"Yakin ingin kembali kesana?"
Laki-laki berambut pirang itu diam. Dengan tenang ia menyesap kopi panasnya sambil melempar pandangan ke arah luar. Dari jendela besar di sampingnya, terlihat hujan masih setia jatuh dari langit. Butiran air masih tidak bosan jatuh ke bumi. Sama seperti pertanyaan yang barusan dilontarkan ke arahnya.
Melihat tak ada reaksi apapun dari rekan kerja yang duduk di seberang meja, membuat laki-laki dengan rambut coklat panjang itu akhirnya mendesah pelan. Neji paham bahwa tidak ada apapun yang akan dapat merubah keputusan temannya itu. Hanya saja ia sendiri juga tidak mau melihatnya kembali terluka.
"Naruto…"
"Kalau kau bertanya hal itu sekali lagi, kupastikan isi cangkir ini berpindah ke kemeja putihmu itu, Neji," sela Naruto, "aku serius."
Mendengar jawaban tegas itu terlontar ke arahnya membuat Neji akhirnya mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. "Baiklah baiklah. Aku kalah." Neji tertawa pelan. "Kau jelas paham dengan konsekuensinya."
Naruto hanya mengangguk sekali sebagai jawaban. Jarinya berputar-putar di bibir cangkirnya yang hampir kosong. Memutuskan untuk kembali ke sana bukan keputusan mudah. Tapi untuk melanjutkan hidupnya agar lebih tenang, ia perlu tahu.
Sekarang atau tidak sama sekali.
"Pergilah."
Naruto mengangkat kepalanya menatap Neji. Laki-laki bermarga Hyuuga itu ikut memandang ke arah luar. Hujan sudah tidak sederas tadi. Ia yakin tak lama lagi akan cerah. Cuaca yang tepat untuk menempuh perjalanan jauh.
"Jangan mengulur waktu. Kau pasti kangen sekali dengannya," Goda Neji sambil menyeringai kecil. "setengah dekade bukan waktu yang sebentar."
Naruto tergelak kecil. "Sial. Kau benar."
Neji melempar kunci mobil Naruto yang ditangkap sigap oleh laki-laki itu. "Sana pergi. Kumaafkan kau tidak memberiku tumpangan pulang kali ini. "
Naruto tersenyum nyengir tanda meminta maaf. "Tetap kau yang traktir kopinya kan?" tanyanya sambil beranjak berdiri lalu memakai jaketnya.
Neji mengangguk lalu mengangkat kepalan tangannya ke arah Naruto. "Anggap saja sebagai penyemangat untuk temanku yang akan menentukan nasib hidupnya," Bibirnya membentuk sebuah senyuman lembut. "Semoga berhasil, teman."
"Dasar gila." Naruto tertawa sambil meninju pelan kepalan tangan Neji. "But, thanks. See you."
Naruto berjalan keluar café lalu menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari situ. Setelah menyalakan mesin dan memasang seatbelt, Naruto mendadak terdiam dengan posisi tangan memegang setir.
Benarkah keputusannya ini? Kabar yang diterimanya beberapa hari lalu membuat harapannya kembali naik setelah bertahun-tahun. Tapi siapkah ia menerima kenyataan kalau kabar itu bisa saja salah?
Naruto meraih dompet dari dalam sakunya lalu membukanya. Matanya terpaku pada selembar foto yang telah mendiami dompetnya selama bertahun-tahun.
Sorot matanya mulai melembut. Ibu jarinya bergerak mengusap foto seorang perempuan yang sedang tersenyum manis sambil memegang setangkai bunga matahari.
Seseorang yang posisinya tidak pernah tergantikan oleh foto perempuan lain di dalam dompetnya. Apalagi di hatinya.
Naruto merindukannya.
Ia yang dapat membuatnya tersenyum sepanjang hari hanya dengan membayangkan wajahnya.
Ia yang membuatnya bertingkah konyol hanya untuk mendapat perhatiannya.
Ia yang tak pernah bosan untuk diajaknya berkencan—meski telah telah ditolak ribuan kali.
Dan ia—yang untuk pertama kali dalam hidupnya—membuatnya mencintai perempuan lain selain almarhum ibunya.
Seorang perempuan dengan rambut berwarna merah muda lembut.
Sepasang mata sehijau batu emerald yang berkilau indah.
Serta memiliki sebuah nama dengan arti sama dengan mekarnya bunga sakura di musim semi.
Haruno Sakura.
.
.
.
Naruto © M. K.
Story © Aika Namikaze
Tidak ada keuntungan apapun yang dihasilkan dari fic ini. Everything is just for fun!
WARNING(S): AU, maybe OOC,fluff(?) DON'T LIKE DON'T READ! :)
.
.
.
Heart Question
Chapter 1 of 2
.
.
.
Saat lingkungan di sekitarnya menjadi sangat familiar dengannya, Naruto tahu, ia telah sampai. Rasa lelah karena perjalanan yang ditempuhnya selama beberapa jam dari Suna mendadak hilang saat melihat sebuah tulisan yang menandakan mobilnya mulai memasuki kota kelahirannya.
SELAMAT DATANG DI KONOHA.
