Boruto melepaskan helm perak yang membalut tempurung kepalanya, lalu mengacak rambut pirangnya untuk menatanya kembali seperti semula. Ia melirik ke arah kaca spion motornya—mendapati sang adik masih tertidur pulas di bahunya.
Ia mengulurkan tangan ke belakang, dan menepuk pipi Himawari pelan. Berusaha membangunkan sang adik dari tidur lelapnya. "Kita sudah sampai, hime. Ayo, bangunlah. Aku harus mengurus semua data kepindahanmu."
Sang gadis bungsu membenamkan wajahnya di perpotongan leher sang kakak, dan mengeratkan pegangan pada ujung kemeja seragamnya. Tak tertarik untuk menjalankan tour singkat di sekolah barunya, seperti yang biasa dilakukan oleh para murid baru pada umumnya.
Boruto tersenyum geli melihat respon adiknya yang sangat sulit untuk dibangunkan. "Oh, astaga. Kau memang Putri Tidur dari segala Putri Tidur yang pernah ada."
Himawari membalas ucapan sang kakak dengan sebuah deheman singkat, membuat sang kakak hanya mampu menghela napas panjang.
"Ayo, cepatlah bangun. Sebelum ada guru yang melihatmu berantakan begini."
Sang Putri Tidur membuka kedua mata safirnya perlahan—disertai dengan sebuah decakan kesal. Dengan amat terpaksa, Himawari menuruni motor besar kakaknya. "Kau sudah menghancurkan mimpiku, sekarang kau merusak tidurku."
Boruto tertawa pelan, lalu mengetuk puncak kepala adiknya dengan lembut.
"Oh, ayolah. Kau, kan, bisa tidur pada jam pelajaran," bujuknya, seraya mengedipkan sebelah matanya.
Himawari mengusap puncak kepalanya, lantas menatap sang kakak dengan sengit. "Memangnya boleh? Bagaimana kalau aku ditegur oleh guru karena tertidur di kelas?"
"Aku tidak pernah melarangmu untuk tidur ketika pelajaran berlangsung," Boruto tersenyum penuh arti, "tapi, ada satu larangan tidur untukmu."
Himawari mengangkat sebelah alisnya. Apa?
Boruto tersenyum gemas, ketika melihat tatapan mata Himawari yang seolah penuh tanya. Ia menuruni motor besarnya, menepuk puncak kepala sang adik, lalu sedikit membungkuk untuk berbisik di telinganya. "Jangan pernah tertidur ketika pelajaran biologi, kalau kau tidak mau mendapat hukuman. Kau mengerti, hime?"
Himawari merengut, seraya memutar matanya malas. "Ya, aku mengerti."
.
.
.
.
Chapter 2: Hukuman
Boru Among Shika and Hima © berithslies
Shikadai N. — Himawari U.
Warning: AU, Typos, Crackpair!
.
.
.
.
"Ayo, kemarilah. Aku akan mengantarmu sampai ke kelasmu." Boruto menyerahkan ransel oranye polos yang bertumpu di depan dadanya pada pemiliknya, lalu menenteng helm peraknya—dengan sebuah ransel hitam yang sudah melekat di kedua bahunya.
Himawari menerima ranselnya dengan berat hati. Pasalnya, terdapat beberapa buku berukuran tebal di dalam ranselnya. Bukan hanya buku berukuran tebal. Namun, ada sebuah map yang cukup besar untuk menyimpan semua handout yang berhubungan dengan pelajaran.
Boruto memandang tubuh ringkih adiknya, yang kini sudah menjinjing beban di kedua bahunya. Ia memutuskan untuk menghampiri sang adik, untuk menawarkan jasa membawakan ranselnya. "Hima, aku bisa membawakan ranselmu, kalau kau mau."
Himawari mengangkat kepalanya, untuk balas memandang kakaknya.
"Aku bisa membawanya sendiri, kok," tolaknya halus.
Boruto menghembuskan napas berat, lalu melangkahkan kakinya menuju hall sekolah—yang terletak cukup jauh dengan lapangan parkir sekolah. "Aku akan memintakan kunci lokermu pada guru, agar kau bisa menyimpan separuh bukumu di sana."
Himawari hanya mengulum sebuah senyuman, seraya mengikuti kakaknya dari belakang.
"Ya, terima kasih."
.
.
.
.
"Eh—? Bolt datang dengan seorang gadis cantik."
"Ya, kau benar. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya."
Suasana hall sekolah yang tenang, mendadak gempar—akibat beredarnya kabar bahwa sang Pangeran sekolah datang bersama dengan seorang gadis tak dikenal. Puluhan gadis berkumpul di depan hall sekolah, untuk menyaksikan secara langsung kedatangan sang idola.
"Mana? Aku mau lihat, aku mau lihat!"
"Cepat perlihatkan padaku!"
Para gadis mulai berdatangan memenuhi hall sekolah.
