"Sedang apa kau di sini?" Sougo yang sedang terbaring di ranjang rumah sakit langsung melontarkan sebuah pertanyaan dengan nada ketus ketika melihat Hijikata masuk ke ruangannya. Mata merahnya menyalang garang ke arah Hijikata yang mendekatinya.
Hijikata menatap Sougo dengan lekat. Tubuh pemuda berambut cokelat pasir itu semakin kurus. Kulitnya yang seputih susu itu semakin pucat. Mata merahnya yang gelap semakin meredup. Melihat keadaannya membuat Hijikata tersenyum miris.
"Menjenguk orang bodoh yang mencintaiku ... katanya," jawab Hijikata dengan nada pelan.
"Hah?" Sougo mengerutkan alisnya ketika mendengar jawaban tak jelas dari Hijikata.
"Kenapa kau tidak bilang?" tanya Hijikata lagi saat dirinya sudah berada di samping ranjang tempat Sougo berbaring. Namun Sougo tak berminat untuk membuka mulutnya. Dia justru memalingkan wajahnya, menolak untung menatap wajah cemas Hijikata.
Aku Karakter Utamanya, 'kan? Lalu Kenapa Malah Aku yang Menjadi Orang Ketiganya?
Disclaimer :
Gintama © Om Sorachi Hideaki
Story © Yumisaki Shinju
.
Pair(s) :
GinHijiOki ǀ OkiHijiGin
.
Rate:
T+
(Diharapkan jangan dibaca saat lagi puasa. Tapi masih aman, kok. Mungkin. /ditampar)
.
Genre(s) :
Drama ǀ Romance ǀ Little bit Humor & Angst
.
Warning(s) :
AU ǀ OOC ǀ Typo(s) ǀ Non EYD ǀ Multi-Chapter ǀ School-life ǀ Shonen-ai alias Boys Love ǀ
.
Enjoy!
CHAPTER 6
"... Kautahu betapa paniknya diriku sangat mengetahui kalau kau sedang kritis?" Pertanyaan yang dilontarkan Hijikata itu sukses membuat Sougo menghela napas berat, lalu membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan pemuda pecinta mayones itu.
"Karena itulah aku tidak mau memberitahumu,"
"Dasar bodoh, jangan bertindak seenaknya begitu!" ucap Hijikata dengan nada kesal. Ingin rasanya dia mengeluarkan semua emosi yang membuncah di dadanya, namun Sougo segera memotong perkataannya.
"Hijikata-san,"
"Apa?"
Sougo yang masih memalingkan wajahnya itu membuat Hijikata gemas karena tak bisa melihat ekspresi pemuda itu.
"Kau sejak awal memang tidak pernah mencintaiku, kan? Aku tahu kalau kau hanya merasa kasihan padaku. Dan ketahuilah, aku tidak membutuhkan itu. Jika kau kemari hanya karena kau merasa bersalah, lebih baik hentikan saja. Aku tidak suka dikasihani. Apalagi oleh orang sepertimu." ungkap Sougo.
"Hah? Apa maksudmu, Sougo? Kenapa kau tiba-tiba mengatakan hal seperti itu? A-Aku sama sekali tidak mengerti." Hati Hijikata terasa seperti dihujani oleh ribuan jarum tajam ketika mendengar perkataan Sougo. Dalam benaknya bertanya-tanya, bagaimana Sougo bisa memiliki pikiran seperti itu? Apa yang selama ini sudah dia lakukan pada pemuda itu? Hijikata benar-benar menyesal.
"Apa kau tahu? Jika kau mencintai dua orang di saat yang bersamaan, kau diharuskan untuk memilih orang kedua," ujar pemuda yang masih menyembunyikan ekspresi wajahnya itu.
"He?! Kenapa harus begitu?"
"Karena jika kau memilih orang yang pertama, kau tidak mungkin akan jatuh cinta pada orang kedua, kan?" Entah ini sebuah pernyataan atau hanya pertanyaan belaka. Namun hal ini benar-benar menohok perasaan Hijikata.
