Aku menatap secara intens bola berwarna biru-kuning yang akan menjadi penentu skor babak terakhir kejuaraan internasional tingkat SMA, bola yang relative enteng itu terlihat sangat nyaman di telapak tanganku. Dengan singkat aku mengalihkan pandanganku ke lapangan volley yang ramai dengan penonton.

Ini menentukan segalanya.

Langkah pertama aku ambil, dengan sekuat tenaga aku lompat dan memukul bola tadi hingga terbang ke seberang net. Tim lawan mencoba untuk 'menerima' seranganku, dengan posturnya yang kokoh ia berlari untuk meraihnya, namun sayangnya (atau untungnya?) kecepatannya kurang. Ketika bola menyentuh lapangan, teriakkan menderu ke penjuru ruangan.

Skor 23:25 terpampang di layar, tiupan peluit menandakan bahwa semuanya telah berakhir.

Tanpa sadar aku terpental oleh pelukan Haruka—Libero team kami—yang mematikan, air mata bergelimpangan di pipinya. "Yacchan!" isaknya kencang, bahkan dari ujung pelupuk mataku aku dapat melihat ingusnya jatuh di seragamku. Di belakangnya anggota yang lain saling berpelukan, menangis bahagia.

"Hmm?" aku mengelus pelan rambut ungunya sebahunya yang baru ia potong kemarin karena katanya menggangu perannya sebagai libero, aku melihat diri bagaimana ia hampir pingsan ketika meminta tolong tukang potong rambut untuk memotong rambutnya.

"Kita menang Yacchan, kita menang!" isaknya lagi, ia kembali mengeratkan pelukannya di leherku.

"Iya Haru, kita menang…"

[][][][][]

Badanku terasa dingin, seperti telanjang di tengah-tengah badai salju. Ketika aku membuka mataku cahaya yang membutakkan menyusup di antara kelopak mata, semuanya terlihat tidak focus. Sejak kapan aku terkena miopi?

Semuanya terlihat blur, warna putih mendominasi berjutaan warna dalam bentuk bokeh(1) yang aku lihat. Tanganku terasa kaku untuk digerakkan, namun dengan sekuat tenaga aku membuka tutup telapak tanganku.

Nafasku tercekat ketika raksasa berpakaian putih memegang tubuhku.

Dan seperti halnya orang normal yang dilanda ketakutan amat sangat, aku berteriak dengan desibel tinggi dan menitikkan air mata. Untuk pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir ini aku menangis, walaupun penyebabnya adalah hal yang tidak jelas seperti ini.

Aku haus, tenggorokanku serak tidak dapat mengucap apa-apa, aku langsung mensesap apapun jenis cairan yang masuk ke dalam tenggoroanku dengan serakah untuk menghapuskan rasa haus ini.

Setelah merasa cukup puas aku terlelap kedalam kegelapan.

[][][][]

"YACHIYO!"

Haruka?
Kenapa dia berteriak seperti itu?

"YACHIYO!"

Oi baka! aku ada di sini, di belakang mu!

"KAMU DENGAR AKU TIDAK, BODOH ?! JAWAB NGGAK ,BEGO ?!"

Anjir nih anak minta digebukin pake bola volley, OI AKU ADA DI BELAKANG MU!
DI BELA….. de-depan?

Itu kenapa aku lagi tiduran di jalan?

[][][][]

Aku terbangun menatap boneka peri berputar-putar di atas kepalaku , terdengar nyanyian twinkle-twinkle little star model music box yang aku yakin 98% bertujuan untuk membuat ku terlelap kembali.

Aku menggerakkan badanku dengan tidak nyaman, entah siapa yang mengganti baju seragamku dengan onesie motif Rilakkuma, yang pastinya baju ini membuatku gerahnya bukan main.

Lagi-lagi tanganku terasa kaku, jangan bilang tanganku patah?

Oh tidak, sebagai pemain volley tangan adalah asset utama. Rasanya seperti mati—namun tidak mati jika tanganku rusak dan tidak dapat digunakan lagi.

Aku menangis dengan kencang untuk kesekian kalinya, dan setiap kalinya seorang wanita membisikkan kata-kata penenang di telingaku. Aku ingin mengucapkan terimakasih namun suara yang keluar dari pita suaraku hanyalah untaian suara tak berarti

"Inori-chan, yosh…yosh… daijoubu, okaa-san ga koko ni iru yo~"

"ungeee"

Aku menatap wajahnya, memperhatikan refleksi bayanganku di kacamatanya.

