Disclaimer: Masashi Kishimoto

Rated: M

Warnings: Alternative Universe, Explicit Sexual Content, Sasuke POV, etc.

Don't Like Don't Read

...


Chapter 2: Stay Away From Her


.

.

Aku berjalan menuju kelas setelah membeli sebotol air mineral di kantin. Sesampainya, aku mengedarkan pandangan hingga mataku tertuju pada sekumpulan orang yang terlihat tengah bercanda. Mereka teman-teman baruku.

Ku langkahkan kakiku menghampiri orang-orang itu setelah salah satu dari mereka mengangkat tangan menyuruhku untuk ikut bergabung, kemudian aku mendudukkan diri di bangku kosong sebelah gadis berambut merah dengan kaca mata yang bertengger di wajahnya.

Aku membuka penutup botol air mineral yang sebelumnya aku beli di kantin dan menegak isinya hingga tandas tanpa memedulikan tatapan memuja dari gadis di sebelahku. Melihat kejadian tadi membuat tubuhku terasa terbakar hingga tenggorokanku benar-benar kering.

"Kalau kau masih haus, ambil saja punyaku." tawar gadis di sebelahku dengan suara semanis mungkin.

Aku melirik Karin sekilas, "Hn. Tidak usah, ini sudah cukup." jawabku membuat Karin merenggut sebal, sejujurnya aku masih merasa haus. Tapi meminum dari botol bekas orang lain aku menolak, terlebih dari seorang perempuan yang baru saja ku kenal.

"Kemana saja kau Sasuke, kupikir kau tersesat?" Naruto berucap dengan mulut penuh ramen, matanya menatapku dengan penuh tanda tanya. Aku berjengit, merasa jijik karena sebagian kuah ramen dalam mulut Naruto keluar mengotori meja dan sekitarnya.

"Habiskan dulu makananmu, baka!" kata Ino tiba-tiba sambil memukul pelan kepala Naruto dengan gulungan kertas membuat pemuda berambut kuning itu tersedak.

Kemudian pertengkaran kecil terjadi di antara mereka berdua, sedangkan Karin berada di tengah keduanya berniat memisahkan. Aku mengalihkan pandanganku menatap keluar jendela tanpa berniat membantu Karin yang terlihat kerepotan.

Sore ini terlihat mendung, awan hitam mulai melapisi langit dan menutupi sinar matahari hingga membuat langit terlihat gelap. Aku melirik jam yang menempel di dinding kelas, hanya tinggal beberapa jam lagi sebelum kelas usai dan aku berharap hujan tidak turun sampai aku berada di apartemen.

"Sasori, kau tak ikut bergabung dengan kami?"

"Tidak, aku akan kembali ke kelas setelah mengantar Sakura."

Aku menolehkan kepalaku ke asal suara dan melihat Sasori tengah bersama Sakura, sebelah tangan pemuda itu melingkar di pinggang Sakura. Dan Sakura, wanita itu hanya menunduk. Bajunya terlihat basah membuat lekuk tubuh Sakura tercetak jelas.

Aku memperhatikan keadaan sekitar, pertengkaran kecil yang sempat terjadi terhenti tanpa alasan. Suasana mendadak dingin, Karin melipatkan kedua tangannya di depan dada dengan raut wajah masam sementara Ino menundukkan kepala, aku dapat melihat semburat merah muda di pipinya.

Tiba-tiba Naruto meletakan sumpitnya kemudian ia berdiri dan memperhatikan keadaan tubuh Sakura dengan wajah serius.

"Apa Sakura-chan baik-baik saja, tubuhnya berkeringat banyak sekali sampai basah begini?"

Pemuda berambut merah itu nampak berpikir, dapatku lihat Sasori berusaha mencari-cari alasan.

"Errr... yah. Kau tahu, Sakura demam jadi tubuhnya berkeringat." ia tertawa kaku dibalas dengan anggukkan Naruto sebagai tanda mengerti. Sudah kuduga pemuda berambut merah itu memang pandai berbohong.

Aku hanya tersenyum kecut dalam hati mendengar alasan konyol yang dibuatnya dan bodohnya Naruto percaya begitu saja dengan ucapan Sasori. Padahal jika diperhatikan lebih jelas banyak ruam-ruam merah yang tercetak di sekitar leher wanita itu menandakan bahwa ia baru saja bercinta.

