Seminggu berlalu sejak kejadian itu. Dan Sougo benar-benar mengabaikanku. Ketika kami tidak sengaja berpapasan, dia dengan secepat kilat langsung melengos dan terus berjalan seolah menganggapku tidak ada.

Kalau pun kami bertabrakan, dia meminta maaf dengan nada datar dan pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun lagi. Saat tak sengaja kedua manik mata kami saling berpandangan, dalam satu kedipan mata, dia langsung mengalihkan iris merah besarnya ke arah lain.

Semenjak saat itu pula, dia seolah ingin menghindariku apabila kami berada di dalam ruangan yang sama. Misalnya pada saat pembagian jadwal patroli. Kebetulan saat itu kami dijadwalkan untuk berpatroli bersama, namun dia beralasan tidak enak badan lalu kabur untuk tidur siang. Dan dengan tidak berperasaan, dia meninggalkanku berpatroli seorang diri.

Yah, walaupun sebenarnya aku tidak ingin terlalu memikirkannya. Namun tetap saja, rasanya benar-benar aneh. Mengingat orang yang membencimu selalu meluangkan hampir seluruh waktu yang dia miliki untuk mengganggumu, kini justru menghindarimu dan bahkan tidak sudi untuk melirikmu barang satu detik pun. Seolah kau dianggapnya sebagai virus mematikan yang bila dia pandang lama-lama nanti bisa membuatnya kejang-kejang lalu mati dengan mengenaskan.

Pernah secara tak sengaja ketika aku berjalan pulang karena telah selesai berpatroli, mata biruku menangkap sosoknya yang baru saja keluar dari rumah Yorozuya. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan di sana. Entah hanya sedang ingin mencari gara-gara dengan gadis China itu atau mungkin menemui Danna-nya?

Mau yang mana pun hal yang dia lakukan di tempat itu, aku tidak peduli.

Seharusnya seperti itu.

Seharusnya aku merasa senang karena tidak diganggu lagi.

Namun ketika meyadari bahwa perhatiannya telah beralih kepada orang lain itu ... entah kenapa membuatku kesal.

.

.

.

Aku ... benar-benar tidak menyukai ini.


Memorable Moments


Disclaimer :

Gintama © Gorilla a.k.a Om Hideaki Sorachi

Story © Yumisaki Shinju

Warning(s) :

OOC ǀ Typo(s) ǀ Non EYD ǀ Semi-Canon ǀ HijiOki ǀ Awas nyerempet shonen-ai ǀ Two-shoots

.

.

.

Happy reading!


CHAPTER 2


"Terima kasih sudah mau mengukir kenangan bersamaku. Maaf karena selama ini aku telah banyak membuatmu susah. Maaf karena selama ini aku selalu mengganggumu dan membuat hidupmu tidak tenang. Tapi bersyukurlah! Karena mulai hari ini dan untuk selamanya, aku tidak akan melakukan hal yang menyebalkan lagi.

Lupakan saja saat-saat menyebalkan dalam hidupmu yang pernah kita lalui bersama. Anggap saja kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Sekarang, kita hanyalah orang yang tidak saling mengenal. Kalau begitu, selamat tinggal."

"Sougo?"

"Sougo ...,"

"SOUGOOO!"

Napasku terengah-engah, membuat peluh bercucuran dengan deras membasahi dahiku. Kucoba untuk mencerna keadaan. Sekarang aku sedang terduduk di atas futon di ruanganku. Jam menunjukkan pukul dua pagi di mana masih terlalu cepat untuk bangun dan mengawali hari.

Aah, mimpi ini lagi. Sudah sejak seminggu yang lalu aku dihantui oleh bayang-bayang mimpi buruk yang sukses membuatku tidak pernah bisa tertidur dengan nyenyak setiap malam.

Aku segera terbangun dari posisi dudukku dan melangkahkan kaki menuju shoji yang membatasi antara halaman Shinsengumi dengan ruanganku kemudian menggesernya. Seketika udara pagi yang cukup dingin langsung membelai dan menusuk kulitku. Namun aku tidak begitu mempedulikannya.