"... Sou-Sougo, aku tidak bermaksud—"
"Tidak apa-apa, Hijikata-san. Aku memahaminya, kok. Kau memang lebih mencintai Danna." Belum sempat Hijikata menjelaskan persoalannya, Sougo sudah menyela perkataannya. Seolah tidak ingin mendengar alasan apapun dari mulut pemuda berponi-V itu. Dia mencoba menahan perasaaannya, terlihat dari tangannya yang mengepal erat.
"Bodoh, aku mencintaimu—"
"Hentikan, Hijikata. Apa kau tidak mengerti situasinya? Kita harus menentukan bagaimana ending dari fic ini. Kau harus membuat pilihan akan bersama siapa nantinya. Tidak mungkin kan kau memilih kami berdua? Bisa-bisa nanti ending-nya kita bertiga bakal threesome. Lalu aku dan Danna akan bersatu untuk memakanmu. Aku lebih suka bagian atas, jadi mungkin bagian bawahmu akan kuserahkan pada Danna. Ah, itu ide yang bagus juga. Danna juga pasti akan setuju. Oh iya, ngomong-ngomong ada reader yang request kalau memang lebih baik kita bertiga threesome saja. Karena aku yang jadi uke di sini—walaupun aku sangat tidak terima—maka kau bisa dapat dua keuntungan. Kau bisa menusuk sekaligus ditusuk. Ne, bagaimana menurutmu, Hijikata-san?" terang Sougo panjang lebar.
Tapi Hijikata menganga lebih lebar.
"H-HAL SEMACAM ITU TIDAK AKAN TERJADI, B-BAKAYAROU!" teriaknya tanpa sadar dengan rona merah yang menghiasi seluruh wajahnya.
'Dan kau bahkan salah baca naskah!' jeritnya dalam hati.
"Benarkah? Lalu kenapa wajahmu merah padam begitu, Hijikata-chan? Kau memikirkan sesuatu yang nakal, eh? Tak kusangka kau mesum juga," goda Sougo dengan senyuman mengejek di bibirnya.
"A-Apa katamu?! Bukan begitu, teme!" Hijikata berusaha menjelaskan situasinya, namun entah kenapa tidak ada hal yang bisa dia katakan. Pikirannya kosong, otaknya tak bisa memikirkan sesuatu dengan jernih. Alhasil Hijikata hanya bisa mengembuskan napas kesalnya seraya mengacak-acak rambutnya, frustasi.
"Heh, baka. Tentu saja hal itu tidak akan terjadi. Tidak. Tidak akan kubiarkan hal itu terjadi. Walaupun mungkin aku akan suka melihatmu menderita, tapi aku tidak kuat jika melihatmu melakukan itu bersama Danna di depan mataku sendiri." aku Sougo dengan ekspresi yang tidak bisa diartikan.
"S-Sougo ...,"
"Hijikata-san, aku hanya ingin melihatmu bahagia. Ketahuilah, aku menjauhimu bukan karena aku marah setelah mengetahui kalau kau lebih memilih dia daripada aku. Justru aku memakluminya. Karena itu, jangan memasang wajah bodoh seperti itu di depanku. Aku tahu, kau sebenarnya lebih mencintai dia, kan? Aku tidak apa-apa, sungguh."
"Hei, kau jadi banyak bicara ... jangan mengatakan hal yang seperti bukan dirimu begitu—"
"Haha, sepertinya aku memang tidak bisa berbohong padamu, ya? Sejujurnya, aku kecewa dengan semua yang kaulakukan padaku selama ini. Dengan mudahnya kau meninggalkanku setelah semua yang telah kaujanjikan padaku. Dengan mudahnya kau berpaling ke orang lain, bahkan hatimu pun takluk padanya. Tapi sekarang tidak apa-apa karena kau telah jujur pada perasaanmu sendiri. Aku tidak mau kau memilihku hanya karena perasaan bersalahmu."
"Bakayarou, kenapa ... kau berbuat sejauh ini? Setelah apa yang kulakukan padamu, kenapa kau masih peduli padaku?"
"Haah, bagaimana, ya? Aku hanya tidak mau dicintai oleh orang yang gampangan sepertimu, Hijikata~"
"Sialan, aku menyesal menanyakannya." umpat Hijikata dengan wajah merengut.
"Hijikata-san,"
"Apa?"
