Hujan turun deras di akhir bulan Oktober yang dingin. Sudah enam minggu Fred dan George mengasuh Daehan, Minguk dan Manse di toko mereka yang kian jarang disambangi. Sejak Rowle menyerang Grimmauld Place, bekas markas Orde Phoenix tak lagi aman sehingga mau tak mau mereka harus dibawa ke Sihir Sakti Weasley sebagai tempat perlindungan sementara. Karena Tonks, Lupin dan Kingsley sedang berpatroli, hanya Fred dan George yang berada di sana menjaga si kembar. Mereka sedang membereskan mainan di bawah saat gelegar petir terdengar dan si kembar tiga sedang tidur siang di atas. Kemudian terdengar langkah kaki-kaki kecil terbirit-birit menuruni tangga sambil menangis dan langsung memeluk Fred dan George.
"Kalian tak apa-apa, kan?" tanya Fred.
"Ahjussiii! Mance takut petiiir! Huaaaaa!" rengek Manse sambil menutup telinga dengan kedua tangannya di dekapan George.
"Petirnya seram kayak Pemakan Baut, hueeeee!" imbuh Minguk.
Tak tega mendengar rengekan ketiga anak ini, George berkata, "Sudah, sudah! Kalian mau ke atas bersama kami dan dibacakan cerita?"
Daehan menggeleng kuat-kuat. "Nanti ada petirnya, ahjussi, Dyani takut.." ujarnya sambil mencengkram lengan sweater Fred.
"Baiklah, baiklah. Kalian mau diceritakan apa? Cici Kelinci?" tanya Fred.
"Atau Gumiho*? Kodok Hijau?" sambung George. Si kembar tiga menggeleng kuat-kuat.
"Kisah Tiga Saudara!" sorak Daehan, Minguk dan Manse kompak. Fred dan George melongo. Mrs. Weasley memang membacakan kisah itu ketika mereka kecil, tapi tak sekecil itu! Saat mereka batita, kisah yang mereka kenal dan hafal di luar kepala hanyalah Cici Kelinci.
"Kenapa Kisah Tiga Saudara? Kan bukan cerita anak-anak!" kata George. Si kembar tiga cekikikan, wajahnya terlihat menggemaskan.
"Karena mereka seperti kami! Daehan, Minguk, Manse!" kilah Minguk. George makin kelimpungan mencari cara menenangkan tiga bocah cilik ini. "Well George, saatnya kita mengarang sendiri cerita ini. Jadi, Daehan, Minguk, Manse, apa hari libur favorit kalian?" tanya Fred."Chuseok, Chuseok!" sorak ketiganya, seolah lupa akan penyebab tangis mereka tadi.
Otak Fred langsung berputar. Ah..Chuseok,perayaan panen yang diadakan pada awal musim gugur dimana seluruh keluarga pulang kampung untuk berkumpul bersama sanak saudara. Fred pernah mendengarnya dari seorang gadis Korea yang ia temui di Hogsmeade musim panas lalu. Rupanya ada untungnya juga melakukan pendekatan dengan gadis cantik itu, pikir Fred.
"Fred, kau yang memulai, ya! Mari kita dengarkan bagaimana kacaunya cerita ini!" kata George sambil memangku Manse. Minguk merebahkan diri di paha George, sedangkan Daehan menduduki paha Fred.
"Baiklah, anak-anak. Pada suatu hari, tiga orang bersaudara Daehan, Minguk dan Manse melakukan perjalanan pulang kampung bersama orang tua mereka untuk merayakan Chuseok. Setibanya di tepi sungai, Ayah dan Ibu menggandeng tangan mereka untuk menyeberang ke hutan lewat jembatan. Tetapi sayangnya, seusai mengambil barang bawaan tiba-tiba jembatan itu hancur, sehingga Ayah dan Ibu tidak bisa menyusul anak-anaknya." George dan si kembar tiga terkesima mendengarnya.
"Tapi, ahjussi, Appa kan bisa berenang!" kilah Manse, jelas membayangkan sosok si ayah adalah Il Kook. "Appa bisa, tapi Eomma tidak bisa berenang! Kalau Abeoji juga bawa barang berat, nanti tenggelam.." kata Minguk.
"Ssshhh...diam, ceritanya belum selesai!" kata Daehan.
"Kemudian, ada sesosok kakek muncul di hadapan ketiga bersaudara itu. Kakek itu berkaki pincang dan memiliki satu mata sakti, tangannya membawa sebuah karung berisi barang bawaan, Ia terlihat lelah dan haus sekali, sehingga kakak pertama, Daehan memberikan botol minumnya. Anak kedua, Minguk, memijit-mijit lengan dan kakinya. Si bungsu Manse menawarkan kue bulan yang dibawanya dari kota. 'Ah, terima kasih, kalian pasti anak-anak yang berbakti. Kalian mau menolong Ayah dan Ibu?' tanya kakek itu."
