Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto

Warning! : AU, OOC, typo, miss typo dan kekurangan lainnya. Don't Like? Don't Read. Please Leave This Page.

Enjoy and Hope You Like It!

.

Light in The Darkness

By Yuki'NF Miharu

Chapter 9

"Kalau saja ibu tidak kecelakaan."

"Kecelakaan?" Shiragiku menautkan alisnya.

"Ya, ayah bilang ibu meninggal karena kecelakaan. Mobilnya masuk ke jurang."

"Kizashi bilang seperti itu?"

"Memangnya kenapa?"

"Ibumu dibunuh. Kenapa dia bilang kecelakaan?"

Detik itu Sakura menjatuhkan cangkirnya, ia membelalak, tak percaya oleh perkataan wanita di depannya.

Pikiran Sakura kosong. Perkataan Kizashi dan Shiragiku yang bertolak belakang membuat kepalanya pusing. Mana yang benar? Belum lagi ia teringat kata-kata Pein. Ibunya masih hidup, mati kecelakaan, atau dibunuh. Ia harus membicarakan hal ini lebih lanjut pada Ayahnya. Kenapa semuanya terdengar semakin rumit?

"Maafkan aku, Shiragiku-san." Setelah berhasil mengendalikan dirinya, Sakura lekas mengambil pecahan gelas yang tidak sengaja ia jatuhkan.

Shiragiku turut membantu sambil tersenyum tipis. "Tidak apa-apa."

"Tapi siapa yang tega membunuh ibuku? Apa ibu pernah melakukan kesalahan?" tanya Sakura dengan intonasi datar. Tanpa sadar tangannya terkepal kuat. Jika benar ibunya dibunuh, Sakura tak akan pernah memaafkan orang itu.

"Mungkin kau kenal orangnya." Shiragiku meletakkan pecahan gelas di meja dan kembali mendudukan diri, lalu menatap Sakura. "Aku ingin sekali melenyapkan mereka." Tangan Shiragiku terkepal di atas meja.

"Kenapa harus dilenyapkan? Akan lebih baik kalau mereka ditangkap."

"Tapi hukum tidak memuaskan perasaan sedih dan marahku, Sakura."

Sakura menatap sorot mata Shiragiku yang memancarkan amarah mendalam, seperti pembunuh haus darah, membuat Sakura bergidik ngeri.

"Sakura, maukah kau membantuku?"

"Kita tidak boleh membunuh, Shiragiku-san. Itu tidak baik."

Shiragiku tertunduk. Kedua matanya berbinar sendu. "Kalau menangkapnya, kau mau?"

"Mereka memang seharusnya ditangkap, kan? Kenapa tidak dari dulu?" Sakura mendesah lelah. "Sebelum itu, kenapa Anda bilang ibuku dibunuh? Ayah bilang dia kecelakaan." Sakura memijit pelipisnya.

"Mungkin Kizashi tidak ingin kau khawatir. Memang terlihat seperti kecelakaan, tapi sebenarnya bukan. Sehari sebelum Mebuki meninggal, dia sempat cerita kalau dia sedang diikuti. Aku bilang padanya agar tetap di rumah, tapi dia bilang rumah juga tidak aman untuknya. Karena itu, dia ingin menginap di rumah sepupunya, tapi saat di perjalanan dia kecelakaan dan meninggal karena rem mobilnya dirusak."

Sakura membelalak mendengarnya. Amarah mulai menyelimuti Sakura. Tangannya gatal ingin membanting barang-barang di sekitarnya. Kenapa? Kenapa kejam sekali? Sakura merasa hatinya gelap. Ia memang tak ingin jadi pembunuh, tapi bolehkah ia berharap orang yang telah membunuh ibunya mati?

"Siapa orang itu? Anda bilang aku mengenalnya, kan?"

"Bagaimana kalau kau langsung melihatnya? Karena itu, maukah kau membantuku?"

Tanpa pikir panjang, Sakura menjawab, "Dengan senang hati, Shiragiku-san."

Shiragiku mengulum senyum puas sekaligus lega.

"Tapi bagaimana cara Anda menemui mereka?"

Shiragiku tersenyum tipis. "Itu mudah. Kebetulan mereka tertarik sesuatu seperti narkoba. Jadi, aku akan menarik perhatian mereka dengan itu."

"Begitu, ya? Aku akan menunggu rencanamu, Shiragiku-san." Sakura turut tersenyum puas. Akan sangat menyenangkan bisa membalas kematian ibunya. Mungkin saja ibunya tidak tenang di sana. "Kira-kira kapan?"

Shiragiku meletakkan tangan di dagu. "Mungkin tanggal sembilan Oktober. Sebelum tengah malam tiba."

"Baiklah. Kuharap Shiragiku-san nanti menghubungiku."

Ibu jangan khawatir, aku akan membalas mereka yang telah membunuhmu.

Sakura bangkit dari posisi duduknya. "Maaf sudah memecahkan cangkirmu. Akan kubereskan. Di mana dapurnya?" Sakura hendak merapikan cangkir dan teko keramik itu sebelum Shiragiku menghalanginya.

"Tidak perlu, Sakura. Aku yang akan membereskannya." Shiragiku cepat-cepat mengambil alih kegiatan Sakura. "Hampir jam sembilan, ayahmu pasti sebentar lagi sampai. Kau sudah menghubunginya, kan?"

Sakura mengangguk. Tak lama setelah itu, Kizashi muncul masih dengan baju kerjanya. Pria itu berjalan ke arah Sakura dan Shiragiku dengan senyuman tipis.

"Kenapa kau belum tutup tokonya?" tanya Kizashi pada wanita cantik itu.

"Akan kututup setelah ini."

"Ayo pulang," kata Kizashi pada Sakura.

Sakura mengangguk. Setelah berpamitan pada Shiragiku, Sakura berjalan keluar toko diikuti Kizashi dari belakang. Saat Sakura hendak membuka pintu mobil, pintunya masih terkunci. Sakura kembali menolehkan kepala, menatap Kizashi dan Shiragiku yang masih berbicang. Namun, tak berlangsung lama, Kizashi menyusul Sakura.

"Sakura, jangan lupa mampir lagi, ya." Shiragiku yang melambaikan tangan berujar agak keras.

Sakura tersenyum, mengangguk dan membalas lambaian Shiragiku. Ketika ia masuk ke mobil, Sakura segara memasang sabuk pengaman, lalu tak sengaja Sakura menangkap wajah Kizashi yang terlihat serius, keningnya berkerut, alisnya bertaut, seperti sedang berpikir keras.

"Ayah, ada apa?"

Kizashi tersentak dari pikirannya. Ia cepat-cepat memasang senyum dan menggeleng. "Tidak ada-apa," katanya sambil menyalakan mesin, lalu melajukan mobilnya. "Sebaiknya kau tidak usah datang menemui Shiragiku lagi."

"Kenapa?" tanya Sakura sambil melirik jalanan yang masih ramai. "Shiragiku-san baik, kok. Dia orang yang menyenangkan."

"Begitukah? Apa saja yang kalian lakukan?"

"Hmm... hanya ngobrol sambil ngeteh. Apa ada yang salah?" Kali ini Sakura melirik Ayahnya.

"Oh, tidak. Kalau begitu tidak apa-apa."

xxx

Memasuki bulan Oktober suhu udara mulai menurun. Di pertengahan musim gugur, daun-daun pepohonan mulai menguning. Awal November nanti pasti daunnya akan berguguran sebelum musim dingin datang.

Naruto bersandar pada mobilnya yang terparkir di halaman parkir Universitas Tokyo. Ia menghela napas, menciptakan uap putih dari mulutnya. Untuk kesekian kalinya Naruto melihat jam di pergelangan tangannya. Hampir jam dua siang. Seharusnya Sakura sudah pulang sejak satu jam yang lalu. Kenapa wanita itu tidak muncul juga?

