Naruto, dkk punya Masashi Kishimoto
Gaahina
Romance
Story pure for Jhino
A/N:
Cerita biasa ini merupakan request uri cingu, Ungu Violet. Semoga violet menyukainya. ^_^.
WARNING: Cerita ini merupakan cerita fantasy dan OOC (sesuai kebutuhan cerita). If you don't like, don't read! Go away guys (by lav).
Happy reading
Musim panas sudah berlangsung hampir sepuluh purnama tapi matahari seolah enggan beranjak dari langit Fairy Land, negeri para peri yang selalu ceria. Ribuan bunga Helianthusyang sedang tumbuh perlahan layu karena sinar matahari yang tidak berhenti. Bakal bunga yang seharusnya sudah mulai tumbuh harus terhambat karena hujan belum juga turun. Kemarau panjang sedang melanda.
Elfvarian, desa kecil bagian selatan Fairy Land, tidak jauh dari istana Queras, menjadi satu-satunya desa yang tengah dilanda kemarau panjang. Raja Rei dan Ratu Karurasudah berusaha keras membuat Elfvarian terguyur hujan dengan mendatangkan puluhan peri ahli sihir dari desa lain, namun belum mendatangkan hasil. Ribuan hektar padang bunga masih layu dan mati sebelum sempat mekar.
Banyak gunjingan miring yang mengatakan kalau kerajaan sedang terkena kutukan sehingga mengakibatkan penduduk desa menderita, tapi Pangeran Gaara, putra tunggal Yang Mulia Raja Rei dan Ratu Karura, membantahnya. Menurutnya kemarau panjang yang melanda Elfvarian hanya segelintir siklus perubahan iklim, tidak lebih.
"Ayah tidak usah khawatir, aku akan mencoba mencari jalan keluar. Hujan pasti akan kembali mengguyur Elfvarian." kata Pangeran Gaara kepada Yang Mulia Raja Rei suatu hari. Yang Mulia Ratu Karura tersenyum melihatnya, kemudian pergi dari kediaman sang pangeran dengan kepakan sayap ringan.
Saat itu, Raja Rei merasa memiliki keyakinan kalau rakyatnya akan kembali makmur, tapi setelah hampir delapan purnama berlalu hujan masih belum turun. Ditambah penyakit-penyakit aneh mulai menyerang Elfvarian, membuat keyakinan sang raja meluntur perlahan. Dan keyakinannya benar-benar hilang ketika desa-desa lain di Fairy Land ikut dilanda kemarau.
.
.
.
.
Di tempat lain...
Malam mulai terasa membekukan ketika Hinata mengepak-kepak kecil memasuki salah satu kelopak bunga Helianthus yang menggantung terbalik. Makhluk mungil itu berpendar dalam kegelapan malam. Tubuh mungilnya menyerupai manusia, sama-sama memiliki dua tangan dan dua kaki sebesar dua ruas jari. Sayap kupu-kupunya yang transparan berkepak ringan dan berpendar keemasan. Kulit mereka seolah mengeluarkan cahaya.
Peri cantik itu terduduk lemah di salah satu sulur bunga yang menjuntai. Sayapnya terasa kebas setelah terbang hampir seharian penuh mengelilingi Fairy Land, mencari seorang peri penyihir yang menurut beberapa temannya bisa menjawab pertanyaannya, tapi nihil. Sampai sayapnya nyaris patah, peri sihir itu tidak juga ditemukan.
"Hinata, kau sudah pulang?" Suara nyaring milik Ino memecah keheningan. Hinata menoleh, wajah sahabatnya itu menyembul kecil dari balik tumpukan kelopak bunga, lalu terbang rendah menghampiri Hinata. Hinata menggeleng lemah. Wajah cantiknya terlihat lesu dan tidak bertenaga.
Ino menarik napas panjang, tersenyum lebar. Sebelah tangannya menyentuh pundak Hinata. "Jangan putus asa, besok masih bisa mencoba lagi."
Hinata tersenyum tipis.
"Kau sudah makan?" tanya Ino, Hinata menggeleng. "Mau kubuatkan sesuatu?" lanjut Ino.
"Aku tidak lapar, Ino, aku penasaran." jawab Hinata menerawang. Pikirannya berputar mengingat pertemuan tidak terduganya dengan seekor semut ketika sedang berteduh di dahan pohon Apel.
"Ada apa?" tanya Ino heran. Keningnya mengernyit samar. Tidak biasa melihat Hinata tercenung seperti memikirkan sesuatu. Sahabatnya itu selalu terlihat ceria dan enerjik. Raut seriusnya hanya akan ditemukan ketika fokusnya terenggut sesuatu.
"Ino, apa kau percaya pada dongeng?"
Ino menggeleng. "Tidak terlalu, kenapa?"
Hinata berpikir sebentar, kemudian menatap Ino. "Tadi siang aku bertemu seekor semut saat sedang berteduh. Aku menceritakan sedikit tentang Elfvarian, lalu…"
Ino memperhatikan Hinata yang terdiam, lalu mendudukkan pantatnya di samping Hinata. "Lalu apa, Hinata?" tanyanya kemudian.
"Semut itu bilang, ada sebuah kitab yang bisa menjawab kenapa hujan tidak juga turun di Elfvarian, bahkan dia mengatakan tidak perlu mencari penyihir untuk memanggil hujan."
Ino memiringkan kepalanya. "Kitab? Kitab apa?"
"Iluvatar."
