Uchiha Obito tahu dia tak seharusnya memercayai orang asing begitu saja. Namun, demi keselamatan anak dan istrinya, dia akan mencoba percaya pada pasangan yang menawarkan pertolongan padanya itu. Dia menatap istrinya yang masih berjongkok sambil memeluk tubuh putri mereka, beberapa detik kemudian dia mengangguk pada sang istri. Mengerti akan maksud sang suami, wanita itu perlahan-lahan berdiri.

"Namaku Haruno Kizashi, itu istriku Haruno Mebuki." Sementara mereka berdua bergelut dengan pikiran yang sama, pria yang berniat menolong mereka mulai memperkenalkan diri.

Obito menggenggam tangan sang istri ketika mereka memutar ke sisi mobil yang lain. Pria yang bernama Haruno Kizashi itu terlihat cukup terkejut karena dua orang sama-sama memegang senjata dan mereka tak sendiri. Ada bayi mungil yang masih terbungkus selimut kecil berwarna gelap.

"Haruno-san, kami sedang dikejar orang jahat. Apa Anda bisa menolong saya? Tolong bawa istri dan anak saya pergi dari tempat ini," pinta Obito putus asa.

Di luar dugaannya, istrinya, Rin malah menyerahkan bayinya pada Kizashi. Pria itu menerima sosok mungil si bayi dengan bingung. "Bawa anak kami saja, saya tak bisa meninggalkan suami saya di sini."

"RIN!" Bicara apa wanita itu? Dia sedang berusaha menyelamatkan mereka.

"Aku tak bisa meninggalkanmu, mereka semakin dekat!" Mata wanita berambut pendek sebahu itu menyalang, nada suaranya mulai meninggi. "Haruno-san, bawa putri kami pergi, selamatkan dia, aku akan sangat berterima kasih," suaranya kembali melembut. "Kami akan mencari Anda setelah keluar dari masa kritis ini."

Rin tak main-main. Dia sudah bersumpah pada hari pernikahan mereka akan selalu menemani suaminya dalam keadaan apa pun. Dia sudah tahu saat seperti ini pasti akan terjadi saat menerima lamaran pujaan hatinya itu. Dia telah lama menduga konsekuensi seperti apa yang akan dia tanggung jika menikahi putra seorang Oyabun.

Hatinya sakit. Siapa bilang tidak? Tidak perlu lagi melanjutkan perdebatan dengan Obito, ini keputusannya, waktu terus berjalan, dan mereka jangan sampai membuang-buang waktu lagi. Jiwanya terasa remuk saat memberi ciuman—yang mungkin saja ciuman terakhir—di kening sang putri yang masih tidur nyenyak dalam dekapan si penolong.

Bulir air mata tertahan di pelupuk matanya saat pasangan tadi memutar haluan mobil. Mereka kembali ke kota. Apa pun yang terjadi setelah ini, terjadilah. Paling tidak, nalurinya sebagai seorang ibu mengatakan bahwa anak mereka sudah berada di tangan yang tepat.

.

.

.

.

.

Disclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto, saya tidak mengambil keuntungan apa pun dari pembuatan fanfiksi ini

Warning: AU, typo, OOC, two shot

Untuk ulang tahun Nyonya Uchiha, Uchiha Sakura, yang udah telat

.

.

Impian Haruno Sakura adalah menjadi prima ballerina assoluta. Tapi, sepertinya impian itu tak akan pernah menjadi kenyataan karena dia harus terlibat dengan dunia yakuza. Terlebih dia memiliki hubungan dengan Uchiha Madara.

.

.

.

.

.

Haruno Sakura hanya bisa mengembung dan mengempiskan pipinya sejak tahu kalau hari ini ruangan latihan tak bisa digunakan. Ada perbaikan sound system sehingga kegiatan latihan mereka diliburkan sementara waktu. Latihan di atap juga tak mungkin karena penjagaan security yang ketat. Selama ini dia bisa berlatih sampai malam karena mengantongi izin dari guru pembimbingnya.

Ini jauh lebih mengesalkan dibanding bertemu Hidan-senpai, gerutunya dalam hati.

Terlalu tenggelam pada pikirannya sendiri, Sakura sampai tak mendengar bel tanda pelajaran berakhir sudah berbunyi. Dia mengembuskan napas berat, pasrah, lalu mulai melamun lagi sambil menopang agu dengan kedua tangannya. Pikirannya baru kembali ke dunia nyata setelah beberapa kali dipanggil teman sebangkunya, membereskan buku dan peralatan tulis menulisnya pun terasa berat.

Sakura berusaha mengusir kekesalannya dengan bergabung bersama teman-temannya yang berkerumun di depan pintu. Tadinya dia tidak tahu apa yang mereka bicarakan, sampai dia melihat sendiri objek yang menjadi bahan pembicaraan tersebut.

Uchiha Sasuke.

Tak seperti biasanya, pemuda itu menunggunya sambil bersandar di dinding luar pintu kelas Sakura. Bukannya Sakura terlalu percaya diri, memangnya siapa lagi yang ingin ditemui Uchiha Sasuke di sini?

Bisik-bisik dari teman sekelasnya yang didominasi perempuan sepertinya tak memberi pengaruh apa-apa pada pemuda itu. Mereka semua bertanya satu sama lain tentang perihal kedatangan murid jurusan musik ke Gedung Tari. Kunjungan yang sangat tak biasa.

Sakura mengambil tas sekolah dan tas yang berisi pakaiannya berlatih, lalu mendekati pemuda itu. Keriuhan di antara teman-temannya semakin ramai. Uchiha Sasuke mengangkat kepalanya santai. Satu tangannya menarik headset dari telinga.