Baru saja ingin memaki keterlambatan Sakura, orang yang hendak ia maki dalam hati akhirnya muncul dengan senyuman di wajah sambil melambai kegirangan.

"Perlu kuantar ke rumah sakit jiwa?" tanya Naruto ketika Sakura berdiri di depannya.

Wajah gembira Sakura memudar. Ia mendengus dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Kenapa hari ini kau bersikap kejam lagi? Ke mana sifat pedulimu yang lalu?"

"Kau membuatku menunggu hampir satu jam."

Sakura mengalihkan atensinya ke arah lain, menolak tatapan tajam Naruto. "Aku habis bertemu dosen dan tak kusangka ternyata ada banyak hal yang perlu kutanyakan padanya."

Naruto memutar bola mata. Sekesal apapun, ia tidak mungkin sampai memarahi wanita musim semi di depannya ini. Lagi pula percuma juga memarahi perempuan ini. Sakura tidak pernah takut padanya. Angin berembus, membuat Naruto dan Sakura merapatkan jaket mereka masing-masing.

"Padahal masih awal Oktober, kenapa cuacanya dingin? Apa mau hujan?" Sakura meletakkan kedua telapak tangannya yang dingin di leher, berusaha mendapatkan kehangatan di sana.

Naruto melepaskan syal hitam di lehernya, lalu melingkarkannya di leher Sakura. "Meskipun belum masuk musim dingin, kau harus menutupi lehermu juga. Jaket saja tidak cukup." Setelah itu Naruto bergegas masuk ke mobil.

Sedangkan Sakura bergeming di tempatnya. Ia menyentuh syal rajut hitam yang melingkar di leher. Begitu hangat. Sampai-sampai rasa dingin menghilang begitu saja, tergantikan oleh rasa hangat dan menggelitik wajah. Sakura menatap wajah Naruto lewat jendela mobil ketika Naruto menurunkan kaca.

"Kalau kau tidak masuk, akan kutinggal."

Sakura bergegas masuk ke mobil sambil tersenyum, mengabaikan segala tatapan tajam dan ucapan pedas yang Naruto lontarkan untuknya. Sepertinya Sakura makin menyukai pria ini.

xxx

Di tengah ruang remang-remang, Kabuto berjalan dengan langkah terpincang. Aroma menusuk dari asap rokok dan alkohol begitu menyengat ketika ia berjalan melewati kerumunan orang yang tengah berpesta. Kabuto berjalan menuju pintu hitam di sudut ruangan. Ketika ia membuka pintu, aroma segar bunga yang berbaur dengan AC menyejukkan tubuhnya. Setelah menutup pintu, Kabuto menatap wanita yang tengah duduk membelakanginya.

"Saya kembali, Nyonya."

"Bagaimana kabarmu?" tanya wanita itu dengan intonasi halus.

"Tentu saja baik. Terima kasih."

"Bagaimana persiapannya?"

Kabuto tersenyum tipis. "Semuanya sudah saya persiapkan dengan baik. Sekarang giliran Anda yang menentukan tanggal mainnya."

"Hmm... bagaimana kalau 3 hari lagi?"

"Tentu saja bisa. Tepat tanggal 10 Oktober. Pas sekali, kan?"

Wanita itu tersenyum menikmati. "Kau sudah bisa berjalan dengan baik?"

"Ya, semua berkat Kizashi-sama yang telah membantuku meloloskan diri tempo hari. Jadi, aku tidak terlalu melukai kakiku."

"Kalau begitu, siapkan rencana kita untuk 3 hari ke depan. Pastikan kau mengatur tempatnya. Yang paling penting, usahakan polisi dan militer mendengar rencana ini. Dan aku yang akan mengatur dan memastikan Naruto dan Menma ikut dalam rencana ini. Tentunya aku akan membawa Sakura."

Kabuto menunduk hormat sambil mengulas senyum. "Sesuai permintaan anda."

Setelah itu Kabuto undur diri dari ruangan itu. Ia sedikit memutar lehernya yang pegal hingga terdengar bunyi tulang. Sepertinya ia akan tambah sibuk saat ini.

xxx

Menunggu Sakura pulang sukses membuat Naruto kelaparan. Jadi, di sinilah mereka. Berakhir di sebuah kedai ramen. Entah kenapa kali ini Naruto tidak kenyang dengan makan satu mangkuk ramen. Ketika ia menghabiskan kuah miso ramennya, itu adalah mangkuk ke empat pesanannya.

"Sepertinya sudah cukup," ujar Naruto sambil meraih segelas air.

"Jadi, sudah kenyang?" tanya Sakura dengan tatapan bosan. "Kau benar-benar keterlaluan! Bagaimana bisa membuatku menunggu begitu lama?"

Naruto meletakkan beberapa lembar uang di atas meja, lalu melirik ke arah Sakura dengan tatapan tajam. "Kau bilang lama? Lebih lama aku yang menunggumu!" balas Naruto tak mau kalah. Ia hendak berbalik pergi sebelum si pemilik kedai kembali memanggilnya.

"Hei, Nak. Uangmu kurang."

Naruto menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. "Kenapa kurang? Uangku sudah pas, kok."

"Kau tidak membayar punya pacarmu?"

Naruto melirik Sakura yang masih mendudukkan diri di sana. Wanita itu juga tengah menatapnya tajam. Naruto tak acuh, ia kembali berbalik. "Tidak. Dia bayar sendiri." Dengan kejam Naruto keluar dari kedai sambil menyeringai lebar.

.

.

"Astaga kenapa dia menyebalkan sekali?!"

Sakura menyampirkan tas di bahunya dengan kesal. Ia berjalan ke arah mobil putih yang terparkir di pinggir jalan, lalu menaikinya. Ia menatap Naruto yang tengah menghidupkan mesin, lalu Sakura merasa kesal lagi. Jadi, Sakura sama sekali tidak membuka suara selama perjalanan pulang.

"Katakan, sampai kapan kau menutup mulutmu?"

Suara Naruto memecah keheningan.

Sakura melirik ke arah Naruto sesaat. "Bukankah kau lebih suka aku yang diam seperti ini?"

Mobil terhenti ketika lampu berubah merah. Naruto menoleh ke arah Sakura dan tersenyum tipis. "Oh, kau marah karena aku tidak membayar ramenmu?"

Sakura menggeleng.

"Lalu apa?"

"Hanya... sedikit tidak nyaman dengan perasaan ini," jawab Sakura sambil melempar pandangan ke luar jendela.

"Apa itu?" tanya Naruto santai. "Kau boleh membicarakannya denganku." Naruto kembali menatap ke arah depan. Ketika lampu berubah hijau, Naruto kembali menjalankan mobil.

"Ada apa denganmu? Seperti kau peduli saja."

"Aku peduli," sela Naruto cepat. "Tidak kelihatan, ya?"

"Bagaimana mau kelihatan kalau kau lebih banyak menyebalkannya?"

Naruto terkekeh. "Benarkah?" tanyanya sambil melirik Sakura sesaat. "Well, aku tidak memaksamu. Kalau aku ada masalah, biasanya Menma terus mendesakku untuk menceritakan padanya. Setelah menceritakannya, aku merasa lebih baik."

Sakura menatap tangannya yang saling bertautan di atas paha. Untuk beberapa saat ia terdiam. Setelah menarik napas panjang, ia memberanikan diri menoleh ke arah Naruto.

"Masalah ini sebenarnya karena kau."

Alis Naruto bertaut. "Aku tidak pernah membuatmu dalam masalah. Atau... aku sedang membuatmu dalam masalah?"

Selama beberapa detik Sakura menggigit bibir bawahnya. "A-aku tidak bisa menahannya lagi. Kau tahu? Aku... menyukaimu. Aku sudah menyatakannya saat kita sky diving beberapa hari yang lalu. Kau tidak ingin membalasnya?"