Mata Ino membola seketika. Dengan cepat ia membungkam mulut supaya tidak berteriak. "I—iluvatar?"
Sebelah alis Hinata terangkat dengan gaya ironis, menatap aneh pada Ino yang terkejut. "Kenapa? Ada yang aneh dengan ucapanku?"
Ino menggeleng berulang. "Kau serius kalau semut itu menyebut Iluvatar?" Hinata mengangguk. "Bukan yang lain?" Hinata menggeleng.
"Hmm, aku tidak berniat membuatmu kecewa, Hinata, tapi kalau kau mau mencarinya sebaiknya lupakan."
Kening Hinata berlipat. "Kenapa?"
"Karena hanya ada satu tempat yang menyimpan kitab itu dengan sangat baik."
Mata Hinata berbinar senang. "Kau tahu, Ino? Di mana? Di mana aku bisa menemukan kitab itu?"
"Hmm… Perpustakaan Queras."
"Apa?!"
"Hinata, jangan gila! Kau tidak boleh ke sana, berbahaya! Kau bukan pahlawan yang harus menyelamatkan dunia, kau itu.."
Hinata sama sekali tidak menggubris larangan-larangan Ino. Setelah semalaman ia berpikir keras sampai-sampai tidak tidur, akhirnya ia memutuskan untuk mendatangi perpustakaan istana. Ok, ini memang ide gila, tapi ia tidak akan tenang kalau rasa penasarannya belum terjawab. Dan lagi tidak mungkin ia terus-terusan diam melihat desanya kering kerontang, lama-lama ia juga bisa mati kekeringan.
"Hinata, kau dengar aku, tidak? Jangan sok, ayolah, kau hanya peri biasa, sama sekali tidak punya keahlian sihir atau perang, kau bisa mat..."
"Ino, ayolah, aku hanya berniat melihat kitab itu, bukan mencurinya. Lagi pula kau akan menemaniku, maka..."
"Apa?! Menemani?! Oh, Hinata, jangan sinting! Kau tidak tahu kan bagaimana para peri penjaga itu? Mereka menjaga pintu perpustakaan dengan sangat garang, seperti babi hutan yang kelaparan."
Aktifitas Hinata terhenti. Ia berkacak pinggang di depan Ino sambil menarik napas. Sayapnya mengepak pelan. "Jadi, kau tidak mau menemaniku?"
Ino ikut menarik napas, terbang kecil menghampiri Hinata. "Bukan tidak mau, Hinata, tapi kau tahu sendiri bagaimana peri-peri itu menjaga pintu istana. Kita bukan siapa-siapa, bagaimana mungkin kita bisa masuk ke sana…"
Ya, Ino benar. Perpustakaan Queras sangat terjaga dan yang bisa memasuki tempat itu hanya orang-orang tertentu, raja saja belum tentu bisa masuk. Apalagi penjagaan di pintu masuk sangat ketat tidak mungkin mereka berdua bisa menerobosnya tanpa keahlian.
"Hinata, untuk kali ini, dengarkan aku…"
Hinata menatap sendu Ino. Bukan. Ia bukan tidak mau mendengarkan Ino, perkataan sahabatnya semua benar, tapi… rasa ingin menolong dan penasarannya terlalu tinggi. Baiklah, lupakan alasan pertama. Karena sebenarnya rasa penasarannya lah yang lebih memuncak dan satu alasan yang membuatnya harus ke sana. Harus.
"Ino, apa kau tidak kasihan melihat penduduk desa kita kelaparan karena semua ladang bunga mengering? Apa kau tidak mau lagi tidur dengan suhu normal seperti dulu? Apa kau sudah lupa bagaimana bahagianya melihat peri-peri kecil mulai lahir di setiap kelopak Helianthus yang semi mekar? Apa kau..."
Baiklah, Hinata tidak tahan kalau mendengar bagaimana pemandangan ketika peri-peri baru berdatangan. Sangat indah dan mengagumkan. "Ok, cukup, aku ikut!"
Well, Ino sudah terlanjur menjawab, dan ia yakin setelah ini bahaya akan mengekori mereka berdua.
.
.
.
.
Another place..
Suasana di istana Queras mendadak hening saat Pangeran Gaara menurunkan titahnya. Pangeran tampan itu agaknya sudah lelah dengan semua usahanya yang hanya mengandalkan prajurit istana, dan sekarang waktunya ia turun tangan.
"Pangeran, apa maksud Pangeran?"
Yang Mulia Ratu Karura menatap cemas pada putranya. Berharap sang putra mau menarik kembali ucapannya. Begitu pun dengan sang raja yang hanya bisa menghela napas berat.
Entah apa yang merasuki pikiran Pangeran bermata jade hari ini, tapi mimpi semalam membuat matanya terbuka. Mimpi yang seperti menunjukkan jalan keluar dari masalah kerajaan dan desanya. Sebenarnya ia sendiri tidak yakin, tapi mendengar perkataan seekor semut yang ditemuinya di dalam mimpi membuatnya berpikir.
Sebenarnya juga, Pangeran Gaara tidak begitu percaya pada dongeng atau cerita-cerita mitos yang banyak berkembang di kalangan rakyatnya, tapi setelah mimpi semalam ia jadi berpikir, bahwa tidak menutup kemungkinan jalan keluar dari kekeringan yang melanda desanya bisa teratasi dengan mempercayai sebuah dongeng lama yang hampir tenggelam.
