"Namamu dicoret dari pertunjukkan."

Selama beberapa detik Sakura hanya bisa diam, sama sekali tak memberikan reaksi atas ucapan gurunya. Matanya mengerjap beberapa kali sebelum berkata, "Kenapa?"

Dia memang tak masuk sekolah selama dua minggu terakhir—dengan alasan yang jelas—dan hal pertama yang dia dapatkan saat masuk adalah hal tak mengenakan tersebut.

"Inilah keputusannya," jawab Shizune-sensei.

"Dulu ada anak lain ada yang izin tak mengikuti latihan sepertiku, tapi dia masih diperbolehkan mengambil bagian dalam pertunjukkan," sanggah Sakura. Dia pikir keputusan seperti itu sangat tidak adil untuknya.

"Pertunjukkan seni sekolah ini adalah event tahunan yang sangat penting. Para guru yang menjadi penanggung jawab sepakat untuk tidak memberi toleransi pada peserta yang lalai."

"Tapi, Sensei, aku tidak lalai ... aku …." Sakura menghentikan ucapannya dan hanya bisa tersenyum getir. Dia sudah bisa menebak kalau keputusan itu sudah tak bisa diganggu gugat lagi. Dia dicoret. Dia tak akan tampil.

Langkah gadis itu gontai. Dalam dua minggu dunianya jungkir balik. Semua perubahan yang terjadi pada hidup Sakura terjadi secepat bintang jatuh. Dia menjadi cucu seorang Oyabun dalam sekali kedipan mata. Dan ternyata hal itulah yang membawa dampak paling besar untuknya. Belum lagi di kelas semua orang membicarakan tentang kebakaran yang menimpa salah satu hotel mewah dua minggu yang lalu. Kejadian itu memberikan reaksi besar pada seluruh negeri. Adanya kecurigaan tentang konspirasi segelintir orang menjadi headline di mana-mana. Rasanya hidup Sakura saat ini benar-benar dipenuhi kekacauan.

Sakura hanya bisa memaksakan diri untuk tersenyum setiap kali teman-temannya mengajak. pulang atau hanya sekadar menyapa. Gadis itu sendirian di dalam kelas, dipandanginya tas yang berisi pakaian untuk berlatih balet. Biasanya waktu sepulang sekolah selalu diisi dengan latihan, apalagi menjelang petunjukkan seperti sekarang ini.

"Ayo pulang."

Sakura menoleh ke arah pintu masuk kelas. Pemuda itu, Uchiha Sasuke, sudah berada di sana. Mereka memang sepakat untuk bertemu setelah sekolah sudah agak sepi, Sakura akan menunggu sampai Sasuke menjemput. Semua ini dilakukan agar menghindari sorotan karena mereka berdua semakin sering terlihat bersama. Secara otomatis Sasuke kini bertindak sebagai pengawal pribadinya.

"Kau tidak latihan untuk pertunjukkan?"

Pemuda itu menggelengkan kepalanya.

"Kenapa?"

"Siapa yang akan menemanimu nanti?"

Gadis itu merasakan sejuta kupu-kupu menari di dalam dadanya. Apa itu berarti Sasuke tidak mengikuti pertunjukkan karena dirinya? Latihan selalu diadakan setelah jam pelajaran berakhir. Tidak mengikuti latihan berarti tidak ambil bagian dalam pertunjukkan.

Ada rasa senang sekaligus bersalah menghantamnya. Sasuke ….

"Ayo pulang," ucap Sasuke sekali lagi.

"Ya," sahut gadis itu.

Tak dapat mengikuti pertunjukkan adalah sebuah pukulan, tapi dia harus kuat. Sakura sudah merenung sepanjang hari. Gurunya pasti sudah mendapat informasi dari pihak Uchiha. Dan dia tahu kakeknya termasuk pihak yang dicurigai terkait kasus terbakarnya hotel itu. Setidaknya saat ini Sakura mulai paham kenapa dia tak boleh tersorot.

.

.

.

.

.

Disclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto, saya tidak mengambil keuntungan apa pun dari pembuatan fanfiksi ini

Warning: AU, typo, OOC

.

.

.

Impian Haruno Sakura adalah menjadi prima ballerina assoluta. Tapi, sepertinya impian itu tak akan pernah menjadi kenyataan karena dia harus terlibat dengan dunia yakuza. Terlebih dia memiliki hubungan dengan Uchiha Madara.

.

.

.

.

.

