A THOUSAND YEARS

Naruto©Masashi Kishimoto

Story©Ivyluppin

Warning : OOC (maybe), AU, Shounen-ai, typo(s), vampic, pedo, time travel, paradoks time (just a little)

Main pair : Sasunaru & Gaanaru(slight)

.

.

Chapter 3

.

Hari ini sedikit berangin dan lembab. Cuaca yang dingin menjadi sedikit tidak menentu.

Naruto berada di kamarnya sepanjang hari dengan Tobi yang beberapa kali berkunjung dan bercerita panjang lebar padanya. Naruto tidak pernah merasa keberatan jika Tobi datang ke kamarnya, sama sekali tidak. Tapi sifat pelupanya membuat Naruto harus lebih membiasakan diri.

Hari ini saat Tobi berkata ada dua orang yang akan datang, Naruto bertanya-tanya dalam hati siapa orang-orang tersebut. Tapi saat melihat Tobi yang terlihat lupa dengan apa yang ia bicarakan Naruto mengurungkan niatnya untuk bertanya. Bagi Naruto jika ada orang baru maka ia harus menghafalkan lebih banyak nama lagi.

Sejujurnya Naruto hanya tau beberapa nama orang dalam Manor ini, yang pertama Tobi Gerald tentunya, lalu Luppi, Teuchi, Deidara, dan seseorang bernama Totsuka yang belum pernah ia temui dan jangan lupakan tentang Itachi dan seorang pemuda bernama Shisui yang selalu tersenyum -terlalu- lebar hampir setiap waktu.

Sejauh ini lumayan bukan?

.

.

Saat ini Naruto merasa bosan setengah mati. Terus berada di kamar yang menjadikan dirinya seperti terisolir, satu-satunya yang meyakinkan bahwa sekarang ia tidak sedang terisolir adalah kedatangan Tobi beberapa waktu lalu.

Kaki mungilnya melangkah ke jendela besar, ia menyibakkan gorden linen yang berbaris seperti cahaya fajar dan melihat keluar bangunan. Manor ini sangat jauh dari peradaban jika saja ini bukan musim dingin yang merontokkan daun-daun pepohonan. Rimbunan pohon cemara, zaitun dan ex mungkin sudah menutupi pandangannya dari sekumpulan rumah penduduk di bawah bukit yang terlihat seperti jarum dari kaca jendela kamarnya.

Naruto menghela nafas, ini pemandangan yang menarik untuk dilihat tapi bukan kegiatan menyenangkan untuk dilakukan. Hanya memandangi sesuatu dan merenung seperti orang dewasa dengan setumpuk hutang. Itu bukan masanya. Hei dia masih berumur 8 tahun, tapi Naruto tak suka bermain ia bahkan pembenci permen.

Mata Saphire miliknya tetap melihat keluar jendela. Tangan kirinya menyentuh kaca hitam lalu ia meniupkan udara dari mulutnya dan menulis sesuatu di sana 'aku bosan' atau sesuatu yang lain seperti gambar wajah. Intuisinya mengatakan jika ia ingin keluar kamar dan berkeliling tapi Tobi bilang itu tidak boleh. Tidak untuk saat ini. Ia tidak tahu mengapa tapi ia berusaha menurutinya.

Saat Naruto masih berkutat dengan tulisan atau gambar-gambar yang ia buat dengan udara dari mulutnya, sebuah kereta kuda yang ditarik dua ekor kuda bewarna hitam dan coklat tua berhenti di depan Manor. Seorang kusir bertubuh tambun membukakan pintu dengan sedikit tergesa. Naruto menghentikan aktifitasnya dan memandang penasaran.

Seorang pemuda berambut pirang panjang turun dari kereta dengan membawa sebuah buku bersampul kulit lembu bewarna gelap. Ia tersenyum pada semua orang yang ada disana. Di belakang pemuda itu masih ada seorang lagi, Naruto tidak bisa melihat wajah pemuda lainnya karena sedikit menunduk tapi ia bisa melihat surai hitam yang unik dan mantel hitamnya yang tebal.