Seorang gadis berambut gelap mendorong salah seorang gadis yang berada di barisan depan, untuk menemukan sang Pangeran sekolah—yang tak kunjung datang. "Jangan halangi jalanku!"
Beberapa orang gadis yang menyadari kedatangan sang Ratu segera menepi, membukakan jalan untuknya.
Yah, mereka menyebutnya Ratu.
Sudah tak terbantahkan, Ratu memang julukan yang tepat untuknya, yang selalu berkuasa layaknya seorang Ratu. Kedua dayang sang Ratu pun turut berada bersamanya, untuk menyambut sang Pangeran sekolah.
"Siapa dia? Kenapa dia datang bersama dengan Bolt, ya?"
"Dasar menyebalkan!"
Salah seorang petugas mading sekolah—yang terjebak di tengah kerumunan para fangirl Boruto—hanya melirik kedua gadis yang berada di sampingnya dengan jengkel.
"Kalian berlebihan. Aku sudah melihat dia tertidur di bahu Bolt sambil memeluknya. Aku yakin, dia pacarnya Bolt," sahutnya cuek.
Seorang petugas mading yang lain tampak tersenyum sumringah, mendengar ucapan rekan kerjanya.
"Oh. Menarik sekali. Aku akan mendapat gosip hangat untuk majalah bulanan sek—aduh!" kalimatnya terhenti, ketika salah seorang rekan kerjanya memukul bahunya dengan cukup kencang.
Dua orang fangirl—yang merasa tersindir dengan ucapan sang petugas mading sekolah—mengepalkan tangan dengan geram. "Jangan sembarangan bicara kau, ya!"
Sang petugas mading sekolah hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Aku hanya mau mengungkapkan fakta, kalau Bolt memang sudah bukan milik kalian lagi."
Boruto mendengus kesal, ketika mendapati puluhan gadis sudah memenuhi hall sekolah. Ia lantas menautkan jemarinya dengan jari lentik sang adik—mengabaikan semua tatapan tajam yang ditujukan pada adiknya.
Himawari sontak mundur selangkah, ketika merasakan jemari kakaknya sudah bertautan dengan miliknya. "Kenapa kau—"
Boruto mengeratkan tautan tangan dengan adiknya, lalu menatapnya dengan teduh. "Pst, abaikan mereka. Kau harus selalu berada di sisiku. Kau mengerti, hime?"
Himawari hanya menunduk dalam diam, membuat sang kakak terpaksa harus membujuknya.
"Hime, kau mendengarku?"
Himawari menghela napas panjang. Ia bertahan dalam posisi menunduknya. "Aku takut kejadian di sekolah lamaku terulang kembali."
"Aku tidak akan pernah membiarkan kasus bullying yang menimpamu terulang kembali. Percayalah," Boruto merapalkan sebuah mantra yang mampu menenangkan sang adik, "aku akan melindungimu. Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu."
Sebelum keduanya sempat melangkah, seorang gadis beriris kelam meraih lengan Boruto—yang terayun bebas—lalu memeluknya dengan manja. Membuat sang empunya terpaksa menghentikan langkahnya.
"Bolt-kun, kenapa kau baru datang? Lalu, sebenarnya siapa dia? Semua orang membicarakan kau dan dia. Apa hubunganmu dengan dia? Dia bukan pacarmu, kan?"
Boruto menghembuskan napas berat. "Lepaskan aku, Arisu."
"Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kau menjawabku, Bolt-kun," Arisu merengut, "ayo, jawab aku."
Boruto mendelik kesal. "Dia adikku, Uzumaki Himawari. Kau puas? Sekarang lepaskan aku, karena aku harus mengantarnya ke kelasnya."
Sang sulung Uzumaki merangkul bahu adiknya erat.
Arisu membulatkan mulutnya, tak percaya.
"Oh. Sulit dipercaya. Aku tidak bisa menemukan letak kemiripan kalian sebagai sepasang kakak beradik."
Salah seorang gadis—yang berdekatan dengan sang bungsu Uzumaki, tampak mengangkat sebelah alisnya. "Kedua garis di pipi mereka tampaknya sudah cukup membuktikan, kalau mereka memang kakak beradik, Arisu."
Arisu tertawa sinis, seraya melirik sang gadis indigo—yang tampak ketakutan—dengan tajam. "Semuanya bisa direkayasa, kan?"
Beberapa orang gadis terlihat berbisik satu sama lain.
"Jadi, mereka kakak beradik, ya? Pantas saja kelihatan akrab."
Salah seorang gadis berkacamata berbisik pada gadis lain yang berada di sampingnya. "Berdasarkan gosip yang kudengar dari Mayu, katanya Boruto sister complex."
"Aku tidak heran."
Boruto mengeratkan rangkulan pada bahu adiknya, seraya mengusap bahunya dengan lembut.