Namun yang terefleks di sana bukan gadis 17 tahun bersurai hitam kelam dengan manik almond yang baru saja memenangkan lomba pertamanya, namun bayi mungil dengan surai biru langit dan mata yang senada yang memukau.

Siapa aku sebenarnya?

[][][][]

Hitam, hitam, hitam, hitam.

Hitam sejauh mata memandang, tak ada suara yang terdengar.

Aku ingat cerita kakek tentang berbagai macam tingkat kesunyian. Yang pertama sunyi hingga kau dapat mendengar suara jarum jam, yang kedua adalah sunyi dimana kau sendiri bersama pikiranmu, dan yang terakhir adalah sunyi hingga kau dapat mendengar jantungmu berdetak.

Aku tidak dapat mendengar jantungku berdetak.

"Nona, siapa namamu?" suara menggema terdengar menyeruak tanpa asal yang pasti, suaranya penuh kebijaksanaan dengan nada yang wibawa.

"Yachiyo, Suga Yachiyo."

"Baik Nona, dengarkan baik-baik."Aku mengangukkan kepalaku dengan singkat tidak tahu dia melihatnya atau tidak, "kamu…..hsecysxzu6vabir28v8by"

"?"

"Selamat menikmatinya"

[][][][]

Aku memandaangnya, iris biru langit itu kembali menatapku.

Aku menyetuhnya, tangan kecil bantet seputih salju itu balik menyentuhku.

Cermin yang harusnya merefleksikan bayangan kulit sawo matang dengan rambut hitam kini menampilkan bayi mungil berambut biru—bisa dipastikan 100% kalau ini asli.

Aku menjadi orang lain, aku mengecil menjadi bayi dengan pikiran gadis remaja labil, aku menjadi bayi seseorang yang tidak aku kenal—ralat—belum aku kenal.

Aku menjadi bayi…

Kencing di popok, BAB di popok, ingus dan lendir meler di muka.

Ew ew ew

Aku mencoba berdiri dengan tangan sebagai sandaran, dan berakhir jatuh kembali ke kasur yang empuk. Aku mencoba meminta tolong, namun semua suara tercekat di tenggorokkan. Aku mncoba kabur, namun duduk saja udah susah setengah mamp*s.

Aku hanya bisa menangis, dan hal itu yang saat ini aku lakukan.

[][][][]

Hari-hari terasa berlalu dengan sangat cepat, lambat lau aku mulai menerima fakta kalau aku menjadi bayi lagi.

Untuk pertama kalinya aku sadar kalau aku memiliki kakak dengan surai rambut beberapa warna lebih pucat dibandingkan warna rambutku. Jantungku rasanya mau copot ketika menyadari seorang lelaki dengan ekspresi bahagia berdiri di pojok tempat tidurku.

Sempat terpikir kalau lelaki tadi adalah hantu gentayangan—mengingat bayi memiliki kemampuan yang tidak bisa diterima akal sehat—namun setelah beberapa kali melihatnya dan membirakannya mengelus pelan kepalaku, dapat dipastikan kalau dia bukan hantu.

Anehnya dia sangat sulit untuk terdeteksi, berbeda dengan papa dan mama yang mempunyai langkah berat dan berirama, langkah kakinya pelan dan halus seperti putri kerajaan yang memakai kimono 13 lapis, kulitnya juga putih berseri seperti salju. Sentuhannya halus penuh kasih sayang, seolah-olah aku terbuat dari porcelain yang gampang pecah, padahal mah sebenarnya terbuat dari titanium yang tidak akan baret walaupun dijatuhan berkali-kali.

Ooh iya, namanya siapa ya? Tisu…tesu..tekyu…?

"Techuu…" suara kecil terucap di bibirku, lelaki di hadapanku semakin bahagia. Dengan girang ia memanggil mama dan papa sambil menujuk-nunjuk ke arahku.

"Okaa-san, otoo-san, dia memanggil namaku!"

"Ehhh, hountou?"

"un!"

Aku terkekeh dengn sendirinya dan meengucapkan kalimat itu berkali-kali "Techuu, Techuuuu~"

Kalimat pertama ku adalah mispronunciation nama kakakku sendiri, bonus air liur setiap kali aku mengucapkannya.

[][][][][]

Hari ini aku pergi ke taman bertiga dengan mama dan Tetsu dengan popok segede gaban yang membuat jalanku lebih mirip bebek ketimbang manusia, surai biruku diikat pigtail pendek dan dress berwarna crème dengan motif polkadot.

