Wanita itu memeluk bayinya yang baru berusia tiga bulan dengan pelukan yang kencang, posesif, namun sama sekali tak menyakiti si bayi. Jantungnya berdetak tak karuan, AC mobil sama sekali tak bisa menghentikan laju keringat dingin yang muncul di sekitar dahi dan pelipisnya. Mobil sedan berwarna hitam itu melaju membelah jalanan malam yang sepi. Tak ada apa pun di sekeliling mereka kecuali pohon-pohon besar yang berbaris di pinggir jalan. Seolah jalanan itu membelah lautan pepohonan. Di balik kemudi, sang suami sama sekali tak menurunkan kecepatan mobilnya. Bahkan jarum pengukur kecepatan terus menunjukkan angka yang lebih besar.

"Kita akan selamat! Aku janji kita akan selamat! Orang-orang Ayah sudah bergegas mencari kita." Si pria berkata cepat, mencoba menenangkan sang istri. Beruntung bayi mereka masih tertidur lelap. "Yang penting jangan sampai kita tersusul."

Sang istri mengangguk cepat. Siapa yang menyangka kalau rencana mereka untuk berlibur di gunung berubah menjadi tragedi seperti ini?

"Kaupercaya padaku, kan?"

Sekali lagi wanita itu mengangguk.

"Bagus."

Di tengah ketegangan itu, tiba-tiba mobil mereka berhenti. Sial! Si pria bahkan sampai memukul dashboard mobilnya kencang. Mesin mobilnya kenapa lagi?

Istrinya semakin pucat? Apa mereka akan tertangkap?

Dia memeluk bayi mungilnya erat. Malaikat kecil mereka.

Si pria turun untuk memeriksa mesin mobil sedan tersebut. Cahaya pada layar ponsel digunakan sebagai sumber penerangan seadanya. Asap putih yang berasal dari mesin mobil terlihat mengepul sesaat setelah terkena cahaya redup ponsel.

Gawat. Otaknya kali ini menolak untuk mencari jalan keluar. Dia merasa buntu.

"Sayang," panggil sang istri sambil membuka kaca mobil. Kepalanya dijulurkan keluar. "Semua baik-baik saja, kan?"

"Ya, semua baik-baik saja," dustanya. Dia mencoba menghitung waktu yang akan ditempuh sampai orang-orang yang mengejar mereka berhasil menyusul.

Dia harus mengambil langkah cepat sekarang.

Pria itu berjalan memutar, dia membuka pintu belakang mobil, mengeluarkan sebuah kotak berukuran sedang berwarna hitam yang berada di bawah tempat duduk. Dua buah pistol dengan peluru lengkap. Pria itu lalu membuka pintu di mana sang istri berada dan membimbing wanita itu keluar.

"Sayang?"

"Larilah, masih ada paling tidak lima belas menit sebelum mereka menemukan kita," ujarnya sambil menyodorkan salah satu pistol.

"Sa-Sayang? Tadi kaubilang kalau semua baik-baik saja!" teriak sang istri terkejut.

"Maaf." Hanya itu yang bisa diucapkannya sekarang.

Ketegangan semakin memuncak karena dari kejauhan terdapat dua titik cahaya yang semakin mendekat. Ah, Fuck! Apa itu musuh? Karena pria itu yakin mobil yang datang bukanlah bantuan. Terlalu cepat kalau bantuan dari ayahnya datang sekarang.

Dia menarik sang istri agar menunduk di samping badan mobil. Pistol yang masih ada padanya sudah siap untuk ditembakkan. Mereka berusaha agar tak mengeluarkan bunyi sedikit pun, walau itu bunyi helaan napas.

Benar sekali dugaannya, dua titik cahaya tadi bersumber dari lampu mobil yang kini berhenti di sisi lain jalan, sejajar dengan mobilnya. Dia semakin memeluk erat tubuh istrinya. Kalau mereka musuh, maka dia siap mati saat ini juga demi mereka.

