'What if I told you that I was the one who wanted to kiss your charming forehead?'
.
.
.
Sakura menutup mata saat angin malam menggoyangkan helaian rambutnya pelan. Tubuhnya sempat menggigil karena rasa dingin yang menggigit saat pertama sampai tadi, tapi nyatanya jubah hokage yang kini tersampir di bahunya membuat tubuhnya jadi hangat dan nyaman di saat yang bersamaan.
Perlahan bibirnya melengkung tersenyum. Menikmati angin dan meninggalkan hiruk pikuk sejenak ternyata bukan ide yang buruk. Meski dari pagi harus disibukkan dengan berbagai macam hal di rumah sakit, mengingat mulai besok ia akan mendapat jatah libur selama tiga hari membuatnya berseri sepanjang hari. Sakura telah menyusun berbagai rencana untuk menikmati hari liburnya yang bertepatan dengan akhir minggu ini. Tidur seharian, membaca buku selain kamus kedokteran, jalan-jalan bersama Ino, atau bertemu dengan Kakashi-sensei, Yamato-sensei, Sasuke, Sai dan—
"Ini, Sakura-chan!"
Laki-laki berisik yang baru saja berteriak di depannya. Naruto tiba-tiba saja muncul tepat dihadapannya setelah terdengar bunyi 'pom' kecil dan kepulan asap putih. Sukses membuatnya menjengit kaget sesaat.
Sungguh, terkadang Sakura sebal bila Naruto sengaja memakai jurus warisan hokage keempat untuk membuatnya kaget.
"Berhenti melakukan itu, baka!"
Dan seperti yang sudah-sudah, satu pukulan akan mendarat di ubun-ubun Naruto setelahnya. Sakura tidak mengerti kenapa lelaki itu selalu mengulangi hal yang sama meski tahu akan berakibat hal yang sama pula pada kepala pirangnya. Anehnya lagi, Naruto hanya akan tertawa tanpa dosa ke arahnya sambil meminta maaf.
"Maaf, Sakura-chan, habisnya kau menutup mata sih! Kukira kau tertidur karena menungguku terlalu lama," sebuah senyuman nyengir dilemparkan lelaki pirang itu sembari duduk di samping Sakura. Ia menaruh sebuah kantong plastik bening di antara mereka.
Tanpa perlu disuruh Sakura membuka kantong plastik itu dan mengambil satu cup anmitsu dari dalamnya. Wajahnya yang sempat tertekuk seketika berubah menjadi berseri melihat makanan kesukaannya itu. Ia mendengar tawa dari sebelahnya.
"Kau terlihat seperti anak kecil, Sakura-chan."
Sakura menoleh tajam seketika. "Apa maksudnya?"
"Ekspresimu barusan." Naruto membuka kopi kalengan yang dibelinya bersamaan dengan anmitsu tadi. "Kau seperti anak kecil yang mendapat es krim kesukaannya."
"Oh ya? Siapa yang selalu tersenyum lebar setiap mangkuk ramen Ichiraku terhidang di depan matanya?" Sakura menjulurkan lidahnya mengejek. "Kau juga sama saja, Naruto."
Kali ini Naruto tertawa kikuk sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Benar juga.
Naruto sesekali meneguk kopinya dengan mata yang menerawang jauh ke arah desa di bawah sana. Sementara Sakura meluruskan kakinya sambil menikmati anmitsu dengan tenang.
Beruntung Naruto berhasil merayu Yamato untuk membuatkan bangku panjang di bagian atas monumen hokage. Tempat favorit ini sekaligus menjadi tempat reuni tim 7 dan tim Kakashi saat masing-masing anggota tim mempunyai waktu luang. Namun untuk malam ini, hanya mereka berdua saja yang sempat datang.
"Sasuke-kun dan Kakashi-sensei masih belum kembali dari misi," Sakura membuka suaranya saat cup anmitsu nya telah kosong.
"Aku tahu. Aku yang mengirim mereka untuk mengantar gulungan rahasia ke desa air." Naruto terkekeh pelan. "Dokumen sepenting itu, rasanya akan lebih aman dibawa oleh orang yang benar-benar kupercaya."
Sakura tersenyum jahil. "Pekerjaan yang berat, Hokage-sama? Apa sekarang kau merasa menyesal menjadi hokage?"