Dalam mimpi itu, seekor semut mengatakan kalau tidak perlu mencari peri ahli sihir atau peri ahli lainnya, yang perlu dicari Pangeran berambut merah bata itu hanya lah sebuah kitab yang tersimpan dengan baik di perpustakaan istana.
Kitab Iluvatar.
Kitab yang hampir satu abad penuh tidak pernah lagi tersentuh. Kitab keramat peninggalan para tetua Queras. Kitab yang berisi banyak rahasia pengobatan, ilmu sihir putih dan gelap, para bangsa Centaur lama yang sudah tidak pernah muncul di dataran Fairy Land, dan klan Valinor, malaikat penjaga bersayap putih bercahaya.
Seumur hidupnya, Pengeran Gaara tidak pernah melihat atau bahkan mendengar adanya kitab Iluvatar. Seumur-umur baru semalam ia mendengar nama itu. Kalau saja semut itu tidak memberitahunya, sampai kapan pun telinganya akan sangat awam dari kata Iluvatar. Menurut si semut, jawaban atas permasalahan apa saja akan terjawab dalam kitab tersebut, tanpa terkecuali. Dan mungkin Iluvatar akan menjadi satu-satunya jalan terakhir untuk bisa mendatangkan hujan.
Pangeran Gaara mendesah berat, terbang rendah mendekati Ratu Karura, lalu duduk menekuk lutut di hadapan sang ibu.
"Ibu tidak perlu khawatir, aku hanya mengunjungi perpustakaan sebentar. Setelah aku menemukan kitab itu, aku janji akan cepat kembali."
"Tapi perpustakaan Queras dijaga ketat, Pangeran. Tidak sembarang peri bisa masuk ke sana. Peri penjaga di sana terkenal buas dan galak. Ibu hanya khawatir akan terjadi sesuatu padamu…"
Pangeran Gaara mengenggam jemari ibunya erat, seolah mengisyaratkan untuk percaya padanya. "Sudah ku katakan, Ibu tidak perlu cemas, aku akan baik-baik saja."
"Kalau begitu biarkan Sasori dan Sasuke mengawalmu. Kemampuan mereka sedikit mengurangi kekhawatiranku."
Suara baritone Raja Rei memecah kesenyapan sementara yang sempat tercipta antara Pangeran Gaara dan Ratu Karura. Keduanya saling menatap kemudian tersenyum mahruf.
"Baiklah, Ayah…"
Perpustakaan Queras...
Hinata dan Ino terbang hati-hati di atas langit perpustakaan Queras. Dalam jarak pandang mereka, para peri penjaga terlihat sangat waspada. Terbang kesana-kesini sambil membawa tongkat sihir berujung besi. Mata mereka awas, siap menangkap bayangan apa saja yang melintas di sekitar perpustakaan Queras.
Ino menggigit bibirnya cemas. Dari tadi ia terbang hilir-mudik di belakang Hinata, takut kalau-kalau bayangannya tertangkap para peri penjaga.
"Ino, kalau kau tidak bisa diam, kita akan mati tertangkap!" Hinata mendesis kesal. Bagaimana tidak? Lehernya nyaris patah hanya karena memperhatikan Ino yang gemetar. Ia tahu, Ino takut, tapi bisa kan tidak menunjukkan ketakutannya, bikin kesal saja.
"Hinata, apa kau yakin tetap akan meneruskan misi ini?"
Hinata tidak menjawab. Ia berbalik dan menghampiri Ino, mengenggam tangannya dan mengajaknya terbang lebih tinggi, bersembunyi di balik ranting pohon yang ditutupi daun.
Ino memperhatikan Hinata yang terdiam dan menghela napas panjang. "Hinata..?"
"Kau tidak tahu, Ino? Sebenarnya… aku tidak terlalu penasaran pada rumor penduduk yang mengatakan kalau desa kita terkena kutukan. Aku juga sama sekali tidak tertarik dengan ucapan semut itu atau pun pada kemarau panjang yang melanda desa kita, selama aku masih bisa bertahan hidup, bagiku sudah cukup. Tapi…"
Hinata mengeluarkan sesuatu dari balik saku bajunya. Sebuah kalung berbandul liontin berbentuk keping biji matahari.
"Ini adalah bibit Helianthus emas peninggalan mendiang ibuku. Sebelum beliau meninggal, ia sempat berpesan padaku kalau bibit ini harus bisa tumbuh, karena jika nanti Helianthus emas itu mekar, akan menghasilkan biji bunga yang bisa menyembuhkan penyakit Bibi Kurenai. Kau tahu kan kalau hanya bibi Kurenai yang aku punya. Bibi Kurenai sudah seperti ibuku dan aku ingin menyembuhkan penyakitnya. Tapi sayangnya hanya biji Helianthus emas yang bisa mengobati sakitnya."
"Sementara, kau juga tahu kalau air untuk bisa membuat Helianthus emas tumbuh tinggi hanyalah guyuran hujan secara berkala. Suhu udara juga harus lembab dan hangat. Kandungan dalam tanah untuk menanam Helianthus harus mangandung banyak garam dan air. Sedangkan cuaca saat ini sangat buruk untuk menanam Helianthus emas."
Ino terdiam mendengarnya dan ikut merasa sedih. Ia tahu dan sangat mengenal Hinata, mereka tumbuh besar bersama. Ia juga tahu bagaimaan sedihnya Hinata saat ayah dan ibunya pergi untuk selamanya. Dan hanya Bibi Kurenai lah saudara sedarah yang Hinata miliki.