Sougo mengangkat tangan kirinya untuk meraih sisi wajah Hijikata, kemudian dia membelai permukaan pipi pemuda tersebut dengan lembut. Mata merahnya menyiratkan kesedihan yang mendalam, namun garis bibirnya justru tertarik ke atas, membentuk seulas senyuman manis di wajah pucatnya.
Rona merah seketika menjalari pipi mulus Hijikata ketika dia mendapat perlakuan mendadak seperti itu dari Sougo. Ia menelan ludahnya dengan gugup.
"Kalau dia melukaimu lagi, aku tidak akan segan untuk merebutmu kembali. Aku bisa membuatmu mencintaiku lagi kalau aku mau. Bahkan pesona seorang Danna yang kodratnya sebagai lelaki tidak populer saja bisa membuatmu takluk padanya. Apalagi aku, kan? Haha. Jadi, bersiap-siaplah untuk kembali jatuh ke pelukanku lagi jika Danna menolakmu."
Meskipun Sougo berkata begitu, Hijikata tahu kalau hidup Sougo tidak lama lagi. Dia bahkan tidak yakin jika esok hari dirinya masih bisa menemui pemuda yang semakin lama semakin mengurus ini. Wajahnya pun kian memucat. Melihatnya dalam keadaan menyedihkan seperti ini sungguh membuat hati Hijikata teriris. Hijikata yakin, alasan lain mengapa Sougo menjauhinya karena pemuda itu tidak ingin Hijikata melihat dirinya yang menyedihkan. Ia tidak ingin terlihat lemah. Ia tidak suka dikasihani. Karena itu, biarlah Hijikata mengikuti keinginan pemuda berambut cokelat pasir itu untuk yang terakhir kalinya. Walaupun harus membuat pihak lain semakin tersakiti, walaupun harus mengkhianati perasaannya sendiri, kalau itu keinginan Sougo, apapun, asal membuat pemuda yang sedang terbaring di hadapannya ini bahagia sebelum ajal menjemputnya, Hijikata akan melakukannya.
Tanpa sadar Hijikata menutup matanya, menikmati sentuhan tangan Sougo yang membelai pipinya. Lalu kilas balik saat dia hendak menuju ke kamar ini pun terulang di pikirannya.
"Bisa beritahukan di mana kamar Okita Sougo dirawat?" tanya Hijikata pada resepsionis rumah sakit itu.
"Mohon tunggu sebentar," ucap sang resepsionis sembari mencari nama pasien yang disebut.
"Toushi?!" Seketika Hijikata menoleh ke sumber suara yang memanggil nama kecilnya.
"K-Kondou-san?" panggil Hijikata dengan mata yang melebar.
"Kau berniat menjenguk Sougo? Aku tak menyangka—"
"Apa-apaan itu? Kenapa kau tidak memberitahuku mengenai hal ini dari awal?!" Hijikata segera menyela perkataan Kondou dengan protesannya.
"Maaf, Toushi. Dia melarangku. Surat itu juga kuberikan atas dasar keinginanku sendiri. Aku tidak tahan melihatnya menderita," jelas Kondou sambil menelan senyum pahit.
"Temui aku dengannya, Kondou-san. Kumohon—" pinta Hijikata.
"Baiklah, ayo." ajak Kondou ke kamar dimana Sougo di rawat.
"Bagaimana keadaan Sougo?" tanya Hijikata tak sabar.
"Dia sudah melewati masa kritisnya,"
"Syukurlah—"
"—Tapi ... penyakitnya semakin menggerogoti tubuhnya. Umurnya sudah dipastikan tidak akan bertahan lama. Dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi penyakit itu terlalu ganas. Sougo bahkan sudah menyerah dengan hidupnya. Dia melepas semua alat yang dipasang di tubuhnya dan menunggu kematian datang menjemputnya." terang Kondou dengan nada getir. Kedua tangannya gemetaran saat mengucapkannya.
"... Begitu, ya." sahut Hijikata. Dia tak bisa berucap banyak untuk meresponsnya.
"Maaf, Toushi. Kalau saja kita mengetahui hal ini lebih cepat dan membawa Sougo untuk dirawat, pasti penyakit Sougo bisa disembuhkan."
