin. Setelah itu ia tak pernah kembali ke Korea sampai menyelesaikan sekolah menengahnya di Jepang.
"Maaf baru mengenalimu" ucapan Kyuhyun menyadarkan Changmin. Keduanya sudah melepaskan pelukannya beberapa saat yang lalu. Ada seulas senyum tulus yang dilihat Changmin dibibir Kyuhyun. Samar.
"Aku paham. Aku telah banyak berubah. Kau lihatkah kalau aku menjadi semakin tampan?"
Kyuhyun berdecak kesal mendengar ucapan Changmin. Sahabatnya itu tak pernah berubah hn? Narsis.
Changmin berdehem untuk mengambil perhatian Kyuhyun yang kembali pada objek tak tentu dibawah mereka –karena Changmin tak yakin Kyuhyun tengah melihat salah satu mahasiswi yang sesekali mencuri pandang kearah mereka, ia tahu Kyuhyun dan Kyuhyun bukan tipe yang suka menjadi pusat perhatian. Dan benar saja, Kyuhyun menoleh dengan alis bertaut. Namun Changmin urung menanyakan sesuatu yang sejak tadi berputar dikepalanya ketika melihat wajah Kyuhyun lebih pucat dibanding biasanya.
"Kau baik saja?" Kyuhyun menaikan sebelah alisnya. "Maksudku, wajahmu terlihat sangat pucat, Kyu" jelasnya.
Kyuhyun terkekeh pelan mendengar pertanyaan Changmin, namun Changmin mendengarnya sebagai sindiran atas pertanyaannya. Entah mengapa Kyuhyun tak langsung menjawab, pemuda dengan surai caramel itu malah mengalihkan pandangannya pada taman dibawah mereka, menghela nafas kasar. "Kau bercanda? Kulitku memang pucat, Shim"
Changmin mendengus. Demi Tuhan, bukan itu jawaban yang ingin dia terima dari pertanyaannya.
"Ayo makan jjajangmyeon!"
Kyuhyun menggeleng, membuat Changmin mengerutkan keningnya. Benarkah? Kyuhyun bahkan tak berpikir dulu sebelum menjawab ajakannya. Padahal Changmin yakin jika jjajangmyeon masih menjadi makanan favorit Kyuhyun.
"Ada yang harus aku lakukan" katanya lalu berdiri, berjalan meninggalkan Changmin yang masih menatapnya dalam diam.
"Kyu tunggu!"
Tap
Kyuhyun menghentikan langkahnya, tanpa menoleh.
"Apa yang akan kau lakukan? Kau tak akan menemui Kibum hyung lagi kan?" tanyanya bodoh.
"Kau tenang saja. Aku cukup tahu diri untuk tidak menemuinya atau menampakan wajahku didepannya, Chwang"
"Tidak, bukan begitu. Kau pasti—"
"Changmin Shim—" jeda Kyuhyun, pemuda itu menghela nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. "—entah mengapa, aku—membencinya"
Deg
Changmin masih membatu meski punggung kurus Kyuhyun sudah tak terlihat oleh matanya yang mulai berkabut. Ia semakin yakin Kyuhyun-nya telah berubah terlalu banyak. Ia semakin tak mengenali sisi kain dari diri Kyuhyun yang ingin ia kenali.
Tes
Changmin tertawa pelan, air matanya mengalir lagi. Da lagi-lagi karena sahabatnya. Kyuhyun-nya.
Kim's Mansion
7 Juni, Pukul 11.00 KST
Pintu besar dalam rumah megah itu tertutup dengan kasar, membuat maid-maid menoleh kaget meski tak ada yang berani bersuara. Semua kembali pada kegiatan masing-masing ketika melihat Kibum masuk ke ruang keluarga dengan wajah dinginnya. Tuan Muda mereka itu langsung menjatuhkan dirinya di sofa panjang, memejamkan matanya beberapa saat. Terbayang kembali olehnya kejadian dikampus tadi.
Tatapan mata sendu penuh luka itu, Kibum masih ingat betul. Dan ia tak tahu mengapa dadanya bergemuruh. Sesak. Sakit. Padahal bibirnya menyunggingkan senyum puas. Dia bahagia bisa mengatakan hal itu. Sesuatu yang sudah lama hanya ada dipikirannya, hanya terpendam dalam hatinya.
Ada apa dengan dirinya? Kibum sendiri tak tahu. Padahal ia merasa puas karena Kyuhyun mengetahui yang selama ini ia simpan seorang diri. Harusnya ia lega kan? Tapi—tatapan terluka dari sepasang manic caramel itu membuatnya ikut terluka juga. Jadi—apa yang salah sebenarnya?
"Bocah mengesalkan? Bocah sial?"
Kibum mengacak rambutnya frustasi. Ucapannya yang diulang oleh Kyuhyun kembali berputar dikepalanya. Ucapan itu dingin, tanpa ekspresi.
.
"Hyung—Bum hyung—kau tidak akan marah padaku kan? Apapun yang kulakukan?"
"Kenapa bertanya begitu?"
"Karena—aku hanya takut hyung marah padaku. Selain dirimu, tak ada yang mengenalku dengan baik"
"Benar. Selain diriku, tak ada yang mengenalmu dengan baik. Jadi—jangan mendengarkan ucapan teman-temanmu itu"
"Hyung—tahu?"
"Aku punya telinga yang sensitive jika ada yang berbicara jelek tentang adikku"
"Bum hyung—"
.
"Sial"
Kibum mendudukan dirinya disofa, memejamkan matanya dan mengacak rambutnya. Kenangan-kenangan itu kembali berputar dikepalanya, seperti sebuah rol film yang sengaja diputar berulang-ulang. Pemuda itu berdiri kemudian berjalan masuk kedalam kamarnya, mungkin dengan mandi ia akan merasa lebih baik. Sebelum masuk kedalam kamarnya, sepasang matanya melirik pintu kamar yang berada tepat berhadapan dengan kamarnya.
*TBC*