"Ayo, hime. Aku akan mengantarmu ke—" kalimatnya terhenti, ketika terdengar suara lengkingan yang menyerukan namanya.
"Bolt!"
Dan, suaranya terdengar sangat familiar untuknya.
Ah, tentu saja.
Sang pemilik suara pastilah Chouchou Akimichi. Teman sekelasnya, sekaligus sahabatnya.
Boruto mengusap tengkuknya, lantas berbalik untuk menatap sahabat gempalnya. "Ada apa, Chou?"
Ia mendapati Chouchou sudah berada di belakangnya, lengkap dengan sekantung dango yang tampak masih hangat—dengan asap kecil yang mengepul di atasnya.
Sang gadis berkulit gelap mengambil setusuk dango cokelat dari dalam kantungnya, memasukan sebuah dango ke dalam mulutnya, dan mengunyahnya dengan tenang. "Sasuke-sensei memintamu untuk mengurus semua data kepindahan adikmu."
Boruto mendengus pelan.
"Baiklah, baik. Aku akan mengurus semuanya. Jadi, tolong antarkan Hima ke kelasnya, ya. Aku mengandalkanmu."
Chouchou mengusap tengkuknya. "Bolt, sebenarnya aku harus—"
Sebelum Chouchou melancarkan protesnya, Boruto sudah merendahkan suaranya, seraya menatap sahabatnya dengan tajam. "Aku memohon dengan sangat padamu. Kau tahu aku, kan?"
Chouchou hanya mampu menghembuskan napas berat. Sahabatnya memang sangat keras kepala.
"Aku akan menjemputmu di depan kelas pada jam istirahat. Jaga dirimu, hime." Boruto mengecup sayang kening sang adik, sebelum melangkah menuju ruang guru dengan tenang. Membuat puluhan gadis menjerit histeris, sekaligus menatapnya dengan nyalang.
Oh. Bantu Himawari merobek wajahnya sekarang.
.
.
.
.
Chouchou menarik napas lega, setelah berhasil menyeret adik perempuan sahabatnya menjauh dari hall sekolah—menuju lantai dua gedung, tempat kelasnya berada. Ia mengusap peluh yang membasahi keningnya.
"Fangirl Bolt memang ganas. Jadi, kau harus pandai melarikan diri dari mereka, ya."
Himawari menghela napas panjang—untuk menetralkan deru napasnya, lantas membungkuk rendah pada sang senior yang sudah membantunya meloloskan diri dari kejaran fangirl sang kakak. "Hm. Terima kasih Senpai sudah membantuku."
"Oh, ya. Sekarang aku harus menemui guruku. Bagaimana kalau kau diantar oleh temanku? Kau mau, ya?"
Chouchou menatapnya dengan penuh harap.
Himawari mengeratkan ranselnya, seraya mengangkat kedua sudut bibirnya—membentuk sebuah senyuman manis. "Hm. Tak apa, Senpai. Aku bisa mencari kelasku sendiri..."
Chouchou terkekeh. "Sayangnya, kau tidak diperbolehkan untuk berjalan sendirian. Aku akan meminta temanku untuk mengantarmu ke kelasmu, oke?"
Ia bergegas melangkah menuju ruang kelas terdekat, untuk meminta bantuan pada salah seorang sahabatnya.
"Shika!"
Tubuh Himawari menegang.
Shika?
Ia menahan napasnya.
—mungkinkah dia?
"Ayo, bantu aku. Aku sedang butuh bantuanmu sekarang. Jangan tidur terus!"
Terdengar suara gebrakan meja yang cukup kencang dari dalam kelas.
"Ck. Merepotkan."
Merepotkan?
Tak lama kemudian, Chouchou sudah melangkah keluar dari kelas, dan berjalan ke arahnya—bersama dengan sesosok pemuda yang tampaknya keberatan untuk membantu sahabatnya.
Himawari mengusap kedua matanya, untuk menangkap sosok pemuda yang melangkah ke arahnya.
Benar saja. Rambutnya gelap, dengan kedua mata zamrud yang secerah permata.
DEG!
Shikadai Nara?
Sang pemuda Nara tampak terkejut, mendapati sesosok gadis manis—yang kini sudah berada di depan matanya. Sama halnya dengan Himawari yang sudah mengatupkan mulutnya rapat.
Ternyata, memang dia.
Keduanya berucap, "Kau?"
Cinta pertamaku.
"Wah," Chouchou tampak sumringah—sekaligus lega. Ia memandang keduanya bergantian, "rupanya, kalian sudah saling mengenal, ya? Baguslah. Kalau begitu, aku bisa mempercayakan Hima padamu. Aku pergi dulu."
"Chou, aku—"
Chouchou memotong ucapan sahabatnya dengan cepat.
"Oh, ayolah. Sebagai ketua OSIS yang baik, seharusnya kau memperlakukan murid baru dengan baik. Iya, kan?"
Jadi, sekarang kau sudah menjadi seorang ketua OSIS, ya?
