Entah sudah berapa banyak air mata yang menetes. Entah ada berapa banyak orang yang menangisi kepergiannya. Entah ada berapa banyak orang yang mungkin malah merayakan kematiannya ...

Zeref Dragneel sudah tidak memperdulikan semua itu. Bukan urusannya lagi. Dirinya sudah terlanjur terbang jauh ke atas langit, meninggalkan orang-orang yang dikasihi.

Tubuh dingin yang terbungkus dalam peti telah selesai ditanam di dalam perut bumi. Isak tangis masih saja terdengar samar. Bahkan langit pun ikut berkabung atas kepergiannya yang begitu cepat.

Brandish hanya menatap kosong ke arah foto Zeref yang diletakkan di atas batu nisan. Bibirnya membiru, kantung mata terlihat jelas di wajahnya. Di belakangnya, Lucy berdiri sambil memegang pundak Luna yang tengah menangis dengan kedua tangan. Mata wanita itu juga membengkak. Menangis semalaman sambil terus menyalahkan diri.

Natsu Dragneel berdiri di samping Lucy. Kepala pink tertunduk dalam. Poni panjang menutupi sebagian wajah hingga membuat bayangan menutupi mata onyx yang terpejam erat. Tangan pria itu terkepal kuat. Memori masa lalu tentang sang kakak melintas di otaknya bagai video yang terus diulang-ulang. Kenangan yang buruk. Perlakuan yang tidak pantas ia lakukan sebagai seorang adik. Menyayat-nyayat hati yang sudah lama lebam karena terus dihantam oleh penyesalan. Dia bukan adik yang baik. Bahkan dia belum sempat meminta maaf pada Zeref atas apa yang sudah dia perbuat selama ini. Kenapa kepedihan selalu datang bertubi-tubi menimpa dirinya? Harus berapa banyak lagi dia kehilangan?

Salju kembali turun. Butiran putih jatuh seperti percikan cahaya kecil yang berkilauan di udara. Mendarat dengan mulus dan menumpuk di atas tanah. Angin dingin berhembus nakal, membuat kulit wajah seketika merinding. Tubuh yang sudah dibalut rapi dengan mantel hangat berwarna hitam rupanya masih belum cukup untuk menangkal dinginnya angin yang datang bersama butiran salju.

Mungkin sebentar lagi akan ada badai salju ...

Igneel berdiri di sana. Di hadapan makam putra tertuanya. Raut penyesalan terlukis jelas di wajahnya yang sudah mulai keriput. Menggumamkan kata maaf berkali-kali di dalam hati. Meminta pengampunan dari putra tercinta yang sejak dulu hanya mendapatkan sedikit perhatian darinya.

Tepukan pelan mendarat di bahu sang kepala keluarga Dragneel bersamaan dengan sebuah payung lebar yang tiba-tiba menaungi tubuhnya. Kepala merah yang sudah mulai dibauri oleh uban menoleh. Mendapati wanita yang selama ini tidak pernah terhapus dari hatinya tengah tersenyum pedih ke arahnya.

"Ayo kita pulang. Udaranya semakin dingin. Mungkin akan ada badai salju hari ini," Grandine mengingatkan. Senyum sedih terlukis jelas di wajah wanita yang usianya sudah lewat setengah abad itu.

Igneel memandang ke bawah, tidak bisa menahan air mata yang lagi-lagi terjatuh tanpa bisa dicegah. Mengusapnya pelan, Igneel mengangguk. Berjalan bersisian di bawah payung bersama sang mantan istri.

Di samping makam Zeref, seorang pria berambut pirang tengah berjongkok sambil menaruh sebuket bunga violet di atas sebuah makam. Mata sipitnya menatap sedih ke arah batu nisan yang bertuliskan 'Sayla Tartaros' itu. Di belakangnya, terdapat dua orang polisi yang mengawal. Jackal sudah tahu hal ini akan terjadi. Setelah ia berhasil membantu sang Nona kabur dari penjara, seharusnya ia menemani Nona Sayla sampai akhir dan tidak menuruti kemauan Nona begitu saja untuk membiarkannya sendirian membalas dendam. Kematian Sayla adalah salahnya yang tidak becus menjaga sang Nona. Satu-satunya hal terakhir yang bisa ia lakukan untuk sang Nona yang begitu ia cintai adalah menguburkannya di samping pria yang ia cintai. Tentu saja itu tidak mudah. Karena itu, dia menyerahkan diri pada polisi dengan permintaan untuk memakamkan Sayla di samping makam Zeref.

