Himawari memasuki penthouse keluarganya, dengan menyandang sebuah ransel oranye terang di kedua bahunya. Sekujur tubuhnya terasa lemas, sesudah menghadiri upacara penutupan peti di sebuah rumah duka—untuk mengutarakan rasa bela sungkawanya pada seorang teman yang baru saja kehilangan ayahnya.

Ia sangat bersyukur karena masih memiliki keluarga yang utuh. Ayah, Ibu dan seorang kakak yang selalu ada bersamanya.

Ayahnya adalah seorang CEO Namikaze corp yang sangat sukses dalam segala bidang. Sedangkan sang Ibu bekerja di sebuah rumah sakit terbesar di Tokyo—dengan memegang jabatan sebagai salah satu dokter spesialis anak. Walaupun mempunyai berbagai macam kesibukan, keduanya selalu berusaha meluangkan waktu untuk berkumpul bersama kedua anaknya.

Dan, bicara soal kakaknya... dimana dia sekarang? Apakah kakaknya sudah pulang terlebih dahulu?

Dengan takut, Himawari mulai menyerukan nama sang kakak. "Kak Boru?"

Tak ada jawaban.

Kakaknya memang belum pulang.

Ia melangkah menuju kulkas, untuk mengambil segelas minuman dingin. Kedua netranya menangkap sebuah notes yang tertempel di pintu kulkas.

Hima, tolong buatkan makan malam untuk kakakmu. Ayah dan Ibu akan pulang terlambat. Ada kare di kulkas untuk makan siangmu.

Ia menghembuskan napas berat. "Lebih baik aku memanaskan kare sekarang."

Himawari bergegas mengambil panci dan spatula yang tersusun di rak piring—yang berada tepat di atas kepalanya. Sesudah mempersiapkan peralatan masaknya, sang bungsu Uzumaki pun mengambil semangkuk penuh kare di dalam kulkas, lantas menuangkan karenya ke dalam panci—yang sudah berada di atas kompornya.

Ia mengambil spatulanya, dan mulai mengaduk kare yang tengah dipanaskan dengan cekatan. "Kenapa Kak Boru belum pulang, ya? Sekarang, kan, sudah jam pulang sekolahnya."

Setelah dirasa cukup hangat untuk dimakan, sang gadis indigo mengangkat kedua pegangan panci dengan sebuah lap basah, lalu menuangkan kare yang sudah dipanaskan ke dalam sebuah mangkuk berukuran sedang.

Tak lama kemudian, Himawari keluar dari dapurnya dengan membawa semangkuk kare—yang sudah dipisahkan dengan kare yang disimpan di rak makananlalu duduk di meja makan dengan tenang.

"Itadakimasu."

Himawari menghela napas berat, menyadari kalau tidak akan ada yang membalasnya.

Ia menyantap karenya dalam diam. Hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan mangkuk. Sesudah menghabiskan kare di mangkuknya, sang gadis indigo memandang sisa kare yang tersimpan di dalam rak makanan.

"Lebih baik kusisakan untuk Kak Boru saja," Ia membereskan piring kotornya, seraya melirik jam dinding, "aku tidak akan sempat membuatkan makan malam untuknya, karena aku harus mengerjakan tugasku sekarang."

Setelah menyelesaikan cucian piring kotornya, Himawari bergegas masuk ke kamarnya, mengambil sebuah laptop bercase ungu yang tersimpan di lemari kacanya, lalu membawanya ke ruang keluarga. Tugas perdananya sebagai manager club sepak bola sekolah—yang baru—memang harus segera dikerjakan.

Ia baru saja akan menghempaskan tubuhnya ke couch, sebelum ponsel yang berada dalam saku roknya bergetar hebat, menandakan ada sebuah telepon yang masuk.

Tanpa ragu, Himawari merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya, dan melihat nama sang penelepon yang tertera di layar ponselnya.

Wakaba-senpai.

Oh, kakak kelasnya yang merupakan manager club sepak bola sekolah yang terdahulu.

Dalam sekejap, Himawari sudah menekan tombol answer dan menempelkan layar ponselnya ke telinganya. Ia berdehem pelan, sebelum menjawab telepon dari kakak kelasnya. "Halo, Senpai..."

"Halo, Hima." Himawari menengadah, dan mendengarkan ucapan kakak kelasnya dengan seksama. "Jangan lupa untuk membuatkan data pemesanan kostum untuk para member baru, ya."

Himawari bergumam pelan, seraya merebahkan tubuhnya ke couch dan menaruh laptopnya di atas meja. "Ya, aku tahu."

"Aa. Terima kasih."

Ia membalas ucapan terima kasih seniornya dengan gumaman, dan telepon diputus.

Himawari melemparkan ponselnya ke sembarang tempat, dan menghempaskan tubuhnya ke bantalan couch dengan matanya memandang layar laptopnya dengan tatapan kosong, sebelum sebuah ketukan di pintu memecahkan keheningan.

TOK! TOK! TOK!

Himawari mengernyit heran. Tidak biasanya sang kakak mengetuk pintu sebelum masuk ke dalam apartment. Ada apa?

"Kak?"

Yang menjawabnya hanyalah ketukan di pintu.

TOK! TOK! TOK!

"Kakak?"

Tak ada yang menyahut.