Sang gadis berkulit gelap lantas melambaikan tangan dengan riang, sebelum menghilang di balik lift. "Aku titipkan Hima padamu, ya!"
"Hah, selalu saja aku."
Sang pemuda Nara mengusap tengkuknya, seraya menghembuskan napas berat. "Ayo, aku akan mengantarmu sampai ke kelasmu."
Himawari hanya bergumam pelan, dan mengikuti sang senior yang sudah melangkah terlebih dahulu.
"B-baik, Senpai."
.
.
.
.
"Kita sudah sampai. Masuklah ke kelasmu."
Shikadai menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah kelas yang berada di ujung koridor lantai tiga. Ia mengeluarkan sebuah notes kecil dari saku celananya, lalu membuka sebuah halaman yang sudah ditandai dengan sebuah post it.
"Yah, sesuai data yang ada di buku peganganku, kau berada di kelas X-A."
Sang bungsu Uzumaki membungkuk rendah, sebagai ungkapan terima kasih pada kakak kelasnya. "Ah, terima kasih Senpai sudah mau mengantarku."
"Oh, ya. Wali kelasmu akan masuk ke kelas untuk memperkenalkanmu pada teman sekelasmu. Persiapkan dirimu."
Himawari bergumam, "Baik, Senpai. Terima kasih."
Shikadai berdehem singkat, lalu menelusupkan sebelah tangan di saku celananya. "Kalau begitu, aku pergi dulu."
Himawari mengangkat kedua sudut bibirnya, seraya memandang kepergian sang pemuda Nara.
Sesudah memastikan sang senior sudah menghilang di balik tembok, sang gadis indigo pun mengeratkan ranselnya, dan menarik napas panjang—sebelum melangkah memasuki kelas barunya.
Ia meraih gagang pintu, dan membukanya perlahan. Hal pertama yang tertangkap oleh kedua netranya adalah sekumpulan gadis yang tengah bercengkerama di sudut kelas.
Himawari tersenyum lega.
Suasana kelasnya memang tak berbeda jauh dengan suasana kelasnya yang lama.
Yah, setidaknya, aku akan lebih mudah untuk beradaptasi dengan suasana kelasku yang baru.
Tampak olehnya, beberapa orang pemuda yang tengah membaca buku dengan tenang—seolah mengabaikan suara tawa yang berasal dari sekumpulan gadis di sudut kelas.
Sebuah tepukan di bahunya membuatnya tersentak kaget. Ia segera berbalik, untuk menatap seseorang yang sudah menepuk bahunya.
Kedua netranya bertatapan langsung dengan sepasang mata semerah darah.
"Halo," sang gadis bermata merah mengangkat kedua sudut bibirnya, "kau murid baru yang dibicarakan oleh para senior kita, ya? Siapa namamu?"
Si cantik yang ramah.
Ya, ramah adalah kesan pertama yang dapat Himawari berikan untuknya.
"Ah—namaku Himawari, Uzumaki Himawari."
Ia mengulurkan tangan, mengajak sang gadis indigo berkenalan. "Perkenalkan, namaku Katayama Yuka."
Himawari menjabat tangan Yuka yang terulur padanya, seraya mengangkat kedua sudut bibirnya. "Senang berkenalan denganmu Katayama-san."
"Oh, ayolah. Jangan terlalu formal padaku. Yuka saja sudah cukup," Yuka terkekeh, lantas menuntun teman barunya menuju tempat duduknya, "ayo, kau bisa duduk bersamaku. Teman sebangkuku yang lama sudah pindah sekolah."
"Terima kasih..."
Himawari menaruh ranselnya di kursi kosong yang berada di sebelah Yuka.
KRING!
Bertepatan dengan suara bel yang berbunyi, seorang pemuda berperawakan jangkung bangkit dari tempat duduknya, dan mengedarkan pandangan pada seluruh penjuru kelas. "Cepat duduk. Sarutobi-sensei sudah datang."
Beberapa orang siswa yang masih berlalu lalang, bergegas kembali ke tempat duduk mereka.
Tak lama kemudian, seorang pemuda bersyal biru sudah melangkah masuk, dengan menjinjing beberapa buah buku tebal.
"Selamat pagi, semuanya. Sekarang, kita sedang kedatangan seorang murid baru," Konohamaru memberikan gestur berupa lambaian tangan pada Himawari—yang tengah duduk dengan tenang, untuk maju ke depan kelas, "Uzumaki, kemarilah, perkenalkan dirimu."
Himawari bergegas bangkit dari tempat duduknya, dan melangkah ke depan kelas—sesuai perintah sang guru.
"Uzumaki, ya?"
"Jadi, dia punya hubungan darah dengan Bolt, ya..."
"Kurasa mereka bersaudara. Marga mereka sama."
"Dua garis di pipinya sama persis dengan milik Bolt, kan?"