Naruto terdiam cukup lama. Bahkan Sakura bisa melihat ada kerutan dalam di kening Naruto, seolah pria itu sedang berpikir keras.

"Maaf, Sakura. Aku tahu kalau kita pernah sky diving, Menma menceritakannya. Tapi aku sama sekali tidak ingat kau pernah menyatakan perasaan seperti itu." Naruto merasa bersalah saat melihat raut wajah Sakura berubah sendu. Naruto tidak tahu harus bagaimana untuk mengingatnya. Ketika Kurama muncul, ia harus siap kehilangan beberapa ingatannya. "Kalau kau menyukaiku, aku juga mulai suka padamu. Kau tidak terlalu menyebalkan lagi."

Sakura melempar atensinya ke luar jendela. "Tidak. Ini bukan suka biasa. Kau tahu..." Sakura mengigit bibir bawahnya lagi, wajahnya mulai memanas. "Aku cinta padamu."

Naruto tak mampu menggerakkan bibirnya mendengar pernyataan Sakura. Cinta? Apa perasaan lebih dari suka? Seperti Ino yang selalu mengejar Menma. Tidak mungkin. Naruto tidak mengerti mengapa Sakura menyukainya. Tidak, bukan, lebih tepatnya mengapa Sakura mencintainya?

"Apa yang kau suka dariku?"

"Kau menyebalkan, kau juga keras, tapi selama ini kau benar-benar menjagaku. Aku tidak kesepian lagi semenjak bertemu denganmu."

Di saat Sakura tengah bersusah payah mengutarakan perasaannya, Naruto malah menanggapinya dengan tawa kecil. "Oh, ayolah Sakura. Aku melakukannya karena pekerjaan. Aku dibayar."

"Ya, kau memang dibayar. Aku tahu itu. Kalau kau tidak punya perasaan suka padaku, tidak apa-apa." Sakura meremas ujung jaketnya dengan kuat. "Aku hanya ingin kau tahu," lanjutnya, kali ini memberanikan diri menatap Naruto sambil tersenyum. Mungkin senyumnya akan terlihat dipaksakan.

"Aku menghargainya, Sakura," balas Naruto sambil tersenyum tipis tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan di depannya. "Karena kau, aku sedikit berubah ke arah yang lebih baik."

"Aku tahu. Kau pernah mengatakannya, kau mungkin lupa."

"Maaf soal itu." Naruto kembali terlihat bersalah. "Tapi... sebaiknya kau tidak menyukaiku."

Sakura sontak menatap Naruto tak mengerti. "Apa? Apa mencintaimu adalah sebuah kesalahan?"

"Tidak, bukan itu," potong Naruto cepat. "Kau tahu, aku ini tidak normal. Aku mengidap DID dan aku tidak ingin kau kena dampaknya."

Sakura mendesah lelah. Jika Naruto mengungkit masalah kepribadian gandanya, Sakura tidak bisa lagi membantah. Yang dikatakan Naruto memang benar. Menjalin hubungan dengan Naruto mungkin akan membuatnya terkena masalah, tapi Sakura sama sekali tidak begitu peduli. Lagi pula jika Naruto dalam kondisi baik, Kurama tidak akan muncul, kan?

Setelah itu, mereka berdua tidak lagi membuka suara hingga mobil berhenti tepat di depan kediaman Haruno.

xxx

Ketika Naruto membuka pintu kamar, sosok Menma yang baru saja keluar dari dapur dengan secangkir kopi di tangan menyambutnya. Masih dengan mata yang terasa berat, Naruto mendudukkan diri di sofa, menyandarkan tubuh dan memejamkan mata lagi.

"Kau hanya buat untuk dirimu sendiri?" tanya Naruto, melirik Menma yang mendudukkan diri di sampingnya.

"Tentu saja." Menma menyeruput kopinya dengan santai. Saat suara Naruto tidak terdengar lagi, Menma menoleh ke arah saudaranya. "Ada apa denganmu?"

Naruto mendesah lelah. "Tidak apa. Hanya tidak bisa tidur."

Menma terkekeh. Ia meletakkan cangkir di atas meja dan meraih koran harian. "Seperti orang jatuh cinta saja, tidak bisa tidur semalaman."

"Sebenarnya kemarin aku dapat pernyataan mengejutkan. Kau tahu? Sakura Haruno menyukaiku."

Hening.

Naruto menaikkan sebelah alis, menatap Menma yang bergeming.

"Men—"

"Kau bilang apa?!" pekik Menma keras, sukses membuat Naruto mengelus dadanya.

Naruto memutar bola matanya bosan. "Seperti yang kubilang, Sakura menyukaiku, dan aku tidak tahu harus bagaimana."

"You suck, man!" Menma menyikut lengan Naruto sambil menyeringai jail. "Balaslah perasaannya."

"Kau kira mudah?" dengus Naruto sebal. "Aku juga bingung harus membalasnya seperti apa."

Tangan Menma terulur, kembali mengambil cangkir kopinya dan meminum beberapa teguk sebelum diletakkan kembali di atas meja. "Kau akan tahu nanti. Kalau kau tidak bisa kehilangan dia, berarti kau juga mencintainya."

"Really?"

"Oh, you have to trust me, bro. Aku paham soal cinta. Si Ino itu benar-benar mengajariku dengan baik," jawab Menma santai. Hingga beberapa detik kemudian wajahnya mulai memanas, baru sadar dengan apa yang ia katakan. Ketika Menma menoleh ke arah Naruto, saudaranya sudah menyeringai ke arahnya. "Hentikan senyummu itu sebelum kutampar."

Naruto beranjak dari posisi duduknya, lalu melangkah mundur menuju dapur. Ia tertawa ke arah Menma. "Aku akan bilang ini pada Ino," ujarnya cepat kemudian berlari menuju kamar mandi.

Sedangkan Menma hanya menghela napas lelah, lalu melempar koran ke meja. Mood membacanya jadi hilang. "Thanks for that, Naruto. Ino pasti kegirangan," desah Menma sambil membayangkan pelukan erat Ino. Memikirkannya saja membuat Menma merasa sesak.

.

.

"Hei, Naruto," panggil Menma.

Naruto yang baru saja keluar dari kamar mandi menoleh ke arah Menma. "Ada apa?"

"Kau tahu? Lusa tanggal 10 Oktober. Kita akan berumur 26 tahun. Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Menma santai seraya menyandarkan punggung di kulkas.

Naruto terkekeh mendengarnya. "Yang kita lakukan? Jangan bilang kau mau merayakannya."

Menma mengangkat bahunya. "Memangnya tidak boleh?"

"Kau kekanakan."

"Itu tidak kekanakan. Kau dan aku, kita bisa minum-minum atau makan sesuatu."

Naruto mengangguk paham. "Yah, minum-minum juga boleh," balasnya acuh tak acuh sambil berlalu menuju kamar saat mendengar ponselnya berbunyi berkali-kali. Setelah melihat semua pemberitahuan di ponsel, Naruto kembali ke ruang tamu. "Sepertinya kita tidak jadi minum-minum."

Detik itu Menma langsung mendengus gusar dan memutar bola mata. "Oh, panggilan darurat itu sungguh menyebalkan sekali. Berapa lama tugas ini?"

"Entahlah, yang pasti tidak mungkin selesai dalam sehari atau dua hari," kata Naruto sambil membalas pesan dari atasannya.

"Padahal di umur ke 26 ini aku ingin sedikit bersantai." Menma bangkit dari duduk dengan gerakan malas, kemudian menyeret kakinya menuju kamar untuk berganti baju.

"Hei, kita bisa merayakannya setelah ini," kata Naruto, berusaha menghibur saudaranya.

Menma menoleh sejenak sebelum menutup pintu, ia menatap Naruto lewat bahu dan mengulas senyum. "Itu membuatku lebih baik."

"Iya, sama-sama. Aku kan saudara yang pengertian."