Himawari bangkit dari couch, dan memutuskan untuk menghampiri kakaknya yang mungkin saja kesulitan membuka pintu. "Kak Boru, kenapa—"

Namun, Himawari tidak bisa menemukan sosok kakaknya di depan pintu.

Ia justru mendapati seorang petugas kantor pos tengah berdiri di depan pintunya, dengan sebuah paket berbentuk kotak. Sang petugas kantor pos membungkuk sopan. "Permisi, selamat sore. Apakah Anda... Nona Uzumaki?"

Himawari berdehem pelan. "Ya. Ada apa?"

"Saya mengantarkan paket untuk Nyonya Uzumaki Hinata." Ia menyerahkan paket yang dibawanya pada sang Tuan rumah.

Himawari mengernyit.

Untuk Ibu? Mungkin dari Bibi Hanabi.

"Oh. Terima kasih." Himawari lantas menerima paket yang diberikan oleh petugas kantor pos, dan mengamati nama pengirim yang tertera di atas paket.

Hanabi Sarutobi.

Ah, ternyata memang bibinya.

Sebelum sang Tuan rumah sempat menutup pintunya, sang petugas kantor pos menyerahkan sebuah pena dan selembar kertas untuk ditandatangani. "Nona, tolong bubuhkan tanda tangan Anda di sini."

Himawari mengambil pena yang disodorkan oleh sang petugas pos, dan menandatangani kertas tanda terima paket kiriman.

"Baiklah. Terima kasih, Nona."

Sesudah sang petugas pos menghilang di balik lift, Himawari menutup pintunya, lalu melangkah menuju kamar kedua orang tuanya untuk menaruh paket kiriman yang dikirimkan oleh bibinya.

Ia bergegas kembali ke ruang keluarga—setelah menaruh paket kiriman dari bibinya di kamar orang tuanya—untuk melanjutkan tugasnya.

Tak ada yang berubah.

Hanya ada sebuah laptop yang menyala, dan sebuah ransel oranye polos tergeletak di samping kaki meja.

Ia menghela napas panjang, dan memutuskan untuk mengerjakan tugasnya. Sang gadis indigo duduk bersila di atas couchnya, mulai mengetik dengan tenang—dan sesekali melirik jam dinding yang berada tepat di atas televisinya. Jarum panjang jam mengarah pada angka dua belas, sedangkan jarum pendeknya menunjuk angka enam.

Himawari memukul sandaran tangan couchnya dengan kencang. "Dasar menyebalkan!"

.

.

.

.

Chapter 1: Teror

Boru Among Shika and Hima © berithslies

Shikadai N. — Himawari U.

Warning: AU, Typos, Crackpair!

.

.

.

.

Boruto menghentikan laju motornya tepat di lapangan parkir apartment yang berjarak sepuluh langkah dari gedung apartment, kemudian melepaskan helmnya. Sesudah memastikan motornya sudah terparkir dengan sempurna, Boruto membenarkan lengan ranselnya yang merosot ke lengan, dan melangkah menuju apartment.

Hembusan angin dari air conditioner menerpa tubuhnya, menyebabkan rasa sejuk yang sangat kontras dengan udara di luar sana. Ia melangkahkan kakinya menuju lift utama yang berada di belakang meja resepsionis.

Pintu lift terbuka tepat ketika Boruto menghentikan langkahnya. Tak ada seorangpun di dalamnya.

Ia lantas memasuki lift, dan menekan tombol P yang terdapat pada opsi tombol lantai—untuk menuju ke penthouse keluarganya yang berada di lantai teratas apartment.

.

.

.

.

TING!

Pintu lift terbuka, menampilkan halaman penthouse yang dipenuhi berbagai jenis bunga yang dipelihara di dalam pot.

Boruto melangkah keluar dari lift, dan berjalan menuju penthousenya. Ia membuka pintu—begitu langkahnya terhenti di depan pintu, kemudian berlutut sejenak untuk melepaskan sepatu sekolahnya.

"Aku pulang!"

Tak ada jawaban.

Kedua orang tuanya memang baru akan pulang dalam satu jam ke depan. Namun, bagaimana dengan adiknya?

Ia melangkah menuju ruang tamu. Kondisi ruang tamu gelap gulita, tanpa penerangan. Boruto mengusap tengkuknya, guna menenangkan bulu kuduknya yang berdiri.

"Halo, apakah ada orang?"

Tak ada jawaban. Tak ada.

Boruto melangkah menuju ruang keluarga—yang tampak kosong. Hanya tampak seberkas cahaya yang berasal dari layar laptop berbalut case ungu pudar yang cukup tebal. Ia menghela napas lega. Adiknya sudah pulang ke rumah dengan selamat.

"Hima, kau di sana?"

Ia melangkahkan kaki menuju sumber cahaya yang berasal dari laptop adiknya. Matanya menangkap sesosok gadis manis berambut indigo tengah tertidur dengan nyenyak di atas couch. Adiknya.

"Ya ampun. Kau lupa mematikan laptopmu, dan bahkan, belum berganti pakaian. Dasar ceroboh." Boruto menatap layar laptop yang menyala—mempertontonkan hasil kerja sang empunya yang sedang terlelap.

Kedua netranya menangkap sebuah judul yang dibold, berukuran dua kali lipat lebih besar dibanding kata yang lain, dan letaknya berada di tengah halaman lembar kerjanya. "Sekarang tugas apa, heh? Data pemesanan kostum peserta club sepak bola?"