"Uchiha? Ada apa?"

"Aku ada urusan malam ini."

Dahi Sakura berkerut bingung. Baginya urusan Sasuke sama sekali tak berkaitan dengan kepentingannya. Sakura tersenyum canggung.

"Maksudmu, kau ada urusan jadi tak bisa menemaniku pulang?"

"Hn."

Bagus, sekarang sepertinya dia sudah benar-benar ahli menafsirkan maksud kata "Hn" itu.

"Tak masalah, aku juga akan pulang lebih cepat. Ruangan yang biasa menjadi tempatku latihan sedang direnovasi." Sedetik kemudian dia merasa bingung kenapa harus menjelaskan sedetail itu pada Uchiha Sasuke.

Mereka sama sekali mengabaikan teman-teman sekelas Sakura yang kini kompak mengintip dari balik pintu. Tak ada yang tahu sejak kapan kedua orang itu menjadi akrab.

"Karena itu wajahmu sedikit cemberut?"

"Eh?"

"Kesal karena tak bisa latihan?"

Mata Sakura mengerjap beberapa kali. Baiklah, jika dirinya adalah ahli tafsir, maka Uchiha Sasuke pastilah seorang cenayang.

Sasuke melirik jam tangan hitam yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Dia berpikir sebentar sebelum berkata, "Ikut denganku."

"Ke mana?"

Pemuda itu tak menjawab melainkan langsung membalikkan tubuhnya. Mau tak mau Sakura berlari kecil mengejar langkah panjang Sasuke. Sementara itu, teman-temannya yang ditinggalkan di belakang mulai menyoraki mereka. Bahkan, beberapa sampai bersiul nyaring. Pemandangan langka melihat dua orang itu berjalan bersama. Entah seperti apa reaksi mereka kalau tahu sudah sebulan terakhir Uchiha Sasuke selalu menemani teman mereka pulang.

.

.

.

.

.

.

Temukan balerina remaja untuk malam ini.

Dan Hidan menyeringai karena pesan yang masuk di ponselnya itu.

oOo

Sakura sama sekali tak tahu kalau di belakang Gedung Musik ada sebuah bangunan berbentuk segilima yang terbuat dari kaca. Bukan hanya dindingnya, tapi atapnya juga dari kaca. Tiang penyangga pada setiap sisi dan kerangka penyangga atap berwarna emas. Suasananya cukup rindang karena di sekelilingnya juga terdapat banyak pohon. Bangunan itu dikelilingi tumbuhan perdu setinggi dada orang dewasa. Sinar matahari senja yang berwarna kuning lolos dari halangan dedaunan, menembus dinding kaca, memberi kesan yang sangat elegan. Bangunan itu tidak terlalu besar, tapi memberi kesan mendalam.

Inilah akibatnya kalau murid yang berbeda jurusan jarang berinteaksi. Mereka jadi tak tahu hal-hal menarik seperti ini. Sakura cukup takjub saat menemukan sebuah grand piano berwarna hitam berada di tengah ruangan, warna piano itu sangat kontras dengan lantai yang terbuat kayu berkualitas.

"Ah, aku mengerti, kau sering bermain piano di tempat ini?"

Rupanya bukan hanya dia yang memiliki izin khusus untuk berlatih.

Sasuke menarik kursi, tak lama kemudian dia sudah memainkan piano hitam itu. Sakura menggoyangkan kepalanya menikmati irama yang sedang mengalun. Kalau dia tak salah duga, ini pasti musik ciptaan pemuda itu sendiri. Karena entah kenapa, lantunan nada ini sangat menggambarkan Uchiha Sasuke. Penuh misteri sekaligus mengundang rasa ingin tahu.

"Waktuku hanya sampai jam enam," ucap pemuda itu setelah tuts terakhir ditekan.

Sakura menatap pria itu lembut. Sudut bibirnya mulai membentuk senyuman. Undangan berlatih yang implisit, sangat Sasuke. Pemuda itu mengantarnya ke toilet siswa yang ada di Gedung Musik untuk berganti pakaian.

"Terima kasih. Tapi, di mana aku bisa memutar musik untukku berlatih?" tanya Sakura ketika mereka telah kembali ke bangunan kaca tadi. Sakura tanpa canggung lagi langsung mengambil tempat sisi Sasuke. Tak ada lagi kursi lain di dalam ruangan itu selain kursi yang ada di depan piano. Ruangan itu bahkan tak berisi apa pun selain grand piano.

"Kau tinggal sebut saja mau lagu apa."

Kembali tatapan takjub dia lemparkan untuk lelaki itu. Untung saja teman-temannya tak ada di sini sekarang. Jika tidak, mereka semua pasti akan memekik histeris. Berlatih dengan diiringi permainan piano dari juara nasional? Dia pasti sedang diberkahi keberuntungan dari Dewi Fortuna sekarang.

"Kalau begitu terserah kau saja, aku akan menyesuaikan dengan lagumu."

Jemari lincah lelaki itu mulai menekan tuts piano. Sakura memejamkan matanya, menikmati nada-nada indah yang terjalin dari permainan jari pemuda itu.

E – D# – E

Dia kenal nada-nada awal tersebut.

Sebuah lagu yang sudah sangat familiar. Bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman.

Tidak salah lagi, ini Fur Elise milik Ludwig van Beethoven.