Mereka disambut oleh ibu Sasuke begitu tiba di rumah. Sudah seminggu lebih, tapi dia masih belum terbiasa dengan kediaman besar tersebut. Sakura merasa tak bebas. Terlalu banyak orang. Mulai dari pelayan, anak buah kakeknya, tamu-tamu yang berkunjung. Seolah Sakura tak memiliki ruang gerak yang leluasa, untung saja dia masih bisa diam-diam menari di dalam kamar. Lebih hampa lagi karena Sasuke tak bisa sering-sering menemaninya.

Pria itu langsung pergi setelah memastikan Sakura sudah sampai dengan selamat di rumah.

"Sakura, hari ini Bibi tak bisa menemanimu merangkai bunga, Bibi akan ke luar kota malam ini," ujar Mikoto ketika mereka telah berada di dalam kamar Sakura.

Sakura mengangguk. Dia punya hak apa untuk melarang? Bibi Mikoto selama ini sudah begitu baik padanya, menemaninya, membantunya beradaptasi dengan lingkungan barunya, mengajarinya tata krama a la Uchiha.

Uchiha, ya. Jika di sekolah dia adalah Haruno Sakura, maka di sini dia adalah Nona Uchiha, satu-satunya cucu Oyabun. Di sekolah tak ada seorang pun yang tahu soal status barunya (kecuali orang-orang yang bekerja sama atau menjadi bawahan kakeknya), tapi di sini dia sangat dihormati.

"Bibi," panggil Sakura. Gadis itu meletakan tasnya di atas kasur. Dia menerawang sebentar sebelum mengatakan, "Apa Kakek tak menyayangiku? Maksudku, dia tidak terlihat peduli padaku. Aku bahkan hampir tak pernah bertemu dengannya."

Mikoto tersenyum maklum. Wanita itu duduk di pinggiran ranjang Sakura, tangannya digerakan memanggil gadis itu. "Kau sepertinya belum mengenal watak para pria Uchiha, ya, Sakura."

Gadis itu mengerutkan keningnya. Ya, dia memang masih baru di sini sehingga dia belum tahu seluk beluk keluarganya sendiri. Bukan salahnya kalau dia besar dalam situasi yang berbeda dengan yang dihadapinya sekarang.

"Pria Uchiha jarang menunjukkan kasih sayangnya, tapi saat mereka menunjukkannya, kau tak akan melupakan hal tersebut seumur hidup. Mengeksekusi Hidan, menemui orangtua angkatmu, mengurus berkasmu, mencari tahu seperti apa kedihidupanmu selama ini, semua itu bisa dilakukan hanya dengan sekali perintah. Tapi, Oyabun melakukan semuanya sendiri. Beliau tidak pernah turun langsung jika yang dihadapi bukanlah hal penting. Apalagi saat ini mereka sedang berada dalam situasi genting."

Penjelasan panjang itu membuat Sakura merasakan getaran asing. Apa itu berarti kalau Bibi Mikoto hendak mengatakan kalau kakeknya menyayanginya? Apakah pria paruh baya itu hanya memperlihatkan kasih sayangnya dengan cara yang berbeda? Jadi, Sakura sangat penting untuk kakeknya, karena itu sang kakek sendirilah yang menangani segala urusan yang menyangkut dirinya. Semoga Bibi Mikoto tidak membohonginya karena dia akan sangat kecewa kalau semua itu tidak benar.

Sakura juga tak buta atau tuli, saat ini sedang gencar-gencarnya kampanye anti yakuza di mana-mana. Sedikit banyak dia mengerti kondisi lingkungannya sedang tak kondusif. Sakura berusaha untuk memaklumi penyebab sang kakek tak kunjung menghabiskan waktu bersamanya. Paling tidak ada Sasuke yang sering menemaninya kala pria itu senggang.

"Bibi Mikoto …." Sakura terlihat sedikit tak yakin untuk melanjutkan.

"Ada apa, Sakura?"

"Mengenai Sasuke … dia ditugaskan Kakek untuk menjagaku atau itu …." Kembali dia merasa ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

Mikoto tersenyum tipis.

"Bagaimana kalau kautanyakan saja sendiri pada Sasuke?"

Rona merah langsung menjalar ke seluruh permukaan wajah Sakura. Ya ampun, itu pertanyaan konyol. Entah akan seperti apa wajah Sasuke jika Sakura menyodorinya pertanyaan tadi.

"Sakura, jangan lupa ... Sasuke juga pria Uchiha."

Sakura memang tak mengerti maksud bibinya, tapi dia tahu wanita itu sedang menggodanya sekarang. Wajah gadis itu semakin memanas.

"Sakura." Intonasi panggilan itu berubah. Suara Mikoto menjadi lebih serius. "Jangan terkejut kalau suatu saat kau akan dijodohkan."

Gadis itu terpeanjat. Dia terdiam selama beberapa lama. Ekspresi diamnya memancarkan kecemasan yang tak dapat ditahan. Sepertinya dia memang perlu mengenal lebih dalam tentang dunia yang ditinggalinya sekarang.