"Dan, aku tidak mungkin hanya diam menunggu sampai hujan turun sendiri. Aku takut kalau hujan tidak pernah turun lagi dan penyakit bibi Kurenai semakin parah. Aku tidak mau kehilangannya, Ino…"
Hening menyelimuti mereka berdua. Keduanya sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Hinata benar. Sesuatu tidak akan berubah kalau tidak ada kemauan dari diri sendiri untuk mengubahnya. Begitu pun dengan penyakit bibi Kurenai, tidak mungkin bisa sembuh kalau tidak diobati.
Ino mendesah, tersenyum tipis. Kemudian melepas pita panjang yang dijadikannya ikat rambut pirangnya kepada Hinata. "Menurut Nenek penjual madu di ujung jalan, ketakutan itu harus dilawan. Dan aku titipkan pita keberanian ini untukmu."
Hinata mengernyit heran. "Apa maksudmu, Ino?"
"Aku akan mengalihkan perhatian para peri penjaga itu, saat mereka lengah, kau harus cepat masuk. Ingat, waktumu hanya lima menit, oke?"
"Sebentar." Hinata menahan tangan Ino yang hendak terbang, menatap penuh sepasang mata kebiruan milik Ino. "Ino, kau serius?"
"Kita hanya berdua, Hinata. Kalau bukan kau, pasti aku. Tapi kau tahu kan, aku tidak punya alasan kuat untuk masuk ke sana, dan satu-satunya yang mungkin hanya kau."
Hinata terdiam. Sepasang bola mata ungu pucatnya masih enggan baranjak dari iris kebiruan Ino.
"Jangan cemas, Hinata, aku akan baik-baik saja, percaya padaku."
"Tapi, Ino, apa… kau yakin?"
Ino mengangguk mantap. "Tidak pernah seyakin ini."
.
.
.
.
"Pangeran, awas!"
Sasori menarik tangan Pangeran Gaara cepat, menghindari jarum tipis beracun yang hampir mendarat liar di sayap sang pangeran, lalu mengajak Pangeran Gaara untuk bersembunyi di balik dedaunan.
Di hadapan mereka sedang tersaji pemandangan menggelikan dimana Ino yang terbang membabi buta menghindari serangan para peri penjaga perpustakaan Queras. In berteriak kalap. Gerakannya yang lincah selalu berhasil menghindari senjata-senjata yang dilemparkan para peri penjaga, membuat peri-peri itu menggeram kesal.
Sasuke yang terbang berjaga-jaga di belakang Pangeran Gaara dan Sasori, mendekat. "Pangeran, apa pangeran lihat, jendela kecil di atap perpustakaan terbuka, sepertinya ada yang baru saja masuk ke sana."
Pangeran Gaara mengikuti arah tunjuk Sasuke, dan senyum samar terulas di bibirnya. "Sepertinya begitu." Kemudian mengambil ancang-ancang untuk terbang.
"Pangeran mau kemana?" tanya Sasori.
Pangeran Gaara mendelik. "Tentu saja masuk, kau pikir apa lagi, huh?"
"Pangeran tidak boleh masuk sendiri, kami harus menemani Pangeran," sambung Sasuke.
"Ck! Peri penjaga cerewet!" Ketus pangeran Gaara
"Tidak, kalian tunggu saja di sini, aku akan masuk sendiri. Kalau dalam satu jam aku tidak kembali, kalian harus memanggil para pengawal untuk menghancurkan perpustakaan ini, kalian mengerti?"
Belum sempat Sasori dan Sasuke menjawab, Pangeran Gaara sudah lebih dulu melesat terbang, masuk ke celah jendela atap perpustakaan yang terbuka tanpa mencuri perhatian para peri penjaga.
Ya, dan perjalanan tidak terduga akan segera menantang.
.
.
.
.
Hinata menginjak pelan di atas rak-rak buku yang berdebu. Melangkah pelan di pinggir-pinggir jejeran buku. Sesekali terbatuk kalau-kalau ada debu menyebalkan yang menyumbat hidungnya.
"Astaga, tempat ini berdebu sekali," desisnya di keheningan ruangan yang pengap. Sepasang mata ungu pucatnya menyusuri dengan teliti jejeran buku, membaca setiap judul buku yang tertulis timbul menggunakan huruf elf, huruf kuno Fairy Land.
KRIIIEEEKK…
Hinata kontan mendelik saat suara deritan buku menusuk indera pendengarnya. Ia melangkah mundur dan bersembunyi di sela-sela jejeran buku yang kosong.
Lamat-lamat suara kepakan sayap terdengar. Hinata semakin bersembunyi dalam. Matanya bergerilya liar mencari sesuatu yang bisa dijadikan senjata.
Ia menahan napas saat sekelebat bayangan melintas. Oh, tidak, itu pasti peri penjaga, pikirnya. Remasan di ujung baju daunnya semakin menjadi saat bayangan itu semakin dekat. Ya Tuhan, selamatkan aku!
"Siapa di sana?" itu suara peri penjaga.
SREETT
SREET
BUGH
"KYA—mmph!"
"Jangan berteriak, atau kita berdua akan ketahuan."
Suasana hening menyelimuti mereka. Sampai suara peri penjaga tidak lagi terdengar, tangan yang membekap mulut Hinata terlepas. Lantas saja Hinata mengambil napas banyak-banyak.
"Hosh hosh hosh… kau mau membunuhku, huh?! Seenaknya saja membekap mulutku tanpa permisi, kau pikir kau siapa?!"