Naruto terkikik kecil, itu rambut teraneh yang pernah ia lihat selain miliknya. Tapi tatanan rambut itu terlihat keren. Naruto mengenggam gorden sebagai pegangan saat kaki-kakinya berjinjit hendak melihat lebih jelas seperti apa wajah pemuda bersurai ebony tersebut. Dan ia menyerah. Pemuda itu justru mengalihkan pandangan ke arah kanan dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana saat pemuda berambut hitam panjang tampak berbicara.

Naruto tidak lagi berjinjit tapi ia masih merasa penasaran jadi ia tetap berada di jendela untuk melihat. Tak lama berselang orang-orang di bawah sana mulai berjalan masuk ke Manor, tapi pemuda bersurai biru tetap berdiri. Tak bergeming. Tiba-tiba wajahnya diangkat dan seakan tersambar petir, Naruto melihat pemuda itu menatap ke arahnya. Astaga apa pemuda itu melihatnya?

.

:: A Thousand Years ::

.

Ruang tengah Hio Manor.

"Jangan pernah mengirimku kesana lagi. Aku tak mahir berdiplomasi dan satu lagi, aku bukan tipe penyabar."

"Sepanjang pertemuan 10 kali kudengar dia menguap dan hampir tak terhitung berapa kali dia menggeram." Sai menimpali.

"Jangan salahkan aku. Salahkan para Hunter tua yang senang sekali mengoceh." Geram Sasuke.

"Terakhir kali aku melihat, mereka masih berumur 30an." Ujar Itachi.

"Itu karena kau bertemu dengan mereka 50 tahun yang lalu, brother." Sai tertawa kecil sambil melipat kakinnya.

"Manusia adalah makhluk lemah, cepat tua, dan mudah mati. Mengapa kita harus berdamai dengan mereka?" Sasuke mendecak keras.

Dilain pihak Shisui yang sedari tadi diam terlihat menyeringai sedangkan Sai menatap kakaknya Itachi dengan raut wajah penasaran.

"...dengar, jika mereka mau. Mereka bisa memusnahkan setengah dari kaum kita. Para Hunter adalah kumpulan manusia yang terlatih. Sangat mungkin bagi mereka untuk melawan kita. Tapi bukankah dibiarkan saja mereka bisa mati dengan sendirinya? Lagi pula aku cukup menikmati masa damai ini."

Sasuke mendecih dan melayangkan tatapan sinis kepada Itachi. Ia merasa lontaran kata-kata Itachi seperti bualan anak-anak.

"Kau tahu pasti itu bukan jawaban yang aku mau, Itachi."

Bukannya marah, Itachi justru merespon perkataan adik bungsunya dengan sikap berbeda dan suara tawa yang lebih dulu keluar dari mulutnya.

"Sekali-kali cobalah untuk berpikir positif tentangku." Kata Itachi.

Tidak berniat menjawab, Sasuke berdiri, tanpa membungkukkan badan kepada ketiga kakaknya ia berjalan keluar dengan tenang. Di belakangnya Uchiha Sai –kakak ketiganya- memutar bola mata.

"Sayang sekali, padahal aku berniat memberitahukan padanya sesuatu yang menarik." Kata Itachi dengan nada sesal yang halus.

.

.

.

Uchiha Sasuke berjalan menuju kamarnya hendak beristirahat. Mata crimsonnya bersinar tajam, menatap lurus ke depan. Ia malas sekali melanjutkan obrolan dengan kakak-kakaknya. Tidak ada dari mereka yang cukup dijadikan alasan baginya untuk tetap tinggal. Ia mendengus sebal mengingat kata-kata Itachi tadi. Menikmati masa damai katanya? Tidak ada hal yang lebih menarik yang bisa ia lakukan kecuali berburu. Ia lebih menikmati perang yang terjadi ratusan tahun lalu, ia bisa melakukan pembunuhan massal secara gila-gilaan dan itu sesuatu yang menyenangkan. Ngomong-ngomong tentang berburu, Sasuke baru ingat jika selama tiga minggu terakhir ia belum berburu. Waktunya tersita untuk mengurusi perjanjian damai dan segala macam tetek bengeknya yang merepotkan.

Ia mengumpat tentang salah satu pasal dalam perjanjian damai yang harus diamandemen tiap 50 tahun sekali. Sasuke yakin bola matanya sekarang sudah pasti berubah menjadi merah dan sejujurnya ia tak terlalu menyukainnya. Bukan masalah warna tapi lebih pada efek yang ditimbulkannya. Ia jadi kesulitan menahan kontrol dirinya bahkan untuk sesuatu yang sederhana sekalipun.