Kedua sudut bibirnya semakin tertarik membentuk sebuah senyuman simpul menikmati perubahan suasana kota. Konoha telah berubah banyak sejak ia meninggalkan kota ini lima tahun silam.
Naruto melajukan mobilnya ke suatu tempat yang sudah sangat dihapalnya di luar kepala. Jantungnya mulai berdebar keras saat semakin mendekati tempat tujuannya.
Bagaimana sikapnya saat bertemu dengannya nanti? Apa yang harus ia jelaskan pada perempuan itu soal lima tahun yang lalu?
Beberapa menit kemudian Naruto menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah bercat putih. Setelah menenangkan jantungnya yang berdebar ia bergegas turun. Rumah itu tampak sepi. Seingatnya, ada rumah anjing di halaman depan. Sakura mempunyai anjing retriever dulu.
Belum sempat memencet bel rumah yang ada di luar pagar, seseorang telah lebih dulu keluar dari rumah itu. Naruto tertegun. Ia tidak mengenal wanita yang kini berjalan mendekatinya itu.
"Apakah ini rumah keluarga Haruno?" tanya Naruto langsung.
Saat sang pemilik rumah menggelengkan kepalanya, laki-laki dengan rambut pirang yang kini terlihat acak-acakan itu mendadak lemas. Setelah mengobrol beberapa saat akhirnya Naruto berpamitan.
Dengan langkah gontai ia kembali mobilnya. Keluarga Haruno telah pindah tiga tahun lalu, pemilik rumah yang sekarang tidak tahu kemana keluarga itu pindah.
Naruto melajukan mobilnya lagi dengan kecepatan pelan. Kemana ia harus mencari Sakura sekarang?
Malam itu, Naruto menjemput Sakura di rumah sakit. Perempuan itu bilang ingin berbicara sesuatu yang penting dengannya. Sepanjang perjalanan menuju Ichiraku, kedai ramen langganan mereka, Naruto berpikir bahwa ia mungkin telah melakukan kesalahan pada Sakura sampai-sampai perempuan itu marah padanya. Tapi melihat Sakura tersenyum sejak ia menjemputnya di rumah sakit tadi, ia yakin ada sesuatu yang menggembirakan.
Meski bagi Naruto tidak.
"Sasuke-kun melamarku."
Naruto menghentikan gerakan tangannya. Ramen yang baru saja disumpitnya kini tergantung di udara. Matanya terpaku pada Sakura yang tersipu di depannya.
"Apa?" tanya Naruto memastikan. Apa ia baru saja mendengar kata 'melamar'?
Sakura menaruh sumpitnya di atas mangkuk lalu mencari posisi nyaman di kursi. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan berbisik seolah-olah menceritakan rahasinya. "Semalam, Sasuke-kun mengajakku makan malam di restoran. Tiba-tiba saja ia mengeluarkan cincin dan mengajakku bertunangan," Ia menahan pekikan kegirangannya. "Menikah akan terlalu cepat bagi kami saat ini, jadi begitulah." Sakura mengangkat sebelah bahunya.
Naruto masih terdiam menatap Sakura. Rona merah tipis menghiasi pipi perempuan itu. Bibirnya masih betah tersenyum ke arahnya.
"Kautahu, aku... Aku sangat senang sekali. Kukira ia tidak benar-benar serius denganku." Kata Sakura setengah mendesah lega.
Naruto jelas masih mengingat cerita Sakura bagaimana Sasuke memperlakukannya cukup dingin bahkan setelah mereka berpacaran. Anak bungsu penerus perusahaan Uchiha itu hanya sesekali mengajaknya makan malam atau menonton bioskop. Mereka jarang berkencan, tentu saja, karena kesibukan Sasuke. Tapi melamar setelah dua bulan menjalin hubungan sama sekali tidak disangka Naruto.
Mata birunya menyipit saat melihat cincin yang berkilauan di jari manis Sakura. Itu pasti cincin yang diceritakan oleh Sakura tadi.
Mendadak Naruto merasa mual. Selera makannya mendadak hilang sama sekali meski ia sedang berhadapan dengan makanan favoritnya sejak lahir. Ia meletakkan sumpit di samping mangkuk ramen yang bahkan belum dimakannya sampai separuh.
Naruto meraih gelas berisi ocha nya. "Kapan pesta pertunangannya?" Tanya Naruto setelah berdeham. Lehernya terasa kering meski baru saja meminum teh hijaunya sampai habis.
Sakura mengerutkan kening dengan satu telunjuk di bawah dagunya. "Entah. Mungkin bulan depan." ia terkikik geli.
Naruto menganggukan kepalanya beberapa kali. Bibirnya membentuk senyum simpul—yang sayangnya tak disadari Sakura senyum itu merupakan paksaan.
"Selamat, Sakura-chan," Naruto bersusah payah mengambil napas sebelum melanjutkan kalimatnya.. "Aku... Aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu."
Sakura mengangguk. "Terima kasih, Naruto. Kau sahabat terbaikku, kaulah yang pertama tahu soal ini." Tangannya meraih tangan Naruto di atas meja lalu menggenggamnya. Wajahnya berbinar cerah. Bibirnya masih tersenyum lebar.
Sahabat.