.

.

.
oOo

.

.

.

Madara tersenyum sinis seusai membaca koran hari itu. Hanya tinggal menunggu waktu sebelum UU Anti Yakuza disahkan. Politisi yang dia bunuh waktu itu adalah orang-orang yang paling gencar menolak pengesahan undang-undang tersebut. Bagai pedang bermata dua, sekarang kelompoknya dihadapkan pada situasi sulit. Belum lagi kelompok-kelompok lain mulai mengumpulkan kekuatan untuk melawannya—mengingat yang menjadi korban kemurkaannya tempo hari juga berasal dari perwakilan sekutunya.

Bak boomerang, saat ini Uchiwa-gumi sedang dihadapkan pada posisi sulit. Tapi, bukan Uchiwa-gumi namanya jika tak memiliki rencana cadangan. Dahan pohon yang kuat memang akan bergoyang jika ditiup angin, tapi akarnya tak akan goyah.

"Fugaku, bagaimana perkembangan plan b?"

"Semua prediksi kita di masa lalu terbukti. Masalah pembelian saham kasino di luar negeri sudah beres. Uang kita memang sudah berkurang drastis sejak sepuluh tahun yang lalu karena rencana ini, tapi kasino tetaplah kasino, perputaran uang di dalamnya sangat cepat. Saya yakin kita akan mendapat berkali-kali lipat dibandingkan dengan yang kita keluarkan."

Salah satu alasan Fugaku mulai dijauhi sekutunya adalah karena mereka mencium neraca keuangan Uchiwa-gumi mulai timpang. Informan mereka menginformasikan bahwa Uchiwa-gumi telah kehilangan uang dalam jumlah yang besar. Banyak yang menyangka kelompok kuat ini telah merugi. Kekuatan finansial juga menjadi tolok ukur kekuatan sebuah kelompok yakuza. Uchiwa-gumi menuju ambang kebangkrutan, begitulah prediksinya. Oleh karena itu, banyak kelompok yang tak ragu meninggalkannya akhir-akhir ini. Namun, mereka tak tahu kalau Uchiwa-gumi sejak bertahun-tahun yang lalu sudah menancapkan kukunya ke luar negeri. Kemampuan memprediksi kondisi keamanan dan ancamanlah yang membuat Madara nekat kehilangan uangnya dalam jumlah besar. Sekarang semua terbayar, Uchiwa-gumi sepertinya telah siap menghadapi UU Anti Yakuza yang sudah pasti membatasi pergerakan kelompok yakuza.

"Bagus." Madara menautkan jemarinya, kedua siku tangannya mendarat di permukaan meja. "Ada perkembangan mengenai kasus pembakaran hotel?"

"Polisi masih menyelidikinya, tapi Komisaris Sarutobi mamastikan kalau nama Anda bersih dari kecurigaan. Spekulasi yang berkembang di masyarakat juga sesuai dengan rencana, orang banyak percaya kebakaran itu adalah jebakan untuk pihak-pihak yang ingin melakukan kudeta, ada juga yang meyakini bahwa ini ada kaitannya dengan undang-undang yang sedang menjadi polemik."

Madara berpikir sejenak, dagunya dia sandarkan pada jemari tangannya yang masih bertaut. "Bagus, masyarakat pasti mengembangkan opini pembakaran itu ada hubungannya dengan undang-undang. Mengingat politisi yang menjadi korban berada di pihak yang kontra, bisa jadi malah pihak yang pro undang-undang yang mendapat tudingan miring. Sampai di sini kita masih aman."

"Madara-sama, masalah utama kita adalah langkah yang harus kita ambil kalau undang-undang itu akan disahkan dan kelompok yang murka karena anggotanya ikut tewas."

"Aku lebih mengkhawatirkan poin keduamu ... kita harus membereskan semuanya pada pertemuan besok."

Madara tak bisa menyangkal kalau sekutunya akan marah karena anggotanya tewas di tangan pria itu. Dia pun tak menampik kalau ada sekutunya yang bergabung dengan pihak musuh. Besok adalah penentuannya. Dia akan melihat mana yang benar-benar sekutunya dan mana yang sudah berubah menjadi musuh.

"Fugaku ... menurutmu siapa yang paling pas menjadi penggantiku?"

"Saya belum menemukan seseorang dengan kualitas yang mendekati kepemimpinan Anda." Untuk pertama kalinya dalam hidup Uchiha Fugaku, dia dihadapkan pada pertanyaan seperti itu. Selama ini dia mengabdi dengan setia, seluruh loyalitasnya dia berikan pada Uchiwa-gumi, tak pernah sekali pun terbersit pikiran mengenai siapa pengganti ketuanya.

