Naruto, dkk punya Masashi Kishimoto
Gaahina
Romance
Story pure for Jhino
A/N:
Cerita biasa ini merupakan request uri cingu, Ungu Violet. Semoga violet menyukainya. ^_^.
WARNING: Cerita ini merupakan cerita fantasy dan OOC (sesuai kebutuhan cerita). If you don't like, don't read! Go away guys (by lav).
HAPPY READING
Suara burung-burung jauh menari di atas kepala Hinata yang fokus mengikat kaki Pangeran Gaara dengan sebuah sulur. Di bagian kanan dan kiri disanggah dua kayu kering yang agak besar agar memudahkan Pangeran Gaara untuk berdiri dan tidak mengganggu ketika berjalan. Hinata kelihatan begitu cekatan. Selain ikatannya harus kuat, Hinata juga tidak ingin ikatannya menyakiti Pangeran Gaara.
Pangeran Gaara menatap Hinata yang begitu serius. Mengamati gerakan tangan itu dan wajah yang benar-benar serius, membuatnya nyaris lupa berkedip. Bohong kalau Pangeran Gaara mengatakan Hinata itu tidak cantik, karena sebenarnya jantungnya nyaris berdentam-dentam kalau saja dia tidak lihai mengendalikannya. Dimulai dari alis yang tebal, bibir plump yang semerah buah apel sampai garis tegas wajah itu. Diam-diam, ada senyum tersembunyi di sudut bibir Pangeran Gaara. Sebelah tangannya ingin menggapai rambut panjang Hinata tapi diurungkan. Selain ingin menikmati suasana saat ini, Pangeran Gaara juga tidak mau mengulang debat kusir alot dan melelahkan yang baru saja usai antara dirinya dengan Hinata. Selain suka berteriak, ternyata Hinata cukup keras kepala. Berulang kali Pangeran Gaara memerintahnya untuk meninggalkannya sendirian dan meneruskan perjalanan sendiri, tapi Hinata terus saja menolaknya mentah-mentah. Hinata berdalih tidak ingin melewatkan setiap penderitaan sendirian. Terlalu menyenangkan bagi Pangeran Gaara. Huh, kekanakan, bukan?
"Sudah! Sekarang, coba kau berdiri," kata Hinata berseru tiba-tiba, mengacaukan fantasi Pangeran Gaara yang sedang menari-nari. Dengan pelan, Pangeran Gaara berdeham. Meski dia tidak mendengar, tapi dia bisa melihat gerak bibir Hinata. Kedua tangannya mencari pegangan untuk berdiri, tapi Hinata dengan cepat menggapainya hingga kini Pangeran Gaara bertumpu padanya.
Dengan pelan dan hati-hati, Pangeran Gaara berusaha menegakkan tubuhnya, menjejakkan dengan benar kedua kakinya dan melepas pagutan lengannya di bahu Hinata. Untuk beberapa detik Hinata ikut mengamati dan menunggu, baru setelah dilihatnya Pangeran Gaara bisa kembali berdiri, walau agak terpincang, seruan senangnya terlontar begitu saja bersama jingkrak kegirangan. "Nah, kan, apa kubilang? Kau itu tidak benar-benar lumpuh. Kau bisa berjalan kalau kau memang mau, iya kan?" tukasnya tersenyum sumringah. Pangeran Gaara berdecak. Meski tidak begitu yakin dengan gerak bibir Hinata yang dilihatnya, tapi sepertinya itu sebuah nada menyalahkan. "Ya ya ya… kau memang selalu benar," sahutnya dengan nada dibuat agak kesal. Hinata mendengus dan mencibir. "Salahmu sendiri yang sudah terburu putus asa, padahal belum berusaha. Dasar lemah!"
Pangeran Gaara tidak menyahut. Senyumnya terkulum miring saat Hinata menyerahkan kayu panjang untuk membantunya berjalan. Hinata sudah akan melangkah saat lengannya ditahan. Hinata menoleh dengan tatapan bertanya, tapi Pangeran Gaara hanya diam. Hinata menarik napas panjang dan berat. "Kalau kau masih mau memerintahku untuk melanjutkan perjalanan sendirian dan meninggalkanmu di sini, sebaiknya kau telan lagi idemu itu. Berapa kali pun kau mengatakannya, dua kali lipatnya juga aku akan menolaknya."
Kalimat Hinata tercetus dengan gerak bibir lamban hingga Pangeran Gaara bisa membacanya dengan jelas. Lengannya luruh dari lengan Hinata dan matanya menatap ke arah lain. "Kenapa? Kenapa kau menolak ideku? Tetap membawaku dalam perjalanan, hanya akan membebanimu, kau tahu?"
"Aku tidak tahu dan tidak mau tahu," sahut Hinata malas. Pangeran Gaara yang melihatnya, terdiam. "Kalau kau ingin tahu alasannya, aku sendiri tidak tahu. Aku hanya merasa selama ini kita sudah cukup saling membantu. Jadi, selama masih bisa dilakukan berdua, kenapa harus dilakukan sendiri? Bukankah beban yang ditanggung lebih besar jika sendirian? Dan lagi, aku hanya terus mengingat apa yang dikatakan Sakura, kalau kita harus terus bersama, maka semuanya akan baik-baik saja. Kau tentu tidak lupa nasihat itu, kan?"
Kepala Pangeran Gaara mengangguk dua kali dan mendengus pendek. "Baiklah. Kali ini aku menuruti apa yang kau perintahkan," jawabnya. Hinata mengedikkan bahu. Telunjukknya mengarah pada matahari yang semakin menukik ke barat. "Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan. Ayo!"