Tubuhnya mulai bergoyang pelan mengikuti irama. Ini bukan pertama kalinya dia mendengar Fur Elise, tapi ini pertama kalinya dia merasakan getaran seperti sekarang. Permainan piano Sasuke seperti memiliki daya magis tersendiri. Fur Elise adalah lagu yang cukup familiar buat siapa saja, hampir semua pianis pasti pernah memainkannya dan hampir semua orang di dunia pernah memainkannya. Tapi, bagi Sakura, tak semua orang bisa memainkan dengan penghayatan seperti ini.

Gadis itu bisa merasakan alam semesta yang menyatu dengan setiap nada yang terjalin. Embusan angin, gerakan dedaunan, sinar keemasan matahari, semua berpadu menjadi satu, melebur dalam setiap keindahan irama. Ada rasa tenang sekaligus sakit dalam lagu ini. Sakura tahu kalau Fur Elise adalah lagu yang menunjukkan rasa patah hati penciptanya. Rasa sakit itu tersampaikan dengan baik melalui lantunan indah irama yang dibawakan Sasuke. Indah sekaligus menyakitkan. Tanpa kata, dia sanggup meresapi semua maksud yang tak tersampaikan melalui lagu ini.

Lalu, gadis itu mulai bangkit berdiri. Tangan dan kakinya mulai bergerak. Pada tingkat yang lebih tinggi, Sasuke mulai mengimprovisasi permainannya. Dia tak lagi mengikuti rangkaian pada partitur Fur Elise. Dinamika lagu itu dia mainkan menurut feeling-nya sendiri. Aneh karena pikiran mereka seperti saling berkonspirasi. Sakura seperti tahu kapan tempo akan melambat, kapan tempo akan dipercepat. Jemari kakinya yang menjadi poros bergerak seirama dengan lantunan nada piano. Tangannya bergerak gemulai.

Dan Sasuke membuat klimaksnya sendiri, dia menambah tempo permainannya. Seolah mereka sudah saling terkoneksi, Sakura juga melakukan gerakan yang sulit. Kali ini hanya satu kakinya yang berjinjit sebagai tumpuan sementara kakinya yang lain sebagai penggerak untuk memutar tubuhnya. Lantunan musik dan putaran tubuh Sakura seperti sudah diatur sebelumnya, seolah mereka sudah bekerja sama selama bertahun-tahun. Seolah musik yang dimainkan Sasuke memang khusus hanya untuknya. Tepat saat permainan piano Sasuke berakhir, saat itu juga Sakura menyelesaikan putaran tubuhnya yang ke 32 tanpa putus sekali pun—kepuasan luar biasa karena berhasil melakukan 32 putaran fouettes dengan sempurna.

Pria itu menyunggingkan seringai tipis saat kedua telapak kaki Sakura sudah menapak lantai kayu. Tubuh gadis itu dibungkukkan, kedua tangannya terentang ke atas.

Tanpa ragu Sasuke memberikan applause.

Penghormatan gadis itu di akhir tariannya benar-benar membuatnya seperti seekor angsa anggun yang baru saja selesai menari.

"Wow!" Sakura menyandarkan tubuh depannya di sisi samping grand piano hitam itu. "Aku tak pernah merasakan suasana latihan seluar biasa ini." Dia bahkan sama sekali tak merasa letih walaupun tubuhnya bersimbah peluh.

"Hn."

"Kau hebat, Sasuke," pujinya tulus. "Kuakui, aku terbawa permainan pianomu."

"Begitu juga denganku."

Senyum gadis itu bertambah lebar. Ya, atmosfer tadi bukan hanya datang dari Sakura atau Sasuke sendiri, melainkan dari kombinasi keduanya.

"Sakura."

"Ya?"

"Dulu Uchiha Obito suka memainkan piano untuk mengiringi tarian balet Nohara Rin di sini."

"Benarkah!?" Sakura memekik tak percaya. Nohara Rin adalah salah satu panutannya dalam menari, apalagi dia juga lulusan dari sekolah ini. Sayang, wanita itu meninggal dalam usia yang sangat muda bersama suaminya, Uchiha Obito. "Aku beruntung sekali kalau begitu," serunya yang masih terbawa suasana girang.

Sasuke kembali melirik arlojinya. "Kurasa sudah saatnya aku pergi."

Kembali Sasuke mengantarkannya untuk berganti baju di toilet Gedung Musik. Mereka berpisah di depan gerbang sekolah. Untung saja sekolah sudah sepi, kalau tidak mereka pasti akan kembali menjadi bahan pembicaraan.

Tak seperti biasanya, kali ini langkah kaki Sasuke terasa berat. Rasanya dia sudah berbuat kesalahan besar dengan tidak mengantar gadis itu sampai ke rumahnya.

oOo

Gang menuju ke rumahnya sudah terlihat. Sejak melangkah keluar dari halaman sekolah, hatinya terus berbunga-bunga. Siapa yang menyangka kalau dia akan berlatih di tempat di mana idolanya juga dulu berlatih? Benar-benar hal yang tak terduga. Belum lagi latihannya diiringi musik dari Sasuke. Semua yang terjadi hari ini benar-benar indah.

Gadis itu melompat turun dari pintu bus sambil bersenandung kecil. Sesampainya di rumah dia harus menceritakan pengalaman ini kepada kedua orangtuanya.

"Nanananana~ lalala—"

Senandungnya tak pernah terselesaikan karena mendadak ada yang menyergapnya dari belakang. Sakura sempat merontak, akan tetapi orang itu sudah membekap mulutnya dengan sapu tangan. Dia tak sempat melihat siapa pelakunya. Yang dia tahu hanya kesadarannya mendadak menipis ...

... dan gelap.

.

.

.

oOo

.

.

.

