Disclaimer :

All character and event related to Naruto are properties of Masashi Kishimoto.

Terinspirasi dari :

The Twilight Saga

Teen Wolf

Supernatural

Mitos-mitos lokal (Hantu banyu-Sumsel, Suanggi-Papua, Inyiak-Sumatera, Banaspati-Jawa, dll)

Mitos-mitos asli Jepang

Suku Ainu – Jepang, Suku Quileute – Native America

Cast :

Hinata Hyuuga, Kiba Inuzuka, Naruto Uzumaki (?).

Warning :

OC, OOC (?) or RTNWorld!, AU,

.

Cerita sebelumnya :

"Kau pengorbanan yang sangat bagus, Nona!" teriak seseorang sebelum akhirnya telingaku menjadi tuli.

"Kau mau bunuh diri?"

"Lukamu sangat parah, seperti di telapak tanganmu ini, di lengan kananmu, lukanya sudah ku jahit. Namun permasalahannya, kau membusuk sayang, meskipun tidak seperti penderita diabetes, terutama luka dipunggungmu itu."

"Bagaimana kalau kita melihat album masa kecil?"

.

Festival Dewi Kano

1.2. Perkenalan

.

|Ukiran|

"Aku tahu apa yang akan ingin kau katakan, Hinata," tebak Kiba dengan nada jenaka.

"Apa?" takjubku sama ketika diruang kesehatan keluarga–atau suku.

"'Apa benar ini ruang perpustakaan dirumah kepala suku?"" tiru Kiba nyaris sempurna.

Aku menyikutnya dengan agak keras dan aku membuat Kiba mengernyit kesakitan kurang lebih hanya beberapa detik sebelum akhirnya dia tertawa terbahak-bahak, aku tidak menerimanya dan menjawil bagian pinggangnya.

"Aduh, aduh, Hinata. Udah, dong," pinta Kiba nyaris tanpa suara, karena cengiran masih tak lepas dari wajahnya.

"Aku tidak mendengarmu, Kiba," ucapku pura-pura tuli.

Kiba menarik diri dari jawilanku, tetapi aku tidak membiarkan bagian pinggangnya terselamatkan.

"Hinata," erangnya frustasi.

"Aku meminta alasanmu, Kiba," perintahku dengan senyuman puas.

"Kau tampak mengerikan dengan senyuman itu ..." gerutu Kiba –aku sedikit menangkap perkataan terakhir seperti 'aku hampir lupa kalau ayahnya seorang sherif'.

Tanganku sudah dalam posisi bersiaga, dan pandangan ngeri Kiba menjelaskan bagaimana rasanya.

"Alasan apa? Aku benarkan?" protesnya.

Aku amat kesal dengannya, masih dengan posisi tangan bersiaga.

Tetapi, aku akan mengangkat empat jempolku untuk tebakannya yang benar itu–atau mungkin dengan mudahnya dia membaca pikiranku. Ruangan ini sangat memukau, bahkan memukau seakan-akan menghina kemegahannya.

Pada pintu masuknya saja, pahatan demi pahatan mendetail terpatri kisah seorang putri yang cantik rupawan didampingi pahatan kepala serigala.

"Siapa itu?" tanyaku pada Kiba.

"Dewi Kano. Sudah jelas, bukan?"

"Bukan, bukan si putri. Maksudku, kepala serigala itu."

Tidak ada sahutan dari Kiba. Aku menatapnya meminta penjelasan, tetapi mata itu berusaha untuk tidak menatapku secara langsung.

"Kiba?"

Dia terdiam, tidak menjadi batu, tetapi dia tidak menjawabku atau bergerak sedikit pun. Seakan mulutnya dan tubuhnya langsung bereaksi secara alami untuk tidak membeberkan apapun kepadaku.

Aku menghela nafasku berat.

"Kiba, jangan diam," pintaku. "Ku-kumohon."

Selepas permintaanku, tubuh Kiba mengendur seakan beban yang berat lepas begitu saja dari bahunya.

"Kau tahu serial senja, Hinata?" tanya Kiba seakan-akan keadan diam membekunya tidak terjadi.

"Sedikit," bisikku lirih.

"Kau membaca buku ketiganya?"

"Apa-apaan ini?"

"Jawab saja."