Lagi-lagi Menma memutar bola mata.

"Terserah."

xxx

"Menurutmu, kali ini apa? Kita tidak ke luar negeri lagi, kan?" tanya Menma memecah keheningan di antara Naruto saat mereka berjalan cepat di koridor.

"Entahlah. Ini kan waktu istirahat kita. Kalau sampai Haruno-san sendiri yang memanggil, situasinya pasti gawat."

"Yah, kau benar sekali," kata Menma tak rela.

Dua hari lagi tanggal 10 Oktober, ia dan Naruto dapat misi? Menma tak ingin mengeluh, tapi rasanya dongkol mengingat mereka akan merayakan hari ulang tahun bersama. Tak bisa kah selama tiga hari ini tidak ada kasus atau apa pun yang mengganggu waktunya?

Menma mengetuk pintu ketika mereka sampai di depan ruangan Kizashi. Setelah terdengar suara yang menyuruh mereka masuk, Menma segera membuka pintu. Di dalam sana, terlihat Kizashi sedang duduk di sebelah Fugaku dan di seberang mereka sudah ada Uchiha bersaudara yang sudah berseragam.

"Akhirnya kalian datang, mari bergabung," kata Fugaku, mempersilakan Naruto dan Menma untuk duduk.

"Maaf, aku mengganggu waktu libur kalian." Kizashi memasang wajah menyesal saat Naruto dan Menma mendudukkan diri.

Naruto menggeleng pelan. "Bukan masalah."

"Jadi, apa ada sesuatu?" tanya Menma.

Suhu udara di ruangan itu tiba-tiba saja terasa turun hingga ke titik nol derajat. Melihat wajah serius ke empat orang itu membuat telapak tangan Menma terasa dingin. Apa masalahnya begitu gawat sampai-sampai Jendral dan Menteri Pertahanan negara sampai harus bertemu untuk menjelaskan situasi. Karena biasanya Fugaku sendiri yang selalu memberikan instruksi.

"Itachi, jelaskan pada mereka," ujar Fugaku.

Itachi mengangguk. Si sulung Uchiha meletakkan koran di atas meja. Tanggal yang tertera di koran itu adalah dua hari yang lalu, kemarin dan hari ini. Halaman pertama pada koran menunjukkan kasus penculikan anak-anak, remaja dan kaum wanita. Menma selama tiga detik menahan napas. Ya, ia tahu kasus itu karena ia selalu membaca koran harian.

"Jangan bilang—"

"Sayangnya aku akan bilang seperti yang kau pikirkan," sela Itachi sebelum Menma menyelesaikan ucapannya.

Menma menghela napas. "Baiklah, lanjutkan."

"Apa ditemukan adanya korban penculikan itu? Atau lokasi mereka?" tanya Naruto.

"Iya. Aku tahu di mana mereka. Kabar baiknya, sebagian dari mereka masih hidup." Itachi meletakkan beberapa lembar foto di meja, menunjukkannya kepada Naruto dan Menma. "Kabar buruknya, penjahatnya sendiri yang mengirim foto ini dan memberitahuku di mana mereka ditahan."

"Oke, itu bagus?" ujar Menma tak yakin.

"Tentu saja tidak bagus," ujar Itachi gusar. "Aku intel, seharusnya aku yang memecahkan kasus penculikan ini. Tapi pelakunya sendiri malah mengirimiku foto ini beserta alamatnya. Seakan-akan dia ingin aku datang ke sana. Ini tidak normal!"

"Ada ancaman?" tanya Naruto dengan suara tenang.

"Yah, tentu saja ada. Kita tidak datang, mereka mati. Tapi kalau kita datang, kita seolah masuk ke dalam perangkap mereka. Kita butuh strategi yang hebat."

"Karena itu aku memanggil kalian. Aku butuh pasukan elit untuk menyelamatkan warga." Kizashi menatap keempat pemuda di depannya.

"Satu hal lagi," kata Itachi. "Aku menerima foto ini beserta setangkai bunga mawar yang sudah hitam."

"Black Poison?" gumam Menma, wajahnya mengeras.

Itachi mengangguk.

"Bagaimana kau tahu?" tanya Naruto, menoleh ke arah Menma.

"Eng..." Menma ingin menjahit mulutnya. Padahal ia tidak berniat menyebutkan nama organisasi itu di depan Naruto, tapi mau bagaimana lagi kalau ia sudah kelepasan bicara.

"Kau berutang cerita padaku."

"Oke," jawab Menma, tak tahan dengan tatapan mematikan nan mengancam milik Naruto.

"Operasi ini akan dipimpin Itachi Uchiha. Sasuke, Naruto dan Menma akan ikut bersamanya. Kalian boleh membawa orang lagi. Pilihlah orang terbaik dari regu kalian. Aku serahkan strateginya pada Itachi dan Fugaku. Kita akan diskusikan lagi setelah kalian memilih orang."

Kemudian pertemuan itu usai.

.

.

Setelah keluar dari ruangan itu, Naruto langsung menanyakan soal Black Poison pada Menma. Mau-tak mau Menma menceritakannya. Semuanya? Tentu saja tidak. Ia hanya menceritakan kalau Black Poison adalah organisasi hitam yang akhir-akhir ini makin menjadi ganas dan meresahkan masyarakat. Menma tidak mau Naruto terlalu berambisi pada Black Poison dan membuat saudaranya terbunuh.

"Benar hanya itu saja?"

"Tentu saja itu benar," balas Menma. "Kau tak percaya padaku?"

"Aku percaya."

"Pokoknya kau tidak boleh ceroboh kali ini."

"Kenapa kau berpikir aku akan ceroboh?" Naruto mengerutkan alisnya.

Menma bergumam sesaat. "Perasaan seorang saudara, mungkin."

Naruto tak terlalu menanggapinya. "Baiklah, terserah kau saja. Menurutmu, siapa yang sebaiknya kita ikutkan?"

"Hmm... sebentar," gumam Menma sambil melirik langit-langit koridor. "Kurasa Neji, Kiba, Lee, Tenten dan kita juga butuh si pemalas Shikamaru."

"Oke, aku akan hubungi mereka."

xxx

Naruto mendudukkan diri di kursi panjang saat ia sampai lobi. Mungkin dalam satu jam ke depan ia tidak akan melakukan apa pun sebelum rekan-rekan yang baru saja ia hubungi datang. Naruto kembali mengambil ponsel dari saku, membuka kontak telepon, mencari nama Sakura lalu menghubunginya. Baru satu kali bunyi sambungan telepon terdengar, Naruto langsung memutuskannya.

"Kenapa juga aku harus menghubunginya?" keluh Naruto.

Saat ia ingin mengembalikannya ke dalam saku, ponselnya berbunyi. Nama Sakura Haruno tertera di layar. Naruto menghela napas. Iya, ini memang salahnya. Ia juga tidak tahu kenapa menelepon Sakura dari sekian banyak nama di kontak ponselnya.

Naruto menekan tombol hijau, lalu mendekatkan alat itu di telinganya.

"Ada apa?" tanya suara di seberang sana.

Tanpa sadar Naruto tersenyum tipis. "Bukan apa-apa. Hanya ingin mendengar suaramu." Tak ada jawaban selama beberapa detik. Naruto mengerutkan kening. "Sakura, kau di sana?"

"Ah, iya. Aku di sini. Maaf."

"Kau baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Kau tidak ke sini?"

"Oh, aku sampai lupa memberitahumu. Hari ini aku bertugas. Mungkin baru akan kembali besok atau dua hari lagi."

"Kalau begitu, hati-hati."

"Terima kasih. Jangan bermalam di bar selama tidak ada aku."

Terdengar suara tawa dari seberang sana. "Tidak akan. Aku di rumah teman ayah. Shiragiku-san. Kau kenal, kan? Kita pernah datang ke tokonya untuk membeli bunga."