"Kalau saja ... ya?"
Kilas balik itu seketika berhenti berputar tatkala Hijikata membuka matanya dan menatap wajah Sougo.
"Padahal kau sedang sangat menderita. Kenapa kau bisa terlihat seperti tidak punya masalah apapun, bodoh?" Tanpa sadar, Hijikata berucap dengan getir.
Sougo yang mendengar ucapannya hanya tersenyum tipis. Detik berikutnya, Hijikata memutuskan untuk berdiri. Bersamaan dengan bangkitnya Hijikata dari tempat duduknya, tangan kurus Sougo yang sedari tadi membelai pipi Hijikata kini bergerak turun dengan perlahan, mengelus rahangnya, lalu menuju dagu, kemudian kembali ke sisi tubuhnya. Selagi Sougo melakukan itu, ia tak sekalipun mengalihkan pandangannya dari manik steel-blue milik sang pemuda mayora itu, tanpa sadar ia tertawa miris. Hijikata hanya bisa membalasnya dengan tatapan nanar.
Tangan kurus itu ... semakin melemah.
Perlahan, Hijikata membungkukkan badan, mengurung Sougo dengan kedua tangannya. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Sougo—berusaha untuk memperkecil jarak di antara mereka. Kini ia bisa merasakan deru napas Sougo yang menerpa wajahnya.
Manik merah milik Sougo terbelalak saat dirinya merasakan bibir Hijikata yang menyentuh bibirnya dengan lembut. Tangan mungilnya dengan refleks mendorong dada Hijikata dengan pelan, namun pemuda yang lebih tua darinya tersebut justru meraih pegelangan tangan Sougo dan menahan kedua tangannya di samping kepala pemuda bermanik merah itu.
Awalnya Hijikata memagut bibir mungil milik pemuda berambut cokelat pasir tersebut dengan ragu. Namun ia merasa lega saat dirinya mengetahui bahwa Sougo mulai menikmati perlakuannya dengan memejamkan matanya, dan membalas pagutan pemuda berponi-V tersebut.
Tangan Hijikata yang semula menahan pegelangan tangan Sougo kini berpindah untuk mengelus pipi kiri pemuda mungil tersebut. Tangan Sougo yang bebas ia gunakan untuk meraih tengkuk Hijikata, memeluk leher sang pemuda pecinta mayones tersebut dengan satu tangannya untuk memperdalam ciuman mereka.
Sementara tangan mereka yang satunya masih saling bertautan, menggenggam erat jari-jemari mereka masing-masing.
Menit demi menit berlalu, akhirnya Hijikata melepaskan pagutannya dari bibir Sougo. Keduanya terengah, saling berlomba untuk mengirup oksigen di sekitar mereka.
"Hijikata-san ...,"
"Ya, Sougo?"
"Aku melihat ... Ane-ue ... sedang tersenyum padaku saat ini. Apakah aku sekarang sudah berada di surga?"
"Bodoh, itu artinya kau sudah mati."
"Haha. Kalaupun aku mati, aku takkan berada di tempat yang sama dengan Ane-ue."
"... Bodoh."
"Jaga dirimu baik-baik, Hijibaka."
"... Sougo,"
"Arigatou. Sayonara, Hijikata ... -san."
Bersamaan dengan terucapnya kata itu, mata Sougo terpejam. Pelukan di lehernya melonggar—tangannya kini jatuh terkulai. Tangannya masih menggenggam, meski sudah tak seerat sebelumnya. Dan Hijikata tahu, kalau ini sudah saatnya. Namun ia tidak mengatakan apapun. Bibirnya terkatup rapat. Pemuda pecandu nikotin itu hanya menciumi tangan dingin Sougo yang sedang digenggamnya dalam diam. Membuat produksi air matanya semakin meningkat, bahkan kini sudah membendung dan siap untuk ditumpahkan.
"Kau sudah menahan rasa sakit itu sejak lama ...,"
Ia berusaha untuk menahan air matanya, namun sayang usahanya gagal. Cairan bening tersebut lolos keluar dari manik biru miliknya. Bibirnya bergetar, air matanya mengalir dengan deras.
"... Selamat jalan, Sougo. Beristirahatlah dengan tenang."