Kuacak rambutku dengan frustasi sembari menggeram kesal. Tch, kenapa aku selalu dihantui oleh mimpi buruk ini sepanjang malam? Tidak bisakah dia membiarkanku tidur nyenyak barang sejenak?

Haah, aku bertanya-tanya mengapa hal ini terjadi. Mungkinkah karena aku terlalu memikirkan Sougo? Tidak, aku bahkan tidak berniat memikirkannya sama sekali. Namun hal itu justru tiba-tiba datang menyergap pikiranku, membuatku tidak bisa berhenti memikirkannya, bahkan sampai terbawa ke alam mimpi. Ya, mungkin karena itu.

Aku masih tidak mengetahui alasan mengapa sekarang Sougo menjauh dariku. Ingin sekali rasanya kutanyakan langsung padanya, namun aku tidak berani untuk menanyakannya. Selain karena dia bersikap sangat dingin padaku, rasanya juga pasti sangat aneh jika aku tiba-tiba mendatanginya dan menanyakan hal seperti itu padanya.

Terlintas di pikiranku untuk menyuruh Yamazaki memata-matai Sougo, tapi sayangnya aku belum menemukan alasan yang tepat untuk membuat Yamazaki percaya dan dengan senang hati menjalankan tugasnya selain dengan mengancamnya untuk melakukan seppuku. Yah, Sougo itu bukan orang jahat, walaupun sebenarnya dia berbahaya. Lalu untuk apa memata-matainya, 'kan? Kau mau curiga pada rekan kerjamu sendiri? Tidak mungkin! Lagipula jika aku benar-benar menyuruh Yamazaki melakukannya, itu akan sangat memalukan! Dia pasti akan beranggapan yang tidak-tidak mengenaiku.

Yah, daripada menyuruh makhluk anpan yang kadang tidak berguna itu, akan lebih baik jika aku sendirilah yang diam-diam memata-matai Sougo tanpa perlu kuberitahu siapapun. Ah, namun berkas-berkas dari Kondou-san itu seakan menghalangiku untuk melakukannya. Ck, kuso.

Selain itu, aku tidak menceritakan kejadian seminggu lalu pada siapapun. Karena jika kuceritakan, akulah yang pasti akan disalahkan dan dipaksa untuk meminta maaf. Jadi menurutku percuma saja jika aku menceritakannya pada orang lain.

Biarlah, aku akan mengatasinya sendirian.

.

.

.

Aku akan membulatkan tekad!


Akhirnya ... setelah selama tiga hari aku bersemedi di onsen untuk mempertimbangkan banyak hal dan memberanikan diri, hari ini kuputuskan untuk mengajaknya berpatroli bersamaku. Kalaupun nanti ditolak, akan kupaksa dia untuk mengikuti kemauan—ehm, perintahku. Kulihat dia sedang duduk bersandar di pohon dengan sleep mask yang terpasang menutupi sekeliling daerah matanya. Tak lupa dengan kedua telinganya yang tersumbat earphone, membuatku yakin kalau dia sedang asyik mendengarkan lagu kesukaannya melalui pedang mp3-nya.

Deru napas yang teratur terdengar secara samar darinya. Tampaknya dia sedang menikmati ketenangan ini. Bibirnya yang sedikit terbuka itu tiba-tiba mengalihkan atensiku, membuatku tergoda untuk mencicipi rasanya. Kudekatkan wajahku padanya—EH, APA?! Aku segera menampar pipiku sendiri. Tch, tch, jangan lihat bagian itu! Fokus, Hijikata! FOKUS!

Setelah mengambil jarak yang cukup aman untuk tidak menyerangnya, kunyalakan pematik mayo-ku untuk menghidupkan rokok yang kuselipkan di bibirku. Dengan perlahan kuhirup rokokku lalu kuembuskan asapnya. Setelah aku sudah bisa menenangkan diri, aku segera membuka percakapan.

"Oi, Sougo! Ayo kita berpatroli." ajakku dengan nada perintah seperti biasa. Ada jeda sejenak sebelum Pangeran dari Planet Sadis itu memutuskan untuk membuka bibir mungilnya dan menjawab ajakanku.