Himawari mendengus pelan, ketika mendengar berbagai ungkapan yang terlontar dari bibir teman sekelasnya.
Untuk semua yang kalian pertanyakan, jawabanku adalah ya.
Sesudah berada di depan kelas, Himawari menghela nafas panjang, sebelum mengulum sebuah senyuman dan membungkuk rendah. "Aku Uzumaki Himawari. Senang bertemu dengan kalian."
Seorang gadis—yang berada di deretan belakang—mendadak bangkit dari tempat duduknya, berlari ke depan kelas, dan menjabat tangan Himawari dengan penuh semangat. "Kya, selamat datang calon adik iparku!"
Himawari sweatdrop.
Sang pemuda jangkung—yang sebelumnya sudah memberi perintah pada seluruh teman sekelasnya—berdehem pelan. "Ehm. Seto, bisakah kau tetap tenang?"
Sang gadis yang baru saja menjabat tangan Himawari segera kembali ke tempat duduknya, setelah mendapat teguran dari sang pemuda jangkung.
Konohamaru tersenyum puas, lalu berbalik menatap sang gadis indigo yang berada di sampingnya. "Oh, ya, Himawari. Sano adalah ketua kelasmu. Jadi, dia yang akan membantumu selama berada di kelas."
"Sano, kau sudah mengerti tugasmu, kan?"
Sang pemuda—yang bernama Sano—bergumam pelan. "Aku mengerti, Sensei."
"Baiklah, aku harus pergi sekarang. Aburame-sensei akan segera masuk ke kelas."
Konohamaru bergegas melangkah keluar kelas, setelah sebelumnya membungkuk sopan.
.
.
.
.
Boruto melangkahkan kaki, memasuki ruang kelasnya—tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, seolah mengabaikan eksistensi sang guru yang tengah mengajar di depan kelas.
BLAM!
Sebelum sempat melangkah menuju tempat duduknya, sang guru sudah memotong langkahnya dengan sebuah deheman.
"Uzumaki, darimana saja kau?"
Boruto mendengus pelan. Sudah kuduga.
Ia menghentikan langkahnya, lalu menolehkan kepalanya pada sang guru yang sudah melayangkan tatapan tajam padanya. "Aku mengurus data kepindahan adik perempuanku, Sensei."
Mirai—yang memang sudah sangat mengenal Boruto—tampak menghela napas panjang. "Baiklah. Silahkan duduk."
Boruto melangkah menuju tempat duduknya, yang berada tepat di depan Chouchou. Ia melepaskan ranselnya, menaruhnya di kaki meja, lalu berbisik pada sahabat gempalnya—yang tengah mencatat materi yang dituliskan oleh sang guru di papan tulis.
"Bagaimana? Kau sudah mengantar Hima ke kelasnya, kan?"
Chouchou mengangkat kepalanya.
"Sebenarnya, tadi aku diminta untuk menemui Anko-sensei di ruang guru," Chouchou menarik napas panjang, sebelum melanjutkan kalimatnya. "jadi, pada akhirnya, aku meminta bantuan pada Shikadai untuk mengantarkan adikmu ke kelasnya."
Sang gadis berkulit gelap menatap Boruto dengan malas. "Sama saja, kan? Aku yakin dia sudah mengantarkan adikmu ke kelasnya."
"Oh. Baiklah, terima kasih." Boruto memangku ranselnya, untuk mengeluarkan bukunya. Lalu...
"APA? SHIKADAI YANG MENGANTAR HIMA?"
Chouchou melotot.
Pekikan Boruto sontak membuat seluruh penjuru kelas—termasuk Mirai yang sedang menjelaskan materinya—mengalihkan pandangan padanya. Tatapan mereka seolah menghakimi keduanya, sebagai pembuat keributan di kelas.
Chouchou mengepalkan tangan dengan geram.
Dasar bodoh.
"Uzumaki, Akimichi, bisa kalian jelaskan apa yang yang sedang kalian perdebatkan?"
Boruto segera merespon ucapan gurunya dengan cepat. "Ah—tidak, tidak ada. Hanya sebuah masalah kecil, Sensei. Tidak terlalu penting, kok."
"Bagus. Kalau begitu, tolong jaga ketenangan selama jam pelajaran berlangsung."
Keduanya menyahut, "Baik, Sensei."
Mirai memukul papan tulisnya, seraya mengedarkan pandangan pada seluruh penjuru kelas. "Kita lanjutkan pelajaran."
Chouchou berbisik pada sahabat pirangnya dengan sarkatis. "Dasar berisik!"
"Dasar gendut!"
Chouchou mendengus pelan. "Deal with it, noisy!"
Mirai berdehem pelan, "Ehm. Uzumaki, Akimichi, apa kalian membutuhkan sedikit waktu untuk menyelesaikan masalah kalian di luar kelas?"
Keduanya mendadak bungkam.
.
.
.
.