Butiran-butiran salju mendarat dengan anggun di atas foto Zeref yang tengah tersenyum lembut. Brandish berjongkok. Mengusap titik-titik putih itu. Mata hijaunya tak pernah lepas dari mata onyx yang memandang hangat dari balik kaca bening. Emerald-nya sudah lelah mengeluarkan cairan bening. Semuanya terkuras habis hanya dalam satu malam. Namun, luka di hati tak habis-habisnya menimbulkan rasa nyeri. Sesak. Sakit. Perih. Namun ia tidak bisa menangis untuk sekadar membebaskan hati yang terus terbelenggu oleh rasa kehilangan.

Langkah kaki terdengar menapak di atas salju yang mulai menumpuk. Sepasang tangan hangat mengalungi pundak yang kaku. Brandish merasa tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa yang tengah memeluknya saat ini.

"Lucy,"

Pelukan semakin dieratkan.

"Ayo kita pulang. Di sini semakin dingin."

Diam adalah jawaban yang ia dapat. Brandish sama sekali tidak merespon, namun juga tidak menolak saat Lucy menariknya berdiri dan menjauhi makam pria yang paling dicintai.

.

Fairy Tail by Hiro Mashima

Broken Vow

by

Minako-chan Namikaze

.

The Last Chapter

Enjoy!

Cangkir putih berisi cairan cokelat panas diletakkan di atas tatakan. Manik karamel melirik diam-diam, memergoki iris emerald yang hanya menatap kosong ke arah cangkir teh yang sama sekali belum tersentuh.

"Brandish ... Kau baik-baik saja?" panggil Lucy, membuat yang bersangkutan tersentak.

Brandish hanya menatap Lucy dengan raut wajah terperangah, sama sekali tidak sadar kalau sejak tadi dia melamun. Kemudian kembali memasang poker face, meraih cangkir tehnya dan minum dengan tenang.

Sudah lewat empat hari setelah kematian Zeref. Semua orang masih berkabung, namun tetap menjalankan aktivitas sehari-hari seperti biasa.

Setelah selesai pemakaman Zeref, Natsu langsung pamit pulang ke Alvarez, setelah memberi kecupan singkat beserta pelukan hangat pada putri kecilnya yang meminta ingin ikut bersamanya. Lucy dan Natsu sudah bisa mengobrol normal lagi, meskipun masih agak sedikit canggung.

Igneel kembali ke dunia perbisnisan, mengurus perusahaan yang ditinggalkan Zeref. Hanya sementara saja sampai Wendy sudah cukup matang untuk meneruskan memimpin perusahaan besar itu. Grandine juga memutuskan untuk tinggal lagi di rumah Igneel, meskipun di kamar yang berbeda dengan motif untuk merawat Igneel yang sewaktu-waktu bisa saja jatuh sakit kembali karena terlalu memaksakan diri untuk bekerja.

Dan Brandish ...

Lucy kembali melirik wanita berambut bob di hadapannya. Tubuh Brandish terlihat mengurus. Pipinya yang tirus itu pucat, sama sekali tidak ada rona di sana. Matanya yang biasa menatap malas pada semua hal, kini tampak kosong dan begitu dingin.

Miris. Hanya itulah yang Lucy rasakan saat ini.

Kehilangan seseorang yang dicintai memang akan berdampak seperti ini. Bagaikan tubuh ringkih yang tak berjiwa.

"Brandish. Maafkan aku. Aku tahu ini semua salahku yang menolak Kak Zeref malam itu hingga terjadi hal yang tidak diinginkan seperti ini ..." Kepala pirang tertunduk, kembali menyalahkan diri atas musibah yang terjadi.