"Ya, ya, ya!" sorak Daehan, Minguk dan Manse bersorak riang.
"George, giliranmu!" kata Fred.
"Kemudian, si kakek membuka karung dan memperlihatkan isinya satu persatu. Sebuah ranting ajaib yang bentuknya menyerupai tongkat sihir diberikannya kepada Daehan. 'Kau anak sulung, gunakan ini untuk menuntun jalan agar bisa menemukan ayah dan ibumu.' Setelah Daehan menerimanya, si kakek tua memberikan sebuah batu mirah kepada Manse. 'Kau anak cerdas, pakailah ini untuk mencari pertolongan saat bertemu ayah dan ibumu. Batu ini bisa memancarkan cahaya terang sekali.'" George berkisah.
"Ahjussi, batunya kayak permen di sini, tidak?" tanya Manse.
"Tentu saja, Manse! Kemudian, kakek tua memberikan sebuah jubah kepada Minguk. Katanya, 'Hawa musim gugur akan semakin dingin, maka pakailah jubah ini untuk menghangatkan orang tuamu.' Setelah mengucapkan terima kasih, kakek tersebut berdiri dan kembali berjalan dan menghilang ditelan kabut. Maka Daehan, Minguk dan Manse berjalan ke dalam hutan untuk mencari orang tua mereka. 'Omoni! Abeoji!' begitu terus mereka berteriak sehingga akhirnya terpisah dari satu sama lain. Merasa tersesat, Daehan mengetuk-ngetuk ranting ajaib ke tanah sehingga mengeluarkan cahaya-cahaya kecil di depannya. Tanpa ragu, Daehan mengikuti cahaya dan menemukan kedua orang tuanya berdiri di sana. Maka ia pun berseru memanggil kedua saudaranya. 'Minguk, Manse, aku menemukan Abeoji dan Omoni! Cepat ke sini! Abeoji, Omoni, tunggu sebentar, ya, Minguk dan Manse akan menyusul ke sini!' Namun kegembiraan Daehan hanya dibalas senyuman ayah dan ibunya. Sayup-sayup di belakangnya, dua suara yang dikenalnya bersahutan memanggil namanya 'Daehan-ah, Daehan-ah!'. Kemudian Daehan pun berlari menuju asal suara. Di tempat yang berbeda, Manse terjebak di kegelapan saat berlari dan menabrak seseorang. 'Abeoji? Omoni?' tanyanya, kemudian menjatuhkan batu mirah yang mengeluarkan pantulan cahaya bulan. Manse yang tadinya merasa letih wajahnya berubah riang saat melihat ayah dan ibu di hadapannya. 'Abeoji! Omoni! Ayo kita pulang! Daehannie hyung, Mingukkie hyung, mereka ada di sini!' pekik Manse gembira sambil menoleh ke belakang, berharap saudara-saudaranya muncul. Fred, giliranmu! Aku capek bercerita terus-terusan!"
"Lalu, dua suara memanggil Manse dari jauh. 'Manse-ah, Manse-ah! Kemarilah!' Maka tanpa memedulikan batu mirah, Manse berlari menyongsong kedua orang tuanya. Di sisi lain hutan, udara malam semakin dingin. Minguk yang sedang berjalan sendiri di dalam hutan tiba-tiba mendengar tangisan bayi, tak jauh dari tempatnya berdiri. Di bawah cahaya bulan purnama, Minguk menemukan seorang bayi tergeletak di bawah pohon, menangis kedinginan. Seketika ia terlupa upayanya menyelamatkan ayah ibunya, kemudian menyelimuti bayi itu dengan jubah pemberian kakek tua. 'Ini untukmu, adik kecil, agar badanmu hangat.' kata Minguk sambil duduk di sebelah bayi itu dan membelai-belai tubuhnya hingga keduanya jatuh tertidur. Lalu suara sang ayah dan belaian sang ibu membangunkan Minguk dari tidurnya. 'Minguk-ah, anakku, kau benar-benar anak baik.' ujar ayahnya. Setengah terbangun, sang ibu menggendong Minguk. 'Sekarang, ayo kita pergi.' kata ibunya sementara Daehan dan Manse menggandeng tangan sang ayah. Akhirnya, keluarga kecil ini kembali utuh dan melanjutkan perjalanan, disaksikan si kakek tua dari kejauhan. Selesai. Eh?"
"Rupanya si kembar tiga tertidur pulas. Tak hanya itu, George juga! Demi Popok Merlin! Namun apa boleh buat, walaupun pegal setidaknya ia dan George berhasil membuat Daehan, Minguk dan Manse tidur siang dengan tenang.
Horeee update lagi! BTW kisah Tiga Saudaranya sengaja dimodif dikit biar nyambung sama si kembar tiga. Semoga berkenan yaa :D
*) siluman rubah berekor 9