Gintoki's POV
"Yo, Oogushi-kun!" sapaku sembari mengangkat salah satu lenganku. Berpapasan dengannya setelah apa yang terjadi sebelumnya membuatku merasa agak canggung. Namun bibir ini dengan bodohnya tak kuasa untuk tak menyapanya.
"Aa, Yorozuya." balasnya ketika manik birunya itu bertemu dengan manik merahku. Kulihat kantung mata menghiasi area bawah matanya yang bengkak, sepertinya dia habis menangis.
"Kau menangis? Hei, aku tahu kalau kau ditakdirkan menjadi uke karena memang berperasaan seperti wanita, tapi kenapa kau menangis? Malu-maluin, tahu?!" Tch, sial. Aku tak bisa mengontrol ucapanku.
Namun maniak mayones itu hanya terdiam, tak berniat untuk menjawab rentetan pertanyaanku.
"Oh iya, bagaimana keadaan Souichirou-kun?" tanyaku lagi sambil menggaruk belakang kepalaku, canggung.
"Sougo memintaku untuk menyerahkan surat ini padamu. Bacalah," ujarnya sembari menyerahkan sepucuk surat yang dilapisi dengan amplop. Refleks, aku segera mengambil amplop itu dari tangannya dan membuka suratnya. Alisku terangkat sebelah tatkala melihat tulisan milik Sougo yang tak biasa.
"Huh? Apa ini? Dia yang menulis ini? Kenapa berantakan sekali?" ocehku sambil menelusuri tiap kata yang tertulis dalam surat itu dengan sekilas.
"Ah, dan jangan lupa hadiri pemakamannya jam sembilan nanti." Dia memperingatkanku lalu berjalan melaluiku.
"Baikla—hah? Apa? Pemakaman siapa?" aku yang awalnya melamun, memikirkan apa yang sebenarnya tujuan Okita menulis surat ini padaku langsung buyar karena ucapan Hijikata.
"Aku pergi dulu. Aku mau bersiap-siap." Bukannya memberiku keterangan lebih lanjut, pemuda menyebalkan itu justru berjalan semakin cepat meninggalkanku.
"Oi, Oogushi-kun! Pemakaman siapa? Siapa yang akan dimakamkan?" tanyaku berulang-ulang, namun sama sekali tak dijawab olehnya. Tak ada pilihan, akhirnya kuputuskan untuk mulai membaca surat yang ditulis oleh Souichirou-kun agar aku mengetahui jawaban dari pertanyaan yang berputar di kepalaku.
.
.
.
Untuk Yorozuya no Danna,
Bagaimana kabarmu? Masih sering berbuat onar seperti biasa? Padahal kau selalu dihukum setiap hari, apa kau tidak pernah jera? Seharusnya kau dikeluarkan saja dari sekolah ini. Haha, bercanda. Sekolah ini memang dikhususkan untuk orang yang bermasalah, kok.
Sejujurnya, aku juga sama sepertimu. Alasan mengapa aku ada di sekolah ini karena aku selalu berbuat onar, bahkan mungkin lebih parah darimu. Aku suka berkelahi dan melihat orang lain menderita. Karena perilaku burukku itulah yang menyebabkan Ane-ue-ku berada dalam masalah. Karena diriku, rumah kami disita sebagai biaya ganti rugi atas apa yang telah kuperbuat. Karena diriku, kami hidup di jalanan dan menjadi gelandangan. Dan karena diriku pula, dia menikah dengan orang yang tidak dia cintai asalkan aku dibiarkan hidup. Dia melakukan semuanya semata-mata hanya untuk melindungiku. Selama ini aku hanya bisa membuatnya berada dalam masalah. Hingga di saat terakhirnya pun, aku masih belum bisa membalas kebaikannya. Aku hancur. Aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Aku kecewa dan membenci diriku sendiri. Dan tanpa sadar, aku menjadi lebih gila dari sebelumnya. Bahkan berniat untuk bunuh diri.