Jam sepuluh malam, semua persiapan sudah sempurna. Mereka bertemu di hotel mewah milik Uchiha Madara. Penjagaan dilakukan dengan sangat ketat. Uchiwa-gumi telah bekerja sama dengan kepala kepolisian wilayah setempat agar pertemuan ini tak diketahui pihak luar.

Jamuan lezat yang akan dihidangkan sudah siap. Pun anggur dari tahun 1930 juga telah disiapkan untuk memuaskan lidah para tamu.

Mereka yang bekerja melakukan segala sesuatunya secara senyap dan rahasia.

Semua yang berjaga malam ini bukan anak buah sembarangan. Mereka adalah orang kepercayaan. Bahkan yang mengantarkan tamu dari lokasi parkir hotel yang ada di bawah tanah ke ruang pertemuan yang berada di lantai teratas hotel adalah kedua putra Uchiha Fugaku sendiri, Uchiha Itachi dan Uchiha Itachi. Malam ini semua Uchiha turun tangan langsung demi menyukseskan strategi Oyabun mereka.

"Ngh." Sakura meringis sambil memegang pelipisnya. Matanya membuka perlahan. Asing, itulah kata pertama yang timbul di benaknya. Mulai dari langit-langit kamar yang sangat berbeda dengan kamarnya. Dia menggunakan kedua tangan untuk membantunya bangkit. Padangannya diedarkan ke sekeliling. Dia tak tahu sedang berada di mana sekarang.

"Sudah bangun rupanya."

Pintu yang terbuka menunjukkan sosok Hidan bersama seorang wanita berambut biru pendek.

"Hidan-senpai?"

"Segera siapakan semuanya, Konan," ucap Hidan tanpa memedulikan tatapan Sakura yang bingung sekaligus penuh tanya.

Wanita yang dipanggil Konan itu menanggguk. Dia memegang jubah berwaran merah yang terbuat dari sutra mahal.

"Hidan-senpai?"

Hidan menampilkan senyum mengejek. "Kau sering sekali memperlakukan aku dengan buruk. Maka, aku memutuskan untuk memberimu pelajaran. Kau akan menari telanjang di depan banyak pria tua hidung belang!" Dan meledaklah tawa Hidan. Dia tertawa terbahak-bahak. Tawa melecehkan yang penuh dengan ejekan.

Sakura memantung. Tengkuknya merasa dingin seketika. Bohong, kan?

Dia melompat dari atas tempat tidur, tapi Hidan lebih gesit. Dia menangkap pinggang gadis itu dan membantingnya kembali ke atas ranjang. Kedua tangan Sakura direntangkan, pemuda itu lalu mengunkunginya, tangan kasar Hidan mencengkeram kedua siku tangan gadis itu. "Sebelum mereka menikmatimu, aku sudah cukup puas melucuti semua pakaianmu sebentar lagi dan melihat tubuh polosmu tanpa ditutupi apa pun!" Kembali dia menertawakan Sakura seolah gadis itu adalah perempuan hina.

Sakura memejamkan matanya. Tubuhnya menegang karena terlalu takut. Dia bergidik jijik saat pria itu menjulurkan lidahnya untuk menjilati pipinya. Benda kenyal dan berlendir itu mulai bergerak membasahi kulitnya.

"Argh!"

Sakura sekuat tenaga mendorong kepalanya ke depan untuk menggantam kepala Hidan. Cukup kencang sehingga pemuda itu memekik kesakitan. Darah segar mengucur dari bagian tengah bibir bawahnya, rupanya ayunan kepala Sakura tepat mengenai bagian itu.

Sakura juga merasakan perih pada dahinya. Ah, sudah pasti dahinya juga ikut terluka.

"PEREMPUAN SIALAN!" Hidan berusaha mencekik lehernya sekarang

"Cukup, Hidan! Dia bukan santapanmu!" Suara tegas Konan menghentikannya. Bukan hanya itu, moncong pistol yang dipegang Konan sudah menyapa punggungnya. Dipaksanya Hidan untuk menyingkir. Wanita muda itu juga mendelik tak suka karena luka kecil pada pelipis Sakura. "Kau memang bodoh!" umpatnya pada Hidan. Kali ini ujung pistol dia arahkan tepat di pangkal hidung Sakura. "Ganti bajumu dengan jubah ini sekarang, atau kau mati. Jangan berisik atau menimbulkan suara apa pun, dan jangan coba-coba untuk kabur. Kepalamu akan kuhancurkan kalau kau mencoba melakukannya."

.

.

.

oOo

.

.

.

Kursi yang berada di sekitar meja berbentuk persegi panjang itu sudah terisi penuh. Kecuali satu kursi yang berada di ujung meja. Kursi untuk Oyabun Uchiwa-gumi. Orang-orang itu berdiri saat Madara memasuki ruangan bersama Fugaku. Mereka kembali duduk setelah saling memberi hormat.

Madara memerhatikan satu persatu tamunya. Semua yang dia harapkan hadir sudah memenuhi undangannya. Beberapa politisi seperti menteri dan anggota parlemen, dua orang petinggi kepolisian pusat, hakim-hakim, serta para jaksa yang berada di bawah kekuasaannya. Setelah ini dia berniat mengadakan pertemuan lanjutan dengan pemimpin kelompok yakuza lain yang berafiliasi dengan Uchiwa-gumi.

"Kalian tentu tahu kenapa Madara-sama melakukan pertemuan hari ini." Fugaku yang berdiri di samping kanan Madara memulai pembicaraan. "Ini semua terkait wacana mengenai UU Anti Yakuza. Mungkin para politisi kita ini bisa memberi penjelasan terkait hal tersebut?"