Naruto membalasnya dengan gelengan cepat. Bibirnya tersenyum lebih lebar. "Kau pasti tahu ini mimpiku sejak dulu 'kan, Sakura-chan? Tidak mungkin aku menyesal."
Perang telah berakhir dua tahun yang lalu. Musuh telah dikalahkan. Konoha telah kembali seperti semula. Tidak ada lagi hal-hal yang membuat ketenangan Konoha terusik. Begitu juga dengan desa lain. Kedamaian telah kembali sepenuhnya.
Meski luka yang disisakan oleh perang tidak hilang sempurna, tapi setiap orang belajar lebih baik dari pengalaman pahit itu. Kedamaian dan ketenangan saat ini contohnya. Tidak ada lagi mimpi buruk yang menghantui masing-masing desa atau individu lagi.
Tim 7 kembali lengkap dengan kembalinya Sasuke. Bahkan setahun yang lalu, Naruto resmi diangkat menjadi hokage setelah melalui proses yang panjang dan tak mudah. Sai kembali menjadi ANBU. Sasuke kembali menjadi bagian dari Konoha meski masih di bawah pengawasan hukum. Baik Yamato maupun Kakashi sesekali kembali sibuk membantu junior mereka di ANBU sekaligus menjadi orang kepercayaan hokage. Sementara Sakura sendiri, kini telah resmi menjadi wakil kepala rumah sakit.
Apa yang bisa lebih baik lagi dari ini?
"Rasanya tenang sekali ya. Sulit dipercaya Konoha pernah hancur tanpa sisa," Sakura mendesah pelan. Ia tidak mungkin lupa bagaimana pertempuran darah yang menjatuhkan banyak sekali korban itu. Sebagai ninja medis yang diandalkan, membuat Sakura hapal benar bagaimana luka-luka yang didapat oleh para ninja pembela desa.
Naruto hanya mengangguk dan bergumam sebagai jawaban. Matanya masih betah memandangi kejauhan. Mungkin juga teringat kejadian perang yang membawa namanya naik karena berhasil menyelamatkan desa.
"Atau mungkin karena sekarang kau yang jadi hokage-nya, ya?"
Godaan ringan yang dilemparkan Sakura ternyata mampu membuat Naruto tertawa kikuk dengan pipi yang sedikit merona. "Aku baru memimpin selama setahun, Sakura-chan. Masih banyak hal yang harus kupelajari." Naruto meremas kaleng kosongnya lalu menaruhnya kembali di dalam kantong plastik tadi. "Rasanya, banyak sekali hal yang berubah beberapa tahun terakhir ini."
Sakura mengangguk setuju. "Kau, aku, Sai, Sasuke-kun, Kakashi-sensei, Yamato-sensei, bahkan Konoha. Semua memang berubah. Waktu berjalan dengan cepat, kautahu." Untuk sepersekian detik, ia mengingat bagaimana wajah dari masing-masing orang yang disayanginya itu saat mereka pertama bertemu dulu.
"Sama cepatnya seperti angin." Naruto meregangkan tangannya dan menaruh kedua telapak tangannya yang bertaut di belakang kepala. Ia menoleh ke arah Sakura lalu tersenyum nyengir. "Misalnya kau, Sakura-chan. Kau tumbuh menjadi kunoichi medis melebihi Tsunade baa-chan. Kau berubah dari gadis kecil cengeng menjadi perempuan dengan kemampuan medis nomor satu di Konoha."
Sontak Sakura menepuk lengan Naruto keras dengan pipinya yang sedikit bersemu merah. Naruto justru tertawa melihatnya. "Jangan berlebihan. Aku masih belum ada apa-apanya dibandingkan Tsunade-shisou."
Naruto menghindar saat Sakura mencoba mencubit lengannya kali ini. "Hei, aku kan sedang memujimu, Sakura-chan!"
Sakura mendengus. Kedua tangannya terlipat di depan dada. "Kau juga sama saja."
Naruto mengangkat sebelah alisnya. "Oh ya?"
"Sekalipun kau seorang Hokage sekarang, kau tetap ninja penuh kejutan nomor satu di Konoha."