Melewati lorong yang menuju langsung ke dalam kamarnya. Langkah Sasuke berhenti mendadak, ia mendongakkan kepalanya merasakan sesuatu mengusik indera penciumannya yang tajam. Aroma musim semi bercampur kayu manis bisa ia cium samar-samar. Mata crimmsonnya terbuka perlahan saat ia menolehkan kepalanya ke sebelah kiri. Menatap langsung pada sebuah kamar berpintu coklat.

'Aroma apa ini?' batin Sasuke bertanya-tanya. Dalam hati ia yakin aroma ini berasal dari dalam kamar yang ia yakini kosong. Seumur hidupnya tidak ada yang pernah tidur di kamar tamu itu. Hio Manor tak pernah punya tamu yang datang dan menginap. Kebanyakan dari tamu-tamu tersebut pulang begitu urusan mereka selesai. Dan seingatnya, Manor ini tak bertamu sejak 200 tahun terakhir.

Saat Sasuke mencoba meresapi kembali aroma itu. Tiba-tiba tak ada yang ia cium selain angin yang bertiup lembut di sekitarnya.

'Apa itu tadi? si Totsuka sedang membuat cake?' pikirnya kemudian.

Sasuke memutuskan untuk pergi ke kamarnya. Dan terus berada di sana hampir sepanjang hari.

.

.

.

Malam ini saat Sasuke menikmati hari santainya di kamar, seseorang mengetuk pintu dua kali. Sasuke mendengus menatap pintu. Sebelum ketukan ketiga dilayangkan pada pintu coklat itu, Sasuke membuka pintu dan bersiap memberikan semburan pada siapapun yang mengganggunya. Tapi lekas diurungkannya saat ia melihat seorang pelayan termuda di rumah itu membungkuk dalam.

"Apa maumu Gerald?" ujar Sasuke kemudian. Suaranya datar namun nada tak suka jelas terasa.

"Maaf Tuan, mmh...Tuan Itachi meminta anda untuk datang ke...maaf apa anda tahu nama tempat yang biasa digunakan untuk makan bersama?" Tobi menggaruk belakang kepalanya. Sasuke mendengus, ia menutup pintu kamarnya hingga suara debaman keras. Dengan langkah pelan Sasuke melewati Tobi yang memandangnya takut.

"Aku tahu. Pergilah!" sudah menjadi rahasia umum di Manor tersebut jika Tobi Gerald adalah pelayan termuda yang memiliki daya ingat yang parah bahkan ia adalah vampir yang kadang lupa jika ia seorang vampir.

.

.

Sasuke berjalan dengan langkah kesal. Makan malam yang membosankan, seingatnya Sasuke sudah sering melakukan makan malam ribuan kali dan kakaknya masih saja memaksanya untuk bergabung. Apa sebenarnya tujuan makan malam? Vampir tak terlalu membutuhkannya bukan? Cukup darah tidak perlu hidangan seperti steak, gandum, roti, sup, atau apalah.

Manor ini tak menyediakan darah segar hanya darah dari hewan ternak yang sudah berumur beberapa hari, memuakkan. Kalau ingini darah segar maka kau harus berburu. Tapi tidak sekarang, Sasuke masih betah dengan keadaannya sekarang. Ia pernah tidak berburu selama 3 bulan berturut-turut walau hasilnya tubuhnya seperti hewan liar yang sulit diatur.

Uchiha Sasuke, Pemuda bersurai hitam itu berencana untuk pergi berburu pada awal musim semi nanti, ia ingin menghabiskan waktu di dalam kamarnya. Hanya di dalam kamarnya saja. Tenang dan damai. Dan saat musim semi pertama tiba ia akan pergi ke pegunungan Carpathia dan mulai berburu beruang. Itu ide menyenangkan. Darah beruang adalah hadiah musim dingin yang panjang. Hampir tiap tahun ia melakukannya dan itu salah satu bagian favorit dalam hidupnya.

Usai belokkan terakhir ia segera masuk ke dalam sebuah ruangan besar, sebelumnya ia bisa mencium aroma masakan yang tajam. Dalam ruangan tersebut kakaknya, Itachi, Shisui dan Sai telah duduk dan nampak menanti kehadirannya dengan tenang.