Para politisi yang duduknya sederet saling melemparkan pandangan. Ludah pun sulit ditelan sekarang. Sejak awal atmosfer ruangan memang sudah menunjukkan adanya ketegangan. "Itu usul dari perdana menteri. Beliau menilai aktivitas yakuza mulai meresahkan," ucap seorang pria botak yang memiliki tubuh tambun.

"Madara-sama tidak mau berbasa-basi. Kalian harus melakukan sesuatu agar wacana itu tidak disetujui di tingkat parlemen. Mengerti?"

Mereka semua tak punya jawaban lain selain setuju. Uchiha Madara menyeringai tipis karena kepatuhan mereka. Dia memegang semua rahasia orang-orang itu, mereka semua berada di bawah kendalinya.

"Jangan tegang seperti itu." Suara Madara sangat tenang, raut wajahnya bahkan tak menunjukkan adanya kekhawatiran. "Kalian semua adalah mitraku yang berharga. Karena itu, kuharap kalian semua baik politisi, kepolisian, hakim, dan jaksa bisa bekerja sama untuk menggagalkan UU Anti Yakuza. Saya dan beberapa teman saya tentu tak akan melupakan jasa kalian."

Pria botak tadi kembali berucap, "Anda tak perlu khawatir. Kesetiaan kami masih menjadi milik Anda."

"Hn." Madara kembali menatap satu persatu tamunya. "Saya senang kita bisa saling mengerti keinginan satu sama lain. Bukankah ini bagus karena tidak membuang waktu kita?"

Ketegangan tadi mulai mencair. Orang-orang itu menganggukan kepalanya, mereka mulai tersenyum dan tertawa. Tapi, dalam hati, ketakutan itu masih ada. Kalau usaha mereka gagal, maka Uchiha Madara pasti akan lansung menghancurkan mereka.

"Sebagai hadiah, kami akan memberikan jamuan dan sesuatu yang pasti akan memuaskan kalian."

.

.

.

oOo

.

.

.

Sakura meremas jubah merah itu erat. Hanya jubah itulah yang menjadi penutup tubuhnya sekarang. Dia benar-benar tak bisa kabur, penjaga berada di mana-mana. Dia sama sekali tak menemukan kesempatan untuk kabur. Di depannya dua orang berjaga. Di kirinya ada konan, di kanannya ada Hidan. Di belakang masih ada dua orang lagi. Merekas semua memakai setelan jas serba hitam. Tidak hanya itu, di dalam lift juga ada satu penjaga. Sebenarnya apa yang dilakukan orang-orang ini?

"Kau penari balet yang cukup menjanjukan, kan?" Hidan mulai mengganggunya lagi. "Kau akan menunjukkan kemampuanmu tanpa busana. Aku ingin sekali menjadi salah satu di antara mereka."

Sakura menggigit bibir bawahnya. Perih. Tapi, tak seperih yang dirasakan batinnya.

Bukankah baru tadi sore dia merasa hidupnya sungguh beruntung?

Cepat sekali roda kehidupannya berputar.

"Ooh, jangan menangis, Sayang," ejek Hidan lagi. "Waktumu hanya sampai lift ini berhenti."

Kalau saja bisa, dia ingin mengambil pistol salah satu penjaga dan menembakkannya di kepala Hidan sekarang juga. Air matanya bahkan tak sanggup lagi ditahan karena terlalu kesal.

Keresahannya semakin menjadi-jadi saat pintu lift terbuka. Dia bahkan tak tahu mereka sekarang berada di lantai berapa. Sakura bahkan nyaris percaya kalau kesempatannya untuk lolos adalah nol. Dia hanyalah remaja yang tak punya kekuatan untuk melawan.

Mendekati ruangan yang dituju, mata gadis itu melebar. Saraf-sarafnya bereaksi melihat orang yang dia kenal sedang berjaga di depan pintu.

Uchiha Sasuke.

Sedang apa dia di sana?

Tampaknya bukan hanya dia yang kaget setengah mati, tapi pemuda itu juga sama kaget dengan dirinya.

Hidan menahan tawanya melihat interaksi kedua orang itu.

"Aku yang membawanya," ujar Hidan bangga di depan kakak beradik Uchiha itu.

Itachi tak mengerti akan reaksi adiknya. Putra bungsu Fugaku itu terpaku, sorot matanya seperti tak percaya dengan apa yang sedang dilihat. Itachi mengikuti arah pandang Sasuke. Dia menemukan reaksi yang sama dengan gadis berjubah merah yang sedang dikawal.

Tolong.

Mulut Sakura membentuk isyarat itu saat melewati Sasuke. Pintu telah terbuka, Konan menariknya masuk bersama Hidan dan penjaga yang mengawalnya sejak tadi.

Demi Tuhan, semoga kesempatannya masih ada!

.

.

.

oOo

.

.

.

"Sasuke, kau kenapa?" Itachi tak pernah mendapati adiknya shock seperti ini. "Sasuke! Sasuke!" panggilnya berkali-kali.

Sasuke seperti belum berhasil keluar sepenuhnya dari keterkejutannya tadi. "Nii-san," panggilnya pelan. "Ayo kita bawa dia keluar. Madara-sama akan membunuh semua orang kalau kita terlambat."

Kening Itachi berkerut menadakan dia sama sekali tak paham dengan ucapan adiknya. "Jangan bercanda, Sasuke. Yang ada kita yang dihukum karena menghalangi kesenangan mereka."

"Nii-san." Sasuke mencengkeram lengan kakaknya. "Kemungkinan besar dia cucu Oyabun yang hilang."