Hingga akhirnya Hijikata-san yang datang dari planet Mayo menarikku keluar dari jurang kegelapan itu. Dialah yang menyadarkanku. Senyumnya yang jelek itu menyelamatkanku. Dia bahkan membantuku untuk balas dendam pada orang yang sudah membuat kami menderita sebelumnya. Hidupku menjadi berarti. Setidaknya aku masih memiliki alasan yang kuat untuk meneruskan hidup ini. Apalagi setelah mengetahui kalau aku ternyata menderita TBC, sama seperti Ane-ue-ku. Setidaknya aku ingin membuat hidupku yang sudah tidak lama lagi ini menjadi berguna untuk Hijikata-san. Aku tidak mau merasakan penyesalan yang sama untuk kedua kalinya.
Lalu aku sadar kalau aku mencintainya. Aku mencintai Hijikata-san. Aku mencintai semua yang ada pada dirinya. Bahkan aku tidak keberatan jika aku diharuskan memakan mayones untuk selamanya asalkan aku bisa selalu bersamanya, walaupun aku tidak pernah mengatakannya terang-terangan. Dia sangat berarti bagiku. Aku ingin selalu bersamanya. Apapun akan kulakukan asalkan perhatiannya selalu tertuju padaku. Berbuat onar, mengejek, bahkan berniat membunuh dirinya pun aku lakukan, namun aku tidak penah bersungguh-sungguh melakukannya. Semua itu kulakukan semata-mata hanya untuk mendapatkan perhatiannya.
Namun, semua berubah sejak kau muncul. Kau dengan rambut ikalmu yang mengganggu pemandangan itu berhasil mengalihkan perhatian Hijikata-san. Kau yang selalu berbuat onar demi menarik perhatiannya itu berhasil merebutnya dariku. Awalnya aku mencoba untuk tidak peduli, karena kupikir Hijikata hanya menjalankan tugas yang dibebankan padanya, yaitu untuk menertibkan semua murid agar semuanya bisa berjalan dengan baik dan tidak merepotkan Kondou-san.
Namun ternyata aku salah. Ketidakpedulianku justru membuatnya semakin dekat denganmu. Bahkan dia jarang menghabiskan waktunya denganku. Dia mulai melupakanku. Dari situlah aku tahu, dia mulai mencintaimu. Sebenarnya bisa saja aku membunuhmu, tapi jika Hijikata-san tahu, aku yakin dia pasti akan membenciku. Selain itu, aku merasa kalau kau mirip denganku. Kau berbuat onar hanya untuk mendapatkan perhatiannya, kan? Setelah kupikir-pikir, selama ini aku hanya mementingkan diriku sendiri tanpa mempedulikan bagaimana perasaan Hijikata yang sesungguhnya. Dia memang perhatian dan peduli padaku, tapi aku tahu itu bukan cinta. Dia hanya menganggapku sebagai adik. Karena itulah aku hanya diam. Diam ... dan menunggu hingga ajal menjemputku.
Dan aku sadar, mungkin aku tidak pantas untuknya. Dia terlalu baik bagiku. Dia terlalu indah untuk kumiliki. Selain itu, aku yakin, kau pasti bisa membuat dirinya bahagia dibanding bersamaku. Karena itu, Danna, kumohon lindungilah Hijikata-san mulai saat ini. Aku tahu kau orang yang baik. Meskipun kau menyebalkan, tapi anehnya aku tidak bisa membencimu. Ne, berbahagialah dengan Hijikata-san, untuk kebahagiaanku juga.
Terima kasih. Aku bersyukur kau hadir di antara kami.
Dari orang yang selalu kau salah sebutkan namanya,
Okita Sougo
.
.
.
Tubuhku serasa ingin ambruk saat itu juga. Beruntung ada tembok di belakangku yang bisa kugunakan untuk menyandarkan punggungku, sekaligus menopang berat tubuhku sehingga pantatku tak perlu berciuman dengan lantai.
"... O-Okita-kun, aku tidak menyangka," Aku bergumam lirih seraya menatap langit-langit koridor. Sekelebat memori membayangi pikirannya. Dimulai dari pertama kali dirinya masuk sekolah ini, bertemu dengan mereka, hingga seluruh kebenaran terungkap.