Sakura mendengar cerita bahwa minggu lalu, lelaki pirang itu menyamar menjadi anak buah Paman Teuchi di Ichiraku saat hari liburnya dengan menggunakan topeng. Penyamarannya terbongkar saat seorang anak kecil yang digendong Naruto menarik tali topeng dan membuatnya terlepas. Ichiraku yang saat itu sedang ramai pelanggan sontak kaget dan tertawa saat tahu bahwa sejak tadi yang melayani pesanan mereka adalah kepala desa mereka sendiri.
Supel dan ramah. Sifat itu yang membuat Naruto mudah dicintai oleh penduduk desa.
"Tapi tetap saja ada yang tidak berubah untuk beberapa hal." Sakura mengangkat tangan dan menyentuh keningnya yang kini memiliki Hyakugou. "Dahiku sama lebarnyaaa!" Sakura mengerucutkan bibirnya.
"Apa yang salah dengan hal itu, Sakura-chan? Dahimu mempesona kok!"
Sakura mendengus, "Mempesona darimana? Jangan mengejekku."
Kepala pirang itu menggeleng cepat. "Aku tak mengejekmu, sungguh. Dahi lebar itu menandakan orang pintar, kautahu?"
"Tetap saja aku harap dahiku tak selebar ini."
Tangan Naruto terangkat lalu mengusap puncak kepala Sakura pelan. "Hei, kau punya dahi lebar yang mempesona, Sakura-chan. Membuatku ingin mengecupnya, tahu?" sahut Naruto ringan.
"Kau mempunyai dahi lebar yang mempesona. Membuatku ingin mengecupnya."
Sakura seketika tertegun. Kenapa rasanya seperti déjà vu?
"Sakura-chan? Ada apa?" tanya Naruto melihat Sakura yang tiba-tiba membeku.
Kata-kata itu… kenapa rasanya pernah ia dengar sebelumnya?
Perlahan Sakura menoleh ke arah Naruto. Lelaki itu masih menatapnya bingung.
"Naruto," Sakura meneguk ludahnya lalu menatap baik-baik mata biru itu. "Apa… maksud kata-katamu barusan?"
Merasa sadar dengan apa yang dilakukannya, Naruto sontak menarik tangannya lalu menggaruk pipinya sendiri yang sedikit merona "Ah, maaf maaf, tolong lupakan saja kata-kataku tadi." ia menghindari tatapan Sakura, beranjak dari kursi lalu berjalan sedikit menjauhinya.
Sakura masih terdiam. Kenapa ia merasa Naruto seolah sengaja menghindari pertanyaannya?
"Sudah malam, Sakura-chan. Bagaimana kalau kita pulang sekarang?" Naruto mengatakannya sembari meregangkan kedua tangannya ke atas. Sakura menatap punggung Naruto dengan perasaan kalut. Apa yang sedang laki-laki itu sembunyikan darinya?
Melihat tak ada respon apapun Naruto membalikkan bandannya dan berangsur mendekati Sakura. "Sakura-chan?" Ia mengulurkan tangannya sambil tersenyum lembut. "Kuantar kau pulang sekarang. Kita ngobrol lagi lain waktu."
Sakura menatap tangan Naruto lalu menatap wajah lelaki itu lekat. Sebenarnya masih banyak hal di kepalanya yang ingin ia tanyakan pada lelaki pirang itu. Namun Naruto seperti sengaja menghindari pembahasan itu dengan mengajaknya pulang. Akhirnya ia menerima uluran tangan Naruto lalu bangkit berdiri. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, lelaki itu mengeratkan jubah hokage di bahu Sakura. Lengannya memeluk pinggang Sakura erat saat membawa perempuan itu pulang dengan hiraishin no jutsu.
Perasaan aneh itu terus menari di benak Sakura. Ada debaran tak menyenangkan di jantungnya. Ada apa sebenarnya?
.
-O-O-O-
.
"Apa... maksud kata-katamu barusan?"
Pertanyaan Sakura saat di monumen hokage tadi sama sekali di luar dugaannya.