"Janga merendah, Fugaku, kau punya anak-anak yang hebat. Generasi muda Uchiha juga punya banyak potensi."

"Saya tahu kalau Anda sudah berbicara empat mata dengan beberapa anak muda yang cukup potensial dan Anda sudah mengantongi calon yang paling mendekati kriteria seorang Oyabun. Namun, kita sama-sama tahu kalau dia lebih suka berada di lapangan daripada mengatur semuanya dari balik meja."

Madara tersenyum. Fugaku memang orang kepercayaannya. "Kurasa kita sepaham di sini. Kau benar, Itachilah yang paling mendekati potensi seorang Oyabun. Sayang sekali, dia tak suka memimpin dari puncak.

"Tapi, masih ada satu anak lagi yang belum berbicara empat mata denganku."

Tepat pada saat itu terdengar ketukan dari pintu ruangan Madara. Seorang pria berjas hitam masuk diikuti seorang pemuda. Uchiha Sasuke, putra bungsu Fugaku. Pemuda itu datang untuk memenuhi panggilan Oyabun-nya. Mengerti akan situasi, Fugaku dan pengawal tadi segera undur diri.

"Uchiha Sasuke, aku sudah menanyakan sebuah pertanyaan ke beberapa orang. Dan aku mau menanyakan juga padamu."

Pemuda itu diam, menunggu pertanyaan yang akan dilontarkan sang Oyabun.

"Aku ingin tahu apa pendapatmu. Apa kausetuju kalau kita mulai berbisnis narkoba? Potensinya sangat bagus dan menguntungkan.

"Saya tidak setuju," jawab Sasuke lugas.

Madara mengangkat sebelah alisnya.

"Kelompok kita akan lebih mudah hancur jika kita ikut mengedarkan narkoba. Judi, minuman keras, prostitusi, semuanya sudah menjadi kebutuhan banyak orang. Polisi, hakim, jaksa, dan pihak terkait akan membantu jika kita mendapat masalah yang disebabkan ketiga hal tadi karena mereka juga menyukainya. Tapi, mereka akan mundur teratur jika kita bermasalah karena narkoba."

Persis seperti jawaban Itachi!

"Omong-omong, bagaimana kabar cucuku?" tanya pria itu berbasa-basi.

"Baik," jawab Sasuke singkat.

"Aku berterima kasih untuk pertolonganmu dulu."

"Saya tidak melakukannya untuk Anda atau pun Uchiwa-gumi."

"Begitukah?" Madara menajamkan tatapannya.

Pemuda itu mengangguk mantap. Madara mengamatinya dengan saksama, meneliti sampai ke hal terkecil yang dapat dia amati. Kalau memang benar, berarti Sasuke punya alasan lain. Pemuda itu adalah seorang Uchiha yang dikenal selalu fokus dan berhati-hati. Sasuke pasti menyembunyikan maksud lain. Madara tak mungkin lupa kalau Sasuke adalah orang pertama yang mengetahui jadi diri cucunya. "Jadi, apa kau melakukannya untuk menguntungkan posisimu?"

Pria itu malah menyeringai tipis. "Saya ingin berada di puncak tertinggi."

Madara selalu menyukai bawahan berbakat dengan ambisi besar, apalagi jawaban Sasuke tentang bisnis narkoba sejalan dengan pikirannya. Sayang sekali, ambisinya yang melibatkan Sakura membuat pria paruh baya itu mencoret Sasuke dari daftar pewaris posisi Oyabun. Cucunya bukanlah alat untuk ambisi siapa pun.

"Tapi, dia terlalu berharga untuk diperalat."

Bocah sialan!

Terpaksa Madara harus kembali menghapus coretan tadi.

"Uchiha Sasuke, bilang ayahmu tak usah menemaniku saat rapat nanti."

"Baik, Madara-sama."

"Kau yang menggantikannya."

"Baik."

Sasuke menatap lurus pria di hadapannya. Pertama kali selama belasan tahun hidupnya, dia akan mengikuti rapat dengan pemimpin kelompok yakuza lain. Apalagi, rapat kali ini akan sangat penting untuk kelangsungan Uchiwa-gumi ke depannya. Saat seperti ini Oyabun membutuhkan orang kepercayaannya dan Sasuke sama sekali tak berpengalaman. Tapi, dia paham kalau saat ini dia sudah melangkahi beberapa anak tangga sekaligus. Puncak tertinggi itu sudah semakin dekat.

"Kau boleh pergi, Sasuke. Persiapkan dirimu untuk rapat malam ini."

"Madara-sama."

"Ada apa?"