Sosok di hadapan Hinata itu hanya mengangkat alis, menatap aneh wajah Hinata yang memerah. "Siapa kau?" tanya balik sosok itu.
Hinata berdecak. "Harusnya itu kalimatku, Tuan! Aku yang lebih dulu masuk ke sini. Siapa kau?" ketusnya tajam.
'Siapa kau? Ck! Tidak ada yang tidak mengenalku di Fairy Land, Peri bodoh!'
"Kenapa diam?" tanya Hinata penuh selidik.
"Kau tidak mengenalku?" tanya balik sosok di hadapan Hinata, Hinata menggeleng. "Benar-benar tidak pernah melihat wajah tampanku?"
Oh, ayolah, Pangeran Gaara, jangan bercanda di situasi yang tidak tepat!
"Memangnya siapa kau sampai aku harus mengenalmu? Kau bukan pangeran dari Queras, kan? Dan apa tadi, tampan? Sepertinya kau butuh kaca, Tuan." tantang Hinata sinis, lalu keluar dari persembunyian sambil tersenyum meremehkan dan kembali menyusuri jejeran buku.
Pangeran Gaara menganga tidak percaya, lalu menggeram jengkel. Ini pertama kalinya ada yang tidak mengenali siapa dirinya dan tidak mengakui ketampanannya. Ini penghinaan namanya.
"Kau sendiri siapa?" Pangeran Gaara ikut keluar dari persembunyian, mengepak pelan di belakang Hinata.
Hinata berbalik. "Aku?" tanyanya retorik.
Pangeran Gaara berdecak. "Bukan, bayangan di belakangmu!" tukasnya jengkel. Hinata hanya mengangkat malas bahunya, kemudian kembali menyusuri rak.
"Hei, tentu saja kau yang kumaksud! Kau pikir ada siapa lagi di sini, heh?!" Hinata menutup kedua telinganya, menatap geram Pangeran Gaara yang berteriak kesal.
"Tidak perlu berteriak, aku tidak tuli!"
Ya, ya, baiklah, Hinata… teruskan gayamu.
Menggeram jengkel, Pangeran Gaara terbang mendahului Hinata, lalu berhenti tepat di hadapannya. Menatap meremehkan sambil bersidekap angkuh. "Siapa kau?"
Hinata berjengit kaget. Kedua bola matanya berputar malas. " Lady Hinata, biasa dipanggil Hinata."
"Ehem, lalu…" Pangeran Gaara sengaja menggantung kalimatnya. Sepasang jade terangnya meneliti gadis itu dari ujung kaki sampai kepala, membuat Hinata jengah.
"Apa?" tantang Hinata melotot.
"Lupakan."
Cih! Dasar aneh!
Keduanya lalu melanjutkan menyusuri jejeran rak dan buku sambil terus waspada. Mengamati dengan teliti setiap judul buku yang menyembul.
"Buku apa yang kau cari?"
Hinata mendapati suara baritone menggema di sampingnya. Ia mendelik dengan alis terangkat. "Bukan urusanmu," jawabnya ketus. Kemudian duduk di ujung lembaran kertas yang tercecer, meregangkan otot kaki.
Pangeran Gaara mengikuti Hinata, duduk bersila di sampingnya. Tidak ada yang bicara. Keduanya sama-sama lelah setelah hampir setengah jam berkeliling.
Tiba-tiba, Hinata terlonjak. Ia baru ingat kalau Ino belum juga menyusulnya. Pasti Ino masih sibuk menghadapi para peri penjaga.
Hinata berjengit bangun. Tapi gerakannya yang mendadak membuat langkahnya goyah dan menginjak lembaran kertas yang licin. Dan tanpa bisa dicegah, Hinata kehilangan keseimbangan. Tubuhnya limbung. Namun, ujung sepatu daunnya yang licin membuatnya tergelincir. Pangeran Gaara yang berada di sampingnya reflek mengulurkan tangan, namun gerakannya yang juga tidak disertai keseimbangan, malah membuatnya ikut terpelanting.
Gesekan kertas yang keduanya duduki terdengar meluncur cepat, menukik mengikuti arah angin yang kencang, melibas apa saja di sekitarnya hingga tampak seperti kibasan rambut. Mereka berteriak bersama, lalu kemudian suara berdebum dan suara rintihan mengakhiri sesi terjun bebas yang menyakitkan setelah sebelumnya hujan debu dan kertas saling berlomba.
Hinata mengerang keras. Seluruh tubuhnya nyeri, terutama pantatnya. Pantatnya terasa kebas.
"Apa tidak ada pendaratan yang lebih mulus dari ini?"
Suara baritone di sampingnya membuat Hinata menoleh. Ah, iya. Dia lupa. Dia tidak jatuh sendirian.
"Ada, kalau kau mau mengulangi aksi jatuh tadi sekali lagi," sahut Hinata datar. Sebelah tangannya menepuk-nepuk pantatnya yang penuh debu.
"Hei, hentikan! Kau mengotori wajahku, Bodoh!" protes Pangeran Gaara.
