Musim Dingin
Disclaimer :
Naruto karya Masashi Kishimoto
Inspirasi karya dari The Twilight Saga ciptaan Stephenie Meyer dan fanfic The Another Black karya ksatriabawangmerah.
Warning :
MyhtFic! AU
...
Prologue
...
Aku benci upacara kematian, entah itu upacara kematian secara kristen dengan nyanyian-nyanyia mazmur sebagai penggiringnya atau upacara bergaya Jepang yang melewati dengan lantunan doa demi doa dari pendeta dan memperhatikan proses kremasi yang terjadi lalu orang berdatangan di rumah duka memberi penghormatan terakhir.
Semua orang berduka.
Bukan karena mereka memakai pakaian hitam legam, atau karangan bunga bertemakan sama. Namun, suasana duka sangat kental terasa di sini, terlebih dari pihak keluarga. Selain itu, aku sangat mengenal kakek tua cerewet itu, akan sangat membosankan tidak mendengar keluhannya sepanjang jalan pulang bersamanya, mengenai masa muda yang tidak sejalan dengan fisiknya yang masih ringkih. Aku merindukannya, namun sekarang yang bisa kulakukan hanya memberikan hormat di altar sambing memandang fotonya yang tersenyum ceria.
Pelayat berangsur-angsur meninggalkan rumah duka, ada yang dengan sukarela meninggalkan rumah duka dan ada juga yang terpaksa meninggalkan rumah duka. Sekarang, kata-kata terakhir yang dapat terlontar hanya ucapan bela sungkawa pada anak dan cucu perempuannya. Aku mengucapkan rasa bela sungkawa dengan bahasa yang hampir sama dengan seluruh pelayat.
Suasananya tetap saja dingin ketika aku berpamitan dengan cucu perempuannya yang langsung membuang muka ketika melihatku, hanya ayahnya tersenyum dan memulai beberapa percakapan denganku.
"Kau yakin akan pindah ke negara Hi?" tanya anak lelaki kakek itu tersenyum lebar.
"Yakin sekali, Pak. Ayahku berkerja di sana," jawabku sebagai pelengkap.
"Akan sangat berbeda tidak melihatmu menyapa ayah," ucapnya lirih.
"Semua kenangan terpatri di sini," aku menunjuk dadaku, "Tergantung kita akan mengenang atau tidak dengan semestinya."
Anak kakek tua tersenyum lirih menatapku, kemudian dia mengusap kepalaku pelan dengan tangannya yang besar itu.
"Semangat," bisiknya.
"Tentu," ucapku mengakhiri percakapan ini.
Kemudian aku pamit mengundurkan diri pada anak kakek tua itu, aku sangat mengenalnya namun lupa dengan nama-namanya. Rumah duka itu tampak sangat jauh sekarang, memang letaknya yang terdapat di dataran tinggi dan selain itu pun aku telah terlalu lama berjalan meninggalkan rumah duka tersebut. Sekarang, aku hanya menunggu jemputan di halte yang tak jauh dari perempatan jalan.
Sebuah citycar berwarna putih datang menjemputku, ketika pintu terbuka langsung saja aku mengambil tempat di belakang pengemudi. Seorang wanita berambut cokelat dengan gaya rambut di ikar kuda menyambutku dengan senyuman hangatnya.
"Bagaimana pemakamannya, Hinata?"
"Uwaaah, sangat membahagiakan sekali, Tenten," gerutuku.
"Ah, maafkan aku bertanya perihal hal bodoh seperti ini."
"Ya, tidak masalah." Mataku beralih menikmati suasana daerah Jepang untuk terakhir kalinya.
"Seperti yang telah kita rencanakan kemarin, kami hanya mengantarmu ke bandara," ucap Tenten lirih mengharapkan perubahan rencana.
"Ya, tidak ada perubahan."
"Baik, dan yang akan menunggumu di sana adalah Lian Inuzuka dan Kiba Inuzuka dari reservasi suku Quileute Casquette di dekat kota Konoha," kembali Tenten mengingatkan.
"Quileute? Bukankah itu salah satu suku di Washington?"
"Casquette? Ingat!"
"Topi? Lucu sekali."
"Sekarang kita tidak membahas mengenai penamaan suku orang, bukan."
"Baiklah, lalu apa yang harus kulakukan?"
"Gampang saja bukan, Hinata," bisik Neji ikut dalam percakapan.
"Apa? Aku tidak mau menghabiskan waktuku tidur-tiduran di rumah itu," desisku sebal membayangkan rumah Hiashi di Konoha.