"Boleh saya meminjam puncak gedung ini besok? Dengan helipadnya sekalian. Saya mau memodifikasinya."

Madara memberikan tatapan penuh tanya.

"Untuk hal yang sangat berharga."

Entah kenapa, Madara bisa menebak kalau hal ini ada kaitannya dengan Sakura. Sudah sejauh mana hubungan kedua orang itu? Boleh dibilang Madara tidak begitu tahu berapa lama Sasuke diam-diam menjaga cucunya. Selama dua minggu terakhir ini juga hanya Sasuke dan Mikoto yang menemani Sakura. Mau tak mau, pria tua itu mulai berspekulasi mengenai perkembangan hubungan mereka.

oOo

Rapat berlangsung sengit. Madara benar-benar kehilangan banyak sekutunya. Kematian pihak yang kontra akan semakin memuluskan pemerintah untuk mengesahkan UU Anti Yakuza. Mereka mendesaknya untuk memuluskan jalan masuknya narkoba dari Korea Utara. Sayang sekali, prinsip Madara sekokoh karang. Dia sama sekali tidak goyah. Kelompok lain seketika berubah menjadi rivalnya. Hanya segelintir yang bertahan, dan Madara berjanji kalau pihak yang setia padanya itu tak akan pernah dia lupakan.

Orang-orang bodoh itu tidak berpikir ke depan. Jauh sebelum hal ini terjadi, Madara sudah mempersiapkan segalanya. Dia sudah memprediksi akan datangnya masa-masa kejatuhan seperti ini.

Setelah pertemuan itu berakhir, dia kembali ke kediamannya. Sudah terlalu larut untuk mematangkan strateginya.

Di rumah, cucunya, Uchiha Sakura, belum tidur. Gadis itu menonton siaran televisi di ruangan tempat Madara biasanya bersantai. Sakura langsung berdiri kala mendapati sang kakek memasuki ruangan tersebut.

"Kakek."

"Belum tidur?" tanya Madara yang tanpa peringatan langsung duduk di samping cucunya. Detik itu juga Sakura merasa sofa yang didudukinya tiba-tiba terasa begitu sempit.

"Aku menonton berita," jawab gadis itu sendu. "Maaf sudah membuat Kakek terlibat banyak masalah. Karena aku—"

"Kau ditemukan. Itulah yang paling penting."

Setelah menonton berita, mencari informasi di internet, menanyakan pada Mikoto, akhirnya Sakura mengerti akan kondisi keluarganya. Situasi sepelik ini memang tak memungkinkannya untuk menari di atas panggung. Dulu dia setuju saja dengan wacana pemerintah membatasi gerakan yakuza. Bahkan dia sendiri tak nyaman dengan keberadaan yakuza yang dianggapnya sebagai pengganggu keamanan. Sekarang, dia adakah bagian dari kelompok yang dulu mendapat pandangan negatif darinya. Hidup berputar begitu cepat, pelan-pelan Sakura sudah bisa menerima takdirnya.

Lalu, gadis itu menyadari satu hal. Ini adalah pertemuan pertamanya dengan Madara setelah sekian lama. Kesempatan langka yang mungkin saja tidak akan datang dua kali. "Aku sebenarnya menunggu Kakek ... sejak pindah ke sini aku belum sekali pun berbincang dengan Kakek."

"Ini sudah malam."

Pukul satu dini hari sudah terlalu larut untuk pertemuan ini.

"Aku hanya ingin mengobrol sebentar dengan Kakek."

"Kakek tahu keadaanmu, apa yang kaulewati hari ini. Pelajaran apa, makanan apa yang kaumakan, jam berapa kau pulang sekolah, siapa saja yang kautemui hari ini, semua sudah kuketahui."

"Tapi, aku tak tahu kondisi kakek. Apa Kakek sudah makan malam, Kakek bertemu siapa, Kakek lelah atau tidak ... aku sama sekali tak tahu."

Madara menatap cucunya itu dalam. Gadis ini pasti merindukannya. Waktunya terlalu tersita pada pekerjaan sampai cucunya merasa terabaikan. "Baiklah ... kuanggap ini belum terlalu malam untuk perbincangan antara kakek dan cucunya."

Senyum lebar langsung tersungging dari bibir Sakura. Tak peduli besok dirinya akan terkantuk-kantuk di dalam kelas, waktu yang akan dilewatinya bersama Madara jauh lebih bernilai. Kesempatan ini tidak akan datang lagi dengan mudah.

Madara yang biasanya kaku memandang ramah cucunya, dibiarkannya gadis itu mengambil alih pembicaraan sesuka hatinya. Biasanya orang akan membiarkan Madara menjadi pengatur arah pembicaraan. Tapi, tidak kali ini. Senyum Sakura adalah hal paling menenangkan dalam kondisi pelik yang sedang Madara alami.