"Ya, yang gerhana bukan?"

Kiba menganguk-angukkan kepalanya.

"Kau tahu tentang kepala suku roh?"

"Kiba apa-apan ini, itu hanya sebuah cerita."

"Sebuah cerita yang menggabungkan legenda setempat, Hinata."

"Jadi, kau mau mengatakan kau keturunannya?"

"Ya."

"Itu tidak mungkin, Kiba."

"Kenapa tidak mungkin,Hinata?'

"Dia berubah jadi serigala, tidak ada yang bisa menyusulnya ke hutan. Mungkin saja dia mati."

"Kau yakin?"

"Aku yakin."

"Kau salah Hinata, dia tidak mati. Tidak bisa mati."

"Apa maksudmu ini?"

"Kau tahu, salah satu kutukan suku kami adalah jangan pernah mendendam begitu dalam."

"Lalu?"

"Dia penggerak perubahan serigala, Hinata. Kau tahu bentuk awalnya apa, kau tahu bentuk awal kami apa, bukan?"

Aku terdiam sepersekian detik, masih menganggap Kiba mengarang dan hanya bermaksud untuk menggabungkan dengan istilah-istilah sebuah novel.

"Pasukan roh. Tapi bagaimana mungkin?"

Kiba menyeringai, seakan menertawakan kebodohanku.

"Dia tidak diterima oleh alam yang lebih tinggi, alam roh," bisik Kiba.

"Apa yang terjadi?"

"Sama seperti dulu, ketika tubuh fananya mati, dia berkelana dan meminjam tubuh serigala liar yang lainnya. Namun, dirinya terbawa terlalu lama dalam kesedihan, sehingga membiarkan serigala itu membawanya kemanapun disukanya."

"Hingga?"

"Hingga dia menemukan dia, si istri keempat."

"Apa hubungannya dengan si istri keempat?"

"Dialah si putri, Hinata. Penghubung dengan si Dewi Kano."

"Si Putri?"

"Waktu itu wabah penyakit terjadi, air teracuni, udara pun tercemar. Si Putri membawa anaknya si Dewi Kano pergi dari perkampungan itu bersama si kepala suku roh, dengan sebuah Kano mereka mengarungi lautan luas."

"Itu tidak mungkin, Kano sangat kecil untuk mengarungi samudera," protesku.

"Sebab itulah, tubuh si kepala suku roh kembali menjadi serigala liar. Kepala suku roh berpergian sebentar mengganti tubuh itu. Seekor anjing laut dengan senang hati membagi dirinya dengan si kepala suku, dan berubahlah si kepala suku menjadi manusia yang amat menawan nan perkasa dilautan, dia membawa si putri dan si Dewi Kano ke dalam Kano hingga ke sini."

"Jadi?"

"Dialah si kepala suku roh itu, Hinata. Si serigala itu."

"Kau tidak menceritakan detail lainnya," rajukku.

"Detail menunggu nanti malam," godanya.

"Ceritakan garis besarnya saja kalau begitu."

"Baiklah. Akhir yang buruk untuk istri ke empat."

"Kau licik."

"Nah, kau masih tertarik dengan album foto?"

...

|Gladi|

Hal yang pertama kali ketika aku memikirkan gladi resik adalah latihan yang nyaris sempurna untuk sebuah pertunjukkan. Tetapi, tampaknya gladi resik hanya seremonial belaka di sini. Sebagian anggota tidak datang, dan sebagian mengadakan pesta muffin dan daging panggang yang belakangan kuketahui disponsori oleh tidak lain dan tidak bukan salah satu koki utama rumah kepala suku, Dree Inuzuka.

Keributan terjadi ketika seseorang mematikan peralatan musik. Semua orang memandang tidak suka kepada siapapun-yang-mematikan-peralatan-musik. Seorang gadis remaja memandang mereka balik dengan pandangan yang tak kalah sangarnya, berkacak pinggang dan menyembur setiap orang dengan kata-kata pedasnya.

"Oh, ayolah. Kau juga, Cokelat?" tanyanya tidak percaya.

"Santai, Blossom. Bagian kita sudah aman, kok," jawab Kiba sambil tersenyum.

"Aman? Aman kau bilang, Cokelat? Ulangi selalu, tolol!"