"Sejak kapan kau menjadi manager club sepak bola sekolahmu?" Kedua alisnya bertaut, "kau sudah mulai merahasiakan kegiatanmu padaku, rupanya."

Boruto mengulurkan tangan, lalu mengusap rambut ahoge sedada sang adik yang tampaknya sangat nyenyak. Ia berbisik dengan sangat lembut. "Aku pulang, hime."

"Kau pasti kelelahan, ya?" Boruto baru saja akan mengangkat tubuh sang adik ke kamarnya, sebelum kedua mata safirnya terbuka.

Himawari mengusap kedua matanya yang terasa berat, lalu memandang kakaknya dengan sayu. "Hmph—kau sangat terlambat. Aku akan melaporkanmu pada Ayah dan Ibu, kalau kau pulang terlambat besok."

Boruto melotot.

"A-apa? Aku terlambat, karena aku punya sebuah urusan penting, tahu."

Himawari berdecak kesal. "Sudahlah, mengaku saja. Kau pulang terlambat karena bermain sepak bola dulu, kan?"

Boruto baru saja akan menyangkal ucapan adiknya. Namun, Himawari sudah terlebih dahulu menyahut. "Aku sudah lelah berdebat denganmu. Aku masuk ke kamarku, ya. Aku harus mengerjakan tugas sekolahku. Kalau kau mau makan, kau bisa memanaskan kare yang ada di rak makanan."

Mau tak mau, Boruto mengalah pada adiknya, dan membiarkan adiknya beranjak menuju kamarnya. "Ya, terima kasih, hime."

Himawari hanya mengacungkan jempolnya, lalu bergegas masuk ke dalam kamarnya—dengan menenteng ransel dan laptopnya.

BLAM!

Pintunya tertutup rapat.

.

.

.

.

Himawari menutup laptopnya, begitu selembar kertas keluar dari printernya. Ia sudah menyelesaikan data pemesanan kostum untuk para member baru club sepak bola sekolahnya. Sesudah memastikan tak ada kesalahan pada lembaran datanya, Himawari memilih untuk duduk di meja belajarnya. Ia harus menyelesaikan tugas matematikanya untuk dikumpulkan besok.

Ia baru saja akan membongkar ranselnya, sebelum terdengar suara engsel pintunya dibuka. Kepala pirang Boruto menyembul dari balik pintunya. Ia memasang wajah memelasnya, dan menyuarakan rengekan—yang selalu menjadi kelemahan adiknya. "Hime, boleh aku menumpang di kamarmu? Kamarku berantakan. Aku malas merapikan kamarku."

Himawari bergumam, tanpa menolehkan kepalanya, "Masuklah. Aku akan merapikan kamarmu nanti."

"Aku tidak bermaksud untuk memintamu merapikan kamarku, lho, Hima." Boruto melangkah mendekat, setelah sebelumnya menutup pintu rapat.

Himawari meraih ranselnya yang tergeletak di kaki meja, lalu memangkunya untuk mengeluarkan buku tulis matematikanya. "Sudahlah. Aku memang tulus mau membantumu merapikan kamarmu."

Boruto merengkuh tubuh ramping adiknya—dari belakang—dengan erat. "Kau memang adik terbaik yang pernah kupunya!"

Kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyuman tulus.

"Not a big deal, brotha."

Pada detik berikutnya, Himawari sudah mendorong tubuh kakaknya menjauh. "Sudah, sana. Jangan membuatku repot."

Boruto melangkah menuju tempat tidur bertemakan ungu milik adiknya, lalu menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur sang adik—yang berbalut bed cover ungu. Ia mengamati adiknya yang tampak sibuk membongkar ranselnya.

"Hima, kau sudah makan atau belum? Aku akan mengambilkan makanan untukmu, kalau kau mau."

"Aku sudah makan, kok. Tenang saja, Kak."

"Kalau kau sudah makan, kenapa kau masih kurus? Kau bisa mudah terserang penyakit kalau tubuhmu sekurus—"

Sang bungsu Uzumaki berdecak kesal. Ia nyaris melempari kakaknya dengan kalkulator yang terdapat di atas meja belajarnya, kalau saja lupa harus membawanya ke sekolah besok. "Ck. Berhentilah menghinaku. Ukuran tubuhku normal, tahu."

"Kau tampak sangat kurus, ketika berada dalam pelukanku."

Himawari memutar matanya malas. "Oh, baiklah. Kau jangkung dan aku pendek. Sudah puas?"

Boruto terkekeh. "Wah, kau mengaku pendek, ya? Tumben."

Himawari hanya bergumam untuk menjawab ejekan sang kakak. Ia mengeluarkan sebuah buku tulis dari dalam ranselnya—buku tulis matematika. Tanpa sengaja, kedua netranya menangkap adanya secarik kertas yang terselip di sela buku tulisnya. Ia memutuskan untuk mengambil secarik kertas yang terselip di sela buku tulisnya.

Siapa tahu ada suatu informasi yang penting di sana. Siapa tahu.

Nyatanya, Himawari hanya menemukan sebaris kalimat berupa ancaman yang ditulis dengan spidol merah.

Kau akan menderita selama kau masih bersama dengan Bolt.

"Pesan teror lagi, ya..."