Setelah mengantarkan Sakura ke tempat duduknya Sasori kembali melewati kami, sekilas mata coklatnya bersiborok dengan mata hitam milikku, bibirnya sedikit menyunggingkan seringai sebelum ia melepas kontak mata denganku dan menghilang di balik pintu membuatku bertanya-tanya dengan sikapnya barusan.

Tanpa menghiraukan Sasori, aku kembali mengalihkan pandanganku pada Sakura. Wanita itu terdiam sambil memeluk tubuh seperti seorang yang sedang ketakutan. Tidak ada satu pun murid di kelas ini yang menghampiri Sakura untuk sekedar bertanya apa yang terjadi. Mereka terlalu acuh seolah menganggap Sakura tidak ada.

"Kau memperhatikan Sakura-chan."

Aku tersentak ketika tiba-tiba wajah Naruto dengan cengiran lebarnya berada tepat di depan wajahku membuatku sedikit gugup karena ketahuan sedang memperhatikan wanita merah muda itu.

"Hn, tidak." aku mengalihkan pandanganku mencoba menyembunyikan rasa gugup.

Naruto menjauhkan wajahnya, ia tertawa lepas setelah mendengar jawabanku tak sesuai dengan sikapku. Sial aku ketahuan!

"Kau tak pandai berbohong Sasuke," ia mengibaskan sebelah tangannya sementara yang satunya memegangi perut, Naruto tidak berhenti tertawa. "Lagi pula kau tidak usah khawatir, dia memang selalu seperti itu."

Aku menghela napas, percuma berdebat dengannya.

"Sebaiknya kau jauhi dia."

Aku menolehkan kepala ke arah Karin, gadis berambut merah itu berbicara memperingatkan dengan nada mengancam setelah sebelumnya diam dengan raut wajah masam.

"Kau tidak usah berbicara seperti itu, Karin." Ino tersenyum sinis.

"Aku hanya memperingatkannya saja."

Suasana semakin dingin. Karin dan Ino, mereka tiba-tiba saling membuang muka sementara Naruto menghentikan tawanya, pemuda berambut kuning itu mengangkat bahu saat aku menaikkan alis padanya untuk bertanya. Ada yang aneh di sini dan aku tak mengerti.

"Jelaskan padaku kenapa aku harus menjauhinya?"

"Dia terlalu sombong dan juga—"

"Sakura tidak begitu, Karin. Dia gadis yang baik." tukas Ino memotong ucapan Karin.

Karin mendelik tajam pada Ino. "Kau selalu membelanya karena kau menyukai Sasori!" balasnya dengan nada tinggi membuat orang-orang di sekitar mulai memperhatikan kami.

"Ini bukan soal aku suka Sasori, aku hanya berkata yang sebenarnya."

Karin menggeram marah, ia mulai kesal dengan Ino yang terus membela si merah muda. "Ino! Apa kau tidak sadar perempuan sialan itu tak menjawab pertanyaan Naruto bahkan saat dia mengkhawatirkannya!"

"Karin—"

Karin menggebrak meja membuat Ino terkejut atas tindakan yang dilakukannya tiba-tiba, kemudian gadis berkaca mata itu berdiri lalu meninggalkan kami tanpa berbicara apa pun.

Setelah kepergian Karin mendadak suasana kelas menjadi ramai, setiap orang kini berbisik-bisik satu sama lain. Naruto meringis sepertinya ia malu semua orang memperhatikan kami, lantas pemuda itu pergi meninggalkan kami berdua dengan alasan membuang sampah.

Aku menoleh ke arah Ino, gadis itu tetap terdiam dengan mata melotot sepertinya ia masih terkejut dengan kejadian yang baru saja terjadi. Aku menghela napas, ini semua salahku, seharusnya dengan melihat keadaan kelas yang tidak peduli terhadap kehadiran Sakura membuatku menyadari bahwa itu adalah hal tabu untuk aku tanyakan, dan aku menyesal telah menanyakan hal itu.

Kemudian aku berdiri menghampiri Ino dan menepuk bahunya pelan. "Maaf." ucapku menyesal.