Kali ini giliran Itachi yang terkejut. Dia masih belum bisa memercayai ucapan adiknya. "Dari mana kautahu?" tanyanya untuk memastikan.

"Aku melihatnya sendiri. Ada tanda tujuh bintang berbentuk lingkaran di tengah punggungnya."

Itachi masih belum bisa memercayai pendengarannya.

"Waktu itu aku ada urusan dengan guru di Gedung Tari, mereka memintaku membuatkan lagu untuk pertunjukkan. Aku melewati ruangan tempat dia biasanya latihan. Pintunya terbuka. Saat itu aku ... tak sengaja melihatnya mengganti baju di ruangan itu. Dia membelakangiku, makanya aku bisa melihat tanda lingkaran bintang yang menjadi ciri khas keturunan Oyabun."

Itachi menyentuh keningnya dengan tangan, dia lemas. Kalau itu benar? Astaga, dia tak berani membayangkan apa yang akan terjadi sebentar lagi. Bagaimana kalau gadis itu membuka jubahnya dan mulai menari? Lalu, Madara-sama melihat tanda lahir yang ada di punggungnya. Tidak, dia tak bisa membayangkan semurka apa pemimpinnya itu.

"Sasuke," seru pria berambut panjang itu. "Ayo kita keluarkan dia."

.

.

.

oOo

.

.

.

Wajah pria-pria hidung belang itu langsung berseri ketika Sakura memasuki ruangan. Anak dara yang masih polos, tak tersentuh. Barang bagus yang sayang sekali kalau dilewatkan.

Madara tak berselera dengan pertunjukkan seperti ini. Dia memilih untuk bertahan sebentar kemudian dia akan pergi meninggalkan mereka yang mau bersenang-senang dengan anak gadis itu.

"Dari mana mereka mendapatkan gadis semulus ini?"

Celetukan itu membuat Madara mengangkat kepalanya. Gadis berjubah merah itu terlihat jelas sangat ketakutan. Namun, yang dia lihat adalah Rin—menantunya—yang sedang ketakutan. Tidak mungkin, anak dan menantunya telah lama tiada. Mungkin saja gadis itu hanya kebetulan mirip.

"Ayo, Sayang, buka jubah itu."

Konan mendorong Sakura agar berpindah ke tengah ruangan.

"Perlihatkan tubuhmu pada kami."

"Sssshh ... aku sudah bisa membayangkan betapa nikmatnya merasakan liang surgamu!"

"Dadanya pasti montok, aku ingin menggenggamnya. Pasti itu empuk dan kenyal."

Pelecehan! Demi Tuhan, Sakura ingin menangis sekencang-kencangnya, berteriak sekuatnya. Matanya mulai berair. Mereka orang yang tak punya hati. Bahkan keempat penjaga dan Hidan juga ikut menyeringai. Pikiran mereka sudah dipenuhi hal-hal kotor. Para lelaki hidung belang masih setia meneriakinya.

"Ayo, Nak, buka jubah dan menarilah, liukkan tubuh telanjangmu hahaha!"

"Rasanya pasti luar biasa saat kakinya melingkari pinggang kita."

"Aaaah, aku jadi ingin meremas bokongnya."

Apa dosanya sampai dia harus menanggung semua ini? Hanya dengan kata-kata mereka sukses mengoyak harga dirinya. Dia bukan gadis yang sengaja ingin menjual tubuhnya. Dia ingin keluar dari sini.

"Aaah, Sayang, kau terlalu lama."

"Lihat, dia menangis. Aku jadi ingin menjilati air matanya."

Mereka busuk! Mereka terkutuk! Mereka tak lebih rendah dari sampah! Biar saja dia ditembak mati, dia tak akan membuka jubah itu. Dia tak akan memperlihatkan tubuhnya pada hidung belang seperti mereka!

oOo

seorang penjaga membuka pintu karena ada ketukan dari luar. Wajah ramah Itachi muncul dibalik celah kecil pintu.

"Aku ingin bicara dengan ayahku," kata Itachi.

"Maaf, tapi itu tak bisa."

"Bisa," sela Sasuke.

BRUK!

Tak lama kemudian penjaga itu sudah jatuh. Sasuke tanpa ragu sedikit pun menembak perut penjaga itu dengan pistol yang sudah dipasang alat peredam suara. Semua orang di dalam panik akibat kejadian tersebut. Itachi menendang pintu. Sebelum penjaga yang lain mulai mengambil tindakan, Sasuke dan Itachi sudah lebih dahulu menembak tangan mereka yang hendak mengambil pistol. Beberapa desingan lagi terdengar, kali ini paha ketiga penjaga itu yang ditembak secara beruntun oleh Itachi dan Sasuke sehingga mereka bertiga ambruk.

Itachi dengan kedua tangannya langsung menodongkan pistol ke arah Konan dan Hidan.

"Itachi! Sasuke! Apa-apaan ini!?" teriak Fugaku murka.

Sasuke memaksa masuk ke dalam, melewati Hidan dan Konan yang tak bisa berbuat apa pun di bawah ancaman pistol Itachi.

Suara orang yang berlari di lorong mulai terdengar. Penjaga lain segera melesat ke ruang pertemuan karena mendengar keributan yang terjadi. Mereka harus cepat sebelum semuanya terlambat!

Sakura tak menunggu lama untuk segera berlari ke arah Sasuke.

Pemuda itu menangkapnya dan memeluknya erat dengan sebelah tangan.

"SASUKE!"