Semoga saja dia bisa melumpuhkan orang-orang di mobil itu dan merebut mobil mereka. Itu cara terbaik untuk kabur.

Perlahan kepalanya bergerak naik untuk mengintip dari balik kaca mobil. Sejauh ini yang dia temukan dari mobil yang berhenti itu adalah pasangan lanjut usia. Mereka terlihat berdebat. Telinganya yang tajam dapat menangkap percakapan pasangan tadi. Wanita setengah baya tampak tak begitu setuju dengan ide suaminya yang mau mengecek kenapa ada mobil yang berhenti di pinggir jalan pada malam hari begini. Sedangkan si suami bersikeras untuk turun, dia berpikir bahwa bisa saja si pemilik mobil membutuhkan bantuan.

Sang suami yang melindungi istrinya masih tetap waspada. Bisa saja mereka musuh yang menyamar. Tapi, menilik dari percakapan mereka, hatinya berkata kalau mereka adalah orang baik.

"Apa ada orang?" panggil pria paruh baya itu.

Entahlah, di zaman seperti ini, masih ada ternyata orang yang terlalu naif.

Sang suami pelan-pelan berdiri. Sebelumnya dia memberi kode agar istrinya terus menunduk. Pistolnya yang berada dalam genggaman masih disiagakan.

"Oh, Nak, mobilmu kenapa?"

"Ada kerusakan kecil pada mesinnya," jawab pria itu waspada. Mereka hanya terpisahkan mobil hitam itu saja.

Pria paruh baya itu tampak maklum. "Apa kau membutuhkan bantuan?" Tahu kalau niat baiknya dicurigai, dia kembali melanjutkan, "Aku bukan orang jahat, percayalah. Itu istriku yang berada di dalam mobil. Kami baru saja mau pergi ke pemandian air panas yang ada di gunung ini," ujarnya sambil menunjuk istrinya. Wanita paruh baya yang disebut tadi melambai dari dalam mobil.

Kalau memang orang sepertinya masih memiliki kesempatan, bolehkah dia berharap sekarang?

"Tenang, Nak, kami bukan orang jahat." Pria paruh baya itu rupanya dapat menangkap raut waspada dari pria muda yang menjadi lawan bicaranya.

Baiklah, dia akan bertaruh sekarang. Kalau mereka memang orang baik, anak dan istrinya akan selamat. Jika tidak, maka ini memang nasib buruk mereka.

"Boleh aku meminta tolong?"

.

.

.

.

.

Disclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto, saya tidak mengambil keuntungan apa pun dari pembuatan fanfiksi ini

Warning: AU, typo, OOC, two shot

Untuk ulang tahun Nyonya Uchiha, Uchiha Sakura, yang udah telat

.

.

Impian Haruno Sakura adalah menjadi prima ballerina assoluta. Tapi, sepertinya impian itu tak akan pernah menjadi kenyataan karena dia harus terlibat dengan dunia yakuza. Terlebih dia memiliki hubungan dengan Uchiha Madara.

.

.

.

.

.

Semua siswa Tokyo Art Academy tampaknya sudah pulang. Tapi tidak dengan satu murid di ruangan Seni Tari A18 yang berada di lantai empat. Lampu di ruangan itu masih menyala. Seorang gadis tengah bergerak mengikuti lantunan musik klasik yang berputar. Bayangannya senantiasa terpantul pada dinding kaca yang ada di depannya. Dia berputar, menjadikan ujung jemari kaki sebagai penyangga tubuhnya agar tak jatuh. Keringat sudah mengucur dari sekujur tubuhnya. Ekspresi wajahnya yang terpantul dari cermin menunjukkan kalau dia sangat menikmati setiap gerakannya. Indah, seperti seekor angsa yang sedang menari. Gerakan gadis itu baru terhenti saat musik yang mengiringinya sudah tak terdengar lagi. Gadis itu menarik napas, melakukan sedikit gerakan pendinginan, sebelum akhirnya dia berhenti sejenak.