Tubuh Hinata berbalik seketika dan melotot marah. "Kalau kau merasa pintar sebaiknya tutup mulut besarmu itu dan cepat berdiri! Kau merasa laki-laki, bukan? Bersikaplah seperti laki-laki, bukan anak perempuan yang lemah! Dasar menyebalkan!" setelah mengatakannya, Hinata cepat-cepat pergi. Berlama-lama dengan orang seperti laki-laki itu membuatnya cepat naik darah. Astaga…
Kali ini Pangeran Gaara tidak memprotes. Mulutnya cukup mencibir tanpa suara dan mengepak pelan di belakang Hinata. Suasana yang mereka telusuri saat ini berbeda dari sebelumnya dan terasa dingin. Dinding berbatu yang seolah tak berujung membuat mereka harus waspada. Hening yang mengepung membuat keadaan terkesan mistis, ditambah pencahayaannya yang kurang. Beberapa kali mereka sempat dikejutkan kelelawar yang terbang tinggi di atas mereka. Makhluk nocturnal itu benar-benar mengancam dalam keadaan seperti ini. Tubuh kecil mereka bisa disangka makanan.
"Hei, sebenarnya kita ada dimana?" suara Pangeran Gaara menggaung sampai jauh, memaksa Hinata memelototinya. Tapi Pangeran berambut merah itu tidak ambil pusing.
"Hei, kau mendengarku, kan? Sebenarnya kita ada di mana saat ini?"
Hinata memutar bola mata jengah, malas menanggapi. Dan tanpa perduli terus mengepak.
"Kau tuli ya? Apa jatuh tadi membuat otakmu jadi idiot?"
Mendengar kata idiot yang ditujukan padanya, mau tidak mau membuat Hinata berbalik. Wajahnya dipasang datar dengan sebelah alis terangkat penuh intimidasi. Mendapati sosok di depannya dengan ekspresi mengerikan, Pangeran Gaara buru-buru tercengir, seolah tidak melakukan apa-apa. "Hehehehe aku hanya merasa perlu tahu dimana kita sekarang," kata Pangeran Gaara berusaha santai. Hinata berdecak jengkel, "Dengar! Kalau aku tahu ada dimana kita saat ini, aku pasti akan memberitahumu. Mulutmu cukup membuat telingaku panas, kalau kau mau tahu! Dan, ah, satu lagi. Jangan memanggilku 'hei', aku punya nama. Mengerti?!"
Pangeran Gaara hanya mengangkat bahu asal. Wajahnya berubah datar dan terkesan malas. Gadis di depannya selalu berkata dengan berapi-api dan alisnya selalu terangkat. Kentara sekali luar biasa galaknya gadis itu.
Mendapati sahutan yang benar-benar membuatnya geram, Hinata berusaha meredam kekesalannya. Rasanya ubun-ubunnya sudah mendidih. Benar-benar menguras emosi berbicara dengan laki-laki di depannya ini. Tanpa mau menjawab apapun lagi, dia berbalik dan kembali mengepak pelan. Namun, baru beberapa detik berselang, tiba-tiba sebuah cahaya terang menembus lurus. Cahaya yang awalnya hanya sebuah titik kini perlahan melebar seperti cahaya lorong waktu. Mereka sampai harus menutupi mata mereka dari cahaya yang kelewat terang itu, sampai beberapa detik kemudian, keadaan berlalu hening dan suasana terasa normal lagi. mereka mulai membuka mata dan menajamkan penglihatan pada cahaya terang di hadapan mereka. Kening mereka bertaut saat sama-samar mulai terlihat seseorang keluar dari pusat cahaya terang itu, diiringi wangi semerbak dari ratusan Helianthus yang mulai mekar.
Seorang wanita super cantik, dengan rambut panjang menjuntai dan gaun daun berwarna merah muda, serta sayap keunguan yang menempel di punggungnya yang sudah tentu menambah kecantikan luar biasa wanita itu terlihat mengepak pelan mendekati mereka. mereka kira, wanita itu sama seperti mereka, masih sejenis peri. Tapi melihat ukuran tubuhnya yang semakin didekati semakin telihat besar dan jangkung, membuat mereka berdua sedikit bergidik dan mulai mundur pelan teratur. Hei, apakah dia raksasa?
"Sayangnya aku bukan raksasa, Pangeran Gaara," tukas peri cantik itu dengan senyum meneduhkan. Pangeran Gaara sempat terkikuk karena apa yang ada dalam otaknya bisa ditebak dengan jelas. Sementara Hinata hanya diam memperhatikan. Betapa peri itu sangat cantik. Benar-benar cantik.
"Terima kasih, Hinata… kau juga cantik," kata peri itu, seolah mampu membaca pikiran gadis berambut indigo. Dia tersenyum tipis dan mengangguk. Tapi mengingat apa yang menjadi panggilannya pada sosok di sampingnya membuat Hinata mengangkat sebelah alis tidak percaya. "Kau… seorang pangeran?" tanyanya masih tidak percaya. Pangeran Gaara tersenyum miring, seolah bangga pada diri sendiri. "Ya, aku seorang pangeran. Aku pangeran dari Kerajaan Queras." katanya pongah. Hinata tersenyum meremehkan. Apa? Pangeran? Jangan bercanda. Tidak ada pangeran sebodoh dia, kan?
Peri cantik itu hanya tersenyum melihat perang batin yang disalurkan melalui tatapan tajam antara Pangeran Gaara dan Hinata. Keduanya tampak saling menghina dan merendahkan.
"Sepertinya kalian tersesat, bukan begitu?"
Suara halus nan lembut milik peri cantik itu menggema, memecah perang dingin antara mereka. Keduanya saling menatap lagi kemudian mengangguk.
"Tapi, kenapa kau bisa tahu siapa kami? Apa kau seorang peri ahli sihir?" pertanyaan polos yang diajukan Hinata kontan membuat peri cantik di depannya tertawa kecil. Sebelah tangannya melemparkan dua helai daun yang masing-masing jatuh tepat di atas telapak tangan Pangeran Gaara dan Hinata. Mereka kembali saling menatap dengan raut bingung.