"... Hari ini bukan jadwal kita untuk berpatroli. Dan aku tidak berminat untuk berpatroli dengan siapapun," jawab Sougo dengan pelan dan agak terkesan datar, berlagak seolah tidak peduli dengan perintah atasannya ini. Bahkan dia tidak merubah posisinya sama sekali. Sleep mask dengan mata menyebalkan itu masih dengan setia menutupi mata merah indahnya, membuatku mendesah pelan.

"Aku tidak peduli, cepat bangun dan berpatroli bersamaku!" ajakku lagi sembari menarik tangannya dengan sedikit memaksa agar dia terbangun dari posisi duduknya.

"Tidak mau!" tolaknya seraya menepis tanganku. Dingin. Entah kenapa, sikapnya itu tiba-tiba membuat sudut hatiku serasa ditusuk. Sakit, tapi tidak berdarah. Tapi aku tidak akan menyerah, aku akan terus memaksanya sampai dia menurutiku.

"Tidak bisakah kau menurut? Bukankah kau pernah mengatakan akan berhenti bersikap menyebalkan? Kalau begitu, diamlah dan turuti perkataanku!" perintahku dengan nada tegas. Dan agak gusar, kurasa. Sepertinya aku harus mengatur emosiku.

Kulihat Sougo terdiam sejenak, bibirnya kini tertutup rapat. Namun tiba-tiba tangan kanannya bergerak ke arah sleep mask-nya. Jemarinya yang lentik itu dengan pelan menarik sleep mask yang semula menutupi daerah matanya untuk berpindah ke keningnya. Poninya yang panjang itu kini menjuntai dengan indah di sela-sela sleep mask merahnya, menampilkan kesan berantakan yang justru membuatnya terlihat semakin lucu.

Perlahan, manik merah besarnya itu terbuka dan menatap langsung menuju mata biruku, membuatku sedikit terlonjak antara kaget dan malu karena tatapannya begitu intens.

Bibirnya yang sejak tadi tertutup rapat itu kini terbuka sedikit. Dalam diam, aku sangat mengagumi dan memuji semua keindahan yang dia miliki. Bahkan hanya dengan memperhatikan bagaimana bibirnya bergerak untuk berbicara itu bisa membuat jantungku berdegup tak normal. Sial, kenapa aku baru menyadari kalau Sougo bisa semanis dan seimut ini?

"Kalau begitu, tidak bisakah Hijikata-san yang berhenti untuk menggangguku~? Lupakan saat-saat menyebalkan yang pernah kita lalui bersama. Itu akan membuatmu lebih baik. Aku yakin, desuzee~" Aah, suara malas yang benar-benar kurindukan. Aku sungguh sangat merindukan saat mendengarmu menyebut namaku dengan nada malasmu. Sudah berapa lama, ya, aku tidak mendengarnya?

Kutatap wajahnya sembari tersenyum miris. Dibenci oleh orang yang kausukai itu sangat menyakitkan, bukan? Aah, aku bahkan baru menyadari kalau sebenarnya aku menyukai—atau mungkin mencintai—Sougo. Ingin rasanya aku menangis karena tidak menyadari perasaan ini dari awal. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Tapi menangis itu sama sekali bukan gayaku. Aku harus kuat. Kulepaskan rokokku barang sejenak setelah menyesap nikotinnya, lalu kuembuskan asapnya dalam-dalam.

"... Kau telah membuat hidupku tidak tenang, dan membuatku terus-menerus memikirkan kejadian beberapa hari yang lalu, bahkan mungkin seminggu lebih yang sampai saat ini masih segar dalam ingatanku. Kau telah melakukan hal seperti itu padaku dan sekarang kau dengan mudahnya menyuruhku untuk melupakannya? Apa sebenarnya maumu? Kau mau mempermainkanku? Kau benar-benar ingin membuatku kesal, huh?" Rentetan kekesalanku yang selama ini kupendam langsung keluar tanpa bisa kucegah. Ah, biarlah. Biarkan dia mengetahui perasaanku yang sesungguhnya.