Satu kata yang tepat menusuk dada Naruto. Rasa sakitnya terasa berkali-kali lipat dibandingkan saat Sakura mengucapkan kata itu sebagai alasan untuk menolak ajakan-ajakan kencannya.
Sakura mengerutkan alisnya saat Naruto perlahan menarik tangan dari genggamannya. Laki-laki itu lalu mengeluarkan sejumlah uang lalu meletakkannya di atas meja.
"Kau mau kemana?" tanya Sakura melihat Naruto beranjak berdiri sambil memakai mantelnya.
"Ah, aku harus pergi sekarang. Aku lupa ada janji dengan temanku." Jawab Naruto sekenanya sambil mengacak rambut Sakura.
"Tunggu. Kau mau pergi selarut ini? Ini sudah jam 10." Sakura menahan tangan Naruto yang hampir pergi. Ia menatap mata Naruto baik-baik. "Kau… tidak sedang bohong kan?"
Naruto tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia mengelus pipi Sakura lembut sambil tersenyum kecil. "Sampai jumpa lagi, Sakura."
Sakura terbelalak kaget saat Naruto mencium dahinya lembut lalu melangkah cepat meninggalkan Ichiraku.
"Naruto…"
Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun mereka bersahabat, Naruto memanggilnya tanpa suffix'chan'. Sakura juga tidak pernah menyangka bahwa saat itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Naruto, sebelum laki-laki itu menghilang sama sekali tanpa kabar.
Karena keesokan paginya, perempuan itu menerima pesan dari Ino, teman satu apartemen Naruto, bahwa Naruto telah meninggalkan Konoha malam itu juga tanpa mengucapkan selamat tinggal padanya.
Naruto menerima beasiswa untuk melanjutkan studinya di bidang fotografi di Suna. Malam itu, seharusnya, ia memberi kabar gembira itu pada Sakura. Sekaligus memberitahu rencana kepindahannya yang akan dilakukan seminggu lagi. Tapi ternyata, semua tidak berjalan sesuai dengan rencana.
Setelah mendengar rencana pesta pertunangan Sakura dan Sasuke, Naruto mempercepat kepindahannya menjadi malam itu juga. Setelah berpisah dengan perempuan itu, ia bergegas kembali ke apartemennya dan mengepak semua barang yang diperlukannya ke dalam mobil. Barang berukuran besar akan diurusnya besok dengan kurir pengangkut barang. Tepat sebelum matahari terbit keesokan harinya, ia telah meninggalkan Konoha.
Naruto membuat bibi pemilik apartemen, Tsunade, bersumpah untuk tidak memberitahu kepada siapapun kemana ia pindah. Terutama Sakura. Wanita paruh baya itu mau tak mau menyanggupi karena sudah menganggap Naruto sebagai anaknya sendiri.
Ia menghilangkan jejaknya dari Sakura. Dari teman-temannya. Dari masa lalunya. Naruto memulai hidup baru. Ia bahkan mengganti nomor ponselnya sehingga tidak ada yang bisa menghubunginya lagi.
Keputusan bodoh, Naruto tahu itu, hanya saja kepercayaan dirinya yang menganggap Sakura akan luluh padanya jauh lebih terdengar bodoh.
Selama bertahun-tahun, Naruto sudah cukup sabar mendengar lika-liku kehidupan cinta Sakura dengan beberapa laki-laki yang pernah dikencaninya. Bahunya selalu tersedia bila perempuan itu menangis. Tangannya selalu siap memeluk saat Sakura merasa terpuruk.
Entah sudah berapa kali Naruto merasakan patah hati saat tahu Sakura berkencan dengan orang lain. Ia mengobati hatinya sendiri dengan mencoba mengencani perempuan lain—meski pada akhirnya, hal itu selalu gagal. Pada akhirnya Naruto mencoba bertahan dan menunggu waktu yang tepat sampai nantinya perempuan itu sadar siapa yang selalu ada di sampingnya.
Tapi mendengar Sakura dilamar itu menjadi cerita yang berbeda. Naruto tahu ia tidak akan sanggup melihat Sakura berdiri di altar dengan lelaki lain selain dirinya.
"Damn!"
Naruto berdecak kesal sambil memukul setir. Ia baru sadar bahwa ia lupa membawa simcard ponsel yang berisi kontak teman-teman lamanya di Konoha. Setidaknya, ia bisa menghubungi Ino untuk mencari keberadaan Sakura—ia tidak mau menghubungi Sakura langsung karena ingin memberi kejutan atas kedatangannya.
Satu belokan di ujung jalan lalu Naruto menghentikan mobilnya di depan sebuah taman kota. Dulu ia bisa datang ke taman ini untuk hunting foto. Beristirahat sekaligus bernostalgia sejenak mungkin dapat membantu menenangkan pikirannya dan mencari cara lain untuk menemukan Sakura.
Kakinya melangkah memasuki taman. Hari mulai beranjak sore sehingga taman mulai ramai. Banyak anak-anak yang bermain di taman bermain mini dan kotak pasir di salah satu sudut taman. Tak jauh dari situ ada juga segerombolan ibu-ibu yang bergosip sambil mengawasi anak mereka bermain.