"Namaku Sakura Valor, peri penjaga dari bangsa Valor, bangsa peri mulia. Aku adalah utusan langsung dari para Eldar, Peri Bintang, untuk menjadi peri utama penjaga Perpustakaan Queras. Dan saat ini kalian ada di kediamanku, di Atarasse Landous. Aku tidak paham kenapa bisa kalian ada di sini. Karena jelas, tidak sembarang peri bisa masuk ke sini, kecuali ada panggilan khusus yang menjadi tugas kalian," terang peri cantik itu. "Apa yang menyebabkan kalian datang ke tempat ini?"
"Kitab Iluvatar," sahut mereka bersamaan. Sakura Valor sempat dibuat terdiam mendengar jawaban kedua peri di hadapannya. Keningnya mengernyit dalam. "Kitab Iluvatar?" tanyanya menyelidik.
"Ya." Sekali lagi, Pangeran Gaara dan Hinata menyahut berbarengan.
"Tahu darimana kalian tentang kitab itu?" sekali lagi Sakura bertanya. Tapi, bukannya mendapat jawaban, pertanyaannya malah dibalas pertanyaan lagi oleh Pangeran Gaara, "Kau tahu dimana keberadaan kitab itu?"
Sakura menatap mereka bergantian yang juga menatapnya dengan wajah penuh harap. Tatapannya dalam dan tajam. "Tidak. Tahu atau tidak, aku tidak akan memberitahukannya pada kalian," sahut Sakura datar.
"Kenapa? Kenapa kami tidak boleh tahu?" Kali ini Hinata yang bertanya. Wajahnya terkesan lelah.
"Kalian hanyalah peri biasa tanpa kekuatan dan kemampuan apapun. Dan Kitab Iluvatar bukanlah kitab biasa. Untuk menemukannya membutuhkan keahlian dan pengorbanan yang luar biasa. Sudahlah, sebaiknya kalian pulang. Tidak ada gunanya kalian berlama-lama disini."
"Dari jawabanmu mengartikan bahwa kau tahu dimana keberadaan kitab itu, aku benar?" cecar Pangeran Gaara, di sampingnya Hinata mengangguk setuju. Sakura Valor terdiam. Sepasang mata emerald indahnya menelisik Pangeran Gaara dan Hinata secara bergantian. Tidak ada yang bersuara hingga kemudian Sakura menghela napas panjang. "Ini bukan tempat kalian. Sebaiknya kalian pulang," katanya lemah.
"Apa katamu, pulang?" Hinata menyahut cepat. Dagunya terangkat tinggi. Wajahnya dipenuhi rasa kesal yang tiba-tiba mengepung, kemudian decakkan jengkel keluar dari bibirnya. "Kau tahu, untuk bisa masuk ke perpustakaan ini, aku telah mengorbankan nyawa sahabatku sendiri. Aku bahkan tidak tahu apakah sekarang dia baik-baik saja atau tidak. Dan sekarang, dengan gampangnya kau menyuruhku untuk pulang? Hahaha maaf sekali, tapi aku tidak mau. Aku tidak bisa pulang tanpa membawa hasil!" jawab Hinata tegas dan penuh penekanan. Pangeran Gaara yang ada di sampingnya, sedikit terkejut dengan sahutan Hinta. Gadis itu sebenarnya bodoh atau sok berani, sih?
Sakura menarik napas panjang sekali lagi dan mengembuskannya kasar. Dua mkahluk di depannya sama-sama keras kepala. "Tapi, bagaimanapun usaha kalian, kalian tidak akan bisa menemukan kitab itu. Kitab Iluvatar adalah kitab kuno yang tidak pernah ditemukan semenjak puluhan abad lalu dan tidak ada yang bisa menemukannya," sahutnya lembut. "Kalian tidak akan bisa…"
"Kenapa? Kenapa kami tidak bisa menemukannya?" serobot Pangeran Gaara, sama tidak sabarnya dengan Hinata.
Sakura tersenyum kecil meremehkan. "Kalian pikir kalian siapa?" tanyanya menatap tajam Pangeran Gaara dan Hinata. Sebelum melanjutkan, sepasang sayap indahnya mengepak lebih dekat. "Baik. Aku akan memberitahu dimana keberadaan Iluvatar asalkan beritahu aku satu-satunya alasan kuat yang membuatku harus mengatakannya. Ingat, hanya satu jawaban."
Tanpa menunggu aba-aba, Hinata lantas mengepak maju. Bagaimanapun dia harus bisa menemukan kitab itu dan mendapat jawaban atas pertanyaannya. "Aku harus menemukan kitab itu karena satu-satunya jalan yang bisa membuat penyakit Bibi Kurenai...hmm… adalah…"
Tiba-tiba Hinata merasa kelu, merasa alasannya tidak cukup kuat. Dilihat dari sebelah sisipun, alasannya agak egois. Dia hanya mementingkan dirinya sendiri. Hinata menarik napas dan mundur perlahan, kembali mensejajarkan diri dengan Pangeran Gaara. Wajahnya tertunduk lemah. Pangeran Gaara yang melihatnya, menatapnya dengan bingung. "Ada apa? Kenapa kau tidak mengatakan alasanmu?" Hinata menggeleng pelan, "Aku hanya merasa alasanku tidak cukup kuat. Mungkin alasanmu bisa lebih meyakinkan. Jadi, kau saja. Katakan alasanmu yang sebenarnya," kata Hinata.
