Disclaimer: Masashi Kishimoto

Genre: Family, Romance, Hurt

Characters: Naruto Uzumaki, Hinata Hyuuga, and other chara(s)

Rated: T+

Warning: AU. OOC, Typo(s)

A/N: DLDR!

NOTE:

"Hahaha." : Diucapkan

'Hahaha' : Di dalam hati

Italic: Menceritakan masa lalu

.

.

ENJOY IT!

.

.

Twoshoot


Chapter 1

Pada momen ini, harusnya aku bahagia. Namun apa yang aku dapat ini tidak lebih dari mimpi buruk yang secuil pun tidak pernah terlintas di benakku,

Sebisa mungkin aku merapikan bed cover-yang entah kenapa bisa berada di lantai- tanpa mengingat kejadian semalam. Mungkin ini bisa dikatakan gila, memang. Walaupun aku tidak mencintainya, tubuhku tidak mampu menolak akan sentuhannya. Benar jika jiwaku menolak, tapi ragaku menikmatinya.

Aku bingung harus bagaimana, wajah apa yang harus aku pasang jika bertemu dengannya nanti? Dia bahkan tahu aku tidak mencintainya. Dia juga tahu bahwa aku masih mencintai kekasih yang secara paksa berakhir hanya karena ulahnya.

Namun pagi ini aku selamat, orang itu sudah berangkat kerja sekitar 2 jam yang lalu berarti sekarang sudah menunjukkan pukul 9.

Bolehkah aku mengumpat? Sekarang semua tubuhku terasa sakit.

Mungkin mandi adalah hal yang harus kulakukan saat ini. Tidak boleh ada jejak yang tertinggal. Semua harus hilang dan kembali suci walau kutahu itu mustahil. Setelah selesai, aku masuk ke dapur. Mencoba memasak dengan bahan, barang dan suasana baru yang sangat berbeda dari rumahku dulu. Bagaimana tidak? Di rumah ini semuanya lengkap, bahkan banyak peralatan yang tidak kuketahui fungsinya. Aku tersenyum kecut mengingat berada di sini bukan atas dasar kemauanku.

Hari ini, aku tidak melakukan hal lain selain tidur, memasak, makan, minum, dan menonton televisi. Hingga tak sadar pria itu kembali datang. Ia duduk di sebelahku dengan keadaan yang sudah bersih dan wangi.

"Kau kenapa?" tanyanya.

Lirikanku terlihat mencekik sepertinya hingga dia tak mau menatapku lagi.

"Aku akan kembali ke kamar."

Tanpa menyia-nyiakan waktu, seketika aku langsung menangkap tangannya yang akan beranjak pergi. "Apa maksudmu dengan semua ini?"

Wajahnya menunjukkan raut kebingungan, "Apanya?"

"Kau tidak punya hak untuk membuatku menjadi istrimu secara paksa. Bahkan kau dengan sengaja mengakhiri hubunganku dengannya. Apa kau ini psikopat, ehi?!"

Kekehan kecil keluar dari mulutnya, "Kau bahkan mengerti sebutan itu. Terima kasih sudah menamaiku dengan baik."

Heh, dia mengejekku.

"Katakan, apa maumu?! Kau tahu aku bukan barang yang bisa kau beli dengan uang!"

"Nyatanya, sekarang kau ada di sini."

Emosiku terpancing, "Aku tidak akan ada di sini kalau kau tidak mengancam kedua orang tuaku. Sepersen pun aku tidak akan sudi menerima uangmu jika bukan karena itu!"

"Ck, jangan membuatku tertawa. Orang tuamu dengan sukarela merelakan gadisnya."

"Mereka terpaksa karena kau mengancam mereka dengan uangmu. Kau tahu? Uangmu itu membuatku sulit."

"Tidak untukku, nona. Mereka adalah sahabatku. Jadi jangan rendahkan mereka. Bagaimana pun, derajat mereka lebih tinggi darimu. Aku pergi."

Tatapanku kosong. Aku memandanginya jengkel. Ucapan sarkastiknya sukses nembuatku tidak berkutik. Memang benar, uang adalah segalanya di dunia. Semuanya dapat kau dapat hanya dengan uang. Aku mengakuinya karena aku adalah korban nyatanya di sini.

Tuhan, aku ingin mati saja dari pada harus hidup dengan pria sebrengsek dia.

...

Terik matahari secara paksa membuatku harus membuka mata. Kudapati tv baru yang besarnya tidak ketulungan sedang mengamatiku dari ujung sana. Rupanya, aku ketiduran di tempat ini.

"Kepalaku pusing," keluhku sambil memegang pelipisku yang terasa cenat-cenut. Kakiku melangkah mendekati dispenser untuk mengambil air minum. Kuteguk air itu sambil membayangkan menelan pria-yang notabene adalah suamiku- hidup-hidup seperi air ini.

Ahhh... Aku lelah dengan permainannya. Tapi jika aku kabur, dia akan membahayakan orang tuaku. Menjengkelkan!