Kulihat Sougo tak berkutik sedikitpun. Akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan perkataanku lagi.

"Selama ini kau selalu mengganggu hidupku. Tapi kini kau ingin pergi meninggalkanku dan membuatku terperangkap dalam perasaan menyebalkan ini? Kaupikir hatiku itu terbuat dari mayones?! Kau tidak akan berada di sisiku lagi mulai sekarang. Aku tidak menginginkan itu. Kau selalu ingin agar keinginanmu dituruti, walau aku terlihat terganggu karenanya, tapi aku selalu mengabulkan keinginanmu. Karena itulah, kali ini ... sekali saja, turuti keinginanku." tuturku panjang lebar. Dan tanpa sadar di akhir perkataanku, aku mengucapkannya dengan nada lirih. Kuputuskan untuk menyesap rokokku sekali lagi.

"... Aku tidak mau," balasnya singkat seraya memalingkan wajahnya. Oi, aku sudah berbicara panjang lebar dan dia hanya menanggapinya dengan kata 'tidak mau'? Jangan bercanda! Dia benar-benar berhasil membuatku menggeram kesal dan sakit hati di saat yang bersamaan.

"Kenapa? Apa salahku? Kenapa kau memutuskan untuk pergi meninggalkanku? Apa kau ingin membuatku terus-menerus sakit hati? Kumohon, jelaskan padaku." pintaku sembari menundukkan kepalaku, tak berani untuk menatapnya. Walaupun sebenarnya aku ingin selalu memandanginya.

"Selama ini aku hanyalah pengganggu dalam hidupmu, sudah sebaiknya aku pergi—"

"—Jangan ...," Aku menyela perkataannya, bahkan sebelum dia sempat menuturkan alasannya hingga selesai. Tapi entah bagaimana bisa, aku seperti mengerti apa yang ingin dia katakan. Sebelum Sougo sempat mengatakan apapun, aku segera membuka mulutku untuk melanjutkan perkataanku. Rokok yang sedari tadi terselip di bibirku sudah terjatuh ke tanah entah sejak kapan.

"Jangan pergi dari sisiku. Jangan tinggalkan aku. Karena aku sama sekali tidak menginginkan itu. Kalau kau pergi, hidupku tidak akan ada artinya lagi. Tidak ada lagi hal yang harus kulindungi dan kuperjuangkan. Semua akan terasa hampa dan hal yang kulakukan menjadi sia-sia ...," Kuembuskan napasku perlahan, mencoba meredakan perasaan sesak yang sebelumnya menyergap jantungku. Aku sudah mengatakannya, dan itu membuatku merasa sedikit lebih lega.

Aku sudah tidak peduli lagi dengan ego atau gengsi yang selama ini menahanku agar tidak mengatakan hal seharusnya kukatakan pada Sougo. Aku tidak mau dia pergi dari hidupku. Sudah cukup aku kehilangan kakaknya, bahkan aku tidak bisa membahagiakannya sama sekali karena aku memang tidak pantas untuknya. Aku memang bukan lelaki yang baik, tapi kali ini ... setidaknya aku ingin memberikan yang terbaik untuk orang yang kusayangi. Pokoknya, aku tidak akan membiarkannya pergi.

"... Tunggu sebentar. Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Kenapa tiba-tiba kau mengatakan hal seperti itu? Bukankah ... kau memang menginginkan agar aku menjauh darimu? Aku tidak mengerti apa yang kaubicarakan," ujar Sougo kebingungan, terlihat dari kedua alisnya yang bertaut dan tangan kirinya yang menggaruk pelan belakang kepalanya dengan agak kikuk. Jangan lupakan bibir mungilnya yang mengerucut dengan begitu lucu saat dia mengatakan kebingungannya barusan.

"Aku juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi padaku. Bibir dan tubuhku bergerak sendiri. Tapi, aku sama sekali tidak pernah mengatakan kalau aku memintamu untuk menjauhiku. Memangnya apa yang membuatmu ingin pergi, hm?" tanyaku dengan perasaan yang sudah tenang. Kunyalakan ujung rokok yang baru saja kuselipkan di bibirku dengan pematik mayo-ku.