Naruto jelas tidak akan ke arah sana karena tujuannya kesini untuk mencari ketenangan. Ia memilih untuk duduk di salah satu bangku taman yang terlihat sepi sambil meminum cappuccino yang baru saja dibelinya di mesin penjual kopi otomatis.
Sambil menyesap kopinya pelan, Naruto mengingat bagaimana ia bisa jatuh cinta pada Haruno Sakura.
"Kenapa tidak memberinya langsung saja padaku?"
Naruto mengangkat bahunya sekilas. "Entah. Mungkin karena kau galak?" ia menjerit pelan saat Sakura memukul bahunya keras.
"Bodoh. Mereka setua dirimu. Kenapa tidak langsung saja menyatakan cinta padaku yang jelas-jelas hanya adik kelas kalian?" Sakura mendengus sebal lalu melempar surat cinta dari salah satu teman Naruto ke atas meja belajarnya. "Lalu kenapa harus kau yang mengantar suratnya?"
"Karena aku satu-satunya anak laki-laki yang berani mendekati ketua karate di tahun pertamanya di SMA?" kali ini Naruto menghindari guling yang dilempar Sakura dari atas tempat tidurnya. "Hei, aku hanya menebak!" ia memberengut kesal.
Sakura memeletkan lidahnya. "Kau hanya tetangga sekaligus kakak kelas yang berbaik hati membantuku beradaptasi di sekolah baru setelah kepindahanku ke Konoha." matanya memicing tajam ke arah Naruto. "Jadi, jangan seperti mereka, kau mengerti?"
Naruto menjawabnya dengan mengibaskan tangannya malas dan setengah tertawa.
Keluarga Haruno pindah ke Konoha sejak setengah tahun yang lalu. Kepindahan mendadak itu disebabkan oleh ayah Sakura yang ditugaskan untuk memegang kantor cabang di Konoha. Mereka pindah tepat di sebelah rumah Naruto.
Saat itu Naruto masih tinggal bersama kakeknya, Jiraiya, karena orangtuanya yang meninggal saat masih kecil karena kecelakaan. Jiraiya langsung menyukai putri tunggal Haruno itu dan menyuruh Naruto untuk mendekatinya. Sifat alami Sakura sedikit banyak mengingatkannya pada anaknya, Kushina, yang sekaligus ibu Naruto.
Naruto menolak mentah-mentah atas rencana kakeknya yang berusaha 'menjodohkan' dirinya dengan Sakura. Dengan tegas ia berkata bahwa tidak mungkin ia jatuh cinta dengan perempuan galak itu.
Sakura memasuki sekolah yang sama dengan Naruto di pertengahan semester. Karena saat itu Naruto telah duduk di bangku kelas tiga sementara Sakura baru kelas satu, secara tidak langsung, orangtua Sakura menitipkan anak mereka padanya. Mereka ingin agar Naruto membantu Sakura beradaptasi dengan lingkungan barunya sekaligus menjaganya.
Dua bulan pertama ia di sekolah, Sakura telah menarik banyak perhatian. Sakura dapat mengalahkan Tenten, ketua sekaligus senior dalam klub taekwondo, dalam pertandingan terbuka di sekolah mereka. Selain itu, otak pintarnya berhasil membawa sekolah mereka memenangkan olimpiade sains di tingkat nasional. Makin harumlah nama Sakura sebagai anak baru yang serba bisa.
Kuat, pintar, sekaligus cantik. Julukan itu cukup membuat banyak anak laki-laki mengantri untuk menyatakan cinta pada Sakura. Tapi ternyata tidak semudah itu karena Sakura selalu menolak setiap pernyataan cinta yang ditujukan padanya. Belum ada satu anak laki-lakipun yang berhasil mendapatkan hatinya.
"Aku heran kau bisa tidak jatuh cinta padanya."
Kata-kata itu dilontarkan oleh Kiba, teman satu geng Naruto, saat mereka sedang membicarakan soal Sakura di kelas. Jam istirahat masih tersisa lima menit. Tapi Naruto dan teman-temannya memilih untuk standby lebih awal daripada terkena hukuman dari guru killer pelajaran selanjutnya karena terlambat masuk.
Naruto mengibaskan tangannya malas. "Kau tidak tahu sifat aslinya. Sakura-chan bisa galak sekali kalau marah." Ia bergidik saat mengingat betapa marahnya Sakura saat ia secara tidak sengaja menginjak kebun bunga matahari di pekarangan rumahnya.
"Nah, kau bahkan memanggilnya dengan suffix '-chan', Naruto. Kau yakin tidak naksir Sakura?" timpal Kankurou sambil duduk di atas meja Naruto.
Naruto mendengus. "Aku memanggilnya begitu karena menganggapnya sebagai adikku. Kalian tidak tahu betapa ia bisa terlihat manja saat memintaku menemaninya ke supermarket malam-malam."
Kiba dan Kankurou tergelak. "Hei, dia itu perempuan. Wajar kan?" sela Kiba. "Masa kau tega membiarkannya berjalan sendirian malam-malam?"
"Payah kau, Naruto!"
Naruto mengedikan bahunya tak acuh. Ia memilih untuk menghabiskan rotinya tanpa menanggapi komentar dari Kankurou dan Kiba yang masih betah menggodanya.
"Kalau begitu, kau tidak keberatan aku mendekati Sakura kan, Naruto?"