Brandish masih menyesap tehnya dengan tenang. Mata hijauhnya berkedip sekali kemudian menatap Lucy dengan datar. Cangkir teh yang isinya tinggal setengah kembali diletakkan di tempat semula.

"Benar. Ini semua terjadi karena kesalahanmu." Nada dingin dilontarkan, namun tidak bermaksud menuduh.

Lucy tersenyum kecut. "Ya, aku tahu." Iris karamel memutar ke samping, enggan menatap iris hijau yang menatapnya dengan lekat.

"Tapi, kematian Zeref terjadi sama sekali bukanlah kesalahanmu. Aku yang tidak becus melindunginya. Padahal, saat itu aku bisa saja melubangi kepala si jalang itu dan menjauhkannya dari Zeref ... Namun, aku malah membiarkannya menghadapi wanita gila itu sendirian ..." Senyuman pahit sarat akan penyesalan menjadi pemandangan yang mengibakan hati Lucy.

Tidak berniat membantah ataupun mengiyakan, Lucy Heartfilia hanya diam. Takut salah mengeluarkan kata-kata.

Cangkir teh kembali diangkat. Menempelkannya di tepi bibir yang mulai memerah karena uap panas yang dihasilkan. "Omong-omong ...," Brandish membuka topik baru. Lucy mendongak menatap Brandish. "Apa kau sudah membuat keputusan?"

Mendengarnya, Lucy tersenyum kecil—atau lebih bisa dibilang tersenyum kecut. Menggenggam cangkir cokelat panasnya dengan kedua tangan. "Ya."

"Souka," bunyi kursi yang bergesekan dengan lantai kafe terdengar berisik saat Brandish tiba-tiba berdiri. Cangkir tehnya sudah kosong. Wanita berambut hijau pendek itu memakai mantel cokelatnya. "Kalau begitu, kabari aku kalau kau sudah sampai New York," ucapnya dengan tatapan malas, seperti biasa.

"Kau tidak akan mengantarku sampai bandara?"

"Tidak. Aku punya banyak pekerjaan yang menumpuk karena kutinggalkan selama empat hari ini."

"Oh ..."

Brandish tersenyum kecil. "Jaga dirimu baik-baik. Ini adalah hari terakhir kita bertemu."

"Jangan mengatakan seolah aku akan mati saja. Lagipula, kaulah yang seharusnya menjaga diri. Kau terlihat begitu kacau setelah ditinggal Kak Zeref,"

Mendengus pelan. "Sok tahu." Kemudian berjalan menuju pintu keluar seraya berkata 'aku pergi' dengan tangan kanan yang dilambaikan tanpa menoleh.

Lucy masih diam di tempat duduknya. Menatap kepergian Brandish dengan perasaan ganjil.

Sementara itu, Brandish tengah berdiri di tepi jalan. Menunggu lampu penyebrang jalan berubah hijau. Kedua tangan yang sama sekali tidak dibalut dengan sarung tangan di masukkan ke dalam saku mantel. Suara-suara obrolan berisik di sekitarnya sama sekaliia hiraukan. Bibirnya terkatup rapat.

Kaki jenjang yang berbalut sepatu boots melangkah begitu mendapati warna merah telah berubah menjadi hijau. Para pejalan kaki mendahuluinya berjalan di depan karna tiba-tiba ia berhenti. Tepat di tengah-tengah Zebra Cross. Wajahnya mendongak. Menatap datar ke arah kanvas abu-abu yang meneduhi langit kota Magnolia. Lagi-lagi mendung.

Aneh. Padahal dia sudah membalut tubuhnya dengan mantel tebal, namun kenapa dia masih saja merasa kedinginan? Ah, tidak. Bukan tubuhnya, tapi hatinya. Terasa begitu dingin dan menusuk.