Kali ini Naruto masih bisa bernapas lega karena berhasil menghindari pertanyaan itu tadi. Meski terlihat menyimpan banyak pertanyaan, Naruto bersyukur karena Sakura tidak mendesaknya untuk menjawab pertanyaan itu. Setidaknya untuk sekarang. Meski sebenarnya, ada harapan kecil di dalam hatinya untuk menjawab pertanyaan itu sekaligus menjelaskan artinya. Yang berarti sama saja memberitahunya kebenaran di masa lalu. Tapi hal itulah yang menimbulkan keraguan besar di diri Naruto.
Bagaimana kalau Sakura marah? Bagaimana kalau hal itu mempengaruhi persahabatan mereka? Bagaimana kalau hal itu membuat hubungan keduanya menjadi renggang? Dan kemungkinan lain terus berloncatan di benak Naruto seandainya kebenaran itu benar naik ke permukaan.
Saat Naruto membuka matanya lagi, keduanya telah sampai di depan apartemen Sakura. Dengan jurus warisan mendiang ayahnya, ia bisa membawa mereka dari monumen hokage langsung ke depan apartemen Sakura dalam sekejap mata. Naruto memang sengaja menaruh salah satu segel jurus hiraishin-nya disini. Jadi bila seandainya ia tiba-tiba saja rindu pada Sakura, Naruto bisa langsung menemuinya.
Bercanda.
Alasan sebenarnya adalah agar Naruto bisa membawa pulang Sakura lebih cepat tanpa harus berjalan kaki. Karena ada kalanya perempuan itu merasa terlalu lelah karena setumpuk pekerjaan dari rumah sakit. Well, hal ini berlaku kalau Naruto sesekali menjemput Sakura pulang di rumah sakit di larut malam. Mana bisa ia membiarkan sahabat perempuannya jalan sendiri di tengah malam? Meski ia adalah hokage yang telah memastikan keamanan desa ada di tingkat tinggi, tetap saja ia khawatir.
"Terima kasih lagi, Naruto."
Senyuman manis khas Haruno Sakura diberikan padanya. Untuk sedetik dadanya kembali berdesir hangat. Selama bertahun-tahun ia terus bersama dengan Sakura, kenapa senyum itu selalu menjadi kelemahannya?
Sakura melepaskan jubah hokage yang ia berikan padanya sejak mereka pertama sampai di monumen hokage tadi. Naruto mengulurkan tangannya, untuk menerima jubah itu. Sebelah alisnya terangkat saat perempuan itu malah menggelengkan kepalanya.
"Biarkan aku memakaikannya padamu," pinta Sakura dengan suara pelan.
Suasana di sekitar mereka telah sepi karena jam telah menunjukkan lewat tengah malam. Namu, entah kenapa Naruto bisa mendengar suara detak jantungnya yang berdebar tak karuan saat Sakura perlahan berjalan ke belakangnya sambil memakaikan jubah itu padanya. Ia bisa merasakan tangan Sakura yang menepuk-nepuk punggungnya pelan, merapikan jubah yang kini telah terpasang rapi di badannya. Perempuan itu kemudian berjalan lagi ke depannya, merapikan kerah dengan jarak yang membuat Naruto menahan napasnya.
Sakura berdiri sangat dekat dengannya, tak sampai selangkah. Kalau ia membungkuk sedikit saja, jarak wajah mereka akan menjadi hanya beberapa senti saja. Memikirkan hal itu sudah cukup membuat detak jantungnya makin menggila.
Setelah merapikan kerahnya, Sakura tetap diam dalam posisinya. Kepalanya menunduk meski tangannya tetap berada di dada Naruto.
"...Sakura-chan?" panggil Naruto pelan. Perempuan itu mengangkat kepalanya. Mata hijaunya menatap Naruto lekat. Ada banyak pertanyaan disana meski bibir itu tidak mengucapkan sepatah katapun.
Naruto paham, tapi memilih untuk berpura-pura tidak tahu.
Melihat tak ada respon dari Naruto, Sakura menggeleng pelan lalu mundur selangkah. "Terima kasih lagi, Naruto." Senyum itu diberikan lagi padanya, membuat Naruto merasa lega perempuan itu tidak jadi menanyakan hal yang dikhawatirkannya.
"Tidak masalah, Sakura-chan. Sudah jadi tugasku untuk—"
Menjagamu? Memastikannya baik-baik saja? Tunggu, tak mungkin Naruto mengatakan hal itu.