Yah, semenjak kedatangan Boruto ke sekolahnya—untuk menjemputnya, puluhan gadis di sekolahnya mendadak mengidolakan sosok kakaknya. Beberapa orang menuduhnya memiliki hubungan khusus dengan sang kakak. Alhasil, Himawari selalu membawa pulang belasan pesan teror bersamanya.

Himawari membuka jendela kamarnya, lalu menerbangkan pesan teror yang sudah dilipatnya menjadi pesawat kertas. "Aku sudah bosan."

Baru saja membuka buku tulisnya, Himawari kembali menemukan secarik kertas dengan tulisan berwarna merah di dalam sampulnya.

Jauhi Bolt sebelum kau menyesal.

Himawari berdecak. Asal kau tahu saja, aku tidak pernah takut dengan ancamanmu.

Ia meremas secarik kertas—yang baru saja dibacanya—dan melemparnya ke dalam tempat sampah. Berusaha mengabaikan pesan teror terakhir yang diterimanya, Himawari memutuskan untuk membuka kotak pensil baby pinknya.

Siapa sangka akan menemukan sebuah perkamen berwarna biru dalam kondisi terlipat, kan?

Astaga, masih ada yang lain, kah?

Dengan jengkel, Himawari membuka lipatan perkamen birunya, guna mengetahui pesan yang hendak disampaikan padanya.

Jauhi Bolt, dekati aku.

Tubuhnya mendadak membeku. Bukan sebuah pesan teror seperti yang biasa diterimanya. Namun, hanya sebuah surat cinta sederhana yang—tentu saja—ditujukan padanya.

"Dasar maniak," desis Himawari, sembari melemparkan perkamen biru berisi surat cinta untuknya ke dalam tempat sampah.

Ia tidak menyadari, kalau ada sepasang safir jernih yang memperhatikan semua perilakunya.

"Kenapa kau membuang semuanya, hm?"

DEG!

Bisa gawat kalau kakak tahu aku mendapatkan banyak pesan teror karenanya.

Himawari mengangkat kedua sudut bibirnya, membentuk sebuah senyuman manis—yang terkesan sinis. "Ah—tidak terlalu penting. Lagipula, aku sudah membacanya."

Boruto tampak mengangkat sebelah alisnya, tak percaya.

Bodoh. Aku memang tidak pandai berbohong, batin Himawari.

"Jangan bohong. Perlihatkan padaku."

"Ano, tidak terlalu penting, kok. Kau tidak perlu membacanya."

Boruto menekankan kalimatnya, "Perlihatkan padaku, sekarang."

Himawari menghela napas panjang, lalu melayangkan tatapan tajam pada kakaknya. "Semuanya sudah kubuang—"

"Pungut."

Himawari mendengus kesal. Boruto memang sangat keras kepala—tidak ada gunanya berdebat dengan seseorang yang pandai berbicara seperti kakaknya. Ia bangkit dari kursinya, memungut beberapa kertas yang sudah berada di tumpukan sampah.

"Mana? Berikan padaku, aku mau lihat."

Tch. Keras kepala. Ia menyerahkan dua kertas teror yang baru saja dibuangnya pada Boruto—dengan amat terpaksa.

Kedua mata Boruto membelalak, sesudah membaca pesan berupa ancaman yang tertera di kertasnya. "Jadi, ada yang mengirimkan pesan teror padamu?"

"Hm, begitulah."

Tatapan Boruto melembut. Ia meraih pergelangan tangan Himawari—memintanya untuk duduk di sampingnya. "Kalau kau merasa tidak nyaman, aku bisa meminta Ayah untuk memindahkanmu ke sekolahku."

Himawari menghempaskan tubuhnya di samping sang kakak, lalu menghembuskan napas berat. "Sebenarnya, aku masih mampu menahan diri. Jadi, tidak masalah bila aku tetap bersekolah di sana."

"Jangan memaksakan diri. Aku tahu kau sudah tidak nyaman berada di lingkungan sekolahmu. Lagipula, kalau kau bersekolah di sekolah yang sama denganku, aku bisa mengawasi pergaulanmu."

Tidak. Akan jadi mimpi buruk.

"Lebih baik aku tetap bersekolah—"

"Kalau kau masih bersikeras untuk bertahan di sekolahmu, aku akan melaporkanmu pada Ayah."

"Ayah belum—"

Boruto memotong ucapan adiknya dengan cepat. "Ayah sudah pulang."

"—pulang. Pokoknya, aku tidak mau!"

Himawari bangkit dari tempat tidurnya, hendak melarikan diri dari sang kakak yang bisa saja berbuat nekat—dengan menyeretnya pada ayahnya. Namun, Boruto segera mencengkeram pergelangan tangan sang adik, sebelum sang empunya tangan berhasil melarikan diri darinya.

"Ikut aku, sebelum aku menyeretmu secara paksa pada Ayah."

.

.

.

.

Himawari berusaha menghentak tangan kirinya—yang berada dalam cengkeraman sang kakak. "Kau sakit jiwa. Lepaskan aku!"

"Diamlah, hime. Kau harus tunduk pada kakakmu."

Boruto menuntun adiknya menuju ruang keluarga—tempat dimana kedua orang tuanya biasa bertemu selepas bekerja. Ia mendapati ayahnya sedang membaca koran, kedua alisnya bertaut ketika membaca sebuah artikel yang terdapat di pojok kanan koran. Tanpa sang istri bersamanya.