Hinata berjalan pelan di depan sambil menebas beberapa rerumputan yang cukup menganggu di kanan dan kirinya, sementara Pangeran Gaara setia mengekor di belakang. Langkah kakinya dibuat mampu mengimbangi langkah Hinata yang cepat. Beberapa buliran keringan sudah membanjiri punggung dan dahinya. Rasanya mereka sudah berjalan puluhan kilo, tapi tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan keberadaan Iluvatar semakin dekat. Selain keadaan hutan yang semakin dingin, selebihnya sama saat seperti saat mereka menginjakkan kaki di sini pertama kali.
"Apa kau lelah?" Tiba-tiba Hinata berbalik dan mengangsurkan sebuah botol berisi air yang sudah tandas separuh. Pangeran Gaara menggeleng tapi menerima botol minum itu.
"Kau mau kita istirahat dulu?"
"Tidak perlu. Semakin sering kita beristirahat, waktu yang kita buang semakin banyak. Kau lihat sendiri 'kan matahari nyaris mendahului kita," sahut Pangeran Gaara. Hinata mengangguk dan melanjutkan langkah. Sebenarnya hatinya agak was-was. Selain melihat keadaan Pangeran Gaara yang kelelahan, dari tadi hatinya juga tidak tenang. Seperti merasa ada yang mengikuti mereka. Tapi Hinata tidak tahu apa itu. Dan suasana di pedalaman hutan kali ini…., sungguh Hinata membencinya.
Sebuah suara asing dari arah belakang membuat Hinata kontan berbalik. Panahnya siap teracung di depan dada. Mata Hinata menelisik, mengamati pepohonan yang bergerak berbeda dari yang lain. Hinata menyuruh Pangeran Gaara tetap di tempat, tapi laki-laki itu malah balik menahannya. "Jangan didekati. Siapa tahu itu adalah jebakan. Tetap berjalan dan bersikaplah seolah kau tidak tahu apa-apa." Hinata mengangguk, tapi kali ini dia meminta berjalan di belakang. Dia tidak mau makhluk-makhluk jelek itu mengambil kesempatan melukai Pangeran Gaara lebih dulu sebelum melawannya.
Sesuatu berlalu begitu cepat. Kepalan tangan Pangeran Gaara semakin kencang pada pedang yang digenggamnya. Dari ekor matanya dia bisa melihat bayangan yang berkelebat di sekitar mereka. Diikuti suara daun yang tertebas pelan.
"Percepat langkahmu dan cari tempat yang lebih luas," desisnya, lalu sekuat tenaga mengangkat beban tubuh dan kakinya dengan bantuan tongkat. Hinata menurut. Dia berjalan mengikuti ritme Pangeran Gaara sambil memunggungi. Busurnya terangkat siap, siap memanah apa saja yang ada di depannya.
Bayangan itu semakin gencar berkelebat. Dari ekor mata, Pangeran Gaara bisa menangkap pergerakan makhluk yang kini mengikutinya jauh lebih cepat dari mereka. Napas Hinata dan Pangeran Gaara bersahutan. Begitu sampai di tempat yang sedikit luas, keduanya dikejutkan oleh kedatangan seekor makhluk besar dengan delapan kaki. Makhluk itu muncul tepat di depan Hinata dan Pangeran Gaara.
"Halo, Manusia…," sapa makhluk itu. Dari jarak sedekat ini, Pangeran Gaara dan Hinata bisa mencium bau anyir darah dan tatapan lapar yang disuguhkan laba-laba raksasa itu di depan mereka.
Pangeran Gaara menelan ludah. Makhluk berukuran kecil yang biasa ditemuinya di dahan-dahan yang nyaris patah atau di sekat dedaunan yang hijau, kini berdiri di depannya dengan ukuran berpuluh kali lebih besar. Ditambah dengan warna hitam dan bulu-bulu tajam di kulitnya, benar-benar menciutkan nyalinya. Di sebelahnya, Hinata tak kalah sulit menelan saliva. Ini pertama kalinya dia melihat seekor laba-laba hutan berukuran raksasa. Dan nyalinya…., astaga! Dia kemanakan nyalinya yang tadi berapi-api?
"Ternyata benar apa yang dikatakan mereka, manusia pencari Iluvatar benar-benar menggoda untuk disantap. Ah, aku jadi lapar…," kata laba-laba itu dengan kekehan mengejek. Hinata terpancing emosi. Dia maju selangkah dan siap melesatkan panah, tapi ditahan oleh Pangeran Gaara. "Jangan gegabah. Gunakan panahmu di sasaran dan waktu yang tepat," katanya.
"Tapi kapan? Kau lihat muka laba-laba itu, rasanya aku ingin merusaknya," jengkel Hinata. Pangeran Gaara mulai berpikir. Mengandalkan pedang miliknya atau panah milik Hinata saja tidak cukup. Mereka butuh sesuatu yang bisa mengimbangi laba-laba itu.
"Pikirkan sesuatu, Gaara!" seru Hinata mulai mundur. Laba-laba itu semakin mendekati mereka dengan bau liur yang bisa membunuh.
"Jangan takut, Manusia… Aku tidak akan memangsa kalian jika kalian mau menuruti perintahku, bagaimana?" kata si Laba-laba mencoba bernegosiasi.
"Sayangnya kami tidak menerima perintah dari siapapun," sahut Hinata galak. Sang laba-laba terkekeh, "Benarkah? Ah, sayang sekali, Nona Manis… aku tidak memberikan kesempatan dua kali, kau tahu?"
"Sayangnya kau juga perlu tahu, bahwa kami juga tidak pernah melewatkan kesempatan apapun," jawab Pangeran Gaara, tersenyum sombong.
Laba-laba itu mulai terpancing. Suaranya berdesis menaham marah. Pangeran Gaara yang melihatnya menyenggol bahu Hinata. "Dengarkan apa yang kukatakan dan lakukan dengan cepat, oke?" Hinata mengangguk dua kali. Kuda-kudanya siap terpasang. Matanya mengikuti ritme gerak laba-laba besar di depannya.