"Kakek, dengarkan aku," gerutu Sakura yang merasa fokus kakeknya berada di tempat lain.

Madara tertawa kecil. "Kakek terlalu senang melihatmu, makanya ucapanmu jadi tidak terdengar."

Gadis itu seketika tersipu, dia menyentuh tengkuknya, salah tingkah karena jawaban sang kakek. Sakura terdiam saat tangan kakeknya mendadak menyentuh rambutnya. Dia mengelus sebentar rambut merah muda sebahu itu.

"Uchiwa-gumi hanya akan dipimpin oleh seorang Uchiha. Dan tempatmu adalah di sisi Oyabun. Pihak lain yang ingin mengambil alih tempatku melalui kau hanya bisa memimpikannya saja, karena hal itu tidak akan kubiarkan terjadi." Pernyataan ambigu itu memang masih tidak dapat dimengerti maksudnya oleh Sakura sekarang. Namun, nanti di masa depan, di tahun-tahun yang akan datang, dia pasti akan memahaminya.

"Kakek …."

"Hn?"

"Boleh aku memelukmu?"

"Tentu saja."

Dan Sakura akhirnya bisa merasakan pelukan seorang kakek. Uchiha Madara, kakeknya, satu-satunya orang yang berhubungan darah dengannya saat ini. Lelaki paruh baya yang sangat dia rindukan. Batu besar yang menghimpit dadanya berubah menjadi serpihan debu yang beterbangan secara berlahan. Dia lega. Sangat lega. Sejak pertama kali datang hanya pelukan dari sang kakeklah yang paling Sakura inginkan. Tangan sang kakek masih kokoh. Pelukan Madara seperti menjanjikan perlindungan padanya. Untuk sesaat, semua keraguannya terusir.

.

.

.

oOo

.

.

.

Tidur terlalu larut berdampak pada jam bangun Sakura di pagi hari. Tidak ada seorang pun yang membangunkannya dan membiarkannya tidur sampai siang. Gadis itu menatap lesu jam digital di atas nakas yang sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Sudah terlalu terlambat untuk ke sekolah, dengan kata lain, dia bolos hari ini.

Kening gadis itu berkerut ketika melihat Uchiha Sasuke sedang bersandar di samping pintu kamarnya.

"Kau tidak ke sekolah, Sasuke?"

"Aku menunggumu bangun."

Ya ampun, sudah berapa lama Sasuke berada di sana? Jangan bilang kalau Sasuke sudah melihatnya tidur selama berjam-jam. Dia akan sangat malu kalau hal itu benar.

"Bersiaplah, kita akan pergi."

"Ke mana?" tanya gadis itu bingung.

"Kauingin menari?" pemuda itu balik bertanya.

Sakura semakin tak mengerti, tapi dia mengangguk.

"Akan kuberikan panggung untukmu, jadi bersiaplah."

Gadis itu menatap Sasuke tak percaya. Dia melihat tepat di iris gelap itu, mencari kebohongan di sana ... dan dia tak menemukannya.

Yang lebih mengejutkan lagi, pemuda itu mengajaknya membeli baju balet baru. Bajunya harus semegah panggung yang disiapkan, dalih pria itu. Sakura mengikuti ke mana saja Sasuke membawanya. Kalau boleh jujur, dia kebingungan setengah mati. Bertanya pun percuma karena Sasuke sama sekali tak memberinya petunjuk apa-apa.

Sore harinya Sasuke membawa Sakura ke salon. Seakan semuanya telah dipersiapkan, orang-orang di salon segera mendandaninya sesuai perintah Sasuke. Proses yang memakan waktu beberapa jam itu memberikan hasil yang sangat menakjubkan, Sakura seperti balerina yang akan mementaskan Swan Lake yang sangat tersohor itu. Gaun putih itu sebatas dada, memamerkan bahunya yang mulus, dan mengembang di bagian atas lututnya.

Tingkah Sasuke semakin misterius karena pemuda itu mengikat mata Sakura dengan kain hitam. Bagus sekali, karena kali ini dia tak tahu ke mana Sasuke akan membawanya. Deru mesin mobil yang tertangkap inderanya sama sekali tidak membantu. Dia hanya dapat menebak beberapa tindakan yang Sasuke lakukan seperti membantunya turun dari mobil, naik lift bersama, menuntunnya menaiki tangga, membukakannya pintu. Dalam hatinya terus bertanya-tanya perihal tempat tujuan mereka. Sebenarnya, ke mana Sasuke akan membawanya?