Sudah dua puluh menit berlalu, sejak seorang guru bercyclops datang ke kelasnya, dan memperkenalkan dirinya sebagai Shino Aburame. Namun, sekarang kedua matanya sudah terasa berat.
Himawari memutuskan untuk merebahkan kepalanya di meja, lalu memejamkan kedua matanya—sesudah memastikan penglihatan sang guru terhalang oleh tubuh gadis gempal yang berada tepat di depan mejanya. Namun...
BRAK!
"UZUMAKI HIMAWARI—"
Ia segera mengangkat kepalanya, dan menatap gurunya dengan takut. "Y-ya, Sensei."
"Ck. Beraninya kau tidur di hari pertamamu. Sebesar apa nyalimu, hm?"
Himawari menahan napasnya. Wajahnya pucat pasi.
"Keluar sekarang."
DUAR!
Belum sempat Himawari berucap, sang guru sudah memotong kalimatnya dengan sarkatis. "Aku menyuruhmu keluar dari kelas, sekarang."
Yuka menginjak kakinya, mengisyaratkan agar Himawari mematuhi perintah sang guru. "Aw—baik, Sensei."
Himawari bangkit dari tempat duduknya, lalu menghampiri gurunya yang sudah berada di ambang pintu.
"Dia serampangan, ya. Persis seperti kakaknya."
"Mereka memang pantas menjadi kakak beradik."
"Ya, bukan hanya garis di pipi mereka yang sama. Karakter dan watak mereka pun sama."
"Calon adik iparku yang malang."
Shino menatap sang ketua kelas yang tengah membaca bukunya. "Sano, pastikan kelasmu tetap tenang sampai aku kembali."
BLAM!
.
.
.
.
Himawari menunduk dalam, ketika sang guru menatapnya dengan tajam.
Shino membenarkan kacamata cyclopsnya. "Karena kau adalah murid baru, aku akan memberikan sedikit dispensasi padamu."
"Kelilingi lapangan basket sebanyak tiga puluh kali. Jika kau berani berhenti di tengah jalan, hitunganmu akan diulang dari satu."
Himawari menahan napasnya.
Mengelilingi lapangan basket sebanyak tiga puluh kali, katanya?
"Sensei, aku—"
"Aku tidak menerima protes. Cepat jalankan hukumanmu, karena aku akan mengawasimu."
Memang sudah resikonya. Toh, kakaknya—dan Yuka—sudah memperingatkan agar dia tidak tertidur pada pelajaran biologi. Namun, dia dengan mudahnya melupakan pesan keduanya, dan berakibat fatal. Mendapat hukuman pada hari pertamanya bersekolah.
Himawari membungkuk sopan. "Baik, Sensei."
"Bagus. Kerjakan, sekarang."
.
.
.
.
Himawari menyelesaikan putaran ke tiga puluhnya dengan wajah pucat dan peluh yang bercucuran. Kedua matanya sayu. Rasa sesak mendadak menyerang dadanya—dan menjalar ke perutnya. Perutnya terasa seperti diremas kencang.
Ia menekan perutnya, "Ukh, perutku sakit sekali..."
Semuanya mendadak gelap, dan tubuhnya terhuyung ke belakang.
BUK!
Sepasang lengan pucat menangkap tubuh rampingnya yang nyaris ambruk ke aspal.
"Hah, untunglah masih sempat," Inojin—nama pemilik dari sepasang lengan pucat yang sudah menolong Himawari—perlahan mengangkat tubuh rampingnya, untuk memapahnya menuju ruang kesehatan sekolah. "aku harus membawanya ke ruang kesehatan untuk memeriksa kondisinya."
Sang gadis indigo hanya bergumam lemah, tanpa sempat memandang sang pemuda pucat yang sudah menolongnya. Kedua matanya terasa berat.
"Bertahanlah. Aku akan membawamu ke ruang kesehatan." Inojin bergegas menuntun sang gadis indigo—yang nyaris kehilangan kesadaran—menuju ruang kesehatan yang berada cukup jauh dari lapangan basket.
.
.
.
.
BRAK!
Shikadai—yang tengah memejamkan matanya dengan tenang—mendadak terbangun, ketika mendengar suara bantingan pintu. Kedua netranya menangkap sosok berkulit pucat, yang dikenalinya sebagai Inojin Yamanaka.
Ia mengusap telinganya dengan gusar. "Ada apa, Inojin? Kau berisik sekali."
"Dia nyaris pingsan ketika kutemui di lapangan basket. Wajahnya pucat dan tubuhnya berkeringat. Tampaknya, dia dihukum oleh Aburame-sensei."
Rasa kantuknya mendadak menguap entah kemana, ketika mendapati seorang gadis pucat yang berada dalam dekapan Inojin.
Ia tidak bisa menahan diri untuk tetap tenang, melihat kondisi adik sahabatnya yang tampak agak mengenaskan. Tatanan rambutnya berantakan, bibirnya pucat, kedua matanya sayu.