"—memastikan semua penduduk desa merasa aman untuk pulang ke rumah bahkan di larut malam." Naruto hampir tersedak karena mengucapkan kalimat barusan dengan cepat.
Sontak Sakura tertawa mendengarnya. Hal itu membuat Naruto ikut tertawa kikuk sembari menggaruk pipinya yang tidak gatal. Jawaban macam apa itu!?
"Kautahu, barusan aku seperti mendengar jawaban diplomasi," ucap Sakura di sela tawanya.
Yah, Naruto juga tidak tahu kenapa yang keluar dari mulutnya justru kata-kata seformal itu.
Setelah tawanya mereda, Sakura menghela napasnya pelan lalu menatap Naruto lagi. "Oyasumi, Naruto."
Naruto mengangguk. "Oyasumi, Sakura-chan."
Sakura tersenyum lagi sebelum berjalan memasuki apartemen tanpa menoleh lagi ke arahnya.
Saat perempuan itu telah menghilang dari pandangannya Naruto mengusap wajahnya pelan lalu mendesah berat. Ia tahu tak lama lagi, Sakura akan mencari dan mendapat jawaban dari pertanyaan besarnya tadi. Kalau hal itu benar terjadi, apa yang harus dilakukannya? Alasan macam apa yang ia berikan agar perempuan itu tidak berbalik marah dan membencinya?
Naruto terus menyalahkan dirinya sendiri karena tanpa sadar mengucapkan sesuatu yang hanya pernah ia ucapkan sekali dalam seumur hidupnya. Mau bagaimana lagi. Suasana yang mendukung tadi membuat kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya.
Seharusnya hal itu tetap menjadi rahasianya. Seharusnya kejadian itu tetap terpendam dalam rahasia yang hanya ia dan Sasuke ketahui selama bertahun-tahun.
Namun di sisi hati Naruto yang lain, lelaki itu hanya ingin Sakura tahu. Bahwa sesungguhnya, saat itu yang memuji dahinya bukanlah Sasuke.
Melainkan Naruto sendiri.
.
.
.
Story © Aika Namikaze
Naruto © M. K.
No commercial advantage is gained. Just for fun!
WARNING: Head-canon setting, misstypo(s),
DON'T LIKE DON'T READ! ;) enjoy!
.
.
PENGAKUAN TERAKHIR
[Chapter 1]
.
.
.
"Kau mempunyai dahi lebar yang mempesona. Membuatku ingin mengecupnya."
Sakura kecil bersorak kegirangan dalam hati. Pipinya seketika bersemu merah. Apalagi yang bisa lebih baik dari ini? Berada satu tim dengan Sasuke—meski harus ada Naruto—saja sudah cukup membuatnya tersenyum sepanjang hari ini. Belum lagi saat barusan, lelaki pujaannya itu bersandar pada batang pohon tak jauh darinya dengan tatapan cool-nya itu.
Sebenarnya, ia sendiri baru saja membayangkan Sasuke mengatakan hal itu. Siapa sangka kalau ternyata lelaki itu seperti bisa membaca pikirannya, berjalan mendekatinya lalu mengatakan hal yang ia harapkan sejak tadi itu?
Obsidian hitam itu menatapnya lekat, bibirnya yang tipis sedikit tertarik ke atas. Senyum khas Uchiha Sasuke yang sanggup membuat gadis-gadis meleleh hanya dengan melihatnya.
Tanpa sadar pipi Sakura semakin merona melihat senyum itu ditujukan hanya untuknya.
.
.
.
Sakura bangun dengan tersentak. Keringat menetes di pelipisnya. Ia beranjak bangkit duduk dengan tangan di dadanya yang berdebar tak karuan.
Mimpi itu memberinya sebuah jawaban atas pertanyaan besarnya. Bagaimana bisa Naruto mengucapkan kata-kata yang nyaris sama persis dengan Sasuke saat itu? Kenapa hal itu terasa aneh bila disebut hanya kebetulan?
Sakura melirik jam di atas nakas. Jam delapan. Sinar matahari terlihat dari balik kordennya yang masih tertutup. Kepalanya terasa sedikit pening karena baru terlelap selama tiga jam. Atau mungkin juga karena faktor kelelahan yang membuat kepalanya terasa sedikit berputar.