Embusan angin menerpa kulitnya. Sedikit dingin. Kain penutup mata itu membuatnya tak berdaya.

"Sasuke, ini di mana?"

Bukannya menjawab, pria itu berpindah ke belakang tubuh Sakura. Pemuda itu membuka kain hitam yang menutupi mata Sakura dengan perlahan. Gadis sangat terkejut saat mengamati sekelilingnya. Mereka berada di atas sebuah gedung yang sangat tinggi! Lebih tepatnya, posisi mereka berada di tengah landasan helikopter yang berlokasi di puncak gedung tersebut.

"Ini panggung yang kusiapkan untukmu."

Benar saja, di salah satu sisi helipad terdapat sebuah piano. Lantai yang biasanya kasar telah dimodifikasi menjadi lantai kayu seperti yang ada di ruang tari, seseorang pasti telah mengatur untuk melapisi lantai aslinya dengan material kayu berkualitas. Tepian helipad itu dihiasi rangkaian bunga mawar putih seolah gadis itu berada di tengah lingkaran besar bunga mawar. Gadis itu masih begitu takjub dengan sekelilingnya.

"Ada kamera yang merekam, semua orang yang ada di gedung ini sedang melihatmu. Termasuk Oyabun ... dan orangtua angkatmu di rumah mereka."

Kalau begitu Sakura menebak bahwa gedung ini adalah milik kakeknya. Mungkin saja ini perusahaan, atau hotel, atau apa pun itu. Dia menatap Sasuke, begitu tulus. Pemuda itu menyiapkan semua ini untuknya. Sakura tak bisa menyangkal kalau tempat ini adalah panggung termegah yang pernah dia lihat. Anggap saja seluruh kota akan menjadi penontonnya, lampu-lampu yang menyala di bawah sana semakin menambah semaraknya suasana malam hari. Gadis itu berbalik lagi untuk melihat Sasuke, kali ini si pemuda sudah berada di balik piano hitamnya.

"Kau mau memainkan lagu apa?"

"Tarikan saja tarianmu saat latihan, aku sudah membuat lagu yang cocok."

Sakura tahu kalau sebelumnya pemuda itu mengamatinya diam-diam (tindakan itulah yang nantinya berhasil membuat Sakura kembali ke keluarga Uchiha). Sasuke tentu tahu kalau gadis itu menciptakan tarian baletnya sendiri. Sakura tak dapat menyembunyikan debaran hebat jantungnya. Pemuda itu membuat lagu khusus untuknya, lagu yang akan mengiringi tariannya. Jangan-jangan Sasuke juga tahu kalau Sakura tetap berlatih sendiri dalam kamarnya di kediaman Uchiha. Rasanya dada Sakura mau meledak sekarang.

Tatapan mereka bertemu. Pria itu menganggukan kepalanya tanda musik akan segera mengalun. Instrumen telah mengalun, pelan, lembut, alunan nada itu seperti memberikan sebuah cerita. Jika Fur Elise yang dulu Sasuke bawakan adalah lagu patah hati, maka lagu ini memberikan kisah berbeda. Tangan gadis itu mulai bergerak anggun, seperti seekor angsa yang mulai mengembangkan sayapnya. Nada-nada yang terangkai seperti membeberkan kisah perjalanan dua orang yang pada awalnya sama-sama asing, namun sering waktu kedua orang itu tak bisa saling melepaskan. Nada yang terangkai seolah memancarkan ikatan yang kuat antara seorang pria dan wanita. Badai yang datang tak membuat mereka goyah, sebaliknya badai itu membuat ikatan keduanya semakin erat.

Dia melompat dengan luwes, memutar tubuhnya dengan lincah. Tarian dan irama musik mereka menyatu. Sakura seakan tahu kapan tempo musik berubah menjadi cepat, kapan kembali melambat. Pun dengan Sasuke yang tahu kapan gadis itu akan memberikan gerakan rumit, kapan dia akan bergerak lebih pelan.

Langit yang dipenuhi taburan bintang, pemandangan kota di malam hari yang memberikan kesan glamor, musik yang mengalun, gerakan tari yang indah, semua membentuk kemegahan dalam pertunjukkan ini. Jemari Sasuke semakin lincah menekan tuts piano seiring dengan semakin cepatnya gerakan memutar Sakura. Sensasi ini sama seperti saat pertama kali dia memainkan musik untuk mengiringi tarian gadis itu. Sementara itu, di setiap lantai, semua karyawan menyaksikan tarian indah cucu Oyabun melalui layar besar yang terpasang. Tak terkecuali dengan Madara yang menonton dari ruangannya. Bibir pria itu menyunggingkan senyum tipis.