Rambut sebahunya yang berwarna merah muda sudah basah akibat keringat. Dia menuju tasnya yang ada di pinggir ruangan, membuka tasnya untuk mengambil handuk kecil dan mulai mengeringkan tubuhnya yang dipenuhi peluh. Setelah cukup kering, dia mengambil ponsel yang berada di kantong kecil yang ada di bagian depan tasnya. Ada beberapa pesan dari orangtuanya. Semua pesan berisi hal yang sama, kapan dia akan pulang. Gadis itu tersenyum simpul sebelum mulai membalas pesan tadi, meminta mereka tak usah khawatir karena dia akan segera kembali.

Gadis itu kemudian mengeluarkan seragam sekolah dan jaket berwarna hijau yang senada dengan warna matanya. Untung saja ruangan latihan ini memiliki kamar mandi sendiri, sehingga dia tak perlu repot-repot untuk ke gedung orahraga untuk mebersihkan diri sebentar.

Setelah semuanya beres, dia segera mengambil tasnya, mengeluarkan kaset musik klasik dari dalam tape, mematikan lampu, dan keluar dari ruangan latihan tersebut.

Dan seperti biasa, dia akan mendapati seorang pemuda sedang bersandar di samping pintu ruangan. Pemuda itu memasukkan kedua tangannya di dalam saku celana. Pakaian seragamnya masih rapi, lengkap dengan dasi merahnya dan blazer-nya yang berwarna biru tua. Pun dengan rambutnya yang masih setia mencuat. Tak tahu berapa banyak gel yang dipakai sampai rambut itu bisa bertahan lama.

"Kau lagi, Uchiha Sasuke?"

"Hn." ucapan ambigu yang seperti biasa.

Haruno Sakura, si gadis, mulai terbiasa dengan kehadiran pemuda bermata kelam tersebut. Sebelumnya mereka sama sekali tak akrab. Sakura hanya tahu kalau Uchiha Sasuke adalah murid jurusan musik yang berprestasi. Dia adalah pianis muda yang sedang naik daun karena beberapa kali memenangkan turnamen nasional. Jangan tanya kenapa mereka bisa tak saling kenal. Aktivitas murid seni tari dan seni musik tentu berbeda, bukan?

Semua dimulai sejak sebulan yang lalu. Sakura menemukan hal aneh. Pemuda Uchiha itu menunggunya di luar ruang latihan. Dia bersandar pada dinding persis seperti sekarang ini.

"Kau?"

"Hn."

"Uchiha Sasuke, kan? Ada apa?"

"Aku akan mengantarmu pulang."

"Eh? Kenapa?"

"Sudah malam."

"Aku tahu, maksudku kenapa kau tiba-tiba mau mengantarku pulang? Kita bahkan tak saling kenal, menyapa pun tak pernah."

"Tokyo rawan di malam hari."

Hanya itu jawaban dari Sasuke. Lalu, tak ada lagi pertanyaan dari Sakura dan tak ada jawaban dari Sasuke. Pemuda itu berjalan di belakangnya. Mengikuti Sakura naik bus, kembali berjalan di belakang Sakura saat gadis itu memasuki gang menuju rumahnya. Semua berjalan begitu saja. Tak ada obrolan atau pembicaraan santai selama mereka menghabiskan waktu menuju kediaman Sakura.

Sakura juga pernah mencoba untuk mengajaknya bicara, tapi dia tak membalas satu kata pun. Gadis itu tak menampik kalau Tokyo cukup rawan untuk gadis berusia enam belas tahun sepertinya. Apalagi dia selalu berlatih sendirian sampai lewat jam sepuluh malam. Entah cara apa yang dia gunakan untuk meyakinkan gurunya sehingga dia diizinkan latihan sampai malam.

"Uchiha, aku masuk dulu, ya," ujar Sakura saat mereka sudah sampai di depan pintu pagar rumahnya.