Namun, Boruto mengendus aroma teh yang menenangkan menguar dari dapurnya—yang letaknya sangat berdekatan dengan ruang keluarga. Ibunya sedang menyeduh teh chamomile untuk ayahnya.

"Lepaskan aku!"

Boruto menghempaskan tubuh sang adik ke couch ungunya—secara paksa, kemudian mencengkeram lututnya untuk meminimalisir pergerakan adiknya. "Hime, duduklah."

"Akh, lepaskan aku!"

Naruto mengangkat kepalanya, memandang kedua anaknya—yang tampaknya datang dengan membawa sebuah masalah. "Bolt, Hima, ada apa?"

Keduanya membeku untuk beberapa sekon, sampai akhirnya Boruto memutuskan untuk angkat bicara.

"Aku—ehm, kami mau bicara."

Naruto tampak mengangkat sebelah alisnya, seolah menanyakan kebenaran ucapan putra sulungnya.

Boruto tampak berbisik pada sang adik, yang sudah memandangnya dengan tatapan tajam—penuh kekesalan. "Sudah, diam saja."

Himawari yang sudah merasa tak enak hati pada ayahnya, hanya mampu menunduk dan menatap kedua kakinya dalam diam.

"Begitu, ya..." Naruto melipat kembali koran yang sedang dibacanya, lantas melepaskan kacamata minus yang melindungi kedua netranya.

"Baiklah, silahkan. Ayah akan mendengarkan." Ia memandang kedua anaknya bergantian—menantikan salah seorang dari mereka yang bersedia menjelaskan topik yang hendak mereka bicarakan.

Boruto merapatkan tubuh sang adik padanya, "Aku meminta dengan sangat pada Ayah. Tolong pindahkan Hima ke sekolahku."

Ia mendorong tubuh Boruto untuk menjauh darinya, seolah sang kakak adalah virus yang sangat berbahaya. "Kak, lepaskan aku..."

Naruto—yang sudah terbiasa dengan keakraban kedua anaknya—hanya tersenyum tipis. Ia menyatukan kedua tangan, lalu menopang dagunya dengan kepalan tangan. "Ada apa? Apa yang salah dengan sekolahnya yang sekarang, hm?"

"Sebenarnya, tidak ada yang—"

Boruto memotong ucapan adiknya dengan cepat. "Sekolahnya bermasalah. Beberapa orang membullynya dengan mengirimkan banyak pesan teror padanya."

Pandangan Naruto teralih pada sang putri bungsu. "Kenapa mereka mengirimkan pesan teror padamu?"

Boruto mengepalkan tangan dengan geram. "Mereka mengira aku adalah kekasihnya. Jadi, mereka mengirimkan pesan teror yang memaksanya untuk memutuskan hubungan denganku."

"Benar apa yang kakakmu katakan, nak?"

Hinata—yang mendadak datang dari dapur dengan secangkir teh chamomile—menepuk kepala sang putri bungsu, lalu mengusapnya dengan penuh kasih. Ia menyerahkan cangkir tehnya pada sang kepala keluarga, yang tengah mendengarkan keluh kesah kedua anaknya dengan seksama.

"Anata, tehmu."

"Ya, terima kasih, hime." Naruto mengangkat cangkir tehnya—yang terasa hangat, lalu meniup asap kecil yang mengepul di atasnya. Setelah dirasa cukup hangat untuk diminum, Naruto mulai menyesap tehnya sedikit demi sedikit.

Himawari berusaha meyakinkan kedua orang tuanya. "Bukan begitu, Bu. Aku—"

"Aku bisa memberikan buktinya kalau kalian tidak percaya." Boruto memperlihatkan dua kertas teror yang disembunyikan di saku celananya. Ia menyerahkan sebuah kertas pada sang Ibu, yang masih setia berdiri di samping ayahnya.

Jauhi Bolt sebelum kau menyesal.

Hinata menutup mulutnya, tak percaya. "Astaga..."

Ia menatap kedua mata—yang sewarna dengan mata suaminya—dengan cemas. "Kenapa kau tidak pernah mengadukan mereka pada Ibu?"

"Kalian bisa mencari bukti lain di tempat sampahnya, pasti semua dibuang ke tempat sampah," Boruto memandang kedua orang tuanya bergantian, "yeah, walaupun ada beberapa yang didaur ulang olehnya menjadi pesawat kertas dan diterbangkan."

Melihat respon positif yang diberikan oleh sang Ibu, sang sulung Uzumaki semakin gencar membujuk kedua orang tuanya untuk memindahkan adiknya ke sekolahnya. "Lagipula, kalau Ayah dan Ibu memindahkan Hima ke sekolahku, aku bisa lebih mudah menjaga dan mengawasinya."

Naruto—yang hanya mendengarkan usulan putra sulungnya—pun memutuskan untuk angkat bicara. "Usulmu bagus, masuk akal. Bagaimana, Hima? Apa kau setuju dengan usul kakakmu?"

Himawari hendak mengajukan protesnya pada ayahnya—sebelum sang kakak menginjak kakinya tanpa ampun, memaksanya menyetujui usulan yang dia ajukan. Ia meringis kesakitan, seraya mendelik tajam pada kakaknya. "Aw—ya, aku setuju."