"Aku hanya ... ingin mengukir semua kenangan berhargaku bersamamu. Tapi saat itu, aku merasa kau sangat terganggu dengan kehadiranku. Aku tahu aku memang datang di saat yang sangat tidak tepat, tapi ... melihat reaksimu yang benar-benar kesal padaku, itu membuatku takut kalau kau akan membenciku. Lalu akhirnya aku memilih mundur." ungkapnya sembari menggerakkan manik merahnya ke arah lain dengan gelisah, seolah takut untuk menatapku.

"Lalu kenapa kausuka mendatangi Yorozuya, eh?" Aku bertanya padanya sambil mengembuskan asap rokokku. Walaupun kesannya lebih mengarah ke interogasi.

"... Kau mengetahuinya sampai sejauh itu? Dasar stalker." ejeknya seraya menatapku dengan seringai yang menghiasi bibirnya. Membuat diriku tersadar kalau aku baru saja sudah mengungkapkan aksi bodohku sendiri. Memalukan. Rasanya aku ingin membenturkan kepalaku ke tembok terdekat.

"H-Hei, a-aku mencemaskanmu, tahu!" Aku langsung mengelak dan tanpa sadar justru tergagap. Tch, di saat seperti ini mulutku tidak bisa diajak kompromi. Rokokku bahkan sampai terjatuh dari bibirku untuk kedua kalinya. Akhirnya kuputuskan untuk mengambil batang rokok yang ketiga lalu menyalakannya.

"Hmm, gomen. Aku hanya meminta saran pada Danna." jawabnya singkat sembari menundukkan kepalanya.

"Sou ka. Kalau begitu, maaf ... telah menyakiti perasaanmu selama ini." Tanpa sadar aku menggaruk rambut bagian belakangku dengan kikuk walaupun sebenarnya tidak gatal saat mengatakannya.

"Aku juga minta maaf, karena telah mengganggumu selama ini," ucap Sougo pelan, namun masih bisa terdengar oleh gendang telingaku.

"Baiklah, aku rasa kita impas." Aku tersenyum seraya membungkuk untuk mengacak rambutnya pelan. Ah, tak kusangka ternyata rambut cokelat pasirnya itu begitu lembut. Perlakuanku membuatnya sedikit mengerucutkan bibirnya. Aah, kulihat rona merah yang samar-samar menjalari pipi tembamnya. Benar-benar membuatku gemas.

"Ne, Hijikata-san~" Aku mengerjapkan mataku saat kudengar suara manisnya yang memanggil namaku.

"Hmm?" gumamku menanggapi panggilannya. Aku berhenti mengacak rambutnya dan kembali berdiri tegak seraya memasukkan tanganku ke saku celana.

"Ngomong-ngomong aku masih tidak menyangka kalau ternyata dirimu itu masochist," ujarnya dengan wajah polos dan nada datar, membuatku menjadi agak kesal dengan perkataannya.

"Heeh? Apa katamu? Aku yang seme di sini." balasku sambil mengelak.

"Kalau begitu Hijikata-san adalah seme maso~" ejeknya sembari memamerkan seringainya lagi.

"Ck, dasar uke sadis!" Dia benar-benar membuatku naik pitam. Kadang aku merasa heran kenapa sampai sekarang aku masih bisa bertahan hidup dan parahnya malah mencintai orang seperti dia.

"Hijikata-san benar-benar menyebalkan. Aku menyesal memaafkanmu." Sougo bersungut-sungut disertai dengan helaan napas kecewa. Kulihat cahaya di matanya agak meredup. Membuatku entah kenapa menjadi merasa bersalah. Padahal aku hanya membalas ejekannya yang sebelumnya.

"Eeh? Kenapa begitu? Jadi kau tidak mau memaafkanku?" Kucoba untuk menanyakan kepastiannya. Aku tidak mau jika dia menjauhiku lagi.