"Hn."

Ah, lama-lama Sakura berganti profesi saja menjadi tukang tafsir kata "Hn" a la Uchiha Sasuke. Gadis itu kemudian masuk ke dalam rumah, lalu secepat kilat dia mengintip sosok Sasuke yang berbalik pergi dari balik jendela.

Selalu saja seperti itu. Sasuke bukan hanya mengantar—lebih tepatnya menemani—Sakura pulang, dia juga memastikan gadis itu sudah berada di dalam rumah baru dia beranjak pergi.

"Diantar pemuda tampan itu lagi?" goda seorang wanita yang muncul dari belakang tubuh Sakura.

Gadis itu terlonjak. "Ibu! Mengagetkanku saja," tukasnya sambil tersenyum malu.

"Wah, wah, anak gadis Ibu kenapa sampai bisa kaget?" goda si wanita pirang, senyum menggoda yang tersungging di wajah paruh bayanya membuat sang putri semakin merona. "Diantar pulang pacar bukan dosa, Sayang. Kapan kau akan mengenalkannya pada kami? Ayahmu juga sudah sangat penasaran dengan pemuda itu."

"Tidak, Bu. Dia bukan pacarku. Aku masuk, ya."

Gadis itu lalu bergegas menuju kamarnya, meninggalkan sang ibu, Haruno Mebuki, yang terus tersenyum simpul. Anak gadisnya sudah besar rupanya.

Aneh memang. Uchiha Sasuke bukanlah kekasihnya, tapi setiap hari pemuda itu mengantarnya pulang. Mereka jarang bertegur sapa di sekolah. Jangankan saling menyapa, bertemu saja jarang karena Tokyo Art Academy sangat luas. Gedung Musik dan Gedung Tari juga tak saling berdekatan. Kedua gedung tersebut berada pada sisi yang berbeda. Gedung Tari berada di Selatan, sedangkan Gedung Musik berada di utara. Belum lagi gedung-gedung jurusan lain dan gedung khusus untuk kegiatan ekstrakurikuler yang menjadi pemisah. Potensi mereka untuk bertemu menjadi semakin kecil. Akan tetapi, aksi Sasuke yang selalu menunggu dan mengantarnya pulang sudah tentu membangkitkan rasa penasaran dalam diri Sakura.

Apa Uchiha Sasuke suka padanya? Tapi, ekspresi pria pendiam itu selalu datar. Kalau Sakura mengajaknya bicara, kadang dia hanya diam. Menjawab pun tak lebih dari lima kata. Lantas, apa yang membuat Sasuke melakukan hal seperti itu? Semua masih menjadi misteri baginya.

oOo

Keesokan paginya, saat memasuki halaman sekolah, dia melihat Uchiha Sasuke sedang berada di lapangan basket dengan perkumpulan Uchihanya. Ya, Tokyo Art Academy memang menjadi ladangnya para Uchiha. Sasuke terlihat duduk di bangku yang ada di pinggir lapangan dengan beberapa orang, sementara yang lainnya sedang bermain basket. Sebenarnya tak semua yang ada di sana adalah Uchiha, namun mereka berafiliasi dengan marga ternama tersebut sehingga kalau berkumpul bersama seperti ini, mereka semua dianggap Uchiha.

Untung saja sekolah ini melarang muridnya untuk datang menggunakan kendaraan mewah. Kalau tidak, bisa saja ada parade mobil mewah sepanjang pagi. Mereka selalu ditanamkan dengan nilai-nilai kesederhanaan. Itulah sebabnya murid dengan kemampuan finansial ekonomi menengah bisa bersekolah di sana. Pembayaran uang sekolah dengan sistem subsidi silang—dengan murid yang mampu membayar lebih—tentu menguntungkan pihak-pihak yang kurang mampu.