Boruto tersenyum puas.

"Keputusan yang bagus, hime. Aku akan mengurus surat kepindahanmu dan segala keperluanmu. Yang perlu kau lakukan hanyalah mempersiapkan diri."

Himawari mendengus, "Hm. Terima kasih."

Boruto tersenyum simpul. Ia menepuk kepala indigo adiknya dengan lembut, lalu mengacak rambutnya. "Masuklah ke kamarmu. Aku akan menyusulmu nanti."

Himawari menuruti ucapan kakaknya—yang lebih pantas disebut perintah—untuk masuk ke kamarnya. Ia berjalan menuju kamarnya dengan langkah gontai. Beberapa menit kemudian, sudah terdengar suara pintu yang tertutup rapat.

"Bolt, kau yang sudah menyarankan pada Ayah untuk memindahkan adikmu ke sekolahmu." Naruto menatap putra sulungnya dengan tegas, "berjanjilah, kau akan menjaga adikmu dengan baik."

"Percayakan padaku, Ayah."

.

.

.

.

Himawari membaringkan tubuhnya di tempat tidur dengan nyaman. Ia mendengus kesal. "Ck. Dia selalu saja mengaturku sesuka hati."

Ia baru saja akan memejamkan kedua matanya, sebelum kakaknya mendadak masuk ke kamarnya—dengan wajah riang nan gembira.

BLAM!

"Hime, aku punya sesuatu untukmu!" Boruto memperlihatkan satu set seragam sekolah, lengkap dengan atributnya—yang tergantung di hanger—padanya dengan penuh semangat.

Himawari sontak membulatkan matanya, tak percaya. Bagaimana bisa kakaknya mendapatkan satu set seragam sekolah dalam waktu kurang dari satu jam? Lagipula, sekarang, kan, sudah malam. Memangnya ada sekolah yang buka dua puluh empat jam?

Seolah memahami pemikiran sang adik, Boruto segera membuka mulutnya untuk memberikan penjelasan padanya. "Aku meminjam seragam temanku. Dia punya dua set seragam. Nanti aku akan membelikanmu seragam yang baru, kalau kau sudah masuk sekolah."

"Kau yakin ukuranku sama dengan ukuran temanmu?"

Boruto menaruh satu set seragam yang sudah dipinjamnya di atas meja belajar sang adik. "Aku yakin seratus persen. Tenang saja, pilihanku tidak akan salah."

"Oh, ya. Aku sudah mengambilkan buku lamaku untuk kau bawa ke sekolah besok. Sebentar, ya." Boruto melangkah keluar dari kamar—dan kembali dengan sekardus besar buku pelajaran. Ia menaruh kardusnya di hadapan Himawari, membiarkan sang adik mengamati buku lamanya.

Himawari mengamati beberapa buku pelajaran yang berada pada tumpuka teratas. Tampilan luarnya bersih, begitu pula dengan bagian dalam bukunya. "Bukumu masih bagus. Kukira bukumu sudah dipenuhi coretan."

"Hm, tentu saja. Aku nyaris tidak pernah membacanya—ups!" Boruto menutup mulutnya rapat.

Sebuah sentilan halus mendarat di kening Boruto, membuat sang empunya terlonjak kaget. "Dasar pemalas."

"Lalu, buku apa saja yang harus kubawa besok?"

"Ah, kau benar! Aku sudah menanyakan jadual pelajaran untuk kelas X pada temanku." Boruto memberikan selembar kertas—yang sudah berisi list mata pelajaran yang akan dipelajari oleh adiknya besok.

Himawari memandang kakaknya dengan tatapan yang sulit diartikan, seraya menyusun buku pelajaran yang harus dibawanya besok. "Aku curiga padamu. Sebenarnya, siapa teman yang kau maksud? Kenapa dia tampaknya serba tahu, hm?"

Boruto mendelik tak terima. "Sudahlah, jangan banyak tanya. Ayo, cepat susun bukumu. Kau harus tidur lebih awal."

Ia menyeret Himawari menuju tempat tidurnya, untuk mengalihkan perhatian sang adik.

"Kau mengalihkan pembicara—"

"Cepatlah, kau harus tidur sekarang, tahu," Boruto menarik selimut oranye milik Himawari sampai sebatas lehernya. Ia mengusap kening adiknya dengan lembut, "selamat malam, hime. Semoga mimpimu indah, ya."

"Hm. Selamat malam, anata," ledek Himawari, sembari menjulurkan lidahnya.

Boruto melotot. "Pst, aku bukan suamimu, tahu."

"Kau selalu mau sejajar dengan Ayah, kan? Makanya aku menyebutmu anata, agar kau sama dengan Ayah."

"Aku matikan lampumu." Boruto memilih untuk mengabaikan ejekan adiknya, dan menekan saklar lampu yang berada di sebelah pintu—sebelum beranjak keluar dari kamar bernuansa ungu milik adiknya.

.

.

.

.

Hinata—yang tengah membuatkan susu untuk sang kepala keluarga—menoleh sejenak pada putra sulungnya yang baru saja keluar dari kamarnya. "Bolt, dimana adikmu?"

Boruto menepuk dahinya, lalu memandang sang Ibu dengan panik. "Astaga. Aku yakin dia belum bangun sekarang."