Tapi tidak ada waktu untuk mengasihani dirinya sendiri sekarang. Rasa penasaran itu lebih menggerogoti pikirannya sejak semalam. Satu-satunya cara untuk mencari tahu kebenarannya adalah bertanya dengan pihak yang bersangkutan. Karena Naruto tidak mau menjawabnya, maka hanya ada satu tempat yang perlu ia tuju sekarang.
Sakura meraih obat dari dalam laci lalu beranjak bangun untuk bersiap-siap.
.
-O-O-O-
.
Tok tok.
"Surat untukmu, hokage-sama."
Naruto mengangkat kepala dari laporan yang sedang dibacanya lalu tersenyum lebar melihat tamunya yang baru saja memasuki ruangan. "Sudah kubilang jangan memanggilku begitu, Yamato-taichou."
Lelaki dewasa itu tertawa sambil membawa selembar amplop di tangannya. "Aku hanya memanggil dengan nama jabatanmu sekarang, Naruto. Apa salahnya?"
Naruto tertawa kikuk sembari menggaruk pipinya. "Canggung rasanya kalau orang-orang terdekatku yang memanggilku begitu," kilah Naruto. "Ngomong-ngomong, surat dari siapa?"
"Ah," Yamato mengulurkan selembar amplop berwarna hijau ke arah Naruto. "Surat dari desa Nadeshiko. Ingat?"
Seketika Naruto tersenyum sumringah. "Shizuka. Mana mungkin aku lupa," jawabnya sambil membuka surat itu lalu membacanya. "Dia akan berkunjung ke Konoha, mungkin akan tiba satu atau dua hari lagi."
"Benarkah?" Yamato tersenyum lebar. "Apa ada hubungannya dengan urusan diplomasi?"
Naruto menggeleng lalu tersenyum sambil melipat kembali suratnya. "Hanya berkunjung untuk liburan. Saat mereka tiba nanti, kuharap kau bisa mendampingi mereka selama disini, Yamato-taichou."
Yamato membungkuk hormat, membuat keduanya tertawa bersama-sama.
"Kalau begitu, aku duluan." Pamit Yamato sambil melambaikan tangannya yang dibalas anggukan ringan dari Naruto.
Setelah Yamato menghilang di balik pintu, Naruto menghela napas panjang. Ia membuka lagi surat itu dan membacanya ulang. Tanpa sadar bibirnya tersenyum, rasanya sudah lama sekali ia tidak bertemu dengan kunoichi berambut panjang dari desa tetangga itu.
Kepalanya menoleh ke arah jendela. Langit biru terlihat cerah dengan awan-awan tipis seperti kapas. Naruto ingat langit itu sama persis dengan yang dilihatnya saat menceritakan seseorang yang penting baginya pada Shizuka kala itu. Apakah perempuan itu masih mengingat ceritanya? Kalau Shizuka menanyakan hal yang sama sebelum melepas kepergiannya saat itu, haruskah ia berkata jujur bahwa belum ada perkembangan apapun sampai saat ini?
Padahal orang yang dimaksud itu selalu ada di sampingnya. Namun hubungan yang terlalu dekat itulah yang membuatnya merasa semakin sulit untuk mengungkapkan kebenaran yang tersimpan selama bertahun-tahun.
.
-O-O-O-
.
Sakura berdiri di depan puntu geser yang masih tertutup rapat. Ia mengambil napas dalam lalu menghembuskannya panjang. Mimpi itu mengingatkannya akan memori manis bertahun-tahun yang lalu. Manis berujung pahit sebenarnya, karena setelah Sasuke memujinya, lelaki itu pergi lalu kembali dan mengatakan bahwa dirinya orang yang menyebalkan. Perubahan sikap yang drastis memang, tapi saat itu Sakura lebih memikirkan kata-kata Sasuke yang membuatnya murung selama beberapa saat.
Tapi bukan itu yang menjadi pokok masalahnya saat ini.
Ting tong.
Sakura meneguk ludahnya. Seharusnya, lelaki itu ada di rumah saat ini. Karena seingatnya mereka sudah kembali dari misi pagi buta tadi.
Tak sampai semenit pintu geser itu terbuka.
"Sakura?" seru pemilik rumah itu kaget.