"Hmm... mungkin aku ingat," balas Naruto tidak begitu yakin. "Jangan pulang terlalu larut."

"Tidak akan."

"Bagus!" puji Naruto. Saat melihat Sasuke tengah berjalan ke arahnya, Naruto segera berujar, "Aku harus pergi."

"Oh, baiklah. Sampai jumpa lagi."

"Iya, sampai jumpa."

Sambungan telepon terputus ketika Sasuke mengambil posisi duduk di sebelah Naruto.

"Jadi, bagaimana hubunganmu dengan anak Kizashi-san?" tanya Sasuke dengan suara tenang.

Naruto tersedak ludahnya sendiri. "Ke-kenapa kau tanya itu? Aku tak punya hubungan apa pun dengannya."

"Begitukah?" tanya Sasuke sambil melipat lengannya di depan dada. "Soalnya kau mulai terlihat salah tingkah. Tersenyum pun jarang. Dan tadi aku melihatmu tersenyum."

"Mungkin matamu salah." Naruto segera beranjak dari sana sebelum Sasuke mulai membuat wajahnya makin panas.

Sedangkan Sasuke hanya memutar bola mata. "Jelas-jelas mataku tidak mungkin salah."

xxx

Setelah menentukan siapa saja yang akan ikut misi ini, Fugaku segera memanggil kedua putranya, bersama Naruto, Menma dan Shikamaru ke ruang rapat untuk membahas strategi yang akan digunakan malam ini. Dan untuk pertama kalinya, Menteri Pertahanan—Kizashi Haruno—juga turut bergabung, meskipun ia tidak akan turun ke lokasi tempur.

"Aku memang tidak ikut, tapi setidaknya aku ingin tahu strategi kalian agar bisa mengirim bala bantuan kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."

Begitulah alasannya. Jadi, di sinilah Kizashi. Mendengarkan rencana dengan serius.

"Karena lokasinya adalah gedung tua rumah sakit bertingkat 4, akan ada 12 orang yang masuk. Kita bagi menjadi empat tim, tiga orang untuk setiap lantai. Di sana pasti akan ada banyak kamar. Aku ingin kalian mengecek setiap kamar dan biliknya. Sebagai tim inti, aku ingin kalian bergerak secepat mungkin menemukan para sandera.

"Setelah kalian masuk, aku akan mengirim 15 orang lagi bersama empat anjing militer untuk membantu pencarian dan berjaga-jaga jika ada bom yang mereka pasang. Beberapa di antara mereka adalah penjinak bom. Aku menempatkan beberapa penembak jitu di sekitar gedung itu untuk berjaga-jaga.

"Beberapa pasukan juga akan disiapkan untuk berjaga di berbagai pintu keluar gedung, aku juga akan menyiapkan beberapa ambulan dan pemadam kebakaran. Aku harap tidak ada sesuatu yang buruk yang akan menimpa kita semua." Fugaku menatap anggotanya satu-satu. "Dan aku harap kalian bisa mengevakuasi para sandera hingga selamat."

Semua yang mendengarkan di sana mengangguk paham.

"Oh! Satu hal lagi! Aku ingin tim yang berada lantai empat juga memeriksa atap untuk berjaga-jaga." Fugaku menoleh ke arah Itachi dan Shikamaru. "Kalian berdua yang tentukan siapa timnya."

"Siap, Pak!" seru Itachi dan Shikamaru bersama.

"Maaf, jadi kapan kita akan memulai misi penyelamatan ini?" tanya Menma sambil mengangkat tangan.

Itachi menoleh ke arahnya. "Besok malam. Hari ini istirahatlah dulu. Besok pagi kita rapat strategi, siangnya kita persiapan, dan malamnya kita melakukan perburuan."

Menma bersiul santai. "Keren."

Semua orang memandangnya. Termasuk dua orang berpangkat tinggi di sana. Mungkin mereka bertanya-tanya apa kerennya melakukan misi yang mengancam nyawa. Kemudian Menma menunduk. "Maaf," ujarnya canggung.

"Dasar tidak sopan," tegur Naruto.

"Aku kan sudah minta maaf."

xxx

Waktu berjalan terlampau cepat. Setelah pagi hari rapat strategi dan bersiap-siap, di sinilah mereka sekarang. Berkumpul di depan gedung tua bekas rumah sakit yang tidak terawat. Gedung itu tidak lagi berwarna putih. Warna catnya telah tercampur noda hitam dan lumut akibat pergantian musim selama bertahun-tahun. Di beberapa bagian dindingnya dirambati sulur-sulur hijau. Ditambah udara dingin musim gugur dan langit yang telah menghitam, jadilah rumah sakit itu terlihat seperti gedung kosong angker yang di dalamnya berisi hantu-hantu.

Suasana di sekitar gedung itu diramaikan oleh tentara dan pihak kepolisian. Dalam radius sepuluh kilometer, jalan ditutup. Perburuan kali ini tidak secara diam-diam karena sang pelaku sendiri yang mengundang. Jadi, di sinilah mereka. Bersiaga karena tidak ada yang tahu ada apa di dalam sana.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Menma sambil mengencangkan ikatan sepatunya.

Naruto yang sudah siap dengan semua perlengkapannya menjawab, "Aku? Tentu saja baik."

"Semuanya segera bersiap!" seru Itachi dari arah lain.

Menma segera mengambil senjatanya dan tersenyum ke arah Naruto. "Berusahalah untuk tidak mati malam ini."

"Aku yang seharusnya bilang begitu," jawab Naruto sambil terkekeh. "Kalau kau mati, kita tidak bisa merayakan hari jadimu yang kekanakan itu."

"Itu kan juga hari kelahiranmu. Dan sudah berapa kali kubilang kalau merayakan ulang tahun itu tidak kekanakan."

Naruto dan Menma berjalan bersama untuk bergabung dengan yang lain. Setelah semua personil telah berkumpul, Itachi memberikan pengarahan sekali lagi. Kemudian mereka mengambil ancang-ancang untuk segera menyerbu gedung.

Naruto sendiri telah memfokuskan diri, mempertajam indra dan di tangannya telah tersandang senjata dengan telunjuk siap di depan trigger. Ketika Itachi memberikan kode untuk memulai operasi perburuan, seluruh regu serempak berderap menghampiri bangunan itu.

Pintu rumah sakit tertutup rapat. Ketika Itachi menyentuh kenopnya yang sudah berkarat, ia segera mengangkat tangan, memberikan kode untuk berhenti.

"Lakukan sesuai rencana! Bergeraklah dengan cepat!" Detik itu Itachi membuka pintunya keras-keras.

Naruto berfokus menuju lantai empat bersama Menma dan Kiba. Saat berderap masuk, mereka langsung berlari menuju anak tangga. Suasana di dalam gedung gelap gulita. Jalan mereka hanya diterangi oleh senter di tangan, sedangkan gedung tua itu berbau tidak enak karena sudah bertahun-tahun tidak terpakai.

Hingga mencapai lantai tiga, masih belum ada suara tembakan yang berdesing—besar kemungkinan gedung ini kosong. Naruto juga tidak melihat ada tanda-tanda keberadaan seseorang di dalam sini. Kemungkinan besar pelaku hanya ingin mengembalikan para warga yang mereka tahan. Tapi rasanya tidak mungkin penjahat melakukan hal sebaik itu.

Baru saja berpikir demikian, suara ledakan di lantai bawah menggetarkan seluruh bangunan. Bukan ledakan yang dapat menghancurkan seluruh isi bangunan. Namun, siapa pun yang berada di sana niscaya akan terluka parah.

Suara-suara saling bersahutan dari alat komunikasi di telinga mulai terdengar berbagai informasi.

"Ledakan apa itu?"

"Berhati-hatilah saat membuka pintu."

"Apa ada yang terluka?"

"Butuh medis di sini. Dua orang terluka."