Naruto mendongak. Gaara tiba-tiba saja sudah berdiri di samping kursinya.
"Kau? Mendekati Sakura? Wow." Kankurou bertepuk tangan seolah kagum. "Pangeran berhati es yang tidak pernah terlihat tertarik pada siapapun di sekolah ini mendadak ingin mendekati sang queen bee?"
Gaara mengangkat bahunya sekali. "Aku satu tim dengannya saat olimpiade sains. Kurasa dia cukup menarik." Matanya melirik Naruto yang mendadak terdiam. "Jadi, bolehkah aku?"
Naruto meremas sisa rotinya lalu beranjak berdiri. "Terserah." Jawab Naruto pendek sambil berlalu menuju pintu.
Saat Naruto menggeser pintu kelasnya, ia terperanjat kaget saat melihat Sakura yang sepertinya juga berniat membuka pintu. Sakura tampak gelagapan dengan setumpuk kertas yang dipeluknya.
"Ah, Sakura-chan, ada apa?"
Sakura mendadak merasa salah tingkah. Ia berdeham sekali sebelum bertanya, "Aku mencari Gaara-senpai. Ada yang mau kutanyakan soal olimpiade minggu depan. Apa dia ada?"
Naruto mengerutkan keningnya melihat senyum Sakura yang terlihat agak aneh. Perempuan itu juga tampak menghindari tatapannya. Tapi Naruto tidak terlalu memikirkan hal itu.
Ia lalu menoleh ke arah Gaara yang masih mengobrol dengan Kiba dan Kankurou di mejanya. "Hoi, Gaara, ada yang mencarimu!" teriaknya. "Nah itu dia. Sudah, ya." ia menepuk bahu Sakura kemudian berlalu.
Beberapa langkah berjalan, Naruto menengok ke belakang dari balik bahunya. Gaara dan Sakura tampak berbicara dengan jarak yang cukup dekat. Sakura tertawa saat Gaara mengusap puncak kepalanya sambil tersenyum.
Saat itu, untuk pertama kalinya, Naruto tidak suka melihat Sakura bersama laki-laki lain.
"Gaara mengajakku ke festival sekolah tanggal empat bulan depan."
Naruto tersadar dari lamunannya lalu menatap Sakura. Di depannya, Sakura terlihat memainkan bantal di pangkuannya sambil tersenyum malu-malu. Alis Naruto terangkat melihat rona tipis di pipi perempuan itu. Apa ia benar-benar menyukai Gaara?
Sakura menelengkan kepalanya bingung saat mendengar Naruto mendengus pelan. "Kenapa?"
"Sebenarnya, aku tidak menyarankan kau jalan dengan Gaara." Naruto mengalihkan pandangannya dan memainkan ponsel di tangannya tanpa tujuan. "Dia mungkin terlihat kalem, tapi aku merasa ada yang tidak baik darinya."
Sakura memutar bola matanya. "Oh, yang benar saja, Naruto. Kau selalu bilang begitu ke setiap laki-laki yang berusaha mendekatiku."
Naruto hanya tersenyum kecut.
.
.
4 April. Festival musim semi tahunan sekaligus perayaan ulang tahun yang diadakan oleh SMA mereka. Bazaar, pertandingan persahabatan di bidang olahraga, bahkan panggung pertunjukan semua ada di festival itu. Puncak acaranya adalah jam 8 malam, saat kembang api diluncurkan ke udara sebanyak umur sekolah mereka sekarang.
"Kenapa disini?"
Sakura menoleh kaget saat mendengar pintu kelas yang digeser dan sosok Naruto berjalan mendekatinya. Naruto masih mengenakan baju basket di balik jaketnya yang terbuka. Ia mengusap matanya yang basah dengan satu tangannya yang tidak memegang ambang jendela.
"Aku hanya mencari udara segar." Ia berdeham karena suaranya yang sempat terdengar serak sebelum melanjutkan, "seharian aku berjaga di stand café kelas. Ah, kudengar tim basket kita menang? Selamat."
Naruto terdiam. Sakura tersenyum, ia tahu itu adalah sebuah senyum paksaan. Hari sudah malam dan lampu kelas ini tidak dinyalakan. Melarikan diri ke kelas kosong dan menangis di pinggir jendela jelas bukan alasan yang tepat kalau hanya ingin mencari udara segar.
"Kautahu kebohonganmu tidak pernah mempan padaku, Sakura-chan." Ucap Naruto setelah jeda beberapa saat. "Kupastikan Gaara babak belur besok karena berani membuatmu menangis."
"Jangan!" sela Sakura cepat sambil menahan lengan Naruto. Raut wajah Naruto mengeras dan ia tahu bahwa laki-laki itu serius dengan ucapannya barusan. "Jangan cari masalah. Ini salahku. Seharusnya aku tahu Gaara hanya main-main denganku." Ia menggigit bibir bawahnya. Padahal Naruto telah memperingatkannya untuk berhati-hati dengan Gaara tapi ia tidak percaya. Namun sore tadi, tanpa sengaja ia memergoki Gaara mencium perempuan lain setelah siangnya menyatakan perasaan padanya.