Tiba-tiba ia teringat akan hangatnya tangan Zeref. Reflek, tangan kanan segera ia keluarkan dari saku. Menatapnya dengan senyum pedih. Sebuah titik putih jatuh di atas telapak tangannya, menimbulkan sensasi dingin yang menusuk kulit. Lagi-lagi ia mendongak ke atas, mendapati salju sudah mulai turun lagi. Para penjaga toko mungkin akan mengumpat lagi karena mereka baru saja membersihkan tumpukan salju yang menumpuk di kusen jendela dan perkarangan toko. Anak-anak mungkin akan berlari-larian di bawah hujan salju sambil saling melempar bola putih es. Para ibu rumah tangga mungkin sekarang sedang menikmati acara minum cokelat panas bersama anak-anak dan suaminya sambil menonton acara keluarga.

Kota ini begitu hangat. Namun terasa dingin tanpa Zeref di dalamnya. Dia ingin kehangatan Zeref menghangatkan hatinya yang membeku.

"Aishiteru yo ... Maaf baru bisa mengatakannya sekarang ...,"

Tersenyum kecil. Menggumamkan kata bodoh berkali-kali.

"Aku juga minta maaf. Karena tidak bisa mengatakannya hingga saat ini ..., Aishiteru yo ... Zutto ..."

Pejalan kaki yang menyebrang jalan sudah habis, hanya menyisakan dirinya seorang di tengah jalan.

Tiba-tiba jalanan itu menjadi begitu sepi. Hening menyapa pendengaran Brandish. Tidak ada suara lain yang bisa ia tangkap kecuali suara mesin yang menggila dan suara penjaga toko barang antik di depan sana yang berteriak ke arahnya.

Ketika Brandish menoleh ke samping, dia mendapati sesuatu yang mendekat ke arahnya. Cahaya lampu yang menyilaukan segera menghantam pandangannya. Tubuhnya terlempar jauh hingga remuk redam.

XXX

Pelukan hangat dilepaskan. Raut wajah sedih dibalut senyum tak rela tidak mampu ditutup-tutupi oleh sang wanita pirang. Mendaratkan kecupan bermakna kasih sayang pada putri kecil tercinta.

"Luna yakin tidak mau ikut mama?" Lucy bertanya, kedua tangannya memegang pundak mungil Luna yang terbalut mantel pink.

Luna menggeleng pelan. Tersenyum kecil. "Kalau Luna ikut, nanti papa sama siapa?"

Lucy reflek mendongak, menatap Natsu yang berdiri tepat di belakang Luna. Pria itu tersenyum—senyuman paksa. Raut wajahnya yang tidak rela itu terlihat jelas.

"Jaga dirimu baik-baik di sana. Kami akan mengunjungimu ke New York saat musim panas tiba." ujar Natsu.

Lucy tersenyum. Kemudian mengusap kepala Luna. Dia sudah menceritakan tentang perceraiannya dengan Natsu. Dan dia cukup kaget karena ternyata Luna sudah tahu itu semua. Sayla yang memberitahunya. Namun selama ini Luna selalu diam saja. Tidak memberitahunya sama sekali kalau dia sudah tahu. Gadis kecilnya itu hanya mengatakan "Luna gak apa-apa kalau mama sama papa cerai. Asal mama sama papa gak saling membenci. Kata Om Zeref, benci itu adalah perasaan yang bisa merusak hubungan. Jadi, selama mama sama papa gak saling membenci, Luna gak apa-apa. Mau cerai atau pun gak, Luna masih bisa sama-sama dengan mama dan papa. Cuma bedanya, kita gak tinggal serumah doang."

Siapapun yang membuat putrinya menjadi dewasa seperti ini, Lucy benar-benar harus berterima kasih pada orang itu. Luna tidak bersikap egois seperti dulu saat dia mengetahui kalau Natsu adalah ayahnya. Gadis kecilnya mulai dewasa, meskipun dia yakin Luna juga sangat sedih dengan keputusan kedua orang tuanya. Namun dia tetap menerimanya tanpa banyak protes.

Lucy berbaikan dengan Natsu. Tidak ingin sikap diam mereka berdua tiba-tiba berubah menjadi benci suatu hari nanti.

"Kak Lucy, sudah waktunya berangkat,"

Lucy menoleh. Wanita pirang bermata biru yang ia temui di kafe waktu itu tersenyum hangat ke arahnya.