"Lain kali kau tak perlu mengundangku." Ujarnya datar saat ia mendudukkan diri dengan malas di salah satu kursi kosong di samping Sai.

"Anggap ini perayaan karena kalian berdua -Sasuke dan Sai- berhasil membuat perjanjian baik dengan para manusia itu." Ujar Itachi .

"Sai lebih tepatnya." Ralat Sasuke.

"Ayolah Sassie, semua ini untuk kita." Sai mendesak.

"Stop call me with that fuckin' name." Sasuke menatap Sai tajam.

"Tak ada darah malam ini?" Shisui bertanya sambil membalikkan gelasnya. Wajahnya mengguratkan sedikit kekecewaan.

"Tidak tidak, malam ini kita ganti anggur. Bangsawan Granz baru memberikannya pekan lalu."kata Itachi.

"Aku tak akan meminumnya jika usianya tak lebih tua dariku." Ujar Shisui.

"Itu dari pertengahan abad ke 9 jika kau mau tahu." Kata Itachi sambil memandang Shisui.

"Baiklah terserah."

"Lagipula, aku tidak mau membuat tamu kita merasa jengah dengan aroma anyir di antara makanan ini bukan?" Itachi tersenyum.

Sasuke melirik, tamu kita? sejak kapan mereka punya tamu. Apa orang itu sudah ada disini sebelum ia tiba di Manor tadi? Ini langka sekali. Tidak ada yang pernah makan semeja dengan bangsawan Amatera, itu menyalahi tatanan kode etik kaum vampir. Atau kode etik itu sudah diubah tanpa sepengetahuannya? Entahlah Sasuke tak mau ambil pusing.

Makan malam belum dimulai tapi tidak ada yang peduli tentang itu kecuali Sasuke yang merasa jengah disana. Mereka harus menunggu sang Tamu yang dimaksud datang. Terasa lama sekali sejak Itachi memerintahkan Luppi untuk menjemputnya.

Sasuke menutup matanya dan menahan rasa kesal, ia belum genap 24 jam berada di Manor ini sejak ia tiba tapi ia sudah tidak tahan, setidaknya berada di samping Itachi yang bertampang naif pikirnya. Ia berharap cepat kembali ke kamarnya dan tidur hingga musim berganti, kau bisa menyebutnya 'berhibernasi' toh Sasuke tidak keberatan dengan hal itu.

Matanya masih tertutup saat indera penciumannya yang tajam menangkap aroma nikmat yang membakar kerongkongan. Wangi musim semi bercampur kayu manis. Ini mengingatkan Sasuke dengan aroma yang sempat ia cium sesaat sebelum memasuki kamarnya pagi tadi. Jadi apa ini cake buatan Totsuka? Jika benar maka tidak percuma jika Totsuka pergi ke Prusia untuk meminta resep dari bibinya di sana. Cake yang nikmat pikirnya. Ia akan mempertaruhkan tubuhnya demi suapan besar potongan cake terakhir.

Aroma itu semakin kuat dan menusuk-nusuk penciumannya, Sasuke menengadahkan wajahnya, ia mabuk bahkan untuk aromanya saja.

Saat kedua iris crimson itu membuka perlahan, ia membeku.

Seorang anak manusia berdiri dengan tatapan canggung ke arah mereka. Wajah tan-nya sedikit menunduk dan sebuah senyuman terbentuk di bibir plum miliknya.

"Selamat malam." Bocah itu menunduk dan melirik ke samping karena canggung.

"Duduklah." Ujar Shisui seraya menepuk tempat duduk kosong di sampingnya.

Di pihak lain Sasuke mengumpat dan memaki dalam hati. Pandangannya tak lepas dari bocah tersebut bahkan ketika bocah itu sudah duduk di depannya, Sasuke masih memandang ke arahnya dengan tajam. Apa maksudnya ini?

"Ini tamu kita. Namikaze Naruto." Suara Itachi seperti angin di telingannya. Ia menggeram dalam dan membuat bocah itu terlonjak mendengarnya dan menatapnya dengan sepasang matanya yang melebar. Entah terkejut karena suaranya atau pandangannya, Sasuke tidak peduli.