Itachi mendecih saat mendengar suara kokangan pistol dari belakang tubuhnya. Shit! Penjaga lainnya sudah datang. Tak ada waktu lagi, Sasuke harus segera mengatakan semuanya pada Madara. Sekitar delapan orang penjaga masuk, mereka mengelilingi ruangan dan menodongkan pistol pada Sasuke.

Fugaku sendiri sudah dipenuhi angkara murka. Berani sekali kedua anaknya mengacau di pertemuan penting seperti ini?

"Madara-sama, tolong bebaskan dia."

"SASUKE!" bentak Fugaku murka, dia bahkan sudah mengeluarkan pistol yang berada di balik jasnya.

"Dia cucu Anda!"

Mereka semua tak bersuara. Semua mata kini terfokus pada kedua insan tersebut.

Sakura pun sangat terkejut dengan hal yang baru saja diteriakkan Sasuke. Dia yang tadi menenggelamkan wajah di dada Sasuke kini mengangkat wajahnya. Ditatapnya Sasuke. Sorot matanya meminta penjelasan. Dia bahkan terlalu terkejut sampai tak bisa bersuara.

"Dia cucu Anda!"

Jubah bagian belakangnya ditarik Sasuke turun. Punggung putihnya mulai terlihat sampai akhirnya tanda tujuh bintang yang tersusun membentuk lingkaran lingkaran itu dapat dilihat semua orang.

Madara yang sedari tadi belum bersuara sekarang memejamkan matanya. Tanda lingkaran bintang adalah bukti sahih keturunan langsung Oyabun Uchiwa-gumi. Tanda bintang itu tak bisa ditiru karena di dalam tanda bintang itu masih ada pola abstrak.

Cucunya yang dia cari sejak lama ternyata ditemukan dengan cara seperti ini. Tak ada keraguan karena tanda itu hanya dimiliki oleh garis keturunan yang sama dengannya. Diturunkan turun temurun. Bahkan, tidak semua Uchiha pernah melihat tanda itu. Hanya Keturunan Oyabun yang bisa memilikinya.

"Siapa yang membawanya ke sini?" suaranya sangat tenang, namun dalam. Namun, wajah kaku itu memancarkan kemurkaan yang luar biasa.

Pistol yang ditodongkan di belakang tubuh Itachi sudah diturunkan.

"Hidan yang membawanya," jawab Sasuke tanpa ragu.

"Ti-tidak, i-ini pasti salah paham, sa-saya—" Wajah Hidan memucat seketika.

Sasuke kembali membawa Sakura ke dalam pelukannya. Gadis itu tak boleh melihat pemandangan mengerikan yang sebentar lagi bisa terjadi.

"Konan?"

"Ya, Madara-sama."

"Apa masih ada yang dilakukan Hidan?"

"Dia memaksa gadis itu menggati baju seragam dengan jubah itu di hadapannya."

Maka tak ada lagi pengampunan. Tamatlah riwayat Hidan hari itu.

"Fugaku, berikan pistolmu."

Kemarahan Madara sudah di ubun-ubun. Itachi dan beberapa penjaga memaksanya untuk berlutut. Hidan sudah tak bisa memohon pengampunan. Dia pasti mati. Tak ada penebusan dosa untuknya.

"Lancang sekali matamu melihat tubuh cucuku!"

"AAAAAKKH!" Hidan berteriak kencang saat satu peluru menembus matanya. Kedua tangannya memegang mata kanan yang sudah tertembak itu. Tubuhnya terguling-guling. Sakitnya tak terbayangkan. Darah terus mengucur seperti air keran. Madara beranjak dari tempat duduknya untuk mendekati Hidan yang sudah pasti akan menemui ajalnya sebentar lagi. Dia menggulingkan tubuh Hidan dengan kaki sampai tubuh pemuda itu yang tadinya tengkurap kembali berbalik ke arahnya. Dua orang penjaga memegang tangan Hidan. Madara tanpa ampun menginjak lehernya, moncong pistol kembali diarahkan ke wajah pemuda itu. "AAAAAKH!" peluru kedua menembus matanya yang satu lagi. Kedua peluru itu sukses bersarang di dalam kepalanya. Tubuh Hidan menggelepar beberapa lama sebelum akhirnya tewas.

"Sasuke, bawa cucuku ke rumah utama," perintahnya dingin.

"Baik, Madara-sama."

Sasuke langsung memosisikan tangannya di bahu dan lutut gadis itu, menggendongnya keluar dari ruangan itu. Sakura belum mau membuka matanya. Dia tak berani melihat pemandangan mengerikan itu. Yang ada di sana pasti lebih mengerikan dibanding imajinasinya.

Kali ini pria paruh baya itu berbalik melihat orang-orang yang tadi mengeluarkan ucapan yang melecehkan cucunya. "Aku masih ingat kalian semua tadi meneriakkan hal senonoh pada cucuku."

Kali ini tak ada yang tak ngeri. Uchiha Madara benar-benar murka sekarang.

"Bawakan katana ke sini." Seorang penjaga berlari keluar. "Aku sendiri yang akan memotong lidah kalian. Kurang aja sekali kalian mengatakan hal kotor itu pada cucuku! Aku melupakan kesepakatan kita malam ini. Semua yang mengusik keluargaku harus mati!"

Memohon pun sudah tak ada gunanya. Karena semuanya sudah terlambat. Berlutut, bersujud, mencium kaki Madara pun tak akan membuat murkanya hilang. Belasan tahun dia mencari cucunya. Dan tadi, di hadapan matanya sendiri dia diperlakukan seperti itu! Mereka semua tidak pantas mendapatkan pengampunan!