"Ya, aku akan segera ke sana, Michele,"

Michele Lobster mengangguk. Membungkuk hormat kepada Natsu, pamit pergi. Wanita itu mengusap kepala Luna dengan gemas lalu mencium kedua pipinya sebelum melangkah pergi menuju gerbang imigrasi.

Lucy bertemu Michele empat hari lalu secara tidak sengaja di kafe. Mereka berbincang-bincang tentang kehidupan masing-masing sampai Michele bilang kalau dia sudah lama mencari Lucy. Katanya, ayahnya pernah meminjam uang pada ayah Lucy, dan berniat membayarkan hutangnya pada Jude, namun sayangnya pria itu sudah meninggal bertahun-tahun lalu. Mereka pun mencari Lucy, namun tidak ketemu karena saat itu Lucy kabur ke Hargeon dan bersembunyi dengan baik di sana. Michele mengira kalau Lucy sudah menghilang tanpa kabar. Namun, ayahnya tidak mengambil kembali uang itu. Tuan Lobster malah membangun sebuah kantor penerbitan di New York. Berharap suatu hari dia bisa menemukan Lucy dan memberikan kantor penerbitan itu padanya. Dan untunglah Michele berhasil menemukan Lucy dan langsung saja mengajaknya untuk pindah ke New York. Lucy bilang dia akan memikirkannya dulu, karena dia harus minta ijin dulu pada Zeref, calon suaminya saat itu.

Namun sekarang sudah berbeda. Lucy merasa sudah tidak ingin ada di kota ini lagi. Entah kenapa, dia terus kehilangan orang-orang yang ia sayangi.

Lucy kembali mengingat berita di koran dua hari yang lalu.

MARDGEER, PRESIDEN DIREKTUR PERUSAHAAN TARTAROS BERHASIL DIRINGKUS SETELAH MELAKUKAN SEBUAH TABRAK LARI TERHADAP SEORANG PENGACARA MUDA

Itu bunyi headline yang sengaja ditulis sebesar mungkin dan menjadi topik utama berita di TV akhir-akhir ini. Lucy begitu terpukul dengan kematian Brandish yang tragis. Setelah Zeref, sekarang Brandish pula ... Kenapa bencana kehilangan selalu menimpanya?

Ia jenuh. Ingin melarikan diri. Ingin memulai hidup baru dan melupakan masa lalu yang kelam.

Dan untunglah saat itu Michele meneleponnya, menayakan bagaimana keputusannya. Ingin pindah ke New York atau tidak.

Mardgeer sudah tertangkap. Juga antek-anteknya yang membahayakan kehidupan orang-orang tercintanya juga sudah diringkus. Seharusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Tapi, tetap saja Lucy tidak ingin berada di kota ini lagi. Ia juga bisa jenuh. Masih untung dia tidak memutuskan untuk bunuh diri karena sudah terlalu lama tertekan.

Mungkin keputusannya untuk tinggal di New York bersama Michele adalah keputusan yang tepat. Luna tidak ingin ikut dengannya, memohon untuk tinggal bersama dengan Natsu saja di Alvarez. Lucy menyetujuinya, karena dia yakin Natsu pasti akan menjaga Luna dengan baik dan menyayangi Luna sama besarnya dengan Lucy.

"Kalau begitu, aku pergi dulu. Natsu, aku titip Luna padamu, ya. Luna, jangan nakal sama papa, ya. Harus tetap jadi anak baik meskipun gak ada mama, oke?"

Natsu dan Luna mengangguk bersamaan.

Natsu maju mendekati Lucy, menarik wanita itu ke dalam pelukan hangat. Lucy membalas pelukan itu, menyembunyikan wajahnya di balik dada bidang Natsu.

"Aku akan sangat merindukanmu, Luce." Bisik Natsu.

Senyum reflek tertarik. "Kau akan datang mengunjungiku saat musim panas, 'kan?"

Natsu tertawa kecil kemudian melepaskan pelukannya. "Ya." rambut pirang diusap pelan oleh telapak tangan lebar.