Sakura meringis. "Maaf mengganggumu pagi-pagi, Sasuke-kun."
.
.
.
Sasuke membawa nampan dengan dua cangkir teh di atasnya ke beranda samping, dimana Sakura duduk di teras sambil menikmati taman kecil peninggalan mendiang ibunya. Sakura menggumamkan kata terima kasih saat Sasuke menyodorkan cangkir teh sembari duduk di sebelahnya.
"Jadi?"
Untuk sesaat Sakura ingin tertawa geli mendengar Sasuke yang tidak biasanya merasa penasaran akan sesuatu hal yang tidak terlalu penting baginya. Maklum saja, sepertinya lelaki itu bingung saat ia tiba-tiba menanyakan hal bertahun-tahun yang lalu di pintu depan tadi. Sampai pada akhirnya Sasuke menyuruhnya untuk masuk dan menceritakannya lebih jelas.
"Tidak biasanya kau penasaran akan sesuatu, Sasuke-kun," Sakura terkekeh pelan sambil menyesap tehnya.
Sasuke berdeham canggung lalu ikut meminum tehnya. "Kau menanyakan hal yang tidak kumengerti," kilahnya. "Apa maksudnya kata-kata pujianku padamu dulu?"
"Ah," Sakura tersenyum lalu menaruh cangkir tehnya. Gerak matanya mengikuti ikan koi yang berenang di kolam batu tak jauh darinya. Ia menghembuskan napasnya pelan sebelum melanjutkan, "Saat kita genin dulu, sepuluh tahun yang lalu. Kau pernah memuji dahiku dan… kita hampir berciuman di bangku dekat gerbang desa. Kau ingat itu?"
Sasuke mengangkat alisnya tak mengerti. Kali ini Sakura balik menatapnya dengan kening yang sedikit berkerut.
Benarkah firasatnya ini?
"Setelah pembentukan tim oleh Iruka-sensei, saat jam makan siang sebelum bertemu Kakashi-sensei. Kau menghampiriku dan memuji dahiku," Sakura meneguk ludahnya gugup. "Itu kau… iya 'kan?"
Untuk beberapa saat Sasuke terdiam. Sampai akhirnya lelaki itu tertawa pelan sambil menggelengkan kepalanya. Sakura masih menatap Sasuke tak mengerti.
"Begitu rupanya," Sasuke masih betah tertawa pelan.
"Eh?"
"Ya, itu aku."
Deg. Sakura hampir membuka mulutnya lagi.
"Tapi, 'Sasuke' saat itu bukan aku."
Firasatnya mungkin memang benar.
"Sosok itu adalah Naruto, yang henge menjadi aku."
.
-O-O-O-
.
"Sedang senggang, hokage-sama?"
Naruto mendengus tertawa. Tanpa perlu memutar kursinya pun, ia langsung tahu siapa yang baru saja masuk tanpa mengetuk pintu dulu.
"Kupikir kita telah sepakat soal nama panggilanku, Shikamaru?" Naruto memutar kursinya yang awalnya menghadap ke arah jendela kembali ke posisi semula.
Sosok laki-laki dikuncir tinggi itu menyeringai tipis. "Ada kalanya aku ingin memanggilmu begitu, Naruto."
Naruto membalasnya dengan tawa pelan lalu memutar kursinya ke arah jendela lagi. Kemudian tidak ada suara lagi. Keheningan itu membuat Shikamaru heran. Tidak biasanya temannya yang nyaris selalu berisik ini mendadak jadi diam.
"Sakura lagi?"
Naruto sedikit memutar kursinya untuk melirik Shikamaru dengan satu tangan yang bertopang dagu di tangan kursi.
"Benar 'kan?"
Naruto mendengus lalu tertawa pelan. "Mereka memanggilmu jenius bukan tanpa alasan."
Shikamaru tersenyum tipis sambil merebahkan diri ke atas sofa di salah satu sudut ruangan. Tugasnya hari ini telah selesai, bersantai sejenak dan mendengar keluh kesah sang hokage sebagai seorang sahabat bukan pilihan yang buruk.
"Apa ini tentang janji yang kau buat pada Sakura?"
Naruto mengangkat sebelah alisnya. Tak menyangka Shikamaru mampu membaca pikirannya.