"Blossom! Beri aku sedikit tambahan. Oh ayolah, bahkan Hinata saja belum mengenalkan diri."

"Hinata. Hinata siapa?" tanya gadis itu penuh selidik.

Kiba mengedikan kepalanya kepadaku, dan pandangan gadis itu menatapku penuh perhatian

"Hinata, perkenalkan dia Sakura Haruno, sang ratu titan," kata Kiba memperkenalkan gadis berambut pirang berwarna merah muda itu, yang langsung disikut oleh gadis pirang merah muda tersebut.

Aku menjabat tangannya, tangan Sakura sangat kokoh dan sedikit kasar berbanding terbalik dengan kulit putih mulus sempurnanya.

"Teman-teman, coba dengar sebentar," pinta Kiba menghentikan aktivitas seluruh anggota.

"Dia, Hinata Hyuga, anak Hiashi Hyuga," ucap Kiba lagi memperkenalkan diriku kepada gerombolan remaja-remaja tanggung.

Setelah Kiba memperkenalkanku dengan suaranya yang keras itu tersebut, langsung saja semua anggota drama remaja itu mengerubungiku dan menyalamiku, memperkenalkan diri mereka. Aku sedikit mengenal beberapa orang, khususnya seorang remaja tambun yang menginterupsi Liam ketika aku baru saja menginjakkan kakiku di tanah ini. Lalu, seorang remaja lelaki berusia penutupan sekitar 18 sampai 19 tahun menyapaku, gaya rambutnya unik, dia tidak membiarkan rambut gondrongnya tergerai dan memilih menata rambutnya dengan gaya berundak-undak seperti buah nanas.

Selanjutnya, beberapa orang menyapaku dengan tingkahnya sendiri, ada formal seperti yang dilakukan oleh pemuda berambut merah tembaga bertato tulisan Jepang di dahinya. Ada juga yang menyapaku sepintas lalu saja, pemuda dengan mata tajamlah satu-satunya penganut gaya ini. Paling menggemaskan adalah tingkah dua remaja berusia sekitar sebelas sampai dua belas tahun, mereka saling menyikut hanya untuk memperkenalkan dirinya kepadaku.

"Jadi, pesta muffin?" tanya Chouji dengan cengirannya.

"Tidak. Sarapan Hana masih bertahan diperutku," tolakku.

"Oh, ayolah. Kau bakal ketagihan, deh," bujuk Chouji.

"Cho'Cho'*! Tidak ada pesta di sini." Sakura memandang Chouji dengan matanya yang dingin, Chouji yang menghadapi pandangan Sakura hanya dapat menunduk menjauhkan perhatiannya dari Sakura.

"Baiklah teman-teman, kita gladi satu kali lagi!" titah Sakura.

Mendengar titah Sakura semua orang mengeluh dan tampak akan mendengungkan protesnya kepada Sakura, tetapi tidak ada yang tampaknya melawan titah Sakura. Setelah muffin terakhir tertelan oleh semua orang, langsung saja gerombolan yang mengelilingi meja tempat makanan itu berpencar di penjuru lapangan menunggu alunan musik tradisional diputar.

Suara aduan antara besi terdengar, tidak terdengar bising hanya alunan nada dengan tempo yang semakin lama semakin cepat. Para pelakon, satu persatu memasuki lapangan membentuk lingkaran yang sempurna. Hentakan kaki dan aduan tangan dengan paha mereka tak kalah semarak dibandingkan dengan alat musik penggiring.

"Cukup bagus?" tanya seseorang mengejutkanku.

Aku memperhatikan lelaki tersebut dengan seksama, dia membalasnya dengan senyum tipis lalu disusul gerak jari-jemarinya memerintahkan aku mendekat dan duduk di sampingnya. Ketika aku mendekat, tampaklah pemuda tersebut berperawakan sedang bermuka oriental khas negara sakura.

"Omong-omong, namaku Shino. Shino Aburame," sapa pemuda tersebut.

"Aku~"

"Hinata Hyuga, aku mendengarnya tadi."

"Kau tidak ikut?"

"Tidak, aku bukan 'orang dalam'''

"Eh?"

"Kau tidak tahu?" tanya Shino penasaran.

"Tidak, kukira mereka anak sanggar," jawabku jujur.