"Para sandera ditemukan di lantai dua, tepatnya di kamar mandi."

"Ditemukan beberapa mayat di lantai tiga."

Saat hampir mencapai lantai empat, Kiba berteriak, "Berhenti!"

Naruto dan Menma sontak menghentikan langkah. Kiba maju selangkah dan berjongkok. "Cobalah untuk fokus. Lihat, ada benang transparan di sini." Ia menyoroti benang. Kalau mereka tidak berhenti, salah satu dari mereka pasti tersandung. Kabar buruknya, kabel itu adalah tuas untuk mengaktifkan bom yang terpasang di sisi tangga.

"Biar kulepas bomnya." Naruto berjalan ke sisi tangga, meraih bom yang seukuran dengan smartphone, lalu memotong salah satu kabel dengan pisau kecil untuk mematikan daya ledakannya.

"Oke, kita lanjutkan. Kalian berdua carilah di sini, aku akan mengecek atap."

Naruto dan Kiba mengangguk setuju. Dan Menma segera menaiki tangga lagi.

Menma menahan hasrat untuk membuka pintu ketika ia memegang kenopnya. Ia menajamkan indranya, merasakan bahwa di kenop tidak ada sesuatu yang menyanga untuk mengaktifkan bom. Merasa yakin tidak ada yang mengganjal, Menma membuka pintu keras. Detik itu ia disambut oleh seorang gadis berambut merah muda yang sedang terduduk sambil menangis.

"Sakura-san? Apa yang kau lakukan di sini?" Menma segera menghampiri Sakura.

Sakura mengangkat kepalanya. "Na-Naruto?"

"Maaf, aku Menma. Apa kau baik-baik saja?"

"A-Aku tidak mengerti. Apa aku ditipu? Apa maksudnya? Aku sama sekali tidak paham maksud Shiragiku-san membawaku ke sini."

"Tenanglah dulu. Ceritakan padaku pelan-pelan." Menma berjongkok di samping Sakura dan mengusap punggungnya yang bergetar hebat. Ia menatap ke segala penjuru atap untuk memastikan tidak ada siapa pun. "Kenapa kau di sini? Ada yang menangkapmu?"

Sakura menggeleng. "Sebelumnya aku bersama Shiragiku-san. Dia adalah teman ayah. Dia bercerita padaku bahwa ibu mati dibunuh. Katanya, kalau aku ke sini, aku akan bertemu orang yang telah membunuh ibuku. Tapi aku melihat ada banyak korban di bawah sana, ada mayat, ada banyak sekali tentara di bawah sana. Dan kenapa kau yang muncul?"

"Tentu saja karena Namikaze-lah yang membunuh ibumu, Sakura," sahut suara asing.

Menma dan Sakura terperanjat. Mereka menoleh ke sumber suara. Dari arah pintu atap, muncul seorang wanita berambut cokelat panjang. Ia mengenakan busana hitam. Rambut cokelat panjangnya diikat ekor kuda. Di belakangnya ada satu lelaki. Berbusana hitam juga, tapi memakai masker di wajahnya.

Menma hendak mensiagakan kembali senjatanya. Namun, sebelum ia melakukannya, wanita itu lebih dulu melepaskan peluru ke arah Sakura, menciptakan luka gores di lengan gadis itu. Lukanya tidak dalam, namun mengeluarkan darah segar yang mampu membuat Sakura menjerit.

"Jangan berani-berani angkat senjatamu, jangan berani memanggil bantuan. Tinggalkan senjata itu atau aku akan menembak gadis itu."

"Tidak mungkin," lirih Sakura tak percaya sambil menahan sakit.

Menma membantu Sakura berdiri, mereka berjalan mundur saat wanita itu melangkah maju masih sambil menodongkan pistolnya.

"Shiragiku-san, apa maksud semua ini? Kau bilang aku akan bertemu dengan orang jahat yang membunuh ibuku, tapi nyatanya kaulah orang jahat itu. Aku tidak percaya bagaimana ayah berteman baik denganmu."

"Sakura, kau belum paham juga? Orang yang muncul adalah pelakunya. Namikaze ini muncul. Ya, Namikaze-lah yang menghancurkan hidup ibumu. Menghancurkan hidupnya, berarti membunuhnya." Shiragiku tertawa geli.

"Kau gila," ujar Menma, masih merentangkan lengannya untuk melindungi Sakura di belakangnya. "Justru orangtuakulah yang dibunuh oleh orang tak dikenal. Mereka juga tidak pernah menghancurkan hidup siapa pun."

Mata Shiragiku berkilat marah. "Kebahagiaan mereka menghancurkan hidupku! Kau tidak tahu betapa sakitnya aku melihat pria yang kucintai menikah dengan temanku sendiri!"

Menma berhenti mundur ketika ia dan Sakura menabrak pagar pembatas yang sudah rapuh di belakangnya. Ia harus bersiap-siap jika ada serangan mendadak dari kedua orang itu. Mau mengubungi Naruto atau Kiba di bawah pun sulit karena ia tidak bisa seenaknya menekan alat komunikasi di telinganya.

Sial!

Menma hanya bisa memaki dalam hati. Jarak antara mereka dengan Shiragiku dan pria itu hanya lima meter. Menma melirik sedikit ke arah Sakura yang wajahnya memucat. "Sakura-san, kau bisa lari? Kita tidak bisa berdiam diri di sini terlalu lama."

"Mungkin bisa," jawab Sakura tak yakin.

"Ikuti pergerakanku. Saat kuberi aba-aba, larilah dari sini. Temui Naruto. Dia tepat berada di lantai empat. Paham?"

Sakura hanya menjawab dengan anggukan.

Menma bergerak ke samping, berusaha sedikit demi sedikit mencapai pintu atap dengan Sakura di belakangnya.

"Kalian sebaiknya waspada," pancing Menma untuk mengalihkan fokus Shiragiku dari pergerakannya mencapai pintu. "Penembak jitu ditempatkan di beberapa lokasi. Salah-salah kalian bisa tewas di tempat."

Kemudian Shiragiku tertawa keras. Wanita itu melirik pria di sampingnya yang kelihatannya juga tertawa kecil. "Tewas di tempat, katanya?" Shiragiku masih tertawa geli. "Jangan khawatirkan soal itu. Aku tahu kalian menempatkan penembak jitu di beberapa titik. Sudah kuurus dengan baik."

"Mungkin kalian harus mengkhawatirkan diri kalian sendiri." Pria bermasker itu akhirnya angkat suara.

Tanpa sadar Menma meneguk ludah. Bulan Oktober adalah musim gugur. Udara pada malam hari biasanya dingin, tapi kali ini ia merasa banyak keringat yang keluar dari pori-porinya. Kalau yang dikatakan wanita itu bukan gertakan, bukankah situasinya sangat gawat? Artinya rencana ini diketahui oleh pihak musuh.

Menma jadi semakin khawatir. Saat posisinya dengan pintu atap kurang dari sepuluh meter, mungkin inilah saat yang tepat. Ia menoleh ke arah Sakura. "Lari!"

Meskipun Sakura ketakutan dan raut wajahnya menunjukkan kebingungan, Sakura berlari sekuat tenaga menuju pintu. Menma sendiri masih mengikuti Sakura, melindungi wanita itu. Seperti yang Menma duga, Shiragiku pasti melepaskan amunisi. Sakura berhasil meloloskan diri dari atap, namun Menma terjatuh sambil memegang perut sebelah kiri yang terasa perih.

Rompi yang dikenakan Menma bukan anti peluru, namun ketebalannya mampu menghalau peluru bersarang lebih dalam. Meskipun begitu, rasa panas seketika membakar perut kiri Menma. Ia meringis, menahan sakit saat cairan hangat merembas di seragam hijau lorengnya.