"Aku tidak memintamu untuk tidur-tiduran, kau bisa menginap di reservasi Casquette," usul Neji.
"Menginap? Di rumah laki-laki? Kau bisa berpikir?" sindirku dengan usul yang dikemukakan oleh Neji.
Neji tertawa mendengar sindiranku, tubuhnya bergetar hebat dengan suara cekikikannya mengganggu konsentrasi supir hingga membuat kami berhenti sebentar sampai tertawa Neji mereda.
"Kau pikir ada yang lucu?" gerutuku sebal.
"Tentu saja, Lian dan Kiba masih mempunyai saudara, Hinata," ucap Neji setelah tawanya mereda. "Perempuan, dan kembar," sambungnya menjawab semua pertanyaan di dalam pikiranku.
"Baiklah, aku kan tidak tahu dengan ini semua."
"Kau bukannya tidak tahu, kau sudah melewati lima belas tahunmu di Konoha," desis Neji memperingatkan.
"Sepuluh tahun saja, kau ingat? Aku ikut Rie selama tiga tahun berturut-turut di pedalaman Rusia tanpa menghabiskan musim panasku di Konoha. Dan jangan dihitung ketika aku lahir dan berumur dua tahun, kami berada di Ushio."
"Oke, sepuluh tahun, tapi untuk ukuran orang yang sudah sepuluh tahun menghabiskan waktu-waktu bersama, kau tipe orang yang pelupa."
"Iya, aku pelupa dalam beberapa kasus, tapi ini tidak ada hubungannya dengan harus menginap di rumah mereka, bukan?"
"Kau mau mencari hubungannya? Sekarang ada perayaan di reservasi Casquette, perayaan dewi kano, jadi sangat menyenangkan di sana sembari menunggu kau masuk sekolah."
"Nah, karena Neji sudah mengatakan perayaan, maka kau tidak akan menolak dengan ini," bisik Tenten melerai perdebatan kami sementara dan tas ransel berpindah tempat kepadaku.
"Apa ini?"
"Lihat saja sendiri, namun aku menyarankan untuk di buka di sana saja."
"Terima kasih, Tenten," ucapku lirih dan memeluk tubuhnya erat.
Aku beralih menatap ke jok tempat duduk di samping supir, hanya Neji yang menatap lurus ke depan berusaha berkonsentrasi. Semakin kuperhatikan dari cermin yang tergantung di atas, wajah Neji sesekali berubah menampilkan emosi yang lain, hingga akhirnya wajahnya kembali berubah tenang.
"Jadi, kapan aku akan masuk sekolah?" tanyaku, aku memang tidak mengetahui kapan aku akan masuk sekolah, terutama semester awal kelas empat di negara ini.
"Sembilan September di surat pemberitahuanmu, coba kau cek di tas yang kau pegang," jawab Neji pelan.
"Oh yeah, terima kasih, Neji."
"Dan satu lagi, kata Hiashi kau hanya duduk diam ada hadiah yang menantimu di sana," senyum Neji misterius.
Berdebat dengan Neji sangat menguras emosiku, semua yang dapat mematahkan argumennya; kembali menyerangku bagai busur-busur panah yang bertubi-tubi. Namun, perdebatan ini ada untungnya juga. Pikiranku tidak kosong, dan perjalanan terasa begitu cepat. Aku hanya bisa berharap, perjalanan selama empat jam ke Preterite bandara di negara bagian Iluvia tidak membosankan seperti ini.
"Ingat, jangan lupa musim panas di rumah kami," bisik Tenten.
"Uhm, aku tidak janji."
Aku melambai kepada para pengantarku, dan memberi penghormatan terakhir pada Kou –supir pribadi Neji- yang mau bersusah payah mendengarkan perdebatan kami dan juga mengantarku sampai pintu masuk keberangkatan. Aku akan sangat merindukan kebisingan yang dilakukan oleh kedua pasangan itu. Perjalananku masuk pintu keberangkatan sekaligus mempersiapkan diri untuk peristiwa apapun yang terjadi tiga tahun ke depan.
...
.
.
.
.
TBC
.
.
.
...
Halo-halo, saya kembali membawa Myhtfic!
Tidak seperti MBV (My Boyfriend is a Vampire) di sini alur yang akan di buat bukan alur yang terlalu cepat, jadi mohon maaf jika membuat teman-teman merasa gemes dengan authornya.
Nah, fic ini adala re-write dari MBV dengan tokoh OC yang tetap.
Happy Reading
R&R serta Concrit sangat di harapkan
.
See You Next Chapter
.