"Hmm ... akan kumaafkan, asalkan kau memberiku satu hal," Tiba-tiba Sougo beranjak dari tempatnya dan mendekatiku. Kini dia berada di hadapanku yang langsung kutatap dirinya dengan wajah heran. Detik berikutnya, Sougo menarik rokok yang sedari tadi terselip di bibirku kemudian membuangnya ke tanah dan menginjaknya. Membuatku terkejut dengan apa yang baru dia lakukan barusan di depan mataku.

"Eeh? Kenap—mmfhh~" Dengan cepat Sougo langsung menarik kerah bajuku dengan tangan kanannya agar wajah kami mendekat, lalu mempertemukan bibirnya dengan bibirku. Tindakannya benar-benar membuatku membeku. Aku hanya bisa terdiam menerima perlakuannya seperti orang bodoh yang baru pertama kali berciuman.

Kuso. Aku jadi terlihat seperti uke di sini. Yaah, sebenarnya ini memang ciuman pertamaku, sih.

Kurasakan Sougo menekan tengkukku dengan tangan kirinya untuk memperdalam ciuman kami. Membuatku mau tak mau akhirnya membalas ciumannya walau masih terkesan ragu. Detik berikutnya aku mendengar suara jepretan kamera. Eh? Aku sangat yakin suara itu bukan berasal dari ponsel milikku, karena ponselku masih berada di saku celanaku. Lalu ... itu milik siapa?

Ciuman kami pun terlepas, iris steel-blue milikku menangkap Sougo sedang menyeringai sembari memperlihatkan sebuah foto ciuman yang sepertinya barusan kami lakukan kepadaku dari ponselnya.

Tunggu dulu ... jadi suara jepretan kamera tadi berasal dari ponselnya?

Manik biruku seketika terbelalak lebar. Aku yakin kini wajahku memerah bak saus tabasco.

"KAU MENGERIKAN, SOUGO~ HAPUS FOTO MEMALUKAN ITU, CEPAT!"

"Tidak mau, hahaha. Kauharus menangkapku~" teriaknya seraya berlari menghindariku.

"MATI KAU, SOUGO!" Kuayunkan katana milikku ke arah Sougo untuk menebasnya, namun sialnya dia berhasil menghindarinya dengan mudah sambil tertawa bahagia seperti orang gila.

"Haha, ayo, Hijikata-san. Coba tangkap aku~" ejeknya sembari memeletkan lidah, membuat tingkat kekesalanku semakin naik melampaui batasnya.

"BAKAYAROU, KEMBALI KAU, SOUGO~!" Saat ini urat kemarahan sudah berhasil menghiasi seluruh bagian wajahku. Tiba-tiba dia berhenti berlari dan memandangku dengan ekspresi ... sedih?

"Hijikata-san ...," panggilnya lirih.

"Apa, hah?!" teriakku kesal. Ugh, aku benar-benar sudah tidak bisa menahan kesabaranku lagi. Kucoba untuk menenangkan diriku dengan mengelus dadaku untuk menetralkan hawa amarahku.

"Maaf mengenai foto tadi. Sebelumnya aku sudah pernah mengatakannya padamu, kan? Kalau bagiku, berfoto itu bukan hanya sekedar foto biasa yang berisikan tampilan ekspresi wajahku dari berbagai sudut, melainkan momen kenangan yang kulewati bersama orang-orang yang kusayangi.

Agar suatu hari di masa yang akan datang, hal yang akan kutemui adalah suatu kerinduan dan harapan agar bisa kembali mengulangi masa-masa itu. Aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang sudah terlewat karena hal itu tidak akan bisa kembali. Kisah hidupku juga tidak akan tercatat dalam sejarah, karena itulah aku menulis sejarahku sendiri."

Aku hanya bisa terdiam mendengar penuturan panjangnya. Entah kenapa hanya dengan memikirkan alasan di balik semua tindakannya selama ini justru membuatku sedih. Kita memang tidak bisa seenaknya menghakimi seseorang sebelum kita mengetahui dan memahami alasan di balik perbuatannya tersebut. Walaupun terkadang dia melakukan hal yang membuatku kesal. Ya, contohnya seperti foto ciuman barusan itu.