Naruto menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya keras. Tangannya tanpa sadar masih terkepal di samping badannya. Ia langsung melesat dari gedung olahraga saat salah satu teman kelas Sakura mendatanginya untuk mencari keberadaan perempuan itu. Menghilang tiba-tiba jelas bukan kebiasaan Sakura.
"Hei, seharusnya aku yang marah pada Gaara. Bukan kau." Sakura tertawa kecil lalu meraih tangan Naruto dan menariknya keluar. "Sudahlah, lupakan saja. Ayo ke atap. Sebentar lagi kembang api diluncurkan."
Naruto membiarkan Sakura menggenggam tangannya dan menggiringnya ke atap sekolah. Perempuan itu benar, seharusnya saat ini Sakura yang paling emosi. Bukan malah ia sendiri.
Tapi melihat Sakura disakiti sama sekali tidak membuat Naruto senang. Siapapun yang membuat air mata Sakura jatuh harus berhadapan dengannya. Karena baginya, kebahagiaan Sakura sepenting kebahagiannya sendiri. Naruto akan terus berusaha menjaga senyum itu tetap terukir di wajah cantiknya.
…tunggu. Tadi dia memikirkan apa?
Pipi Naruto seketika terasa menghangat. Ia semakin merona saat melihat tangan Sakura yang masih menggenggam tangannya erat. Sakura berada selangkah di depannya karena itu ia tidak bisa melihat wajah Naruto sekarang.
Tapi, hei, debaran aneh apa ini di dadanya? Kenapa ia jadi tidak jelas begini?
Saat Naruto masih sibuk berkutat dengan degup jantungnya yang tidak biasanya, mereka telah sampai di puncak tangga. Angin malam menerpa wajah mereka begitu pintu menuju atap terbuka.
Sakura melepaskan genggamannya lalu berlari kecil sambil mengangkat sedikit yukata yang masih dikenakannya. Ia menghirup udara malam yang terasa segar lalu menghembuskannya panjang. Naruto berjalan pelan mengikuti di belakangnya
Syuuung! Duaaarrrr!
"Sudah mulai!"
Kembang api pertama terlepas ke udara diikuti letusan-letusan berikutnya. Sakura memekik kecil kesenangan. Naruto ikut tersenyum. Pendar warna yang diciptakan kembang api selalu membuatnya bahagia.
Saat Naruto menurunkan pandangannya dari langit ia mendadak terpaku. Sakura yang sedang mendongak menatap langit penuh kembang api itu tersenyum lebar seolah-olah tidak pernah ada air mata yang baru jatuh ke pipinya. Rambut panjangnya yang biasa tergerai kini digelung lalu diberi beberapa hiasan rambut bunga mawar putih sebagai pemanis yang sesuai dengan motif yukatanya. Beberapa anak rambutnya terlihat jatuh—mungkin karena seharian sibuk tanpa sempat membereskan rambutnya lagi—meski hal itu membuatnya tetap tampak manis. Sapuan make-up yang natural membuat pesona Sakura semakin menyihir Naruto.
Naruto terpana. Dengan satu tangan di depan dadanya yang mulai berdebar tak karuan lagi.
Sepertinya ia harus menarik kembali kata-katanya kepada kakeknya duku.
Hari itu, untuk pertama kalinya, Naruto benar-benar jatuh cinta pada Haruno Sakura.
"Maaf, kak!"
Naruto tersentak dari lamunannya saat merasakan sesuatu mengenai betis kanannya. Ia menunduk dan mendapati sebuah bola basket di dekat kakinya. Diambilnya bola itu saat seorang anak kecil berlari menghampirinya.
"Maaf, kak, kami tidak sengaja." Seorang anak laki-laki yang Naruto tebak berusia sekitar sepuluh tahun menunduk kecil sebelum tertawa nyengir ke arahnya.
Naruto hanya tersenyum sambil melempar bola basket ke arah anak itu. "Tidak apa, aku tidak terluka kok."
Setelah membungkuk sekali lagi sambil mengucapkan terima kasih, anak laki-laki itu berlari meninggalkannya. Tak jauh dari tempatnya duduk, sekelompok anak yang sepertinya adalah teman anak laki-laki tadi mulai bersiap di posisinya masing-masing saat bola basket itu dilempar ke arah mereka.
Permainan basket three on three.
Naruto mendadak tergerak untuk mengambil gambar mereka dengan kameranya. Ia berlari ke mobilnya kemudian kembali dengan menenteng kamera kesayangannya.
Cklik.
Naruto tersenyum puas melihat hasil bidikan kameranya. Profesinya sebagai fotografer majalah terkenal sekarang memang membuatnya tak bisa lepas dari kamera. Kemanapun ia pergi, kamera yang dibelinya dengan hasil tabungannya itu akan turut serta dibawanya. Akhirnya Naruto memutuskan berkeliling taman untuk mencari objek menarik yang lain.
Seorang anak perempuan yang bermain dengan anjing golden retriever miliknya. Laki-laki yang sedang merayu dengan memberi bunga pada kekasihnya. Sampai pasangan berusia lanjut yang duduk di pinggir kolam sambil saling bercengkrama, mengenang masa muda mereka. Semua hal yang menarik perhatiannya, langsung diabadikan oleh Naruto ke dalam kameranya.