Shino tersenyum tipis menyambut alasanku, sesekali dia mencuri pandang kedepan melihat jalannya gladi yang dipimpin oleh Sakura.

"Apa maksudmu dengan 'orang dalam'?" tanyaku.

"Galur..." ucapan Shino dipotong oleh dehaman berat seseorang.

"Kau disini sedang apa, hoddieboys?" tanya Lian Inuzuka, meskipun nadanya bersahabat ada nada interograsi khas polisi didalam suaranya.

"Dak dangmewlakukan papun," jawab Shino gugup.

"Kau bilang apa, hoddieboys?" tanya Lian Inuzuka.

"A..." Tepat ketika Shino akan menjawab, suara Sakura bergelegar marah.

"Lian Inuzuka!"

Sakura berkacak pinggang mendatangi kami bertiga.

"Dimana anggota kelompokmu?!"

Aku memberi kode kepada Shino agar menjauh dari 'medan pertempuran' yang akan terjadi beberapa waktu kedepan. Tidak ada kode balasan yang diberikan, namun Shino mengikuti ketika aku berjalan menuju batang kayu besar yang dipotong memembentuk meja yang terletak dipinggir hutan.

Kami diam membisu, tetapi tidak beranjak pada posisi saling berdekatan. Pandangan mataku menatap pertempuran antara Sakura dengan Lian, yang tentu saja dimenangkan oleh Sakura dengan pertaruhan yang tidak adil—seperti harga diri seorang lelaki contohnya.

Setelah proses yang alot antara Sakura dan Lian, akhirnya Lian mengangkat telepon genggamnya menghubungi seseorang atau beberapa orang diseberang sana.

"Para rangers," Shino berkata spontan.

"Apa?" Aku tidak fokus.

"Pelindung, mereka menyebut diri mereka pelindung."

Aku mental Shino mengharapkan penjelasan yang lebih terperinci.

"Mereka dibawah langsung para tetua, seharusnya bergerak dalam bidang pariwisata seperti kesenian dan menjaga hutan larangan. Tetapi kami mengetahui apa yang mereka lakukan didalam hutan."

"Apa?" Penjelasan Shino semakin menarik perhatianku.

"Oh ayolah, narkoba dan minum-minuman keras contohnya. Mereka juga sepertinya memakai steroid secara berlebihan."

"Kau lihat Shikamaru—orang dengan rambut dikuncir nanas—pertumbuhannya seakan-akan dipercepat dan massa ototnya membesar. Lihat saja, dia dengan mudah mendapatkan perut kotak enam."

"Lian sebagai ketua perkumpulan itu juga aneh, selama beberapa hari ini dia terus memperhatikan aku."

"Apa mungkin dia gay?" Aku bertanya dengan muka berharap.

Shino memperhatikan perubahan wajahku, dan menyunggingkan senyumannya walau sekejap.

"Tidak yang seperti kau pikirkan, Miss Fujoshi." Shino menggoda dengan nada datar.

"Sialan." Aku mengumpat pelan.

Shino menatap wajahku dengan tatapan datar.

"Percaya atau tidak, aku sedikit takut dengan perhatiannya." Shino menghela nafasnya memandang kedepan.

Tubuhku secara alamiah mendekatinya, mengalungkan lenganku mengeluarkan kehangatan kepadanya.

"Jangan menjadikan dirimu hilang, Shino."

Mendengar hal tersebut, pandangan Shino beralih kepadaku. Dibalik matanya yang datar tersebut aku dapat melihat sesuatu seperti ketertundukkan di dalam matanya.

"Jadi, apa yang kalian bicarakan?" Kiba datang dengan kulit yang penuh peluh.

.

.

TBC

.

.

...

*Cho' Cho' = kata yang dimaksud bukan Chou pada aksara Jepang dari nama Chouji, akan tetapi berasal dari bahasa suku Quileute yang berarti burung wren atau troglodytidae.

A/N: jika ada ingin menyampaikan kritik dan saran silahkan layangkan dikitak review agar dapat menjadi perkembangan author pada masa yang akan datang.

.

Chapter selanjutnya :

"Kau tidak memercayai kami, maka dari itu kami menggunakan ritual ini." Kiba menatapku tajam.

"Ritual apa?"

Shino dengan enggan berbicara, "Obligasi darah."

.