Namun, yang terlontar dari bibirnya hanyalah sebuah ejekan.
"Kheh, dasar ceroboh."
Inojin bergegas membantu Himawari untuk duduk di sebuah couch krem yang terdapat di sudut ruangan, sebelum berbalik menatap sahabatnya. "Shika, tolong jaga dia. Aku akan membuatkan teh chamomile untuknya."
"Hn. Cepat, sana."
Sesudah terdengar suara pintu yang tertutup, Shikadai memandang sang gadis indigo—yang tengah bersandar pada bantalan couch—dengan seksama. "Bagaimana rasanya dihukum di hari pertamamu, hm?"
Himawari hanya menghembuskan napas berat. Sekujur tubuhnya terasa lemas.
Shikadai menepuk ruang kosong di sampingnya, "Kemarilah. Kau mau berbaring, kan? Tenang saja, brangkarnya cukup untuk dua orang."
"Hmph—tidak perlu, Senpai. Aku bisa duduk di sini." Ia menyentuh kepalanya berdenyut hebat.
Sang pemuda Nara mendengus kesal. "Ck, cerewet sekali. Kemari dan berbaringlah. Aku memaksa."
Himawari hanya menghela napas pasrah. Ia bangkit dari couch, dan merebahkan tubuhnya di samping sang pemuda Nara dengan nyaman.
Shikadai memutar ilalang yang terselip di sela bibirnya perlahan. Ia menjadikan kedua lengan kokohnya sebagai bantalan untuk kepalanya. "Kenapa kau bisa dihukum, heh?"
"Aku tertidur di pelajaran biologi."
"Ah—aku nyaris selalu tertidur di pelajaran biologi. Karenanya, aku selalu membolos ke sini ketika pelajaran biologi."
Himawari membulatkan matanya. "Jadi, sekarang kau sedang—"
"Ya, tepat sekali."
Himawari mengangkat sebelah alisnya. "Lalu, bagaimana dengan materi yang dipelajari ketika kau sedang membolos?"
Shikadai terkekeh pelan.
"Bukan masalah. Aku bisa mempelajari semua materinya dalam waktu kurang dari setengah jam."
Himawari tertawa pelan, seraya menatap langit ruang kesehatan.
"Kau cerdas seperti ayahmu."
Shikadai mengalihkan pandangan pada sang bungsu Uzumaki. "Kau masih mengingatnya?"
"Mana mungkin aku melupakan Paman Shikamaru," Himawari tertawa kecil, "bagaimana kabarnya? Apa dia masih merokok seperti dulu?"
Shikadai turut memandang langit ruang kesehatan, seraya menghembuskan napas berat. "Kabarnya baik dan, yeah, dia masih merokok."
"Dia harus segera berhenti merokok, tahu."
Himawari mengerjap perlahan, "Lalu, bagaimana dengan Bibi Temari, hm? Apa dia masih galak seperti dulu?"
"Dia bertambah galak, sejak terakhir kali kau melihatnya."
Himawari terkekeh. "Aku senang bisa dipertemukan kembali denganmu, Senpai."
Keheningan kembali meliputi keduanya.
Shikadai—yang mulai merasa tidak nyaman dengan suasana hening yang meliputi mereka—melirik Himawari dengan ekor matanya. "Kenapa kau diam?"
Himawari berdecak kesal. "Kau yang mengabaikanku."
"Lalu, aku harus menjawabmu dengan apa?"
"Kau, kan, bisa bilang kalau kau senang bisa bertemu denganku."
Shikadai mendengus, "Rasanya biasa saja."
Himawari membenarkan posisi duduknya, seraya menatap sang senior dengan seksama. "Oh, ya. Aku mau menanyakan sesuatu padamu."
"Apa?"
Himawari memandang Shikadai dengan penuh tanya. "Sebenarnya, siapa yang menolongku tadi? Apa dia memang bertugas untuk mengamati kegiatan para murid yang berada di lapangan?"
"Hm, baiklah. Akan kujelaskan. Namanya Inojin, Yamanaka Inojin. Dia adalah dokter sekolah. Tugasnya adalah memberikan pertolongan pertama pada siswa yang sakit. Namun, dia tidak bekerja sendirian. Dia punya seorang rekan kerja, yang adalah teman sekelasku. Namanya Uchiha Sarada."
"Apa? Sarada—" ucapan sang bungsu Uzumaki terhenti, ketika pintunya terbuka—dan memunculkan sesosok pemuda berkulit pucat dengan kepala pirang yang menatapnya dengan penuh tanya.
"Permisi. Apa aku meng—"
Shikadai berdecak malas, lalu memejamkan kedua matanya. "Masuklah."
Inojin memberikan segelas teh chamomile pada sang bungsu Uzumaki yang tengah bersandar di brangkar. "Kau kekurangan karbohidrat. Jadi, kau harus meminum tehnya untuk melengkapi karbohidrat yang hilang."