Lucy meringis dan segera merapikan rambutnya. Berbalik badan menuju gerbang imigrasi sambil melambaikan tangan ke arah Natsu dan Luna. Menghampiri Michele yang sudah berdiri di sana menunggunya.

.

TAMAT

.

.

BROKEN VOW = SUMPAH YANG RUSAK / SUMPAH YANG TERLANGGAR

Sesuai judulnya, sumpah pernikahan NaLu telah rusak. Hidup dalam suka duka hingga ajal menjemput, itu sudah dilanggar. Pernikahan telah hancur.

Inilah endingnya. Mengecewakan? Iya. Gak jelas? Emang iya. Bikin benci? Oh, pasti.

Haha, sejak awal emang mau bikin yang kayak gini kok. Rasanya bener-bener campuk aduk kan dari awal sampai akhir? Gak bisa nebak gimana endingnya. Haha.

Maaf, ya. NaLu udah gak bisa bersatu. Meskipun bisa, tapi saya gak mau bikinnya. Saya akan membiarkan reader berimajinasi sendiri gimana kisah kelanjutan hubungan keduanya. Tapi mungkin para reader ada yang berniat bikin lanjutannya? Special Chapter untuk real ending fic ini? Saya mengijinkannya kok. Bisa dipublish di akun sendiri :) semacam OVA gitu. Haha

Ada banyak banget unek-unek yang pengen kusampain selama bikin fic ini. Karena aku gak pernah balasin review, padahal sepanjang chapter selalu aja ada yang 'menghujat' haha.

Ini memang sekuel dari You're Not Her Father, tapi bukan berarti akhirnya juga harus happy ending nurutin fic prekuelnya. Kalau You're Not Her Father mereka bersatu, di Broken Vow mereka berpisah. Kalau gak terima mereka berpisah, anggap aja Broken Vow itu gak ada. NaLu yang harmonis akan tersimpan di dalam kisah You're Not Her Father. Sementara NaLu yang bercerai dan berakhir hanya sebagai sahabat tersimpan dan dikisahkan di Broken Vow.

Dua kisah ini semacam BitterSweetBitter. PahitManisPahit. Putih dan Hitam. Dua sisi yang berbeda. Terang dan gelap. Keduanya gak bisa menyatu, gak bisa disamain, oke? :)

Dan cerita ini emang sinetron banget dari sisi manapun kalian melihatnya. Namanya juga Drama, tengok aja genre utamanya di atas.

Dan saya juga punya pengumuman. Setelah tamatnya fic ini, mungkin saya gak bakal aktif lagi di fandom ini. Mungkin ini fic NaLu terakhir? Ah, tapi saya mungkin bisa publish beberapa oneshot, tapi gak janji juga kalau pairnya NaLu. Soalnya, saya sekarang lagi doyan bikin slash pair. XD

Saya ada bikin fic Gray x Natsu. Bagi para Fujoshi, silahkan dibaca kalau bersedia. Judulnya ETERNAL sama Wellspring. /promoterselubung

Mungkin saya akan menjawab review juga karena ini chapter terakhir :)

Lauralaoo: Ah, maaf. Tapi, aku gak yakin yang vote NaLu pada bahagia dengan chapter ini :'D

Chris: Iya, Zeref mati. Brandish juga mati. Mereka hidup bahagia di akhirat #plak

udin dragneel: Dia emang balas dendam kok

Meganekonyan: Haha, kamu reviewnya di chapter 9 ya ... :"D

Fic of Delusion: Maaf ya. Zeref dan Brandishnya jadi korban 'berdarah-darah' haha. Tapi dengan itu mereka bisa hidup bahagia di surga /yakalaumasuksurga /plak

Vanilla Brownies kuhapus karena beberapa alasan tertentu. Salah satu alasannya karena aku gak bisa lanjutin juga gak akan aktif lagi di fandom ini. Juga termasuk fic-fic NaLu lain yang sekiranya gak bisa kulanjutin bakalan kuhapus :)

Kyousuke Dita: Iya, Lucy tadi dipeluk Natsu kok /bukanitumaksudnya /plak

dindahyuuga: And R.I.P Brandish :") Nah, berarti kamu juga ngerti kan gimana perasaan Lucy di chapter ini :")