"Jadi kalian memilih menjadi menu makan siangku, begitu? Baiklah, itu pilihan kalian," tandas si Laba-laba dan dengan cepat menyemburkan jaringnya dari mulut. Pangeran Gaara yang meilhatnya buru-buru berseru, "Berpencar!"
Pangeran Gaara berlari ke kiri dan Hinata ke kanan. Dengan susah payah Pangeran Gaara berlari agak terseok. Tapi agaknya laba-laba itu tahu keadaan Pangeran Gaara, karena terus mengikuti pergerakan Pangeran Gaara yang tertatih. Hinata mengamatinya dari jauh. Dia tidak bisa membiarkan laba-laba itu mengincar Pangeran Gaara. Dengan gerakan cepat, sebuah anak panah dilesatkannya ke arah laba-laba itu dan mengenai tepat di bahu. Laba-laba itu langsung berbalik dan mengabaikan Pangeran Gaara. Saat itu Hinata memberi isyarat agar Pangeran Gaara bersembunyi. "Selamatkan dirimu, Gaara!" teriak Hinata kemudian berlari. Tapi Hinata hanyalah seonggok daging yang tak sebanding. Baru berapa langkah saja, tubuhnya di cekal badan besar sang laba-laba.
"Kau pikir bisa lari dariku, Manusia? Hahahaha…"
Hinata bersumpah bahwa tawa itu adalah tawa terjelek yang pernah didengarnya.
"Tidak berniat sama sekali, Laba-laba jelek," sahut Hinata. Busurnya terangkat lurus dan melesatlah sebuah anak panah. Tapi sayangnya kali ini bisa ditahan.
"Rupanya mau bermain-main denganku? Rasakan ini, Manusia!" Laba-laba itu menyemprotkan jaringnya ke arah Hinata. Hinata beringsut dan jaring itu meleset. Kembali Hinata mengarahkan anak panahnya, dan kali ini kena. Sebuah cairan berwarna hijau berbau busuk mengucur dari tubuh sang laba-laba saat anak panah itu dicabut. Laba-laba itu mengerang.
Dengan geraman penuh marah, laba-laba itu mengeluarkan jaringnya dari mulut lebih banyak. Hinata berkali-kali mengelak dan meleset. Panahnya beberapa kali mengenai tubuh laba-laba itu. Pangeran Gaara yang melihatnya tidak bisa diam. Dia terus mengamati pergerakan Hinata dan memberikan instruksi kalau-kalau Hinata terpojok.
"Hinata, merunduk!" jerit Pangeran Gaara. Kali ini Hinata berada di atas dahan sebuah pohon besar yang lumayan tinggi. Sementara laba-laba itu terus menghujaninya jaring-jaring sutra. Hinata tersengal. Napasnya nyaris habis. Hinata hampir saja lengah kalau Pangeran Gaara tidak meneriakinya untuk melompat terjun, hingga jaring itu meleset sekali lagi.
Laba-laba itu meradang. Tatapannya terhunus tajam pada Pangeran Gaara yang berdiri pincang. "Diam kau, Manusia perusak! Temanmu akan jadi santapanku!" katanya geram dan bersiap meluncurkan jaring sutra.
"Gaara, awaaassss!" kali ini Hinata yang berteriak. Seruannya berhasil membuat Pangeran Gaara menghindar dengan terengah-engah. Sang laba-laba semakin panas. Dia kembali mengeluarkan jaring sutranya kearah Pangeran Gaara. Pangeran Gaara sempat menghindar lagi, tapi akibat geraknya yang terbatas, tubuhnya jatuh terjerembab. Hinata berteriak histeris. Secepat mungkin langkahnya diayun untuk menderap Pangeran Gaara. Tapi sayangnya saat itu Hinata lengah. Laba-laba itu justru mengerahkan jaring sutranya ke arah Hinata dan berhasil menjegal langkah Hinata. Hinata jatuh, kepalanya membentur tanah. Dan jaring sutra laba-laba sialan itu mencekal kakinya.
"Gaara, larii!"
Hinata terus berusaha membantu Pangeran Gaara yang kini menjadi fokus sang laba-laba. Tapi, dengan keadaan kaki seperti itu dan pendengaran yang terganggu, Pangeran Gaara tidak bisa terus menghindar. Tubuhnya kini terbentur pada sebuah pohon besar dengan napas tersengal. Laba-laba itu tertawa mengejek dan mengeluarkan jaring sutranya. Hinata berontak. Dia memotong jaring sutra yang mengikat kakinya dengan sebuah akar menggunakan pedang Pangeran Gaara yang tergeletak tidak jauh darinya. Susah payah dia meraih pedang itu dan begitu dapat, langsung memotong jaring sialan itu.
Hinata berlari secepat mungkin setelahnya, ingin cepat menggapai Pangeran Gaara. Tapi sayangnya, jaring sialan itu kembali menahannya. Kali ini menariknya hingga tubuhnya terjungkal. Hinata tidak patah arah. Dia terus saja berlari, tapi sialnya kali ini laba-laba itu malah membuat tubuhnya terangkat dan menggantung dengan posisi kepala ke bawah. Posisi Pangeran Gaara dulu. Hinata berontak sekuat tenaga. Dia mencari apa saja untuk dijadikan senjata karena semua persenjataannya jatuh. Dan begitu tangannya bisa menarik sebuah ranting kering, Hinata merobek jaring itu. Sayangnya Hinata tidak menggunakan perhitungan, sampai tubuhnya meluncur bebas dengan ketinggian tiga kaki. Tubuhnya berdebum hebat dan perutnya menghantam sebuah akar. Astaga, pasti sakit sekali!
Mata Pangeran Gaara membelalak dan berniat berlari ke arah Hinata tapi sebuah jaring kuat menahannya. Tepat di leher. Pangeran Gaara memberontak sekuat tenaga. Dia mencakar dan memukuli jaring itu tapi tidak mempan. Jaring itu benar-benar kuat mencekiknya.