Gadis itu memalingkan muka saat tatapan mereka bertemu. Ah, sampai sekarang dia tak mengerti dengan sikap Sasuke. Pemuda itu suka padanya? Rasanya itu tak mungkin. Dia bersimpati? Sepertinya simpati saja tak cukup untuk membuat orang seperti Uchiha Sasuke mau repot-repot mengantarnya pulang setiap malam. Dia membenci Sakura? Tidak, kalau Sasuke membencinya, dia pasti tak akan mau berdekatan dengan Sakura. Sungguh memusingkan.

"Hai, Cantik," sebuah suara merayu kini mengganggu lamunannya.

Sakura menangkat wajah dan menemukan si pengganggu. Pemuda berwajah flamboyan, rambut peraknya disisir klimis. Senyumnya seolah mengatakan kalau perempuan mana pun akan takluk dengan satu kedipan mata. Kakak kelas yang selalu berusaha merayunya sejak dia menginjakkan kaki di sekolah ini.

"Hidan-senpai," tukas Sakura ogah-ogahan.

"Ya, Tuan Putri."

Oh, please, dia tak suka dipanggil seperti itu. Gadis itu berlari cepat untuk menghindari Hidan. Rayuan gombal memuakkan seperti itu adalah salah satu hal yang bisa dengan cepat merusak mood-nya.

Hidan menggeram kesal. Usahanya sama sekali tak diacuhkan. Bukan kali ini saja Haruno Sakura menghindarinya, berkali-kali gadis itu melakukan hal yang sama. "Kau akan mendapatkan balasannya nanti, Haruno. Ini adalah penghinaan! Sebentar lagi kau akan mendapat pembalasanmu," geramnya kesal.

.

.

.

.

.

oOo

.

.

.

.

Uchiha Madara, dia adalah Oyabun (pemimpin) dari kelompok yakuza Uchiwa-gumi. Salah satu kelompok yakuza paling besar dan paling ditakuti di Jepang. Mereka telah berdiri kokoh dan telah menancapkan pengaruhnya selama lebih dari dua ratus tahun. Uchiwa-gumi memiliki afiliasi dengan beberapa kelompok lain yang bersumpah setia padanya. Selain itu, banyak politisi, polisi, dan jaksa yang berada di dalam genggaman tangan mereka. Tak terbayangkan sebesar apa pengaruh yang dimiliki Uchiwa-gumi.

Di usia yang sudah semakin senja, Uchiha Madara hanya memiliki satu penyesalan. Terlambat menyelamatkan putranya dari perang antar kelompok yakuza dulu. Keterlambatan itu membuatnya menyesal selama sisa hidupnya. Dia kehilangan anak, menantu, dan cucu sekaligus. Andai saja dia bisa lebih cepat mengerahkan anak buahnya pada malam itu, tentu saja saat ini Uchiha Obito dan keluarga kecilnya masih ada.

Anak buahnya mengatakan masih ada harapan untuk menemukan cucu perempuannya. Karena mereka hanya menemukan mayat Obito dan Rin. Mereka sama sekali tak menemukan jenazah bayi.

"Fugaku," pria paruh baya itu menatap ke luar. Dinding ruang kerjanya yang hanya berlapis kaca tebal menampilkan pemandangan pagi di Tokyo. Ruangan yang terletak di lantai teratas gedung tinggi ini bisa menembus ke seluruh penjuru kota. "Bagaimana perkembangannya?"

"Maaf, Madara-sama, tapi belum ada perkembangan apa-apa mengenai cucu Anda."

Madara tertunduk lesu. Dia mengambil sesuatu dari balik kantong jasnya. Sebuah foto berukuran 3x4 yang cukup lusuh—jelas sekali kalau foto tersebut sering sekali disentuh. Objek pada foto itu adalah seorang bayi mungil yang sangat manis. Ciri khas bayi tersebut adalah rambutnya yang berwarna merah muda.

"Hn, aku mengerti."

Wajahnya yang semakin termakan usia kembali lesu. Harus berapa lama lagi sebelum dia menemukan cucu tunggalnya itu?