Aku berjalan dengan menghentakkan kaki menuju kamar. Hentakkan kakiku walaupun jarak dari sini sampai kamarku lumayan jauh tidak berhenti sedikit pun. Rumah ini bahkan bisa kusebut dengan istana. Akan sangat menyebalkan jika sedang kebelet harus berlarian mencari kamar mandi dengan menyusuri rumah yang seperti tak punya ujung ini.

Kriet!

Aku memasuki kamar dengan tak sabaran seperti biasa. Untuk saat ini, aku tidak mengira orang itu masih pingsan di tempat tidur, Ya, aku mengatainya pingsan karena seharusnya dia sudah bangun dari tadi. Sekarang dia melewatkan jam kerjanya!

Walaupun masih tidak menerimanya, aku harus membangunkan orang ini karena merasa bertanggung jawab. Mungkin sebagai teman? Ah, bodo amat. Yang penting dugong satu ini harus pergi secepatnya agar aku tidak harus bersamanya seharian.

"Hey, bangun! Kau terlambat kerja."

Dia tidak merespon. Dia pasti sengaja, pikirku.

"Hey-" Saat tanganku menyentuh tangannya, rasa panas menerpa kulitku.

Aku heran, ternyata orang macam dia bisa sakit juga. Ternyata dia benar-benar manusia.

Tanpa pikir panjang aku mengambil handuk kecil dan sebaskom air dingin. Entah kenapa aku merasa kasihan dengan dirinya. Melihat wajahnya yang memerah dengan mulut terbuka dan menggeluarkan uap seperti itu, hati nuraniku seperti tergerak untuk membantunya.

Kali ini aku harus melepas egoku. Bayangkan saja jika orang ini pasien biasa seperti di rumah sakit. Begini-begini aku adalah seorang dokter. Aku tidak bekerja karena pihak rumah sakit memberiku cuti pengantin baru. Huh, kalau begini sih aku lebih baik masuk. Tidak diberi libur pun sepertinya aku rela.

Dengan perlahan aku menyibak poninya dan meletakkan kompres itu di atas dahinya. Kalau dilihat-lihat, pria di depanku ini bisa dibilang sangat sempurna. Wajahnya tampan, seorang pengusaha terkenal yang wajahnya sering muncul di majalah bahkan berita internasional. Anehnya, aku tidak menyukainya sedikit pun. Aku tidak tertarik dengan dirinya karena apa? Aku tidak minat dengan orang kaya terlebih dirinya yang mengatasnamakan uang atas segalanya.

Uap dari mulutnya semakin menebal saja. Aku melihat jendela, pantas saja dia sakit. Hari ini sudah memasuki musim dingin. Salju turun dengan perlahan. Tubuhku tahan dengan dingin tapi orang ini tidak. Setiap tahun saat pertama kali salju turun, dia harus terkena demam terlebih dahulu. Aku sudah mengetahuinya sejak semasa SMA dulu.

...

Hari ini adalah hari pertama salju turun. Di antara 4 musim, aku sangat memfavoritkan musim dingin. Ada banyak hal yang aku sukai pada msum natal ini. Jaket tebal favotitku, gumpalan hujan es, libur musim dingin, jalanan yang dipenuhi warna putih. Aku menyukainya. Namun ada juga yang tidak kusukai saat musim ini, yaitu menunggu bus.

Karena musim dingin, bus sering terlambat datang, untuk itu aku membencinya. Saat itu terjadi, aku hanya bisa menunggu sambil menendang-nendang salju yang menumpuk di bawah kakiku.

Kulihat sepatu lain di dekat kakiku, lantas mataku mencari tahu siapa yang berada di sampingku. Ternyata dia adalah salah satu cowok populer. Toh, aku tidak peduli. Aku bahkan tidak tahu namanya, yang ku tahu dia adalah cowok populer nomor wahid di sekolah.

Tiba-tiba kurasakan beban berat di bahuku. Kepalaku menengok sedikit. Aku hampir berteriak jika tanganku tidak segera menutup mulutku. Kenapa kepala cowok itu berada di bahuku?!

Tenang, jangan panik. Aku menggeser dudukku menjauhinya.

Seet

?!

DEG

Greb

Jantungku serasa mau copot. Untung tanganku dengan cepat menangkap kepalanya, kalau tidak pasti dia sudah terjatuh. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Melihat wajahnya yang merah kemungkinan dia...

"Panas," gumamku.

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri mencari pertolongan. Namun,tidak ada satu orang pun di sini. Apa yang bisa diharapkan setelah jam 5 sore lewat di halte bus begini? Apa yang harus kulakukan?

Tak selang berapa lama bus yang kutunggu datang, sambil memapah lelaki itu aku menaiki bus dan duduk di deretan paling belakang. Untung saja dia masih bisa berjalan sedikit walaupun matanya tidak dapat dibuka. Aku mendudukkannya di sebelahku. Mengatur nafas karena menanggung tubuhnya yang berat itu.

Kulihat dia sudah berhasil membuka mata, "Kau baik-baik saja?" tanyaku spontan.

"Um," gumamnya.

"Apa kau bisa pulang sendiri?"