Kedua alis Pangeran Gaara terangkat seirama. "Hah? Kau yakin? Kau bercanda ya?"
Kepala Hinata terangkat dan menatap tajam Pangera Gaara. "Aku akan membunuhmu kalau sampai alasanmu tidak bisa diterima. Itu harga mati untuk kesempatanku yang kuberikan padamu. Jadi, gunakan dengan baik. Pikirkan alasan paling bagus kalau kau tidak mau pulang tanpa kepala."
Pangeran Gaara sempat bergidik ngeri mendengar sahutan Hinata. Mata gadis itu saat mengatakannya terkesan menakutkan dan mengerikan, hingga kemudian dia mengangguk dan perlahan mengepak maju, mendekati Sakura yang berdiri menjulang di hadapannya. Sebelum bersuara, Pangeran Gaara berdeham pelan, mencoba agar tidak kelihatan gugup. Kemudian wajahnya mendongak mantap dan menatap lekat sepasang mata emerald milik Sakura.
"Kenapa aku harus menemukan Kitab Iluvatar adalah… untuk mengembalikan kesejahteraan rakyatku. Selama lebih dari delapan purnama hujan tidak pernah datang. Hal itu membuat negeriku kekeringan dan menderita. Beberapa penyakit mulai tersebar dan bibit bunga baru terpaksa mati karena kurangnya kadar air. Aku tidak bisa membiarkan negeriku lumpuh perlahan, aku tidak bisa. Kesejahteraan mereka adalah hal utama yang menjadi tugasku. Jadi, bagaimanapun, aku harus bisa menemukan kitab Iluvatar dan mendapatkan cara agar hujan bisa kembali mengguyur negeriku."
Jawaban tegas dan meyakinkan yang diberikan Pangeran Gaara membuat Sakura tersenyum samar. Matanya beralih pada Hinata yang memasang wajah harap-harap cemas.
"Hanya itu?" tanya Sakura, Pangeran Gaara mengangguk, "Ya."
"Baiklah, Pangeran Gaara. Alasan yang kau berikan cukup membuatku terkesan. Dan sepertinya kau wajib berterimakasih pada Hinata yang sudah memberikan kesempatannya untukmu." kata Sakura, mengundang senyum lega di wajah Hinata dan senyum terima kasih dari Pangeran Gaara.
Sakura kembali bersuara, kali ini lebih tegas dan datar. "Aku tidak akan mengulur waktu kalian. Dengarkan aku baik-baik. Daun yang ada di tangan kalian adalah kunci untuk bisa memasuki hutan tergelap yang pernah ada. Hutan Marygold. Hutan itu adalah hutan terlarang yang cukup berbahaya. Kitab Iluvatar ada di kedalaman hutan itu, kalian bisa menemukannya di sana. Tetapi, untuk bisa sampai ke tempat kitab Iluvatar berada, terlebih dahulu kalian harus menemukan tiga pusaka yang merupakan satu-satunya cara bagi kalian untuk bisa membuka kitab tersebut. Tiga pusaka itu adalah kata kunci untuk membuka Iluvatar. Jika kalian bisa mengumpulkan ketiga pusaka itu sebelum matahari terbenam di barat, maka kalian akan mendapatkan apa yang kalian inginkan. Tapi jika tidak, maaf… aku tidak bisa mengembalikan kalian ke sini."
"Maksudmu… kami bisa saja mati di sana kalau tidak bisa menemukan tiga pusaka itu, begitu?" tanya Hinata, Sakura mengangguk dua kali.
"Apa saja tiga pusaka itu?" tanya Pangeran Gaara bersemangat.
"Tiga pusaka itu adalah tongkat keberanian, cermin kejujuran dan mahkota kesetiaan. Temukan ketiganya sebelum matahari terbenam di hari yang sama."
Jawaban Sakura mengundang kerutan di kening Hinata dan Pangeran Gaara. Pusaka macam apa itu? Mereka baru mendengarnya.
"Baiklah, kurasa tidak ada lagi yang perlu kalian tanyakan. Berhati-hatilah di dalam Marygold. Kepercayaan, kesabaran dan keegoisan kalian akan dipermainkan disana. Pintar-pintarlah saling menjaga dan mengingatkan."
Tepat setelah Sakura mengatakannya, sebuah pintu cahaya asing, berwarna biru saphire muncul tepat di samping Hinata dan Pangeran Gaara. Keduanya berjengit kaget.
"Itu adalah gerbang kalian menuju Hutan Marygold. Teruslah bersama dan berhati-hatilah. Lakukan apa yang menurut hati kalian ingin lakukan. Lakukan sebaik mungkin dan dengan cepat."
Selepas itu, Hinata dan Pangeran Gaara saling bertatapan, lalu mengangguk tegas. Keduanya siap. Meski apapun yang akan mereka hadapi, mereka hanya harus terus bersama. Ya. Dan, setelah melewati pintu cahaya tersebut, sebuah dunia yang tak pernah terpikirkan sebelumnya akan menjadi hunian baru yang membuat mereka ditempa sekuat tenaga. Antara harus terus melangkah atau menyerah cukup sampai disitu.
TBC
Thanks:
Terima kasih untuk adik kecilku yang mencarikan film tahun 1993 berjudul "fern Gully" yang sangat membantuku dalam pembuatan cerita ini. Joungmal gomawo lavly.^_^