"Ya, aku memahami semua perbuatanmu. Kau bebas melakukan apapun untuk menulis sejarahmu. TAPI BUKAN BERARTI KAUBISA SEENAKNYA MEMFOTO ADEGAN CIUMAN JUGA, BOGE! Tch, ini momen kenangan yang sangat memalukan. Awas kau, Sougo. Aku akan membalasmu berkali-kali lipat malam ini!" ancamku padanya. Perkataanku kali ini sungguh-sungguh, bukan hanya bualan belaka. Aku akan menghukumnya, sebagai penebus semua perbuatannya selama ini.

"Eh? Memangnya kau akan melakukan apa, Hijikata-san? Saat berciuman denganku saja kau sangat kaku. Apa kau benar-benar yakin bisa membalasku~?" goda Sougo dengan nada mencibir. Heh, kau melakukan kesalahan yang besar karena telah membangunkan seekor singa yang kelaparan, Sougo-chan~

"Tch, kau terlalu meremehkanku." Segera kudorong Sougo agar jatuh terhempas ke tanah, lalu menindihnya. Kukunci masing-masing pergelangan tangannya dengan kedua tanganku. Agar kaki Sougo tidak bergerak sesukanya dan mengantisipasinya agar tidak sembarangan menendangku, kuputuskan untuk meletakkan lutut kananku di antara kedua kakinya. Walau awalnya aku terkesan ragu.

"Ch-chotto matte, Hijikata-san! Kalau kau memang mau melakukannya, setidaknya bisakah membawaku ke tempat yang lebih layak? Kau ini tidak ada romantis-romantisnya sama sekali. Aku jadi meragukanmu." cercanya dengan kejam.

"Hee~ Jadi kau sudah tidak sabar, huh? Baiklah, ayo kita ke Love Hotel sekarang." Entah dari mana, tiba-tiba aku menjadi semangat. Dalam sekejap mata aku sudah bangkit dari tempatku dan kini sedang menarik Sougo ke mobil patroli untuk segera kubawa ke Love Hotel.

"Eh? EEEH? Kau serius? Ini bohongan, kan? Aku belum siap, Hijibakaaa~!" pekik Sougo dengan nada panik.

Aah, ternyata dia tidak berani, huh?

Tanpa sadar aku tertawa kecil melihat tingkahnya. Nah, Pangeran dari Planet Sadis, sekarang rasakanlah pembalasan dariku!

.

.

.


OWARI


Author's note:

HUAHAHAHHAHA ENDING MACAM APA ITU~ ASDJASDJAJSADJAKDJKAJS.

Bisa-bisanya aku bikin beginian. Dammit, sepertinya aku jadi lebih parah dari sebelumnya, heuheu. Tasuketeee~ /dibuang/

Ehm, btw apa ada yang merindukanku? /gak

Sudah berapa lama, ya, aku menelantarkan fanfic dengan pairing kesukaanku ini? Hiksu. Gomennasai, soalnya dulu aku sedang tidak ada mood untuk melanjutkannya. Sekarang, berhubung aku sedang merasakan apa yang Hijikata rasakan, aku memutuskan untuk melanjutkannya lagi karena aku tidak ingin HijiOki berakhir mengenaskan seperti kisahku. Jujur saja, awal aku membaca ulang fanfic ini, aku benar-benar menangis. Kehilangan orang yang sangat berharga bagimu itu begitu menyakitkan.

Aku minta maaf kalau alurnya kecepatan dan OOC. Membuat two-shots ternyata lebih sulit daripada dugaanku.

Special thanks to: Akira Fisayu, Shimizu Kumiko, livia zaviera sigit, undeuxtroisWaltz dan semua yang sudah membaca~

Terima kasih sudah mau membaca sampai akhir. Aku sangat menghargainya. Aku harap aku bisa membuat lebih banyak HijiOkiHiji. :))

Jaa ne~ /peluk kalian semua/

.

.

.

Sign,

Yumisaki Shinju