"Llleepphhh—aaasshhh—kkaahhnnn," suara Pangeran Gaara tersendat-sendat. Napasnya putus-putus. Hinata yang melihatnya berusaha bangkit dan menolong, tapi kakinya nyeri luar biasa.
"Bagaimana, Manusia? Menyesal sudah mengabaikan tawaran dariku?" Suara laba-laba itu tercetus penuh nada mengejek dan sombong. Hinata yang mendengarnya meludah benci. "Aku akan lebih menyesal jika menerima tawaran dari makhluk busuk sepertimu!" desis Hinata menyahut. Senyum mengejek yang tadi terbentuk di wajah mengerikan sang laba-laba, kini surut. Matanya menatap geram Hinata yang bangun tergopoh. "Manusia kurang ajar!"
Bersamaan dengan itu, tubuh Hinata terpental jatuh. Tubuhnya berdebum dengan rasa nyeri yang luar biasa dan erangan kesakitan terdengar dari mulutnya. Setelah tadi menghantam pohon, sekarang perutnya mencium akar-akar besar pohon-pohon raksasa di sekitarnya. Tubuhnya sudah seperti mainan yang dilemparkan ke mana saja. Remuk redam. Susah payah, Hinata bangkit dengan tertatih. Tenaganya hampir habis tapi makhluk raksasa di depannya belum juga tumbang. Makhluk itu benar-benar kuat. Napasnya sudah pendek-pendek dan seluruh tulangnya terasa patah. Sang laba-laba yang melihatnya, pelan-pelan mendekat. Dan sekali lagi mengangkat tubuh Hinata dan kali ini menjatuhkannya tanpa ampun.
Hinata berteriak ngilu. Seluruh tubuhnya sakit luar biasa. Pelan-pelan dia bangkit dan mengusap darah yang mengucur dari sudut bibirnya yang robek. Keadaannya sudah benar-benar kacau. Seluruh persenjataannya sudah ia kerahkan namun sedikit pun makhluk besar di depannya tidak terluka. Berbanding dengannya yang sudah babak belur nyaris remuk.
Hinata tidak berhenti di situ. Meski seluruh tubuhnya remuk, langkahnya masih bisa diayun untuk mendekati Pangeran Gaara. Tapi naasnya, sekali lagi, laba-laba sialan itu menarik kakinya dan melemparkan tubuhnya ke tanah. Hinata terbatuk darah karena terlalu nyeri. Tubuhnya megap-megap. Laba-laba itu melihatnya, melihat Hinata yang kehabisan napas kemudian mendekat. Satu kakinya membalikkan tubuh Hinata yang kesakitan dan menusuknya tajam di bagian lengan. Darah seketika mengucur. "Bagaimana, apa sekarang sudah mulai merasa menyesal?" tanya si laba-laba. Hinata mendengus di tengah rasa sakit. "Simpan saja harapanmu itu makhluk jelek!"
Laba-laba itu terkekeh. "Tentu saja. Tapi setelah gigiku berhasil mengoyak isi perutmu," katanya dengki. Sebelah kakinya kembali menahan Hinata di sisi yang lain. Hinata terperangkap dengan dua kaki tajam yang menahan bahunya. Hinata terus berusaha berontak, tapi kaki-kaki laba-laba itu semakin dalam menusuk kulitnya. Darahnya semakin banyak keluar. Pangeran Gaara yang melihatnya sekuat tenaga melepaskan jaring itu. Tangannya susah payah meraih sebuah ranting runcing tidak jauh darinya. Tangannya menggapai-gapai, dan setelah dapat, dia merobek seketika jaring itu dan meraup oksigen serakus mungkin. Tubuhnya ambruk. Tapi melihat Hinata yang terhimpit, kekuatan seolah melingkupinya. Dengan tertatih-tatih, tubuhnya diseret pelan mendekati Hinata. Meski langkahnya pincang tapi tidak membuat Pangeran Gaara patah semangat. Dia mengambil sebuah busur dan anak panah. Tanpa aba-aba, secepat kilat anak panah itu dilesakkannya. Dan tepat mengenai perut si laba-laba.
Laba-laba itu mengerang kesakitan. Anak panah itu menancap dalam dan cairan hijau berbau busuk menguar seketika. Laba-laba itu geram. Dia berbalik dan menghadap Pangeran Gaara penuh dendam. Tatapannya terhunus tajam. Seluruh persenjataan yang tersisa diinjaknya hingga hancur. Hinata yang berhasil lolos dari himpitan laba-laba itu, terbatuk beberapa kali dan terus mengais oksigen banyak-banyak. Pandangannya yang mengabur mulai jelas ketika melihat Pangeran Gaara yang kini berada di depan laba-laba itu. Tubuh Pangeran Gaara mundur gemetar dengan kaki yang diseret paksa. Hinata ingin berteriak, tapi tenggorokannya sakit dan dia tidak punya cukup tenaga. Badannya seolah tidak bertulang.
Pangeran Gaara kini dalam bahaya. Tubuh raksasa laba-laba itu seperti menyelimutinya. Busur dan anak panah yang dipegangnya dengan mudah dilempar dan dihancurkan oleh laba-laba itu. Kini nyawanya benar-benar terancam.
"Tidak kau, tidak juga gadis itu. Kalian sama-sama bodoh! Mau melawanku, hah? Dasar makhluk pengganggu! Sebaiknya kalian enyah dari hutan ini!"
Tubuh laba-laba itu semakin condong ke bawah, menghimpit tubuh Pangeran Gaara yang tergeletak tak berdaya. Napasnya terengah-engah. Untuk kali ini, Pangeran Gaara tidak menemukan apa-apa yang bisa dijadikan senjata. Mungkin kali ini dia tidak tertolong. Ya, dia sudah pasrah apapun yang terjadi.