Sang pemuda pucat mengalihkan pandangan pada pemuda berambut nanas—yang tengah memejamkan matanya. "Ehm. Shikadai, tolong belikan sekotak dango untuknya."
Shikadai membuka sebelah matanya, lalu memandang sang pemuda Yamanaka dengan penuh tanya.
"Hng?"
.
.
.
.
Shikadai datang dengan sekotak dango yang baru dibelinya di kantin. Ia lantas memberikan kotak dangonya pada sang bungsu Uzumaki yang tengah bersandar di brangkar dengan nyaman.
"Cepatlah makan, selagi hangat. Kau masih bisa memakai kedua tanganmu, kan?"
"Ah—terima kasih, Senpai."
Himawari memandang sekotak dango yang berada di depan matanya.
"Ayo, cepat makan. Apa yang kau pikirkan?"
Himawari membuka kotak dangonya, dan mulai menyantap setusuk dango cokelat yang berada di tumpukan teratas.
Sang pemuda Nara menopang dagunya dengan sebelah tangan, memandang sang gadis—yang tengah makan dengan lahap. Ia mendengus pelan, seraya menahan tawanya. "Makanmu berantakan, tahu."
Himawari mengunyah dango yang baru saja masuk ke mulutnya dengan lambat. "Hm?"
Inojin hanya tersenyum tipis.
Tak ada yang membuka percakapan, selama Himawari menyantap dangonya.
Sesudah menghabiskan dangonya, Himawari menaruh kotak dango yang sudah kosong di atas nakas—yang berada di samping brangkarnya. Inojin segera membantu sang gadis indigo untuk kembali berbaring di brangkar. "Istirahatlah. Aku akan memberitahu Bolt tentang laporan kesehatanmu—"
"Jangan!"
Sang pemuda Yamanaka mengangkat sebelah alisnya, heran. "Kenapa?"
"A-aku tidak mau membuatnya khawatir."
"Kalau begitu, aku pergi dulu," Inojin mengulum sebuah senyuman, "beristirahatlah, setidaknya sampai tenagamu pulih kembali."
Sebelum sang pemuda pucat sempat meraih gagang pintu, Himawari sudah terlebih dahulu menyerukan namanya.
"Inojin-senpai,"
Sang pemuda pirang menolehkan kepalanya. "Ya?"
Himawari bergumam, "Tolong sampaikan pada teman sekelasku, Yuka. Aku akan masuk ke kelas pada jam pelajaran berikutnya. Dan, kalau Kak Boru datang ke kelas untuk menjemputku, katakan padanya, kalau aku harus mengerjakan tugas bersama Yuka."
Inojin mengangkat kedua sudut bibirnya, membentuk sebuah senyuman manis—yang terkesan sinis. "Ternyata, kau bukan hanya ceroboh. Kau juga cerewet seperti kakakmu, ya?"
.
.
.
.
TBC
.
.
.
.
Pojok Balas Review Unlogin.
Update kilat ya. Kalo masalah update kilat, saya tergantung suasana hati aja./ Gak incest kan? Gak kok, Boru cuma sister complex aja. BASaH udah lulus sensor. So, udah pasti bersih dari incest ya./ Lanjut ya. Sudah ya.
.
.
.
.
Hola, ketemu lagi sama saya, berithslies. Terima kasih banyak buat semua yang sudah menyempatkan untuk mereview cerita saya kemaren, saya sangat menghargai semua review yang masuk. Balasan untuk yang login sudah saya kirim via PM ya. Terima kasih buat yang udah ngingetin saya kalo ada typo, sudah saya edit.
Ampuni saya, kalo updatenya lama. Malah, kemaren rencananya saya mau tunda updatenya ke tgl 30. Tapi, karna saya udah janji tgl 25 update, saya berusaha keras buat menyelesaikan chapter 2 nya sebelum tgl 25. Yah, walaupun kayaknya terasa agak maksa.
Gimana chapter 2 nya? Membosankan, kah? Silahkan, buat kalian yang punya masukan, kalian bebas berkomentar tentang chapter 2 saya.
And, yeah. Sekarang Shikadai udah muncul, dan set udah full sekolah—bukan rumah. Kalo chapter 1 kemaren, full semuanya rumah. Makanya sekarang udah masuk ke set sekolah. Udah berasa remajanya? Semoga aja sudah berasa.
Oh ya. Saya punya rencana buat publish cerita BoruHima saya yang temanya incest. Judulnya Metronome. Adakah yang tertarik buat baca?
Saya tau, bakal ada yang gak suka. So, untuk menentukan dipublish atau tidaknya Metronome, saya udah buat poll. Pollnya ada di profile saya. Jangan lupa buat mampir ke profile saya, kalo kalian berminat buat ngevote. 1 vote kalian sangat berharga.
Terima kasih sudah mau membaca.
25 July 2015.