"Kau bujuk dia, ya?" pinta Hinata, seraya menatap putranya dengan penuh harap.

"Roger!"

Boruto melemparkan ranselnya ke sembarang tempat, lalu bergegas menuju kamar adiknya yang berseberangan dengan kamarnya. Ia tidak mau adiknya datang terlambat di hari pertamanya.

Benar saja, ketika dia melangkah masuk, kamar adiknya masih dalam kondisi gelap gulita. Ia segera menyibak horden ungu yang menghalangi sinar matahari, kemudian mendekati adiknya yang masih bergelung dengan nyaman di dalam selimutnya. "Hime, bangunlah. Kau tidak mau menemaniku sarapan, ya?"

Himawari merapatkan selimut oranyenya. Ia membenamkan wajahnya di bantal—mengabaikan seruan kakaknya. "Hm. Lima menit lagi..."

"Putri tidurku, bangunlah." Boruto menangkup wajah bulat adiknya, mencubitnya dengan gemas.

Himawari tak bergeming.

Boruto berdecak kesal. Adiknya memang sangat sulit untuk dibangunkan di pagi hari.

"Kalau kau tidak bangun, aku akan menyiramkan air panas ke wajahmu," ancam Boruto dengan sarkatis.

Boruto menghela napas panjang, melihat adiknya yang justru semakin gencar bergelung di dalam selimutnya. "Kau masih tidak mau bangun?"

"Baiklah, aku akan melakukan kekerasan padamu."

Cup! Cup! Cup!

Boruto menghujami wajah manis adiknya dengan ciuman sayang.

Himawari sontak terbangun, dan membuka kedua matanya perlahan. Ia berusaha menjauhkan tubuh sang kakak darinya—dengan mendorong kedua bahunya. Namun, tampaknya, kakaknya memang tak terkalahkan.

"Hng, sudah. Sudah cukup, Kak."

Cup! Cup! Cup!

Himawari berusaha bangkit dari tidurnya, seraya melambaikan tangan—tanda menyerah. "Baiklah, baik. Aku menyerah. Kau memang keras kepala."

Boruto mengangkat kepalanya. "Oh. Aku sudah menang, ya? Aku menang terlalu cepat."

Himawari hanya merengut, dan menatap kakaknya dengan sayu. Boruto hanya tertawa, seraya membantu sang adik untuk bersandar pada headboard kasurnya.

"Mandilah. Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu. Kurang baik apa aku sebagai kakakmu?"

Himawari mendengus, lalu mengecup sayang pipi sang kakak. "Ya, ya. Kau memang kakak terbaik yang pernah kupunya."

Ia beranjak menuju kamar mandi pribadinya—yang terdapat di dalam kamarnya, lalu mendorong kedua pundak kakaknya agar menjauh darinya. "Sudah, sana. Aku mau mandi. Jangan dobrak pintu kamar mandiku, ya."

"Aku akan menyiapkan seragam sekolahmu. Jadi, cepatlah sedikit."

.

.

.

.

Himawari keluar dari kamar mandinya—dengan mengenakan handuk kimono untuk menyerap air di sekujur tubuhnya, lalu melilitkan sebuah handuk kecil di kepalanya. Ia mendapati seragam sekolahnya sudah terlipat dengan rapi di atas meja belajarnya. Ternyata, Boruto memang tak terlalu buruk dalam hal merapikan pakaian.

Setelah tubuhnya sudah kering total, Himawari mengambil seragam sailor putih—dengan kerah oranye—tanpa lengan yang berada di tumpukan paling atas, kemudian memakainya. Tak lupa, menyematkan sebuah pita biru di dadanya, tepat di bawah kerah seragamnya.

Rok oranye menjadi bagian selanjutnya. Ia memakai rok oranye yang hanya sebatas pertengahan pahanya. Dalam beberapa menit kemudian, sepasang sarung tangan putih—dengan gulungan pada siku berwarna oranye—sudah melekat sempurna di kedua lengan kurusnya.

Seragam sekolahnya memang didominasi oleh warna oranye, membuatnya teringat akan warna favorit sang Ayah.

Tak lama kemudian, Himawari duduk di hadapan meja riasnya. Ia memoleskan pelembab di wajahnya, dan ditutup dengan bedak. Untuk sentuhan terakhirnya, sang gadis bungsu mengoleskan lipbalm di bibirnya. Bibirnya tampak merona dengan garis peach tipis di bibirnya.

Sesudah merias wajahnya, Himawari mulai mengeringkan rambutnya dengan hairdryer—dan menyisirnya dengan lembut. Ia kembali menyisir rambut panjangnya, dan membiarkan rambutnya terurai di depan dadanya.

Setelah semuanya siap, Himawari pun membuka pintu kamarnya—berniat mengenakan sepatu sekolahnya, yang mungkin saja sudah tersedia di depan pintunya. Sebuah kejutan lain. Sepasang sepatu berhak dengan warna merah menyala sudah berjejer di depan pintunya. Sebuah senyum mengembang di bibirnya. "Seragam sekolah Internasional memang menakjubkan. Bahkan, aku tidak perlu memakai sepatu sekolah."

Ia bergegas mengambil ranselnya yang tergeletak di samping meja belajarnya, kemudian mengunci pintu kamarnya, dan menyembunyikan kuncinya di bawah karpet yang terletak di depan pintunya.