Meski tubuhnya terasa remuk, Hinata mencoba bangkit. Dengan sisa-sisa tenaga, dia mencari apa saja yang bisa dijadikannya senjata. Dan saat matanya menangkap panahnya yang masih tersisa, sesegera mungkin dia mengambilnya. Panah itu hampir rusak. Tali busurnya putus dan semua anak panahnya patah. Hinata berdecak kesal. Dia terus mencari apapun yang bisa dijadikan pengganti busur, tapi tidak ada. Sementara tidak jauh darinya, Pangeran Gaara semakin terancam.
Sebelah tangan Pangeran Gaara meraba saku pakaiannya tanpa sengaja. Dan dia baru ingat kalau sempat mengantongi jarum-jrum beracun Venus Flytrap dalam sakunya. Senyum kemenangannya mendadak terkulum. Tangannya mulai bermain dan mengeluarkan dua buah jarum itu. "Hinata!" Satu dari tiga jarum yang dipegangnya ia lemparkan pada Hinata, selebihnya tetap di tangannya. Dia siap menyerang jika laba-laba itu menyerang.
Hinata agak kelimpungan. Dia menatap jarum itu bingung. Harus dengan apa dia menggunakannya? Hinata terus berpikir dan merapalkan doa dalam hati, semoga masih ada bantuan yang bisa didapatnya. Hinata memendarkan pandangan ke segala arah. Dia mencari tali. Tali atau benang, atau apa saja. Hinata nyaris frustasi. Sampai, tanpa sengaja tubuhnya melihat pita milik Ino yang diikatkannya di pinggang. Tanpa menunggu lagi, Hinata melepaskan pita itu dan menjadikannya tali busur. Hinata menggunakan anak panah yang sudah patah dan menusukkan ujungnya dengan jarum racun Venus Flytrap. Hinata siap dengan posisinya. Pangeran Gaara yang melihatnya tersenyum penuh arti.
"Baiklah, Manusia… ada pesan terakhir yang ingin kau sampaikan?" tanya si laba-laba dengan sombong. Pangeran Gaara berdecak, "Harusnya itu kalimatku, Laba-laba busuk!"
Mata sang laba-laba membelalak seram. Dua kakinya siap terhunus ke tubuh Pangeran Gaara. "Manusia kurang ajar! Matilah kau ditanganku!"
Pangeran Gaara memejamkan mata dan menghunuskan jarum-jarum di tangannya ke arah perut laba-laba itu. Bersamaan dengan seruan sang laba-laba, jarum-jarum itu menusuk ke dalam dan dalam. Hinata melakukan hal yang sama. Anak panahnya melesat tepat mengenai perut samping si laba-laba. Tidak sampai hitungan menit, karena beberapa detik selanjutnya, teriakan kesakitan yang memekakan meluncur dari mulut sang laba-laba dan tak lama kemudian tubuhnya meregang nyawa dan ambruk menindih Pangeran Gaara. Pangeran Gaara tersentak. Kaki-kaki laba-laba itu ada yang menusuk perutnya. Dia berusaha bergerak tapi badannya benar-benar keberatan. Hinata ikut membantu tapi tenaganya juga habis. Darah mulai keluar dari perut Pangeran Gaara. Perlahan tapi pasti tidak ada lagi yang bisa diingatnya karena perlahan semua menjadi gelap. Hinata yang juga sudah banyak kehilangan darah, mulai berkunang. Pandangannya mengabur. Dan terakhir yang bisa dilihatnya adalah seseorang, dengan pakaian serba putih, berdiri menatapnya dengan senyum lembut. Setelah itu, semuanya hilang.
Cahaya matahari yang hangat menelusup masuk melalui celah-celah daun yang renggang. Cahaya keemasaannya memendar dan seolah berkerlip ketika menempa dedaunan berwarna kuning. Beberapa sulur terlihat meliuk di bawah bayangan hangat matahari. Semua tampak seperti emas. Deru angin bermain merdu di sana-sini, diwarnai cicitan burung-burung kecil yang terbang bersahutan. Beberapa pohon buah warna-warni berdiri tegak di beberap tempat, bahkan harumnya sudah tercium dari jauh. Debur air yang jatuh dari ketinggian bukit bahkan ikut terdengar. Benar-benar tenang dan menenangkan.
Langkah Pangeran Gaara dan Hinata terhenti ketika melihat pemandangan di depannya. Senyum keduanya terbit melihat betapa indah dan hangatnya kedalaman hutan ini. Kakinya seperti enggan meninggalkan lebih jauh.
Sebuah dehaman memenggal kekaguman yang dilantunkan Hinata dan Pangeran Gaara dari sepasang mata masing-masing. Dahi keduanya mengernyit melihat sesosok wanita bergaun putih panjang yang menjuntai tersenyum ke arah mereka. Keduanya saling menatap.
"Kemarilah,kalian…"
Wanita cantik itu memerintah dengan suara yang lembut dan merdu. Dan tanpa penolakan , Pangeran Gaara dan Hinata menurut. Keduanya berjalan pelan. Langkah mereka disambut cicitan ramai burung-burung. Tawa Hinata terurai begitu saja tanpa bisa dicegah.
"Berdirilah di sampingku," wanita itu menitah sekali lagi. Hinata dan Pangeran Gaara lantas beringsut. Di hadapan mereka terdapat sebuah meja panjang dari batu pualam berwarna abu-abu. Batu itu memendarkan berbagai warna ketika tertempa matahari. Senyum kagum kembali dibentuk Pangeran Gaara dan Hinata.
Rasa terkesima mereka terus terajut, hingga kemudian luruh ketika wanita itu mengayunkan tangannya ke udara. Dua sosok yang entah tertidur atau mati, melayang beriringan di udara dan kemudian mendarat pelan di meja batu tepat di hadapan Hinata dan Pangeran Gaara. Wajah dua sosok yang terkapar itu tampak tidak bernapas. Wajah keduanya tidak asing. Pangeran Gaara dan Hinata mengenalnya. Wajah mereka seketika diliputi keterkejutan ketika menyadari satu hal. Wajah dua sosok yang meregang itu… adalah mereka.