"Kau menerima 'kantung darah' di Manor ini?" tanya Sasuke tajam pada Itachi. Ia tak habis pikir ada apa dengan sirkuit otak kakak sulungnya tersebut.

"Aku menemukannya di Hutan Daun Jarum saat perjalanan pulangku dari Britania. Ia hampir tertabrak kereta yang kutumpangi. Dan ia tak menginigat apapun kecuali namanya." Ujar Itachi menjelaskan.

"Aku tak mengira jika Manor ini sudah berubah menjadi penampungan anak terlantar saat aku pergi ke Skandinavia. Sungguh sebuah kejutan besar." Ujar Sasuke sarkastik.

"Sasuke kita tak akan membiarkannya mati beku disana, ia bahkan tak menggunakan alas kaki." Shisui menimpali.

"Sama saja, ia juga akan mati di Manor ini." Tatapan tajam mengarah pada Naruto yang memandangnya takut.

"Tidak selama kau tak menyentuhnya." Tandas Itachi.

"Lalu apa? Memeliharanya hingga dewasa dan cukup untuk dijadikan santapan penutup makan malam?" dengan suara keras Sasuke hampir membuat Naruto mati terkejut. Bagi Naruto suara Sasuke seperti raungan hewan buas.

"Dia tamu, bukan hidangan penutup." Ujar Itachi menekankan.

Sasuke mendengus kesal. Ratusan tahun dia hidup baru kali ini ia merasakan kesal yang teramat sangat pada Itachi. Darahnya hampir mendidih dan saat cengkraman tangannya yang kuat pada gelas membuat gelas tersebut pecah. Sasuke berujar dengan nada rendah yang berbahaya.

"Aku bersumpah, kalian tak akan tahan dengan aromanya. Jika kalian tak ingin membunuhnya maka biarkan dia bersama rasnya. Tempat ini bukan untuk 'kantung darah' bahkan jika si Tua Madara masih hidup. Ia akan langsung membunuhnya."

Tanpa permisi, Sasuke meninggalkan ruangan tersebut dengan wajah keras. Sebelumnya ia sempat meleparkan pandangan tajam ke arah Naruto yang memandangnya takut sambil mengigit bibir.

Ruang makan menjadi hening seketika. Naruto masih bungkam dan mematung di tempat duduk. Matanya memperhatikan sekitar. Itachi duduk dengan wajah tenang sambil menyesap segelas anggur di tangannya. Sedangkan Shisui melanjutkan acara makan yang tertunda lalu seseorang berambut hitam panjang menatapnya dengan bergantian antara dirinya dan Itachi.

Naruto tidak tahu apa masalahnya hingga pemuda berambut spike tadi tiba-tiba marah sejak ia datang ke ruang makan. Memang apa salahnya? Mereka tidak saling mengenal tapi pemuda itu sudah nampak tidak menyukainya. Seburuk itukah dia?

"Jadi namamu Namikaze Naruto?" cepat-cepat Naruto menoleh dan mendapati Sai yang mengangkat kedua alisnya.

Ia mengangguk.

"Aku Uchiha Sai. Kau tak keberatan jika aku memanggilmu Naruto?"

Ia mengangguk lagi.

"Seseorang yang baru saja keluar bernama Uchiha Sasuke. Ia memang tempramen jadi kau harus membiasakannya mulai sekarang." Sai tersenyum.

"Apa aku seburuk itu? Apa aromaku tidak enak?" tanya Naruto polos, Shisui terkikik mendengarnya sedangkan Itachi memandangnya dalam diam.

"Hahaha...tentu tidak, aromamu enak hanya saja sedikit berbeda." Ujar Sai ramah "Ayo makan! sebelum dingin dan terasa hambar...Aa coba lihat, ada sup abalon di sini. Kau mau?" tanya Sai.

Naruto lagi-lagi mengangguk tapi ia tersenyum lebar sambil menyerahkan mangkuk kecil yang kosong ke arah Sai.

Shisui memperhatikan mereka sambil terus mengunyah steak di mulutnya. Dalam pandangannya, mereka seperti sudah kenal lama. Melihat Sai yang mengambilkan semangkuk sup abalon membuatnya menyeringai, sejak kapan bangsawan Amatera melayani? Bahkan untuk seorang anak kecil sekalipun? Toh bagaimana pun bocah itu adalah 'kantung darah'.