Ino menoleh ke arahku lalu menggelengkan kepala. "Ini bukan salahmu." ia tersenyum.

"Hn."

Bel berbunyi beberapa menit lagi, aku segera berjalan menuju kursi milikku meninggalkan Ino sendirian. Sekilas aku melirik ke arah Sakura, sedari tadi wanita itu sama sekali tak bergeming bahkan saat teman-temannya berbisik-bisik tentangnya. Pandangannya tetap terfokus pada buku di atas meja. Aku tahu wanita itu mendengar pertengkaran Karin dan Ino karena aku yakin wanita itu tidak tuli.

Haruno Sakura, wanita itu benar-benar membuatku penasaran.

.

.

Aku berjalan menuju balkon. Udara dingin dan riuhnya hujan langsung menyambutku ketika aku membuka pintu apartemen. Aku menyandarkan tubuhku pada pagar pembatas balkon, kurasakan beberapa rintik hujan menyentuh bagian kulitku.

Pemandangan di sini cukup bagus. Terdengar suara dari beberapa kendaraan sederhana yang melewati jalan. Meski malam belum datang, tapi aku bisa melihat lampu-lampu kota sudah menyala, mungkin karena kabut tebal yang menutupi jalanan. Aku benar-benar menikmatinya, terlebih suasana di sini cukup tenang membuatku semakin tenggelam dalam pikiranku.

Tiba-tiba aku mendengar suara ribut di sebelah apartemen milikku, sepertinya mereka sedang bertengkar hebat dan aku merasa terganggu dengan ulah mereka. Suara ribut itu semakin jelas saat hujan mulai mereda membuatku mau tak mau penasaran dengan apa yang sedang terjadi.

Aku beranjak menuju sumber suara. Aku berjalan mendekati dinding balkon, beruntung dinding pembatas ini tidak sepenuhnya menghalangi balkon apartemen satu dengan yang lain. Sehingga dengan sedikit berjinjit saja mempermudah aku untuk melihat balkon apartemen sebelah. Apartemen milik Sasori dan Sakura.

"Aku ingin berteman."

"Tidak! Mereka hanya akan memanfaatkanmu!"

"Itu tidak akan terjadi jika aku berteman dengan mereka!"

Sasori menggeram. "Kau berani membantahku?!" ia menarik kerah baju Sakura dan mengangkatnya tinggi-tinggi membuat wanita itu kesulitan bernapas lalu dengan kasar ia menghempaskan tubuh Sakura hingga punggungnya menubruk tembok dan tersungkur ke lantai membuat hidungnya berdarah karena membentur lantai.

Pemuda berambut merah itu menghampiri Sakura yang tak berdaya. Melepaskan ikat pinggangnya kemudian mencambuk wanita itu dengan keras. Sementara Sakura meringkuk melindungi kepalanya dari cambukan Sasori yang bertubi-tubi.

Aku meringis melihatnya, ini adalah pertama kalinya aku melihat penyiksaan langsung di depan mataku. Dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Rasanya aku ingin menolong wanita malang itu tapi disisi lain aku menolak melakukannya karena bukan urusanku. Yang aku lakukan sekarang adalah terdiam dan menyesali kepengecutanku.

"Ku-Kumohon Sasori..." kulihat Sakura masih tetap berbicara meskipun ia sudah tergeletak lemas di lantai dengan darah yang terus mengalir di hidungnya.

"Diam!" pemuda itu membentaknya lalu merunduk dan menarik rambut merah muda Sakura hingga wajahnya mendongak ke arah Sasori. Sekarang aku dapat melihat jelas bagaimana keadaan wajah Sakura.

Ternyata tak hanya hidungnya yang berdarah, dahi wanita itu pun terdapat luka lebam. Dan aku terperangah saat tiba-tiba Sasori menyeret tubuh Sakura dengan menarik rambutnya tanpa belas kasihan. Kulihat wanita itu meronta-ronta kesakitan sambil memukul-mukul tangan Sasori yang memegang rambutnya.

"Akan aku ingatkan kau bagaimana sakitnya masa lalu."

BLAM

Dan itu perkataan Sasori yang aku dengar sebelum pintu apartemennya menutup dengan sempurna.