Naruto berdiri di tepi kolam sambil menunduk memerhatikan layar kameranya setelah mengelilingi. Kepalanya mengangguk-angguk puas melihat beberapa hasil foto yang berhasil didapatnya.
Tiba-tiba seekor kupu-kupu berwarna kuning yang terbang di dekatnya berhasil membuat Naruto mengangkat wajahnya dari kamera. Alisnya mengernyit melihat serangga cantik itu. Di tengah kota seperti ini, bisa menemukan kupu-kupu termasuk hal yang jarang ditemukan.
Naruto menjadi tertarik untuk mendapat gambar yang bagus dari serangga pencari nektar itu. Tanpa sadar kakinya mengikuti arah terbang kupu-kupu itu. Kameranya mulai terangkat—bersiap untuk memfotonya saat kupu-kupu itu hinggap di salah satu bunga.
Saat itulah, sebuah warna yang sangat disukainya selama bertahun-tahun ikut masuk ke dalam fokus lensanya.
Bukan dari kupu-kupu, bunga, ataupun pohon.
Naruto perlahan menurunkan kameranya. Seorang perempuan dengan rambut merah muda berdiri membelakanginya tak jauh dari posisinya saat ini. Saat perempuan itu menoleh ke samping, dengan amat jelas Naruto dapat melihat bola matanya yang berwarna hijau emerald.
Badannya seketika membeku. Langkahnya terpaku pada tanah yang dipijaknya. Berulang kali Naruto memastikan pengelihatannya tidak sedang mempermainkannya. Tapi beberapa kalipun ia mengusap atau memejamkan lalu membuka matanya kembali, objek itu tetap pada tempatnya.
Dialah orang yang sedang dicarinya dan dirindukannya selama bertahun-tahun.
Haruno Sakura.
Tampaknya perempuan dengan dress selutut berwarna putih dan cardigan merah itu sama sekali tidak menyadari kehadiran Naruto. Ia terlihat memasukkan sesuatu ke dalam tas tangannya lalu mulai melangkah menuju gerbang taman.
Naruto dengan cepat menarik kesadarannya. Setengah berlari ia mendekati sosok yang perlahan semakin menjauh itu.
Ia tak mau kehilangan lagi.
"Saku—"
Mendengar namanya dipanggil Sakura berbalik. Ia berdiri di tempat saat melihat sosok yang kini berjalan mendekatinya. Kedua matanya membulat. Tidak menyangka bahwa ia bisa bertemu sosok itu lagi.
"Naruto…." ucap Sakura ragu-ragu. Namun saat melihat laki-laki di depannya perlahan tersenyum, barulah ia yakin. "Naruto! iya kan!"
Naruto terhuyung ke belakang saat Sakura tiba-tiba menerjang memeluk lehernya. Matanya terbelalak kaget karena respon dari Sakura.
"Baka! Kemana saja kau!" bisik Sakura kesal. Meski lebih terdengar sebagai kalimat marah, Naruto tahu perempuan itu senang bertemu dengannya.
Lengannya perlahan memeluk pinggang Sakura dan menyandarkan kepalanya di bahu perempuan itu. Ia tersenyum lalu memejamkan matanya.
"Maaf." bisiknya pelan. Ah, betapa ia merindukan perempuan di pelukannya ini.
Setelah beberapa saat Sakura menarik diri dari pelukan Naruto lalu membesengut. Perempuan itu telah berubah banyak. Ia lebih tinggi dari terakhir yang diingat Naruto. Poninya yang kini lebih panjang dijepit ke samping. Wajahnya terlihat lebih dewasa dan… lebih cantik. Sepertinya Naruto baru saja jatuh cinta lagi pada perempuan ini.
"Kenapa?"
"Menurutmu?"
Bletak!
"Aduh!"
Naruto mengusap puncak kepalanya yang dijitak keras oleh Sakura. Ah, setelah bertahun-tahun rupanya kekuatan Sakura masih tetap sama seperti dulu.
"Itu belum seberapa untuk membalas kepergianmu yang tiba-tiba lima tahun lalu." Sakura melipat kedua tangannya di depan dada dengan muka ditekuk. Namun melihat Naruto yang masih meringis menahan sakit, sejurus kemudian ia mulai tertawa. "Bagaimana kabarmu, Naruto?"
Naruto mengedikkan bahunya ikut tertawa. "Lumayan. Kau?"
"Begitulah." Sahut Sakura ringan sambil tersenyum.
Dada Naruto kembali berdesir. Senyum itu sama sekali tidak berubah. Masih mampu membuatnya betah memandangi wajah Sakura.
"Sebenarnya, aku ada urusan sebentar. Bagaimana kalau setelah itu ke apartemenku?" tanya Sakura sambil melihat jam tangannya.
Naruto mengangkat sebelah alisnya. "Keluargamu pindah ke apartemen?"
Sakura menggeleng. "Orangtuaku pindah ke rumah nenek di Iwa. Aku tidak mau meninggalkan pekerjaanku sebagai dokter disini." Jawabnya cepat. "Jadi bisakah kita pergi sekarang?"
Naruto mengangguk. "Baiklah. Ayo kuantar dengan mobilku."
"Sebelum itu mampir dulu ke suatu tempat ya."