Tetsu menggunakan T-shirt berwarna merah maroon dan celana jeans, walaupun wajahnya tanpa ekspresi dan sulit untuk terdeteksi hawa keberadaannya, menurutku dia lelaki ganteng—setelah papa—yang memiliki sifat baik hati yang amat sangat.

Aku ingat saat dia menolong seorang lelaki asing dengan rambut merah mentereng—iya, merah mentereng. Aku kira hanya warna rambut keluarga kami yang aneh—saat ia terjatuh di taman. Memangsih ia tidak menangis atau sebagainya, namun wajahnya langsung bahagia ketika Tetsu menolongnya.

Atau pada saat seorang nenek tua menjatuhkan kantong keresek berisi buah kesemek (persimmon) matang di jalan dan Tetsu memungutnya satu-satu, sebagai ucapan terimakasih nenek tadi mengajak kami ke rumahnya dan memberi kami sekantong penuh buah kesemek.

Sepertinya sifat Tetsu mulai tertular ke diriku, bola energy dengan mulut toa kini berubah menjadi gadis pendiam dan observant. Memang benar teori yang mengatakan kalau sifat anak sangat dipengaruhi oleh keluarga.

Atau mungkin dalam lubuk hatiku aku ingin membuat perbedaan antara Inori dengan Yachiyo, seperti memberi label kalau kedua insan ini adalah orang yang berbeda. Membutikan kalau Inori adalah suatu eksistensi sendiri, walaupun aku tidak tahu kalau 'Yachiyo' yang kumaksud berada di dunia ini atau tidak.

Atau malah kebalikannya?

Inori tidak seharusnya berada di dunia ini?

Ugh, otakku pusing memikirkan ini semua.

[][][][][]

Aku.

Bosan.

Tingkat.

Dewa.

Hari ini Tetsu untuk pertama kalinya sekolah di SD, yang artinya aku akan sendirian di ruang tengah dengan mainan membosankan saat mamah memasak di dapur.

Ugh.

Mungkin jika aku benar-benar berumur 3 tahun aku akan betah bermain dengan boneka seperti ini, tapi sayangnya Suga Yachiyo—yang saat ini bernama Kuroko Inori—tahun ini jiwanya ganjil 21 tahun.

Oh iya, sekarang aku sudah 21 tahun... Ahh, aku kangen duniaku yang dulu.

Ngomong-ngomong kenapa aku bisa menjadi bayi lagi,ya? Ingatan terakhirku di dunia yang sebelumnya terputus saat seorang wanita-yang-aku-tidak-ingat-namanya meneriakkan namaku, setelah itu aku terasa terhempas dan semuanya langsung gelap dan hangat.

Aku belum pernah memikirkan hal ini sebelumnya dan tidak pernah sedikit pun terlintas dalam pikiranku betapa menakjubkannya hal ini semua, bahkan bersebelahan dengan titel 'mengerikan'.

Untuk saat ini aku memiliki tiga teori tentang kejadian ini:

Yang pertama, aku meninggal dan jiwaku terlahir kembali ke dalam tubuh Inori. Tapi apa penybabnya aku masih mengingat kehidupan sebelum ini?

Yang kedua, aku meninggal dan jiwaku memaksa masuk ke dalam tubuh seseorang, dan kebetulan tubuh Inori yang terdekat. Artinya aku secara tidak langsung membunuh Inori.

Yang ketiga, aku sedang koma dan ini semua hanyalah hayalan otakku yang membutuhkan stimulasi agar aku tidak meninggal. Artinya aku sudah koma selama 5 tahun.

Semoga saja yang kedua dan ketiga salah, hal tersebut terlalu mengerikan untuk dipikirkan untuk otak anak 5 tahun yang pada saat ini berada di dalam tengkorakku. Aku membutuhkan sesuatu untuk mengalihkan perhatianku.

Atau aku dapat membentuk otak ini menjadi berumur 21 tahun?

Aku segera berdiri dari posisi duduk dan berjalan ke ruang kerja papa. Kata orang otak itu seperti pisau, jika sudah lama tidak digunakan maka lama kelamaan tumpul. Aku tidak mau itu terjadi, dan dimana lagi bisa menemukan buku dengan muatan berat selain di ruang papa?

Pada hari itu aku mempelajari Stokhiometri untuk kedua kalinya dalam hidupku.

[][][][][]

.

PROLOG SELESAI

Jangan lupa favorite dan Review!

.

xoxo