Aku menghela napas berat, tiba-tiba saja aku merasa bersalah karena tak menolong wanita itu. Tapi aku benar-benar tidak mau terlibat masalah dengan mereka. Jadi sebaiknya aku diam saja.

Sepertinya hujan kembali turun, angin dingin berhembus kencang dan semakin menusuk tulang. Aku tidak mau jatuh sakit, masih banyak hal yang harus aku selesaikan di tempat ini. Lalu aku kembali ke kamar setelah sebelumnya menutup pintu kaca balkon dan menutup tirainya.

Aku berjalan menuju ruang tamu, menatap sofa putih itu dengan intens. Kemudian aku merebahkan tubuhku di atasnya dan mencari posisi nyaman untuk berbaring. Pikiranku kembali mengingat kejadian yang baru saja terjadi.

Pertengkaran dan penyiksaan. Aku benar-benar penasaran kenapa laki-laki berambut merah itu melakukan hal kejam pada adiknya sendiri. Lagi pula, apa maksudnya dengan kesakitan di masa lalu? Apa mereka berdua pernah menderita tapi jika sendainya itu benar, mengapa Sasori menyiksa Sakura begitu kejam. Dan kenyataannya Sasori lah yang melarang Sakura berteman hingga membuat wanita itu dijauhi oleh teman sekelasnya.

Ini memang bukan urusanku. Tapi ketika melihat wajah Sakura yang tersakiti, entah kenapa aku merasa ingin melindunginya. Haaah bodoh, apa yang aku pikirkan. Bahkan ini belum sehari aku betemu dengan wanita merah muda itu. Tidak mungkin aku tertarik dengannya 'kan?

"Tapi..."

Aku menggelengkan kepala lalu menutup kepala dengan bantal menekan-nekan keras mencoba menghilangkan pikiran aneh yang kembali muncul di kepalaku.

TOK TOK TOK

Suara ketukan pintu terdengar dari arah luar. Aku membuka pintu dan melihat Itachi yang menenteng dua buah kantung plastik besar dengan tubuh menggigil kedinginan. Itachi menyerahkan kantung plastik itu dan segera membuka mantel basahnya lalu pergi ke arah dapur.

"Kau tidak bekerja?" aku melihat Itachi tengah menuangkan susu bubuk ke dalam gelas yang baru saja diambilnya. Saat ini ia telah mengganti seragam polisinya dengan kaos milikku. Dan itu pertanda buruk.

"Aku sudah pulang," Itachi meraih termos di sampingnya lalu menuangkan air panas itu dengan hati-hati. "Dan malam ini aku ingin menginap di apartemenmu."

Aku mendecih, sudah kuduga.

"Apa ini?" tanyaku penasaran dengan isi kantung plastik yang Itachi bawa. Sepertinya banyak sekali.

"Oh itu," dia mengaduk susu panas yang baru saja diseduhnya dengan mata melihat ke arahku. "Aku membelikanmu tomat dan yang satu itu untuk tetangga barumu sebagai ucapan halo."

Aku mendengus kasar. "Dasar."

Itachi berjalan ke arahku lalu duduk di sampingku sembari meletakan segelas susu coklat panas di atas meja. "Kalau kau tidak mau mengantarkannya biar aku saja."

"Hn."

Aku malas untuk sekedar berbasa-basi dengan orang lain. Meskipun aku penasaran dengan apa yang dilakukan mereka berdua sekarang. Apakah Sasori berhenti menyiksa Sakura atau malah semakin menjadi-menjadi. Terserahlah, aku tidak peduli. Sekali lagi, itu bukan urusanku.

"Lagi pula, aku penasaran dengan tetangga bar—"

"Berikan padaku!"

.

...

.

Aku tidak tahu dengan apa yang aku lakukan sekarang. Berdiri sendiri di depan apartemen tetangga dengan memakai payung berwarna mencolok milik Itachi dan menenteng kantung plastik besar seperti orang bodoh.

Aku mengetuk pintu, namun tak ada jawaban sama sekali dari dalam. Sial. Aku tidak mungkin kembali begitu saja setelah menjatuhkan harga diriku di depan Itachi dengan memaksanya memberikan kantung plastik itu untukku antarkan sendiri.