"Kemana?"
Sakura tersenyum misterius sambil mengedipkan sebelah matanya.
.
.
.
"Aku sedang dalam perjalanan. Bersabarlah." Kata Sakura pada seseorang di seberang telepon. "Aku bertemu teman lama. Kau pasti akan kaget bertemu dengannya nanti." Ia melirik Naruto yang masih berkonsentrasi pada jalanan di depannya.
"Aku hampir sampai. Sudah ya, sayang."
"Siapa?" tanya Naruto setelah Sakura mematikan teleponnya.
"Seseorang." Jawab Sakura sambil tertawa misterius. "Kau akan bertemu dengannya nanti."
Naruto tersenyum kecut. Rasanya sejak tadi Sakura seperti menyembunyikan sesuatu darinya.
Lagu Say You Love Me mengalun pelan dari radio. Baik ia maupun Sakura sama-sama terdiam menikmati suara Jessie Ware yang memenuhi mobil Naruto.
Dari sudut matanya, Naruto melirik Sakura. Perempuan itu tampak menikmati pemandangan luar dari jendela samping.
Naruto menggigit bibir bawahnya. Kedatangannya ke Konoha lagi adalah untuk mencari Sakura. Ia ingin mengkonfirmasi sesuatu. Beberapa hari yang lalu, Neji memberitahunya bahwa putra bungsu pendiri Uchiha Corp itu baru saja menikah dengan seorang model bernama Karin sebulan yang lalu.
Hal itu jelas membuat Naruto bingung. Ia mengira bahwa Sasuke pasti telah menikah dengan Sakura sejak beberapa tahun yang lalu. Ia tidak pernah lagi mencari tahu soal Sakura sejak meninggalkan Konoha. Tapi Neji, teman pertamanya di Suna yang tahu semua ceritanya, bersikeras menyuruhnya untuk kembali ke Konoha dan mencari tahu kebenarannya.
Hanya saja Naruto merasa ragu untuk menanyakannya. Ia bingung harus memulai dari mana.
"Hei, Naruto, lampunya hijau!"
Naruto tersentak kaget lalu cepat-cepat menginjak gas. Sepertinya tanpa sadar ia melamun saat di lampu merah tadi.
Di sebelahnya, Sakura tergelak puas. "Kau kenapa sih? Jangan melamun di jalan. Aku tidak mau mati denganmu sekarang."
Naruto tertawa kikuk. "Ada yang membuatku kepikiran."
"Hm? Apa itu?" tanya Sakura sambil tersenyum seolah tahu yang dimaksud Naruto. Ia memutar badannya ke arah laki-laki itu.
Naruto menatap Sakura sejenak lalu mengambil napas. Ini dia. "Jadi begini, Sakura, apakah kau—"
"Ah! Pelankan mobilmu, Naruto, kita hampir sampai," potong Sakura cepat sambil melihat ke arah depan lagi. "lihat bangunan dengan pagar merah itu? Kita berhenti disana."
Naruto memelankan laju mobilnya sesuai keinginan Sakura. Perempuan itu akhirnya meminta berhenti di depan gedung yang tampak seperti taman kanak-kanak. Bangunan tak bertingkat itu cukup luas dengan taman bermain di halaman depannya. Yang membuat Naruto seketika melongo adalah saat membaca papan bertuliskan 'Tempat Penitipan Anak' di dekat gerbang masuknya.
"Kenapa bengong? Ayo." Sakura melepas sabuk pengaman lalu berjalan keluar mobil. Naruto hanya mengekor di belakang Sakura memasuki tempat baby daycare itu.
Sempat terdiam beberapa saat, Naruto akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, "Siapa yang kita jemput disini, Sakura?"
Sakura menoleh ke belakang sambil mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum. "Kau pikir aku akan menjemput kucing? Tentu saja kita menjemput anak laki-lakiku."
.
.
.
~to be continued~
YUHUUUU EPERIBODEHHHH~~~ akhirnya ya setelah 4 taun jadi author baru sekarang berani bikin fic multichap xD *alasan gamau bikin multichap karena takut ditagihin #plak* inipun akhirnya berani publish karena chap 2 uda setengah jalan hohoho :3
Rencananya, insyaAllah, chapter kedua sekaligus terakhir bakal kupublish bertepatan sama hari ulang tahunku di bulan ini hahaha~ XDD jadi semacam birthday fic buat diri sendiri gitu deh :)) #krik jadi, silahkan sabar menunggu ya untuk kelanjutan ceritanya~
Ah, liat review dari fic NaruSaku terakhir kemarin, aku terharu ternyata masih banyak reader yang suka bacain fanfic NaruSaku kirain bakal berkurang lho setelah gak canon :") yah just because our OTP isn't canon it doesn't mean we must stop shipping them, right? X"DD nyatanya makin kesini malah makin getol nulis fic NaruSaku (meski kadang suka baper juga) x"P duh malah jadi curhat gajelas ya haha maapin ._.v
Nah, buat yang sudah baca dan mampir, jangan lupa tinggalkan jejakmu di kolom review! Meskipun aku nulis untuk kesenangan, tapi dapet banyak review itu juga jadi bonus kesenangan tersendiri loh hehe :'D
XOXO
Aika