Sampai detik ini tidak ada bantuan dari tim penembak jitu. Berarti ucapan dua orang itu benar. Strategi mereka diketahui. Pasti terjadi sesuatu pada tim penembak jitu dan mungkin teman-temannya di gedung ini dalam bahaya. Kemudian, ledakan kembali terdengar, menggetarkan gedung.

Kalau begini, keadaannya gawat sekali!

Menma perlahan bangkit sambil menahan rasa sakit dari timah panas yang bersarang di perut kirinya. Napasnya mulai memburu, tapi ia tidak boleh tumbang di sini. Ia tidak akan terlihat heroik jika tumbang hanya karena satu butir peluru di perutnya.

"Minggir dari sana!" perintah Shiragiku, kembali menodongkan pistol.

Menma mendecih sebal. "Lewati dulu mayatku."

"Masih sombong meskipun terluka seperti itu? Kabuto, silakan." Shiragiku melirik pria berambut perak di sebelahnya, seolah memberi perintah, "Kau urus dia!"

Kemudian pria yang dipanggil Kabuto itu maju sambil menarik belatinya dari saku. Menma juga melakukan hal serupa. Ia mengeluarkan belati dari tempatnya dan mengarahkannya pada pria itu.

Kecepatan Kabuto bertarung layaknya kilat. Selama beberapa detik ke depan Menma mampu menghalau serangannya dengan baik. Namun tak lama kemudian, pertahanannya goyah saat pandangannya mulai tak jelas. Bergerak cepat menyamai kecepatan Kabuto pasti membuat darahnya keluar lebih banyak. Menma jelas-jelas sudah merasa pusing. Tanah yang dipijaknya seolah berputar.

Tidak. Ia harus menyelesaikan pertarungan ini lebih cepat. Ia tidak boleh roboh di sini. Menma menggelengkan kepala, berusa kembali fokus. Kali ini, ialah yang lebih dulu menyerang. Menma mengerahkan seluruh kemampuan dan tenaganya. Ia beberapa kali menebas, meninju, dan menendang. Sekali lagi pandangannya kabur, dan kali ini bilah tajam berhasil menyayat lengan kanannya.

"Argh!" Menma mengerang sambil memegang bahu.

"Kau tidak mampu melawanku dengan keadaan seperti itu."

"Dari awal kau memang curang. Ini namanya dua lawan satu. Kalau saja aku tidak ditembak, kau pasti sudah meregang nyawa." Menma berujar dengan napas putus-putus.

"Oh, ya?"

Menma menggertakkan gigi. Genggaman pada belatinya mengeras dan kembali disiagakan di depan. "Kita lihat saja!"

Menma mendekat ke arah Kabuto. Sebelum pria itu sempat mengelak, Menma melayangkan sikunya ke dagu, membuat Kabuto mundur. Sebelum pria itu berdiri tegak, Menma membuang belatinya dan segera menarik baju Kabuto. Ia meninju wajah Kabuto, menghantam perutnya dengan lutut, lalu memelintir tangan kanannya, membuat belati terjatuh. Seolah tak memberikan Kabuto waktu untuk menarik napas, Menma kembali menghantam wajah Kabuto berkali-kali hingga pria itu tersungkur dengan wajah penuh darah dan memar.

Tubuh Menma mulai terasa berat. Menarik napas pun mulai terasa sulit. Sebelum pertahanannya runtuh, Menma segera bersandar pada pagar pembatas tua di belakangnya. Ia melirik pintu atap. Kosong. Wanita bernama Shiragiku itu pasti sudah melarikan diri.

Masih berusaha menormalkan laju napasnya, Menma menekan alat komunikasi di telinga. "Pelaku ditemukan di atap. Satu orang melarikan diri. Dia perempuan. Jangan biarkan lolos. Sepertinya strategi kita bocor. Karena di atap tidak ada penembak jitu yang membantuku. Berhati-hatilah. Dan... aku butuh bantuan medis di sini."

Baru saja hendak beristirahat sebentar sambil menunggu regu yang akan menolongnya, Kabuto yang sudah Menma hajar sampai babak belur itu bangkit sambil menggenggam belati. Matanya berkilat marah dan pria itu menghunuskan benda tajam ke arah Menma.

Menma sadar dirinya tidak mempu mengelak serangan dekat. Begitu Kabuto hendak menusukkan belati ke arahnya, Menma berhasil menahan serangan itu. Namun Kabuto tidak menyerah. Ia mendorong lebih kuat dengan satu tangannya yang tidak cedera. Sisi baiknya, Menma dapat menggunakan kedua tangannya untuk menahan, meskipun lengan sebelah kanannya berdenyut perih minta diobati.

Dengan sisa kekuatannya, Menma memutar ujung runcing belati ke arah Kabuto, kemudian dalam sekejap ia menghunuskan belati di perut pria itu. Kabuto terlihat belum menyerah. Ia melepaskan belati yang menancap di perutnya sendiri, kemudian mendorong Menma menghantam pagar pembatas dengan keras.

Menma tak menyangka pagar berkarat di belakangnya sudah sangat rapuh hingga penahannya mudah lepas. Begitu pagarnya jatuh dari lantai empat, Menma tidak bisa menahan tubuhnya untuk tidak terjungkal ke belakang akibat Kabuto yang masih memegang erat bajunya.

Bersama Kabuto, tubuh Menma yang bebas di udara ditarik oleh gravitasi bumi dari ketinggian lantai empat.

xxx

Naruto tak bisa menahan keterkejutannya saat menjumpai Sakura yang menghampirinya dengan wajah pucat dan luka gores di lengan. Luka mengeluarkan darah. Pasti masih baru.

Saat itu Naruto dan Kiba, berusaha membebaskan para sandera. Salah satu dari mereka dikalungi bom. Itu bukan bom biasa yang meledak jika sumbunya terbakar habis. Bom itu sudah diatur. Jika yang memegang bom bergerak seenaknya, ledakan akan terjadi dan membunuh 15 orang di sana.

Untungnya tim penjinak bom sudah dikerahkan dan sedang menjinakkan bom itu. Urusan pengevakuasian Naruto serahkan kepada mereka dan Kiba ketika suara Menma terdengar di telinganya lewat alat komunikasi. Saat itu suara Menma terdengar lemah, napasnya juga putus-putus dan dia minta bantuan. Menma pasti sedang terluka.

Awalnya Naruto dan Sakura hendak menyusul Menma dan menyerahkan wanita itu kepada tim lain di bawah sana. Namun tak disangka, wanita itu berpapasan dengan mereka. Tanpa membuang waktu, Naruto langsung mengejar wanita berpakaian hitam itu.

"Jadi, dialah pelakunya?" tanya Naruto pada Sakura yang berlari tak kalah cepat dengannya di kegelapan gedung.

"Ya."

"Kenapa kau di sini? Kau diculik lagi?"

Kali ini Sakura tak menjawab. Napasnya ia fokuskan untuk berlari menyamai kecepatan Naruto. Kalau ia terlalu banyak bicara, mungkin ia akan kehabisan napas.

Saat mencapai lantai dasar, Naruto tidak melihat Sakura lagi di belakangnya. Wanita itu mungkin kehabisan napas dan memilih untuk berhenti sejenak. Naruto tidak bisa menunggu, ia harus mengejar wanita berbaju hitam itu sebelum ia lolos.

Begitu hampir tiba di pintu keluar belakang gedung rumah sakit, Naruto menyeringai. Wanita itu tidak bisa kabur karena semua pintu masuk dan keluar sudah dijaga ketat. Wanita itu mau tidak mau harus ditangkap. Namun apa yang Naruto lihat tidak sesuai perkiraannya. Di luar sana sudah ada mobil hitam dengan mesin menyala, rekannya yang ditugaskan berjaga terkapar. Entah pingsan atau mati karena di sana ada genangan darah.