.

:: A Thousand Years ::

.

Kamarnya yang gelap, hanya cahaya bulan yang menyinari dari luar jendela besar yang dibuka lebar-lebar dan gorden damask yang berkibar-kibar karena angin. Sebuah tempat tidur ukuran besar dengan tirai yang dibiarkan menjuntai.

Seseorang berdiri dekat jendela dengan mata merahnya yang berbahaya memandang keluar. Ia bisa melihat semuanya dengan jelas, ia bisa mencium semuanya dengan jelas, ia bisa mendengar apapun dengan jelas. Indera yang luar biasa itu membuatnya lebih unggul dari makhluk lain. Ia telah hidup berabad-abad lebih lama dari ras mana pun.

"Damn right." Ia mengumpat dengan suara serak.

Wajahnya mengeras dan kuku jarinya yang panjang mencengkram dinding hingga permukaannya mengelupas. Sasuke masih merasakan kerongkongannya seperti terbakar walau tak separah beberapa waktu lalu sejak ia meninggalkan ruang makan dengan kemarahan.

Ia berfikir bagian mananya yang salah dari otak Itachi hingga kakak sulungnya itu memperbolehkan seorang 'kantung darah' untuk tinggal di bawah satu atap dengan rasnya. Dengan gelar bangsawan Amatera yang ia sandang. Dan ia berpikir jika bocah berambut kuning yang dilihatnya tadi sangat lemah. Bagaimana bisa bocah lemah tanpa pertahanan seperti itu bisa tahan hidup di Manor ini lebih dari satu minggu? Sasuke berani bertaruh jika bocah itu bahkan tidak tahu dengan siapa ia berada sekarang.

Mata crimsonnya yang menyala-nyala memandang purnama platinum yang bersinar terang di langit. Ia menyentuh lehernya dan memaki untuk rasa terbakar yang tidak kunjung padam. Ia tahu pasti bahwa dirinya haus hanya dengan menghirup aroma bocah laki-laki itu. Tapi Sasuke telah memutuskan untuk berburu saat musim berganti.

"Kita lihat berapa lama kau bertahan hidup bocah." Ujarnya dengan sebuah seringaian.

.

.

.

Jam hampir menunjukkan pukul 21.00 waktu setempat saat Uchiha Itachi menyuruhnya kembali ke kamarnya di lantai dua untuk beristirahat. Dalam perjalanannya ia berpapasan dengan beberapa orang yang memandangnya tajam. Beberapa dari mereka bahkan mengeluarkan suara mendesis seperti ular. Naruto masih tidak mengerti kenapa mereka berlaku seperti itu. Apa orang-orang dalam Manor ini sungguh tidak menyukainya? Bahkan sejenak saat makan malam tadi ia sempat memergoki Shisui yang memandangnya intens dan jangan lupakan bagaimana tatapan Sai saat dia berjalan mendekati pemuda itu untuk mengucapkan terima kasih padanya karena telah mengambilkan semangkuk sup abalon untuknya saat makan malam.

Hampir tidak ada yang terlihat normal kecuali Itachi yang selalu terlihat tenang atau Tobi yang tak pernah mengingatkan cerita pendek yang ia ucapkan padanya. Hanya mereka berdua yang nampak bersikap biasa saja di depannya.

Saat hampir melangkah masuk menuju lorong tempat kamarnya berada dalam satu garis lurus pada pandangan matanya, Naruto menoleh ke arah kanan. Hanya ada satu ruangan disana dan ruangan itu adalah kamar Sasuke, ia tahu saat pagi tadi ketika pemuda itu hendak masuk ke dalam kamarnya, Naruto mengintipnya dari balik lubang kunci kecil di pintu kamarnya. Naruto bisa mengingatkan saat pemuda itu memejamkan matanya dan tiba-tiba membukannya dan memandang ke arah kamarnya. Dirinya tak menampik rasa gugup saat Sasuke hendak berjalan mendekat ke arah kamarnya. Saat itu Naruto cepat-cepat menjauh dari pintu dan berlari ke arah kamar mandi dan menutup pintunya cepat-cepat. Bocah bermata Saphire itu bisa mengingatkan betapa gugupnya ia saat itu.