"Permisi."

Aku terus mengetuk pintu berharap seseorang mau membukanya. Setelah menunggu sebentar, pintu terbuka menampilkan sosok pemuda berambut merah dengan hanya berbalut handuk putih yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Orang itu adalah Sasori, dan ia sedikit terkejut ketika melihatku berdiri di depan pintu.

"Bukankah kau teman sekelas Sakura?" ia bertanya dengan wajah menekuk.

Aku tersenyum tipis. "Ya dan mulai hari ini aku adalah tetanggamu." jawabku sambil menunjuk pintu apartemenku.

Sasori tersentak "J-Jadi ada apa?" ia terbata-bata, sementara aku tertawa dalam hati melihat ekspresi wajah pemuda merah itu seolah mendapat kabar buruk setelah mendengar pernyataanku.

"Hanya mengantarkan ini dari kakakku." aku menyodorkan kantung plastik yang berada di sebelah tanganku.

"Ah, terima kasih." Sasori mengambil kantung plastik ditanganku lalu menunduk sebagai tanda terima kasih. kesempatan ini aku gunakan untuk mengintip di balik pundak Sasori melihat apa yang terjadi di dalam.

"Dia...?" aku tercekat ketika melihat Sakura tergeletak di lantai dengan hanya berbalut selimut tebal berwarna putih tulang, meski begitu aku tahu Sakura telanjang bulat di balik selimut karena baju yang dikenakan Sakura tadi berceceran di samping tubuhnya. Iris hijaunya tertuju pada kami berdua dengan pandangan kosong

"O-Oh... D-Dia adikku," Sasori berusaha menghalangi pandanganku dengan maju selangkah ke hadapanku. Aku dapat menangkap nada panik dari suaranya, dan aku tahu dia sedang mencari-cari alasan.

"Sebenarnya dulu orang tua kami meninggal saat hujan, jadi Sakura selalu seperti itu jika hujan. Yah... maksudku, kau tahu," Sasori mendekatkan wajahnya pada telingaku kemudian berbisik, "Sakura sedikit mengalami gangguan jiwa."

Aku terkejut mendengarnya. Bukan karena mengetahui Sakura mengalami gangguan jiwa, tapi karena ucapan Sasori yang berbohong. Oh, astaga... haruskah ia berbohong sampai berlebihan seperti itu? Ini keterlaluan. Bahkan tanpa melihat pun aku tahu Sasori baru saja memperkosa adiknya sendiri.

"Jadi—"

"K-Kalau begitu aku masuk dulu, sepertinya Sakura membutuhkanku." dia memotong ucapanku. Tanpa berusaha bersikap sopan, Sasori menutup pintu apartemennya rapat-rapat tepat di depan wajahku. Sepertinya dia terlalu takut jika aku kembali bertanya macam-macam.

Aku memandang pintu apartemen Sasori, belum berniat meninggalkan tempat ini. Ku hembuskan napasku dalam-dalam kemudian aku berbalik lalu mendongak ke atas langit. Hujan turun semakin deras, meskipun ini di balkon depan apartemen dan aku sudah memakai payung, tapi tetesan ringan hujan yang tertiup angin masih saja menyentuh tubuhku.

Sepertinya badai akan datang.

Jika sudah seperti ini apa yang harus aku lakukan, membiarkan Sakura atau melaporkannya pada Itachi? Ahh... yasudah lah biarkan saja, tidak seharusnya aku terlibat dengan urusan keluarga orang lain. Lagi pula, kita lihat saja apa yang terjadi nanti.

.

.

To be continued

...

Makasih udah baca minna, semoga suka. :D

..

Spesial thanks to:

WonderGirl Dolanan PetakUmpet, sami haruchi 2, ayuniejung, ToruPerri, Kiki Kim, Kazuki Uchiha, azizaanr, Cherryma, Luca Marvell, NenSaku, achi, nchie-aenie, un, V3Banana, Cherry853, niki, IndahP, seoriis sasusaku, wind-chan, Courrielyx, lightflower22, Kiki RyuSullChan, paijo, Arisha Kyou, SantiDwiMw, loooveee, ArtemisArcherGirl3008, undhott, Hime809, Hime Tsubaki, Whitefox.