Wanita itu berhenti sejenak, ia menoleh ke arah Naruto sambil melambai. Wajahnya tertutupi masker, tapi Naruto kenal siapa wanita itu dari tatapan matanya. Di samping wanita itu, seorang pria bersurai bunga musim semi—yang sangat Naruto kenal—membukakan pintu. Bersama-sama mereka masuk ke mobil.

Padahal Naruto sudah menyiapkan tembakan di tangan, siap menekan triger kapan saja, namun pria yang membantu wanita itu membuatnya membeku. Saat Naruto berhasil menghalau keraguan, mobil hitam itu telah melaju dengan kecepatan tinggi.

"Tidak, tidak mungkin," gumam Naruto tak percaya.

"Tunggu, bukankah tadi Haruno-san?"

Naruto menoleh dan mendapati Sasuke telah berdiri di belakangnya bersama Sakura yang tengah membungkukkan badan. Wanita bersurai musim semi itu menumpu kedua tangan di atas lutut. Bahunya naik-turun dengan cepat.

"Kau dengar kan Menma bilang apa? Strategi kita bocor!" ujar Naruto sambil menatap tiga tubuh yang tergeletak tak bergerak di ambang pintu.

"Haruno-san biasanya tidak pernah ikut langsung rapat strategi kita. Dia biasa mendengar strateginya dari Jendral. Tidak kusangka kehadirannya dalam rapat kita... aku tidak percaya," Sasuke menggertakkan gigi.

Si bungsu Uchiha kembali berujar, "Black Poison adalah organisasi besar. Kejahatannya di mana-mana. Orang pentingnya sulit ditangkap karena mereka selalu punya akses jalan keluar. Sekarang aku tidak heran. Orang yang selama ini telah membantu Black Poison adalah Haruno-san, seorang Kepala Menteri Pertahanan Negara ini. Pantas saja mereka selalu lolos."

"Ta-tapi kenapa? Kenapa ayahku berbuat seperti itu?"

Sasuke melirik ke arah Sakura. "Itu juga yang jadi pertanyaan kami."

"Dan kenapa kau ada di sini, Sakura?" tanya Naruto dengan tatapan tajam, berhasil membuat Sakura tertunduk.

Belum sempat menjawab, suara seseorang membuat ketiganya menoleh. "Ah, ternyata kalian di sini. Bagaimana? Berhasil menangkap pelakunya?" tanya Shikamaru.

"Semua rencana kita diketahui. Tentu saja berhasil kabur. Dalangnya benar-benar keterlaluan!" seru Naruto kesal. Ia ingin memukul orang lain saat ini.

Detik itu sebuah suara lewat alat komunikasi yang mereka pakai terdengar. "Naruto, kau bisa mendengarku?"

Tanpa menunggu lama-lama, Naruto segera menekan tombol di sana dan menjawab. "Ya, aku dengar. Ada apa?"

"Mungkin sebaiknya kau keluar dari gedung sekarang."

Naruto mengerutkan kening. Ia tidak mampu menerka apa pun saat Itachi berujar dengan nada datar. Untuk beberapa saat Naruto saling lirik dengan Sasuke.

Kali ini Sasuke yang berujar, "Apa yang terjadi, Ketua?"

"Menma... dia jatuh dari atap."

xxx

Naruto tidak ingin memercayainya. Ia tidak mau percaya dan berharap bahwa pendengarannya salah. Atau mata Itachi yang salah. Kalau perlu, Naruto ingin kejadian malam ini menjadi salah satu mimpi terburuknya. Setelah mendengar ucapan Itachi, Naruto bersama Sasuke dan Sakura bergegas ke arah gedung bagian timur, sesuai instruksi Itachi. Sedangkan Shikamaru masih membantu tim yang lain.

Naruto berharap ucapan Itachi adalah kebohongan untuk menipunya di hari ulang tahunnya malam ini. Benar. Sudah lewat tengah malam. Hari ini tepat tanggal 10 Oktober. Kalau sampai ia melihat Menma dan Itachi dengan seringaian jail di luar sana, Naruto tidak akan sungkan mematahkan masing-masing lengan mereka.

Namun, saat mereka sampai di lokasi, pemandangan di depannya mampu membuat Naruto berhenti bernapas. Beberapa meter darinya ada 2 tubuh tergolek dengan genangan darah di atas aspal. Satu orang berbaju serba hitam, satu orang lagi berseragam sama sepertinya. Melihat postur dan rambutnya pun Naruto tahu siapa yang terbaring di sana.

"Cepat bawa tandunya ke sini!" teriak Itachi pada walkie talkie di tangannya. Kemudian pria itu mengeluarkan sapu tangan, berjongkok di samping Menma dan menahan aliran darah yang mungkin tidak mau berhenti mengalir. Naruto tidak mau tahu luka apa itu. Tapi jika luka Menma terlalu banyak mengeluarkan darah, Menma bisa...

"Tidak, tidak, tidak," gumam Naruto tak percaya.

Naruto segera berlari ke samping Menma. Senjatanya terlepas begitu saja dari tangan. Ia menatap Menma dengan pandangan ngeri. Tulangnya pasti patah di mana-mana setelah menghantam aspal. Luka di perutnya masih mengeluarkan darah meskipun Itachi mencoba menahan pendarahannya. Naruto bisa melihat Menma masih sedikit membuka matanya. Saudaranya itu masih sadar.

"Menma. Hei, kau dengar aku? Aku di sini."

Naruto menyentuh pipi Menma, menggerakannya perlahan ke arah wajahnya. Dan ketika pandangan mereka bertemu, Naruto tahu bahwa Menma tengah tersenyum tipis ke arahnya meskipun mulutnya berlumuran darah.

"Kau harus kuat! Kau akan baik-baik saja! Jadi, bertahanlah!" seru Naruto dengan harapan suaranya mampu memberikan Menma kekuatan.

Meskipun samar, Naruto tahu Menma sedang berusaha mengucapkan sesuatu. Naruto mengamatinya baik-baik, berusaha menerka apa yang hendak Menma utarakan padanya. Tanpa suara, Naruto berhasil menangkap satu kata yang Menma gumamkan.

"Maaf."

Kemudian Menma menutup matanya perlahan.

Mata Naruto segera memanas. Ia tidak bisa menahannya lagi. Tanpa memedulikan dirinya adalah seorang prajurit tangguh, air mata tumpah begitu saja. Naruto meraih tangah Menma yang berlumur darah dan menggenggamnya erat.

"Tidak, kumohon bangun. Jangan tidur di sini. Jangan tinggalkan aku sendirian. Aku tidak punya siapa-siapa lagi," lirih Naruto. "Ini hari ulang tahun kita. Kau bilang, kita akan merayakannya, kan? Ayo, buka matamu. Kumohon."

Kedua iris safir Naruto menatap saudaranya dengan pandangan penuh harap, berharap Menma membuka matanya lagi, meskipun sedikit. Namun nihil. Menma tidak lagi bergerak.

.

To be continued

A/n: Akhirnya, setelah satu tahun ff ini update lagi. Author sendiri merasa bahagia bisa update. Author harap, chapter selanjutnya tidak satu tahun lagi ya. Kalau masih ada yang membaca ff ini, author ucapkan terima kasih banyak atas kesediaannya menunggu dan tetap membaca fanfic ini :)

Alasan mengapa baru update sekarang karena tahun lalu author sedang banyak masalah dan sempat kehilangan mood menulis. Tapi akhirnya, kenikmatan menulis kembali author dapatkan. Berhubung author bukan anak SMK lagi, saya tidak bisa janji update cepat. Di samping bekerja dari pagi sampai sore, author juga lanjut kuliah sampai malam. Jadi, waktu luangnya sedikit sekali ^^ tapi Author harap, yang saya tulis bisa menghibur. Dan semoga masih tetap bisa melanjutkan ff ini dan ff yang baru (Blue Moon's Legacy).

NB: Maaf untuk ending yang tidak tepat di chapter ini, karena sudah kepanjangan melewati 7k words XD.

See you in next chapter!