Tunggu dulu, mengingatkan Sasuke itu membuat otaknya berputar ke insiden sebelum makan malam tadi.

Saat Luppi menjemputnya dengan wajah bersungut-sungut dan bibir yang menggerutu, Naruto mengikuti pelayan wanita itu yang mengatakan bahwa Itachi memintanya bergabung untuk makan malam. Itu waktu yang tepat pikirnya saat itu, Naruto sudah merasakan perutnya keroncongan sejak 5 menit sebelum Luppi mengetuk pintu kamarnya keras.

Ia berjalan setengah berlari karena Luppi enggan memperlambat langkah kakinya. Naruto berpikir bagaimana bisa wanita dengan kaki kecil seperti Luppi berjalan secepat itu.

Saat dirinya memasuki ruang makan, Naruto memandang kikuk ke arah semua orang yang ada disana. Dirinya tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Saat Ichimaru Shisui memanggilnya dan menyuruhnya duduk di sampingnya dengan tangan yang menepuk kursi. Naruto berjalan dengan pelan, waktu itu ia sedikit gerogi...umm mungkin harus diralat, ia sangat gerogi.

Suara Itachi yang halus membuyarkan lamunanya dan saat ia sudah mengalihkan pandangannya dari pria berwajah maskulin dengan rambut klimis yang disisir ke belakang. Naruto memandang lurus dan menemukan dirinya hampir mati terkejut. Ia melihat seorang pemuda bermata merah dengan rambut spike hitam tengah memandangnya tajam, bahkan dari pandangannya, Naruto bisa melihat jelas mata merah itu penuh rasa jijik. Pemuda itu juga mengeluarkan menggeram pelan dan jangan lupakan bagaimana tangan pemuda itu -yang ia ketahui bernama Sasuke- terus mengepal saat Naruto memandang ke arahnya juga.

Baru ia sadar bahwa pemuda itulah yang ingin sekali ia lihat wajahnya saat pagi tadi ia berdiri di jendela besar kamarnya.

Naruto merasa takut melihat wajah geram dan tidak suka yang didapatnya dari pemuda tersebut. Dan saat pemuda bernama Sasuke mulai membuka suaranya yang dalam dan terdengar serak, Naruto terlonjak kaget.

Dan dari situ dimulailah insiden yang membuatnya tidak mengerti. Sasuke mulai beradu mulut dengan Itachi dan sesekali dengan Shisui. Pandangan mata pemuda itu masih berada padanya hampir tiap waktu. Dan dengan suara geraman rendah pemuda itu berujar dan Naruto menangkap maksud dari pembicaraannya mengenai persoalan aroma tubuh yang dimilikinya, mungkin aroma tubuhnya tidak enak. Dan entah kalimat apa lagi setelahnya. Lalu Sasuke bangkit dari kursinya dan pergi dengan langkah cepat, sebelumnya pemuda itu sempat melemparkan pandangan sinis dan Naruto mematung dibuatnya.

Bocah kecil yang masih berdiri jauh di depan kamarnya itu menghela nafas. Ia memandang ke arah kamar Sasuke dengan wajah was-was dan sedih. Apa yang harus ia lakukan? Ia tak ingin membuat masalah dengan siapapun, ia tak mengerti pula apa salahnya hingga pemuda itu bersikap semacam itu padanya. Seingatnya Naruto sudah pergi mandi sebelum jam makan malam tiba jika kesalahannya terletak dari aroma tubuhnya.

Langkah kecilnya menuntunnya berjalan ke arah pintu kamar Sasuke, akhirnya ia memutuskan untuk meminta maaf pada pemuda itu untuk kesalahan apapun yang ia sendiri tidak tahu.

Naruto mengulurkan tangan dan menyentuh kayu pintu kamar Sasuke. Ia menutup mata sesaat dan mengambil napas. Kemudian, ia membuka matanya...dan ia mengetuk pintu.

.

.

.

.: tbc :.

Well, lama banget sejak update terakhir. Fanfic ini udah banyak sarang laba-labanya.

Btw hai reader-ku tercinta. Kangen nih sama kalian, fic ini simple sih dibanding yang lain jadi aku update aja yang ini dulu.

Semoga kalian suka ya, hehe

-with love Ivyluppin-