Mata Hinata membola, nyaris keluar. Sementara Pangeran Gaara terbeku di tempat. Jika dua sosok itu adalah mereka, lalu saat ini mereka apa? Apakah roh dari jasad-jasad itu? Kalau benar, ini artinya mereka sudah mati, bukan?
"Ap—apakah itu kami?" Suara Pangeran Gaara terdengar serak. Wanita cantik itu tersenyum tanpa menyahut. Hinata yang kelihatan syok, maju beberapa langkah. Tangannya menyentuh tubuh dingin yang tergolek di atas meja. Namun, sebelum tangannya sampai, dua jasad itu lebur bersama angin dan berganti menjadi sesuatu yang amat menyilaukan. Hinata dan Pangeran Gaara sampai harus memalingkan muka.
Hening melingkupi beberapa detik, hingga deru angin kembali tenang. Pangeran Gaara dan Hinata kembali menatap ke depan. Tiga buah benda; sebuah tongkat berwarna putih, sebuah cermin berbentuk oval yang bercahaya dan sebuah mahkota dengan cahaya keemasan, menjadi tiga hal yang merajai mata mereka setelah membuka. Wanita cantik tadi lagi-lagi tersenyum melihat reaksi Hinata dan Pangeran Gaara.
"Tiga benda di hadapan kalian ini adalah tongkat keberanian, cermin kejujuran dan mahkota kesetiaan. Tiga pusaka ini tidak akan bisa didapatkan tanpa adanya rasa saling percaya, setia, dan kejujuran di dalam diri masing-masing. Tidak ada siapapun sebelumnya yang berhasil mendapatkan pusaka-pusaka ini sampai sekarang. Tetapi kemudian, kalian melakukannya. Kalian melakukan apa itu yang disebut saling percaya. Kalian menjaga dan melindungi satu sama lain hingga membentuk sebuah kesetiaan. Dan kejujuran, dalam diri kalian mengakui jika kalian saling membutuhkan satu sama lain. Dan… kalian telah mendapatkannya," kata wanita cantik itu dengan ramah.
"Ma—maksudmu…, kami berhasil menemukan tiga pusaka itu, begitu?" Hinata masih terlihat tidak percaya. Bagaimana tidak? Dia ingat betul bahwa keadaannya nyaris hancur sebelum matanya terasa berat dan tertutup. Tapi ketika bangun, keadaannya segar bugar dan tubuhnya terasa ringan.
Tidak ubahnya dengan Hinata, Pangeran Gaara pun merasakan hal yang sama. Dia sedikit bingung ketika menemukan dirinya begitu sehat dan segar. Padahal dia ingat, tubuhnya—terutama kaki—remuk karena melawan laba-laba menyeramkan itu.
"Tiga pusaka itu bukan ditemukan, tapi didapatkan. Dan kalian berhasil mendapatkannya karena semua yang telah kalian lalui," sahut wanita itu. Hinata dan Pangeran Gaara sebenarnya masih bingung, tapi kebingungan mereka dipaksa lebur bersamaan sebuah cahaya terang yang datang dari arah depan. Cahaya itu benar-benar menyilaukan.
Keadaan di sekitar mereka seketika senyap. Deru angin tidak lagi terdengar, bahkan nyanyian burung-burung kecil tadi menghilang entah kemana. Pangeran Gaara dan Hinata mengerutkan dahi. Cahaya yang tadi menyilaukan perlahan redup. Dan bersamaan redupnya cahaya terang itu, sebuah kitab tergeletak.
"I—Iluvatar?!"
Entah tahu dari mana, tapi Pangeran Gaara yakin jika kitab tebal berwarna cokelat bersampul daun dengan beberapa sulur bunga menghiasi sampul depan dan belakang kitab itu adalah kitab Iluvatar. Kitab yang dikatakan hilang sejak berabad lalu dan kitab yang menjadi tujuannya. Ya, Pangeran Gaara yakin sekali.
Si wanita cantik itu tersenyum lagi, "Ya, kau benar, Pangeran Gaara. Kitab dihadapanmu adalah kitab Iluvatar."
Setelah mendengarnya, mata Pangeran Gaara dan Hinata seolah tidak bisa berkedip. Kitab itu seolah dirancang memang untuk menjadi sebuah kitab keramat. Bentuknya yang terkesan misterius cukup menggambarkan betapa kitab itu berisi segala hal yang diinginkan di dunia ini.
Hening berlalu melingkis waktu. Angin perlahan kembali menderu dan terdengar lembut. Keadaan kembali berwarna. Wanita berparas cantik tadi mengencik pelan mendekati Iluvatar. Tangannya terayun menarik tiga pusaka yang tergeletak bak magnet. Dan dalam jentikan jari, tiga pusaka itu berubah menjadi sebuah kunci berwarna emas.
Suara seperti kepala kunci yang memasuki lubang kenop pintu terdengar pelan. Kemudian diiringi pergerakkan sulur-sulur bunga yang luruh dan menjadi penghias di tengah kitab. Senyum cantik wanita tadi kembali terulas, dan setelahnya, Iluvatar seketika terbuka. Sebuah cahaya kekuningan terpancar dari pusat kitab itu dan harum berbagai wewangian menguar seketika.
Awalnya hening. Tapi tidak lama setelahnya, suara geraman menyeramkan terdengar, dan seekor naga melesat keluar dari dalam kitab itu dengan gesit. Naga itu berwarna emas. Tubuhnya bercahaya mengagumkan dan meliuk indah. Hinata dan Pangeran Gaara terkejut dan nyaris jatuh melihatnya. Mata mereka membelalak maksimal.
"Siapa yang berani membangunkan tidurku?!"
Naga emas itu bersuara berat dan galak. Dengan wajah yang agak menyeramkan, matanya menatap Hinata dan Pangeran Gaara dengan sorot mengintimidasi.