Tak ada yang bisa lolos. Satu orang penjaga menahan satu orang. Mereka dipaksa duduk berlutut. Madara dengan bengisnya menarik lidah satu persatu dari mereka dan memotongnya tanpa ampun menggunakan katana. Dia yang tak pernah turun langsung menyelesaikan masalah akhirnya harus kembali membuat tangannya berlumuran darah. Belum puas, dia sendiri yang menembak kepala mereka, menghacurkan mereka tanpa ampun. Dia baru puas setelah kepala orang-orang itu berubah menjadi bubur darah dengan isi orak yang berceceran.

"Fugaku, hotel ini masih atas nama pihak ketiga?"

"Ya."

"Aktivitas kita hari ini apa ada yang tahu?"

"Tidak ada, Madara-sama."

"Bakar lantai ini, terutama ruangan ini, dan ciptakan skenario kalau mereka sedang melakukan konspirasi untuk melawan pemerintah."

"Baik, Madara-sama."

Murka Madara sepertinya mulai surut. Mereka adalah Uchiwa-gumi, dan mereka akan membalas berkali-kali lipat semua yang menjadi pengganggu. Apalagi yang mereka usik adalah cucu Oyabun yang hilang selama ini. Sopir, bodyguard, dan semua yang mengawal orang-orang tadi juga ikut dihabisi. Mayat mereka langsung dibawa dan dibuang di tempat yang tak diketahui.

Saat mobil Madara meninggalkan hotel di tengah malam itu, kobaran api sudah mulai memangsa lantai teratas gedung.

.

.

.

oOo

.

.

.

Dalam perjalanan Sasuke memberitahunya beberapa hal.

Dia adalah putri Uchiha Obito dan Nohara Rin yang hilang.

Dia cucu tunggal Uchiha Madara.

Dan keluarganya adalah yakuza kelas kakap.

.

Semua hal itu mengusiknya. Sasuke membawanya ke sebuah rumah yang sangat besar. Pelayan wanita datang dan mulai mengurusnya dengan baik. Mereka memberikannya semua yang terbaik. Tapi, semua masih membingungkan. Demi apa pun, dia bahkan tak tahu kalau Uchiha adalah keluarga yang mengelola kelompok yakuza Uchiwa-gumi.

Apa yang harus dia katakan pada orangtua yang sudah membesarkannya?

Bagaimana dia harus bereaksi di depan Uchiha Madara?

Pria itu kakeknya?

Jujur saja dia sangat takut karena menyaksikan pembantaian tadi, walau hanya mendengar suaranya saja. Dia terlalu takut membuka mata untuk menyaksikannya.

"Kau butuh istirahat."

Suara Sasuke sedikit menenangkannya. Hanya pemuda itu yang membuat kewarasannya masih bertahan. Segalanya terjadi terlalu tiba-tiba. Dia bisa mendadak gila kalau tak ada menopangnya.

Tadinya dia adalah Haruno Sakura, seorang gadis biasa yang bermimpi menjadi prima ballerina assoluta—tingkatan tertinggi penari balet. Orangtuanya adalah pekerja kantoran biasa. Dia seorang gadis sederhana dengan impian yang tinggi.

Sekarang, dia adalah cucu pemimpin kelompok yakuza yang paling berkuasa. Dia tak akan bisa leluasa bergerak setelah ini karena musuh keluarganya pasti banyak. Dia sudah masuk ke dunia lain, bukan dunia di mana dia berada selama ini. Impiannya ... tidak, tolong katakan kalau semua ini hanya mimpi.

Sakura pun masih belum percaya kalau sekarang dia berada di atas ranjang empuk, memakai baju tidur berbentuk terusan panjang, bantalnya dari bulu angsa.

Semuanya memusingkan. Dia masih tak bisa memprediksi apa yang akan terjadi setelah ini. Masih ada banyak hal yang memenuhi kepalanya. Dia bisa meledak kalau terus-terusan seperti ini.

"Ini, minum dulu obatmu," kata Sasuke sembari memberikan dua butir pil berwarna putih dan segelas air. Dokter keluarga telah memeriksanya tadi dan mengatakan kalau kondisi psikisnya yang masih belum tenang. Gadis itu terlalu shock akibat semua hal yang menimpanya.

Sakura meraih kedua benda itu. Setelah meminumnya, gadis itu mengembalikan gelas yang sudah kosong. Dia berbaring membelakangi Sasuke yang berdiri tepat di samping ranjang yang terasa terlalu besar buatnya.

"Kau tidak akan pergi, kan?" tanyanya sendu. Tangannya meremas bantal guling yang sedang dipeluk karena masih terbawa suasana ngeri.

"..."

"Saat aku tertidur pun kau tak akan pergi, kan?"

"..."

"Jangan tinggalkan aku."

"Tak akan."

Dia mengerti kebingungan gadis itu. Dia sangat memahaminya. Sasuke tak akan pergi ke mana pun. Dia akan tetap tinggal untuk menemani gadis itu. Saat bangun esok hari, semua hal yang terjadi hari ini akan mendapat penjelasan. Semua pertanyaan akan mendapat jawabannya. Semua akan mendapat penyelesaiannya.

Pengaruh obat penenang akan membuatnya tertidur. Saat ini biarkan gadis itu terlelap dengan satu kenyataan: dia bukan Haruno Sakura lagi melainkan Uchiha Sakura.

.

.

.

.

Fin

A/N:

Urusan rl benar-benar menyita waktu. Mungkin setelah ini saya mau hiatus dulu.

Sorry kalau nemu typo/misstypo, ngeceknya juga buru-buru tadi.

Terima kasih buat semua orang yang sudah baca/review/fave/follow.