Apakah aku ini ... penghancur hubungan orang? Merebut seseorang yang kita cintai dari pasangannya itu apakah perbuatan yang benar? Aku rasa tidak. Itu perbuatan yang salah. Tapi, tamu itu tidak akan muncul jika tuan rumah tidak membukakan pintu, kan? Tamu itu ibarat orang ketiga. Dia akan masuk ke dalam hubungan seseorang jika orang pertama itu membukakan pintu.
Tapi dalam kasusku, sepertinya aku ini bukanlah tamu. Melainkan perampok yang masuk secara diam-diam dan kemudian ditemukan oleh tuan rumah yang entah bagaimana bisa malah jatuh cinta padaku.
... Tunggu, kenapa perumpamaannya jadi begitu?
Yah, tapi jangan salahkan aku kalau aku juga jadi jatuh cinta pada tuan rumah itu. bukannya aku yang merampok, justru malah hatiku yang dirampok.
Menjadi orang ketiga itu ... sebenarnya tidak baik. Menghancurkan hubungan orang lain itu dosa. Tapi jika pasangan orang lain itu ternyata jodoh kita, mau bagaimana lagi, kan? Namun rasanya aku menyesal merusak hubungan mereka. Memikirkan betapa tersiksanya Okita yang baru menyadari perasaannya setelah Hijikata meninggalkannya dan akhirnya menanggung rasa sakit itu sendirian. Hingga dia benar-benar merelakan orang yang dicintainya bahagia bersama orang lain yang sudah seenaknya merebut orang yang paling berarti di hidupnya. Tapi aku sadar. Mungkin aku memang ditakdirkan seperti ini. Sebagai pelurus benang kusut yang mengikat hubungan mereka yang rumit. Walaupun berakhir tidak bahagia, namun mereka mengetahui perasaan mereka masing-masing. Aku tidak bangga dengan hal itu, namun aku bersyukur karena Okita bisa pergi meninggalkan Hijikata dengan tenang, tanpa menyembunyikan rahasianya dan melepas beban berat yang sudah sejak lama ia tanggung sendirian.
Jika saja aku menemukan mesin waktu, aku ingin kembali ke masa lalu dan mengubah semua tindakan bodoh yang sudah kuperbuat. Terutama ... aku ingin meminta maaf sekaligus berterima kasih kepada Okita. Aku menyesal tidak bisa membuatnya bahagia bersama dengan orang yang dia cintai hingga saat-saat terakhirnya. Aku benar-benar orang yang jahat. Mungkin sebaiknya aku tidak pernah masuk ke tengah-tengah hubungan mereka. Namun semua sudah terjadi. Yang bisa kulakukan saat ini adalah melanjutkan hidupku dan terus menatap ke depan.
.
.
.
Segera kutinggalkan area pemakaman setelah sebelumnya menaruh bunga mawar putih di atas nisan bernamakan Okita Sougo tersebut. Kudongakkan kepalaku ke atas, menatap langit yang mendung, bersiap untuk menumpahkan beban yang sudah tak sanggup lagi ia tampung.
Dan tumpahlah air dari gumpalan kapas berwarna abu kelam tersebut, bersamaan dengan jatuhnya air asin dari sudut mataku yang kemudian menghilang karena sudah bercampur dengan tetesan air hujan yang makin deras membasahi permukaan bumi. Seolah ikut menangisi kepergian pemuda berambut cokelat karamel tersebut.
"Beristirahatlah dengan tenang, Okita-kun. Jangan khawatir. Percayakan dia padaku, aku akan melindunginya mulai saat ini sesuai permintaanmu."
"... Terima kasih, Danna,"
Iris merahku berkedip. Samar-samar barusan aku mendengar bisikan yang aku yakini itu adalah suara seorang Okita Sougo. Aku segera menggeleng. Aku mengelus lengan kananku yang seketika merinding. Sepertinya aku berhalusinasi. Aku segera berlari ke rumah dengan kecepatan cahaya—tak lupa dengan asap yang mengikuti setiap langkahku.
Keesokan harinya, entah setan jenis apa yang merasukiku, dengan bodohnya aku memasuki ruangannya tanpa merasa malu sama sekali. Disitulah aku bisa melihat dia, sang pemuda pecinta mayones yang sedang duduk di kursinya, menjalankan rutinitasnya seperti biasa. Ya, sibuk mengerjakan laporan entah-apa-itu. Mungkin dia melakukannya untuk menghilangkan perasaan sedih yang menghantuinya. Siapa yang tahu?