Lelaki berambut hitam itu mengangkat kedua bahunya bersamaan. "Aku di belakangmu saat itu, kalau kau ingat," Kilah Shikamaru melihat sorot mata tajam sesaat dari rekannya. "Janji untuk membawa pulang Sasuke. Sudah ditepati 'kan?"
Janji seumur hidup lebih tepatnya. Naruto tidak mungkin lupa bagaimana setiap tetes air mata yang jatuh di pipi Sakura kala itu. Bagaimana perempuan itu memeluk dirinya sendiri menahan getaran tangisnya. Pemandangan itu… sangat menyakitkan baginya melebihi apapun.
"Aku memang sudah menepatinya." Naruto beranjak dari kursi lalu berjalan menuju salah satu jendela. Kedua tangannya memegang erat pinggiran jendela dengan kepala tertunduk. "Entah kenapa hal itu malah membuatku… merasa sedikit sedih."
Shikamaru mengangkat alisnya tak mengerti. Kali ini Naruto menoleh ke arahnya dengan senyuman sendu.
"Rasanya setelah ini tidak ada lagi hal yang mengikat antara aku dan Sakura-chan. Selain persahabatan."
"Nyatakan saja, apa sulitnya?"
Naruto mendengus geli, ia melirik Shikamaru dengan seringai jahil di bibirnya. "Jangan samakan hubunganku dan Sakura dengan hubunganmu dan Ino. Tanpa perlu menyatakan satu sama lain, kalian sudah bersikap layaknya orang pacaran dengan alasan teman sejak kecil."
Shikamaru berdeham tak nyaman dengan pipi merona tipis. "Kita sedang membahas masalahmu, Naruto. Jangan mengalihkan pembicaraan."
Naruto tertawa. "Sungguh, rasanya akan lebih mudah bagiku kalau situasinya seperti itu."
Shikamaru masih diam.
Naruto menghela napasnya panjang kali ini. "Akan kuberitahu satu hal padamu, Shikamaru. Rahasia yang hanya diketahui olehku dan Sasuke. Hal bodoh yang kulakukan hanya untuk membuat Sakura melihatku walau hanya sesaat."
.
.
.
"If you ask me why I didn't tell you those things
Can't answer nothing 'cause my heart aches
I just want you to remember like it is, knowing nothing"
–Do You Know (Wendy)
.
.
.
~to be continued~
Halo~! Maaf lama gak muncul, tugas kuliah terlalu mengerikan sih untuk diacuhkan haha padahal fic ini uda lamaaa banget mendekam di sudut file tapi baru sekarang ini bisa selesai :")
Ngomong-ngomong ambil settingnya headcanon, beberapa waktu setelah chapter 699. Setelah Naruto tamat masih ada beberapa hal yang ganjel buatku, terutama bagian Naruto yang henge jadi Sasuke buat muji keningnya dulu. Ingat kan? Dulu aku selalu bayangin, dimana pada akhirnya Sakura memahami perasaan Naruto, saat itu pula Naruto akan memberitahu bahwa yang memuji keningnya saat itu adalah dia dan bukan Sasuke... OMG AKU JADI GALAU LAGI KAN HUWEEEEE TT_TT yah setelah chapter terakhir keluar ehhhh kok jadinya begitu ifyouknowwhatimean x"D karena itu jadilah fic ini! I make my own version gimana kalau jadinya Sakura tahu kebenaran yang disimpan Naruto selama bertahun-tahun.
Bakal ada baaanyak hints NaruSaku yang kupakai dalam fic ini, semoga masih tetap tidak bosan :) draft cerita udah jadi semua, perkiraan sih bakal jadi 3-4 chapter mungkin. Jangan bosen nunggunya juga ya targetnya (seperti tahun lalu) chapter terakhir akan di publish pas hari ulang tahunku, kalau molor maksimal pas ultah Naruto deh (beda 2 minggu doang) wkwkwkw
Akhir kata, terima kasih buat yang sudah baca! Aku tahu akhir-akhir ini archive NS menurun drastis, semoga fic ini bisa menghibur kalian yang masih suka kangen sama pairing tercinta ini ;) tinggalkan pendapatmu di kolom review ya! Sampai ketemu di chapter berikutnyaaaa!
xxx
Aika N.