"Mereka yang membangunkanmu, Ederne Yang Agung," sahut si wanita cantik. Hinata dan Pangeran Gaara semakin mengekerut dibuatnya. Tubuh mereka agak bergetar. Terlebih saat ini, naga itu mendekati mereka dengan napas menggeram.
"Jadi, kalian yang diutus Sakura, benar?"
Hinata dan Pangeran Gaara mengangguk. Naga itu mendengus. Tubuhnya mundur perlahan.
"Baiklah…, karena kalian sudah behasil mengganggu tidurku. Satu permintaan kalian akan kukabulkan. Ingat, hanya satu," kata naga itu.
Pangeran Gaara langsung maju detik selanjutnya. Mulutnya berniat menggumamkan sesuatu ketika tiba-tiba lidahnya merasa kelu. Pangeran Gaara menatap Hinata yang berdiri di belakanganya dengan kening berlipat. Kepala Pangeran Gaara menggeleng pelan dan kembali mundur. Hinata yang melihatnya keheranan, "Ada apa? Kenapa kau tidak mengatakan apa yang menjadi permintaanmu?"
Pangeran Gaara menggeleng, "Kau pernah memberikan kesempatanmu padaku, dan sekarang, aku ingin mengembalikan kesempatan itu. Aku berikan kesempatanku untukmu. Aku harap kau tidak menyia-nyiakannya. Kalau sampai kau tidak melakukannya dengan benar, kepalamu jadi taruhan," sungut Pangeran Gaara. Hinata melongo mendengarnya. "Apa kau yakin?" sahut Hinata. Pangeran Gaara mengangguk, "Tidak pernah seyakin ini."
Jawaban tegas Pangeran Gaara membuat Hinata ikut yakin. Langkahnya terayun mantap menghadap naga emas itu. Tangannya terlipat di depan dada dan matanya menyorotkan penuh harapan.
"Permintaanku… tolong kabulkan apa yang menjadi permintaanku, permintaan Gaara dan gajah mungil itu?"
Alis naga emas itu naik sebelah. "Kau meminta tiga permintaan sekaligus, Nona," katanya. Hinata menggeleng, "Tidak. Permintaanku hanya satu, tetapi menyangkut tiga hal," sahut Hinata. Jauh di tempatnya, Pangeran Gaara berdecak sambil geleng-geleng kepala. Bahkan di situasi begini, Hinata benar-benar mengajak berdebat.
Si naga emas tampak berpikir, lalu kemudian mengangguk. "Baiklah, Nona. Kukabulkan permintaanmu. Sekarang, pejamkan matamu dan jangan pikirkan apapun."
Hinata menurut. Matanya terpejam perlahan. Pangeran Gaara di belakangnya mengikuti apa yang dilakukan Hinata. Dan setelahnya, semuanya terasa lebih hening, lebih senyap. Hingga semuanya terasa gelap.
—0000000000–
Sebuah tepukan cukup keras di pipi berhasil membangunkan Hinata. Peri bunga itu bangun dengan gerakan spontan hingga nyaris hilang keseimbangan. Sayapnya lantas mengepak pelan. Mata Hinata jelalatan, kelihatan bingung. "Dimana aku?" katanya dengan tatapan brutal.
"Tentu saja di rumahmu, Bodoh! Ada apa denganmu? Kau kelihatan seperti orang bingung?"
Hinata mendongak seketika mendengar suara itu. Dan matanya membola seketika. "Ino? Kau benar-benar Ino? Kau Ino, kan?"
Sebuah toyoran mendarat di kepala Hinata dengan cukup keras. "Kau ini…, ada apa sebenarnya denganmu, hah? Setelah tidur hampir seharian, dan sekarang kau menanyakan apa aku benar-benar Ino? Tentu saja aku Ino, Hinata! Kau itu sebenarnya kenapa sih?" sungut Ino.
"Apa? Tidur seharian? Kau serius?" tanya Hinata tidak percaya. Ino berdecak, "Tanya saja sana pada bibi Kurenai. Kau membuatnya kelimpungan, kau tahu?"
"APA?! BIBI KURENAI?!" tanpa sadar Hinata berseru heboh.
"Hya! Jangan berteriak! Aku tidak tuli! Astaga…, ada apa dengan sahabatku ini, Tuhan?" tangan Ino menengadah ke atas, mendaratisasi keadaan.
"Tidak, tidak, Ino. Ini semua pasti mimpi. Seharusnya aku ada di hutan bersama Gaara. Kami berdua mencari Iluvatar sampai harus bertarung melawan makhluk-makhluk raksasa yang—"
"Buas dan menakutkan, begitu? Oh, Tuhan, Hinata… sadarlah! Kau ada di dunia nyata saat ini, bukan negeri dongeng. Lihat, sekarang kau ada di atas ranjang empukmu dan bibi Kurenai sedang membuatkan makanan untuk kita," cetus Ino gemas.
"Tapi, bagaimana bisa? Bukankah bibi Kurenai sedang sakit?"
"Sakit apanya? Kau tidak lihat keadaannya yang begitu sehat sampai-sampai timbangan tidak kuat menahan berat tubuhnya? Dia bahkan selalu bersenandung saat menyiram tunas-tunas Litheas, padahal hujan sudah turun setiap hari."
Hinata tidak menyahut. Perasaannya masih jumpalitan. Bukankah harusnya dia masih di hutan bersama Pangeran Gaara? Dia ingat betul dia sedang meminta sebuah permintaan pada seekor naga emas. Tetapi kenapa—
"Sudahlah, Hinata…, kurasa kau hanya terbawa mimpi. Kau kelelahan dan tidur nyenyak sekali. Sebaiknya sekarang kau bergegas merapikan diri. Sebentar lagi kita harus menghadiri pesta rakyat yang diadakan di halaman istana Queras, kau tahu?"
"Apa?! Istana Queras?"