"Sekali lagi saya minta maaf, Madara-sama."

"Tidak apa-apa. Lalu, bagaimana persiapan untuk besok malam?"

Fugaku membuka map yang sedari tadi berada di tangannya. Ini daftar orang-orang yang sudah mengonfirmasi akan datang, termasuk beberapa orang menteri dan para politisi.

Madara menyunggingkan senyum angkuhnya. Pada pertemuan ini, dia akan kembali membuat mereka tak punya pilihan. Jalur perdagangan gelap mulai tak aman. Belum lagi, ada wacana dari pemerintah yang ingin membuat UU Anti Yakuza. Dia harus membuat mereka melakukan sesuatu untuknya.

"Apa kau sudah menyiapkan hal yang disukai orang-orang busuk itu?"

Fugaku berdeham. "Madara-sama, kalau mereka hanya meminta gadis remaja yang masih perawan, kami dapat dengan mudah menemukannya."

Madara berbalik, dia menjauhi jendela dan menuju ke arah meja kerjanya. Fugaku masih setia berdiri di depan meja kerja yang terbuat dari kayu berkualitas tersebut. "Lalu?"

"Menteri Perdagangan meminta seorang gadis yang mahir menari balet untuk menghibur mereka nanti," jelas Fugaku.

Madara duduk di kursi kerjanya sambil menyunggingkan senyum mengejek. "Jangan bilang kalau pedofil tua itu ingin menikmati tarian balet tanpa busana?"

"Tepat sekali," jawab Fugaku mantap. Permintaan yang aneh dari klien dan rekan mereka memang sudah bukan hal asing lagi buatnya. Selama bertahun-tahun menjadi Letnan I—tangan kanan Oyabun—dia sudah mendapati banyak sekali permintaan seperti itu.

Madara tak segan-segan mengabulkan syarat dari rekannya selama itu menguntungkan dan dia mendapat kesetiaan mereka. Itulah yang membuat Madara sangat disenangi sekaligus ditakuti. Tapi, jangan pernah mencoba untuk berkhianat pada Uchiwa-gumi. Taruhannya adalah nyawa. Peperangan antar kelompok yakuza yang menewaskan anaknya belasan tahun yang lalu adalah akibat dari pengkhianatan salah satu kelompok afiliasi Uchiwa-gumi. Kematian Uchiha Obito sama sekali tak melemahkannya. Dari dalam dia memang hancur. Namun, Uchiha Madara menunjukkan kebengisannya dalam membalas dendam bagai naga tidur yang dibangunkan. Dia menghancurkan kelompok pemberontak itu sampai ke akar-akarnya. Sejak saat itu, tak ada lagi yang mau mencari masalah dengannya.

"Kalau begitu segeralah cari balerina belia itu. Ah, pengamanan besok juga harus ditingkatkan. Kudengar kedua anakmu cukup andal. Suruh mereka berdua membantu pengamanan mulai malam ini."

"Baik, Madara-sama."

.

.

.

.

.

Tbc

A/N:

Selamat ulang tahun Uchiha Sakura! selamat karena udah jadi Nyonya Uchiha, perasaanmu terbalas si bastard yang minta dicium itu dan kalian menelurkan(?) anak sekece Uchiha Sarada.

Duh, maunya cuma OS aja, tapi apa daya, saya udah ga kuat ngetik lama-lama. Mana saya kalau ngetik tuh satu chapter harus jadi. Ga bisa ditinggal terus dilanjutin nanti, yang ada malah ketikannya saya hapus dan ulang ngetik lagi dari awal orz

UU Anti Yakuza sebenarnya udah lama ada, hanya saja di fict ini dibikin masih seputar wacana doang.

Sorry buat typo-nya. Buru-buru sih, laptop saya mau dipakai adek soalnya.

Cuma 2 chapter aja kok ini, semoga dalam minggu ini bisa dikelarin. Saya tunggu tanggapannya ya, makasih ;)