Aku berjalan mendekatinya, lalu berdiri membelakanginya. Bersandar pada meja yang menghalangi jarak antara kami berdua.
"Bagaimana kabarmu?" tanyaku dengan nada sok tak peduli sambil mengorek lubang hidungku.
"Huh? Apa maksudmu, teme?" Oogushi-kun menghentikan kegiatannya sejenak demi menoleh sekilas ke arahku.
"... mengenai Okita-kun," sambungku pelan, agak ragu untuk bertanya, sebenarnya. Namun rasa penasaran membuat harga diriku tiba-tiba menghilang entah kemana.
"Aku sudah lebih baik dari pada sebelumnya."
"Sou, baguslah kalau begitu." Jawabannya melebihi perkiraanku. Aku tahu dia bisa saja berbohong, tapi setidaknya dia ingin aku tahu kalau aku tak perlu mengkhawatirkannya. Tch, dasar tsundere.
"Terima kasih." ucapnya tiba-tiba.
"Huh? Kenapa tiba-tiba berterima kasih?"
"Karena tetap berada di sampingku bahkan dalam keadaan yang sulit sekalipun." Aku mengedipkan mata ikanku beberapa kali. Tiba-tiba tanganku bergerak sendiri dan menggaruk belakang kepalaku. Salting.
"Aku sudah berjanji pada Okita-kun ... kalau aku akan melindungimu." sanggahku.
"Tapi, kau melakukannya jauh sebelum aku menyerahkan surat Sougo padamu." Sial, sejak kapan dia bisa membalas ucapanku? Aku merutukinya dalam hati.
"Aah, bagaimana ya~? Kau kan ... pacarku. Yah, walau pura-pura, tapi apapun yang terjadi harus tetap kulindungi, kan?" ucapku dengan agak gombal.
Kulihat Oogushi-kun mengerutkan keningnya, heran. Huh? Apa? Apa aku mengucapkan kalimat yang salah?
"Kau ... masih menganggap hubungan pura-pura itu sampai sekarang?" Dia bertanya sambil memasang wajah datar. Perempatan imajiner seketika muncul di dahiku.
"Hah?! Jadi kau sudah melupakannya, ya?! Dasar Ketua Murid sialan!" cercaku kesal.
"Jangan mulai lagi, teme!" balasnya sambil berdecak.
Perasaan Hijikata padaku sekarang memang sudah berubah, aku tak seharusnya mendekatinya dalam masa berkabung seperti ini, tapi aku hanya ingin melihat senyum di wajahnya kembali. Aku tidak ingin dia terus-menerus murung seperti ini. Memang sulit, tapi tidak apa. Biarlah, setidaknya aku bisa menemaninya dan menghiburnya.
Yah, cinta itu akan tumbuh seiring dengan berjalannya waktu, kan? Semakin sering kita bersama, aku yakin cinta itu juga akan semakin cepat tumbuh dan berkembang kembali. Ah, tapi aku saja sudah bahagia dengan keadaan seperti ini. Karena semua akan indah pada waktunya.
.
.
.
Entah kapan.
.
.
.
OWARI
Author's Note:
YATTA~ FINALLY FANFIC INI TAMAT WAHHAHAHAH~ Terima kasih untuk semua dukungannya!
Ada yang masih ingat? Ini fanfic draft-nya udah jadi dari lama, tapi males banget ngetik deskripsinya. Dan maafkan aku udah ketunda sampai setengah tahun.
Btw iya aku tahu kok ending-nya nggak memuaskan. Masa Gintoki kena waitzoned lol. Ada kepikiran mau buat epilognya, sih. Atau sequel? Ah, atau gak usah aja? Yang jelas endingnya GinHiji walaupun si Gintoki berasa digantungin wkwkk. Yah, lihat ke depannya aja deh. /dirajamfansGinHiji
Thanks to: ATHAYPRI, Haruka el-Q, ryuuki katsumoto, dan Yamada Kim Naho-chan.
Sampai jumpa lagi~
.
.
.
Sign,
Yumisaki Shinju