Ndul-chan Namikaze: Maaf. Alvinnya gak bisa dimunculin. Haha. Cuma, sebagai gantinya, aku akan bikin cerita mereka berdua. Entah itu di catatan facebook-ku atau di blog (yang sama sekali belum dibuat /impiannyasejakduluadalahpunyablognulissendiri) Liat aja deh nanti di facebooku, biasanya kalau aku update apa-apa, selalu kushare di facebook :)

Lucy gak sama siapa-siapa. Itu pilihan terbaik daripada bikin perseteruan Mardgeer akhirnya bisa ketangkep juga setelah dia munculin diri untuk ngebunuh Brandish :D

LRCN: Makasih udah baca dan review! :)

Guest: Gak tau mau balas apa untuk review ini, haha. Zeref mati, dikau bahagia. Zeref mati, saya diteriakin reader— :"D

yudi arata: Sayangnya, di chapter ini mereka gak balikan. Tapi berpisah. Silahkan dibayangkan sendiri gimana kelanjutan hubungan mereka :"D

Agnuslysia: Oke, ini udah update. Makasih udah baca dan review! :)

DragneelEucliffe: Yep, saya hiatus setelah ini. :)

Hanara Ve-chan: Halo, saya kenal kamu kok. Dulu yang suka ngasih KriSar sama saya. Haha. Oke, emang kayak sinet banget ya, mendrama gitu jadinya. Tapi, genrenya emang drama sih, drama pasti hurt nya rada alay-alay gitu. Tapi, ending fic ini juga harus diikuti logika. Gak mungkin NaLu bisa bersatu semudah dan secepat itu setelah apa yang terjadi. Dan ZerLu juga gak mungkin bersatu karena gak mungkin Lucy bisa secepat itu menerima Zeref kecuali saat itu hatinya sedang labil.

Dan inilah endingnya. Lucy gak sama siapa-siapa. Tapi, hubungannya dan Natsu sudah membaik. Ada kemungkinan mereka akan kembali bersama, tapi saya gak ada niat mau bikin itu. biarlah berakhir seperti ini agar reader bisa berimajinasi sendiri akan seperti apa, bagaimana, dan dengan cara apa mereka bisa bersatu lagi. :) awww! Terima kasih sudah dipuji kayak gitu!:D

Mellia Tsuzumi Taoru: Maaf banget sudah membuatmu sia-sia nunggui fic ini. :D apalagi endingnya klise dan mainstream kayak gini ya. haha, saya minta maaf banget sudah bikin kamu kecewa :)

Andini397: Err ... Maksudnya, ini fic bikin kamu marah gitu?

nanluluna: Ah, maaf. Mereka gak balikan. :)

.

Saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya buat para reader, silent reader, para flamer, dan semua orang yang sudah nunggui dan mengikuti terus kelanjutan fic ini. Alhamdulillah fic ini berhasil tamat dalam waktu 5 bulan. Haha. Maaf atas segala emosi negatif(?) yang Anda-anda semua rasakan saat membaca fic ini. Endingnya netral. Gak berakhir sama siapa-siapa. Karena dipikir dengan logika juga Lucy gak bakal balik dengan Natsu semudah dan secepat itu. karena itu, saya mengijinkan bagi siapapun yang mau bikin kelanjutan atau real ending fic ini. Semacam OVA yang dipublish di akun kalian sendiri. Karena saya sudah nyaman dengan ending seperti ini :)

Dan saya juga berencana bikin cerita tentang Luna dan Alvin (Anak tertua Gray Fullbuster). Hanya cerita mereka berdua. Entah itu akan dipublish di catatan facebook saya atau di blog. Blognya belum saya buat, tapi insyaallah kalau udah buat saya kasih tahu.

Terima kasih karena sudah menerima dan menyambut saya di fandom ini. Saya sangat bahagia karena bergabung dan berkecimpung di fandom yang ramai (meskipun sekarang udah jadi sepi) ini. :)

Salam manis,

Minako-chan Namikaze