Alunan nada-nada piano berhenti di saat yang bersamaan dengan berhentinya gerakan gadis itu. Sekali lagi Sasuke seperti melihat seekor angsa anggun yang baru saja selesai menari. Dan sekali lagi dia memberikan tepukan tangan tulusnya. Mereka berhasil. Di bawah sana, semua orang juga bertepuk tangan meriah karena pertunjukkan balet berkelas yang baru saja mereka saksikan. Madara mengambil karangan bunga besar yang khusus dia siapkan untuk cucunya, dengan mantap dia berjalan bersama Fugaku ke tempat cucunya berada.

oOo

Sakura memang tak tahu apa nantinya dia bisa menari balet di depan umum atau tidak. Tapi, untuk saat ini dia ikhlas. Paling tidak, dia sudah menampilkan tariannya sendiri. Dia berdiri di atas panggung yang tak terbayangkan, bagi gadis itu tempat ini adalah sebuah keajaiban. Anggap saja ini pertunjukkan solo pertamanya. Peluh menetes dari dahi Sakura. Dia lelah, tapi puas dengan penampilannya tadi. Senyumnya menyungging manis menyambut tepuk tangan Sasuke.

Pemuda meninggalkan pianonya, mendekati sang gadis yang menyambutnya dengan senyuman. Mereka bertatapan cukup lama sebelum tangan Sasuke bergerak pelan memeluknya. Hangat. Nyaman. Berbeda dengan pelukan kakeknya kemarin malam. Pelukan ini berbeda.

"Kau pernah memintaku untuk tidak meninggalkanmu."

"Ya." Sakura tak akan melupakan permintaannya pada saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah kakeknya.

"Akan kulakukan."

Saat itulah gemuruh dalam dadanya semakin kencang. Dulu Sakura berpikir bahwa jawaban Sasuke waktu itu hanya untuk menenangkannya. Kali ini dia yakin, jawaban Sasuke tak hanya sekadar penenang. "Kau serius, kan?"

Sakura langsung tahu tanggapan pria itu kala pelukannya semakin mengencang. Mereka masih punya banyak waktu. Kata sakral itu memang tak terucap, tapi atmosfer di antara mereka seakan meneriakannya.

"Terima kasih," ucap gadis itu. Bahagia.

.

.

.

.

.

.

.

"Madara-sama," panggil Fugaku tak enak hati. Pemimpin Uchiwa-gumi itu tak mengeluarkan sepatah kata pun. Dia hanya diam menatap cucunya berpelukan dengan Sasuke dari pintu keluar yang menuju ke helipad. Bisa jadi dalam kepalanya itu sudah ada sejumlah rencana kriminal yang melibatkan keselamatan sang putra.

"Fugaku ...," panggilnya dingin, "putramu beruntung karena aku memang berniat menjadikan cucuku sebagai pendamping pewaris jabatan Oyabun."

Dan Fugaku menarik napas lega.

.

.

.

.

.

Fin

A/N:

Saya memang sudah berniat membuat spesial chapter saat merencanakan fict ini, makanya di chapter kemarin dibuat agak menggantung. Cuma baru bisa direalisasikan sekarang (saya tidak perlu lagi menjelaskan alasannya kenapa, kan?). satu lagi, saya memang sengaja membuat fict ini berjalan tanpa ada ungkapan eksplisit soal perasaan keduanya, dan tanpa ciuman atau adegan deg deg ser lainnya #dibuang dan buat yang nanyain lemon, sorry saya udah ga buat lemon lagi dan saya mau fict ini berada di rate M tapi tanpa lemon atau lime.

Fyi, jawaban Sasuke soal narkoba itu saya modifikasi dari kata-kata Don Carleone di fim The Godfather (1972). Bagi pecinta film2 seputar mafia, trilogi The Godfather itu tontonan wajib ;)

Sekali lagi, terima kasih buat semua yang sudah setia menunggu.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

~~~Bonus~~~

Madara terus menilai putra bungsu Fugaku ini. Dia masih belum sepenuhnya yakin dengan tujuan Sasuke membantu mengembalikan Sakura ke dalam keluarga Uchiha. "Lalu, kenapa kau menolong Sakura?"

"Saya melakukannya karena saya ingin," Sasuke menjawab tanpa ragu. "Dia pantas kembali ke keluarganya."

"Dengan kata lain, kau memang mau menjaganya?"

"Dia berharga bukan karena dia cucu Anda."

Ah, baiklah. Madara bisa membacanya sekarang. Sasuke melihat Sakura bukan sebagai cucu orang penting yang wajib dilindungi. Dia melihat Sakura sebagaimana gadis itu apa adanya.

Bocah sialan, dia benar-benar membuat Madara tak punya pilihan lain.