"Iya. Semua rakyat diundang. Kau tahu, Pangeran dari kerajaan sendiri yang mengirimi kita undangan. Aku dengar dia sangat tampan dan berwibawa. Wajahnya seperti pualam dan—"
Hinata tidak lagi mendengarkan apa yang Ino katakan. Pikirannya sibuk berputar pada semua hal yang sudah terjadi padanya. Semua pertempurannya, petualangannya dan tentang Gaara. Bagaimana bisa semua hilang dalam sekali waktu?
Ada perasaan tidak senang yang merambati Hinata seketika. Entah apa yang harus tidak disukainya. Bukankah harusnya dia senang? Mungkin ya, tapi hatinya berkata lain.
Lamat-lamat, Hinata mendongakkan kepalanya. Tatapannya terarah lurus-lururs pada menara Istana Queras yang menjulang tinggi nan jauh dari posisinya. Ada hal yang mengganggunya dan Hinata tahu penyebabnya. Laki-laki itu… Hinata merasa kehilangan separuh hatinya, dan laki-laki itu pasti yang telah mengambilnya. Ya, pasti dia. Pangeran dari kerajaan Queras, Pangeran Gaara.
Sementara di Istana Queras, Pangeran Gaara merasakan hal yang sama dengan apa yang dialami Hinata. Dia merasa kehilangan sesuatu dan itu cukup mengganggu. Setelah berpiikir cukup keras, Pangeran Gaara menyadari satu hal. Perasaannya tidak utuh lagi. Seseorang telah membawanya separuh dan belum mengembalikannya.
Pandangan Pangeran Gaara terlempar jauh melewati jendela kamarnya, menembus hutan dan melawan arus angin. Tatapan itu penuh kehilangan dan kerinduan. Dan Pangeran Gaara tahu penyebabnya. Peri itu… peri yang sering dipanggilnya bodoh, yang kini berdiri lurus-lurus searah tubuhnya. Peri yang disadarinya kini mengambil separuh ketenangannya.
"Hinata…"
.
.
.
"Kaasan, apakah Pangeran dan gadis peri akhirnya menikah?" Gadis kecil dengan bulu mata lentik itu bertanya dengan wajah menggemaskan, membuat Hyuuga Hinata—wanita yang dipanggil kaasan—tersenyum manis. "Ya, sayang. Pangeran dan peri kecil akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya," katanya lembut.
"Lalu, bagaimana dengan Ino? Apa dia juga menemukan pangeran seperti Pangeran?" Kali ini, Sabaku Jhino, bocah laki-laki yang berbeda tiga tahun dari sabaku Violet—gadis kecil yang tadi bertanya—bersuara.
"Tentu saja. Mereka semua hidup bahagia selama-lamanya, bahkan gajah mungil itu juga," jawab Hinata. Jhino dan Vio mengangguk dan menguap bersama.
"Nah, sekarang kalian tidur. Ini sudah malam. Siapa tahu kalian akan mengalami petualangan seperti yang dialami gadis peri dan Pangeran itu, bagaimana?"
Jhino dan Vio mengangguk. "ya, Kaasan…"
Hinata menarik selimut dan menyelimuti putra-putrinya yang mulai terlelap. Sebuah kecupan sayang didaratkannya di kening kedua malaikat kecil itu. "good night dear…" kemudian Hinatamenutup pintu kamar bercat pink itu dengan pelan setelah menyimpan kembali buku dongeng berjudul Fairy Land ke dalam rak buku.
"Apa anak-anak sudah tidur?"
Hinata dikejutkan sebuah suara bariton milik suaminya, Sabaku No Gaara. Laki-laki yang mulai memasuki usia empat puluh itu tetap kelihatan tampan meski usianya tidak muda lagi.
"Ya, mereka sudah tidur setelah kubacakan sebuah dongeng," sahut Hinata.
"Pasti Fairy Land," kata Gaara, Hinata mengangguk. "Mereka tidak pernah bosan dengan cerita itu,"lanjut Gaara.
"Kau juga tidak bosan dengan boneka pandamu," cetus Hinata, Gaara tertawa. Kedua tangannya melingkari pinggang Hinata dengan posesif. "Ya, tapi tidak seperti ketidakbosananku padamu. Selamat ulang tahun, Sugar," seloroh Gaara, mengeluarkan sebuket bunga mawar merah. Hinata terperangah senang melihatnya. Mengurus rumah tangga, agaknya membuatnya lupa kalau hari ini tanggal ulang tahunnya.
"Kau mengingatnya?" Gaara mengangguk, "Bagaimana aku bisa lupa kalau hanya tanggal itu yang kuingat baik-baik," kata Gaara. Dahinya mulai bergerak dan menempelkannya pada kening Hinata. Hinata tertawa, "Benarkah?"
"Hei, kau meragukanku?" tatapan Gaara dibuat menyipit. "Kemari, aku buktikan kalau aku tidak bohong. Tutup matamu," titah Gaara. Hinata menurut. Matanya mulai terpejam. Untu beberapa detik, Gaara mengamati wajah Hinata. Meskti tidak lagi muda, tapi di matanya, Hinata selalu kelihatan cantik. Betapa Gaara merasa beruntung mendapatkan Hinata. Wanita itu begitu istimewa. Dan Gaara menyadarinya ketika hari-harinya selalu terasa istimewa dengan adanya Hinata. Bersama Hinata, Gaara merasa tenang dan semua yang ada di sekitarnya pasti akan berlalu dengan baik. Ya, hanya dengan bersama Hinata semuanya terasa benar. Itu saja.
Gaara melingkarkan kedua tangannya di pinggang Hinata lebih erat. Bibirnya bergerak mencium bibir Hinata sekilas, kemudian berbisik mesra. "Aishiteru…"
THE END
Ps : terima kasih untuk teman-teman yang sudah mau membaca ceritaku itu. Joungmal gomawo