.

.

.

.

Himawari mengangkat kedua sudut bibirnya—ketika melihat kedua orang tuanya dan kakaknya tengah bercengkrama—membentuk sebuah senyuman manis. "Selamat pagi, Ayah, Ibu, Kak Boru."

Sang Ayah adalah orang pertama yang menyambutnya. Ayahnya memang selalu tampak keren dalam balutan baju kantornya. "Selamat pagi, Hima."

"Ah, selamat pagi, Hima. Duduklah. Ibu sudah menyiapkan sarapanmu." Ibunya—yang sudah mengenakan jas dokternya—segera menghampiri putri bungsunya, dan mengajaknya untuk duduk di meja makan.

"Duduklah. Makan okonomiyakimu." Boruto menarik kursi kosong di sampingnya, mempersilahkan adiknya untuk duduk.

Himawari menghempaskan tubuhnya di samping kakaknya. "Sebenarnya, aku sedang tidak napsu makan. Jadi, kakak saja, ya, yang menghabiskan okonomiyakiku?"

"Baiklah. Tapi, kau harus meminum susumu, ya?" Boruto segera melahap sepiring okonomiyaki milik adiknya, seraya mengawasi adiknya yang tak kunjung meminum susunya.

"Kenapa kau hanya memandangnya? Ayo, minum susumu, sekarang."

Himawari merengut. "Susu? Kau, kan, sudah tahu kalau aku tidak suka minum susu..."

Boruto memandang raut wajah sang Ibu yang berubah sedih. Ibunya memang sudah lama membujuk adiknya agar mau menghabiskan susunya. Maka, sang sulung Uzumaki berbisik pada adiknya. "Pst, cepat habiskan susumu, dan kita akan berangkat."

Himawari mengangkat kedua bahunya tak acuh.

"Habiskan susumu atau aku akan memaksamu."

Himawari berdecak kesal. Ia memandang sang kakak dengan sorot mata tajam. "Dasar keras kepala. Sudah kubilang, aku tidak suka. Pokoknya aku tidak mau—"

"Kau yang memaksaku untuk melakukan kekerasan, hime."

Boruto menyambar gelas susu Himawari yang masih terisi penuh, menekan kedua pipi bulat adiknya, kemudian mendekatkan bibir gelas susu pada bibirnya—memaksanya untuk menelan susunya. "Ayo, sekarang telan susumu."

Himawari terpaksa menelan susunya. Ia terbatuk kencang begitu menghabiskan susu di gelasnya. Wajahnya memerah.

Boruto tersenyum puas melihat gelas susu yang sudah kosong melompong. Ia lantas menarik pergelangan tangan sang adik—untuk bangkit dari kursinya. "Sudah, cepatlah. Jangan buang waktumu. Simpan saja muntahmu untuk nanti."

Sesudah berhasil membujuk adiknya, Boruto mengambil ranselnya yang tergeletak di samping meja makan. "Kami berangkat, Ayah, Ibu!"

Naruto—yang sedang meneguk susunya—hanya memberikan gestur berupa lambaian tangan. Disusul oleh Hinata, yang sedang membereskan piring kotor di meja makan.

"Ya, jaga adikmu," pinta sang Ibu, sebelum anak tertuanya menghilang di balik pintu.

Boruto mengangkat kedua sudut bibirnya, sebagai jawaban atas ucapan sang Ibu.

Aku janji, Bu.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

Well, halo semuanya.

Sebelumnya, saya mau memperkenalkan diri sebagai berithslies. Ya, pen name saya.

Kenapa berithslies?

Kata lies saya gunakan karena saya membuat fiksi berdasarkan kebohongan—sesuatu yang tidak nyata. Dan, asalnya dari berith, alias iblis. Jadi, kalo ada yang nyebut saya berith, rasanya nyesek, saya disamakan sama iblis.

...saya bercanda. Silahkan, kalo mau nyebut saya berith. Lies pun boleh. Asal yang nyaman aja deh.

Kalo ada yang mau tau lebih lanjut tentang saya, bisa dicek di profile saya. Nah, karna perkenalan sudah, sekarang saya mau bahas tentang Boru Among Shika and Hima.

Pertama, ampuni saya, karena BoruHima out of characternya keterlaluan. Saya cuma mau mencoba sesuatu yang baru, yang berbeda—gak terpaku sama karakter aslinya.

Uhm, adakah yang suka crackpair dalam sebuah fandom? Yap, salah satu crackpair yang saya suka adalah ShikaHima. Kenapa?

Karna, menurut saya, karakter mereka cocok. Saling melengkapi satu sama lain. Ada hints yang saya dapat dari nama mereka. S-H-I-K-A-D-A-I dan H-I-M-A-W-A-R-I, total hurufnya ada delapan. Benar atau benar?

Sama kayak NaruHina, SasuSaku, SaIno, ChoKarui yang total hurufnya sama. Gak percaya? Coba dibuktikan. Pengecualian untuk ShikaTema.

Selain ShikaHima, saya suka BoruSara dan InoHima. Adakah yang sama kayak saya? Atau, ada yang suka pair lain? Saya welcome kok, sama semua pair yang kalian suka.

Yah, karena saya cerewet, makanya sekarang author note saya penuh curhatan absurd saya.

Terima kasih sudah mau membaca.

15 July 2015.