"Mungkin."

Aku sampai harus mendekatkan wajahku ke arahnya lantaran suaranya yang serak dan pelan.

"Kalau tidak bisa aku akan mengantarkanmu pulang. Dan aku akan mengizinkanmu besok. Kau butuh istirahat beberapa hari kedepan," ujarku padanya

"Kalau kau mau, silakan. Lagipula, ini sudah rutinitasku setiap tahun. Aku sudah biasa. Mungkin wali kelas juga sudah mengetahuinya."

Karena ucapannya yang pelan dan terdengar tidak jelas, aku mengabaikannya, "Ah, bisa kau beritahu nama dan kelasmu? Bukannya apa-apa, tapi akan sangat repot kalau aku mengizinkan orang tanpa tahu identitasnya."

Dia menatapku dengan matanya yang sayu, "Uzumaki Naruto, 1-1."

"Baiklah,kalau kau mau balas budi ingat namaku, Hyuuga Hinata, 1-2," ucapku dilanjutkan dengan tawa kecil menandakan ucapan yang bersifat guyunan.

Ketika sampai rumahnya dari situlah aku tahu kalau dialah anak konglomerat terkaya yang selalu menjadi momok bagiku. Dari sini pula takdir telah mengikat kami secara tidak langsung.

-Karena setelahnya, dia selalu mendekatiku dengan cara yang tidak biasa.-

...

Mengingat masa lalu malah membuat pusingku bertambah.

Setelah memberi obat, aku menyiapkan bubur kesukaannya. Aku mengetahui ini dari ibunya tepat 1 bulan sebelum pernikahan kami. Ibunya itu sangat memanjakan pria yang menurutku tidak lucu ini. Sampai-sampai aku harus diprivat untuk memasakkan bubur wajib saat dia sakit. Dasar orang kaya! Terlalu dimanja.

Kembali ke kamar itu tidak sendiri. Kali ini bersama nampan berisi segelas susu dan semangkuk bubur. Aku senang saat dia sakit, dia menjadi penurut. Sekarang saja dia dengan patuh duduk dengan bersender di sandaran ranjang.

Tanganku menyendok bubur itu dan mengarahkan ke mulutnya, "Kau harus makan," ujarku saat dia masih saja tak membuka mulut.

Seperkian detik dari ucapanku tadi, akhirnya dia membuka mulut.

"Tidak enak."

Rasanya aku ingin sekali membantingnya ke tembok dan mengarunginya kemudian membuangnya ke jurang terdalam. Sudah beruntung aku memasakkan ini untuknya. Tapi responnya sangat menjengkelkan.

Sabar, ini ujian. Orang waras biasanya mengalah.

"Masih enak masakan Kaa-san."

Aku mengabaikannya, berharap tidak mendengarnya. Yang penting anak mama satu ini perutnya terisi. Bodo amat kalau nanti dia keracunan. Lagi pula, bubur ini adalah masakan perdanaku setelah sekian lama belajar dari ibunya.

"Jangan mencari masalah setelah kau sakit. Aku sering membantumu sebelum ini. Balas budilah dengan tidak menggangguku," ujarku setelah menyuapkan sendokan terakhir.

Dengan senang hati aku keluar dari kandang macan. Hari ini, aku kepikiran untuk pergi liburan bersama teman-temanku. Sudah lama aku tidak pergi shoping. Bukan belanja seperti anak muda yang sering menghabiskan uang. Eit, jangan salah, tahun ini umurku baru 21 tahun. Salahkan pria di kamar itu yang membuatku harus meninggalkan masa mudaku yang berharga. Yah, walaupun dia juga masih muda yang hanya berjarak 1 tahun di atasku.

Pertama aku harus mandi terlebih dulu. Artinya aku harus kembali ke kamar itu. Tidak masalah. Hanya perlu mengabaikannya, mandi, pakai baju, dandan sedikit, selesai.

Hingga saat ini, rencanaku berjalan sempurna. Tidak sampai pria itu menggaet tanganku yang sedang mengambil jam tangan di dekat nakas kecil samping tempa tidur.

"Diam di sini, Hinata," ucapnya dengan suara yang benar-benar pelan dan serak. Seperti hanya segitulah suara yang dapat dikeluarkannya.

Aku tercenung cukup lama, "Aku sudah memperingatimu untuk tidak menggangguku. Jangan ikut campur urusanku."

"Kau tidak boleh membantah perkataan suamimu. Ingat itu!"

"Aku tidak menganggap kita adalah sepasang suami-isteri. Aku hanya menganggap aku adalah penumpang di rumahmu. Kau puas? Aku pergi!"

Tangannya semakin erat mencengkeramku, "Untuk hari ini turuti perintahku."

Mataku memandang tubuhnya yang berbalut selimut tebal yang hanya memunculkan kepalanya. itu pun hanya terlihat matanya saja. Setelah kuperhatikan, keadaannya cukup memprihatinkan. Aku yakin ibunya pasti akan datang dan merawatnya. Jadi untuk apa aku di sini?

"Tidak! Dan tidak akan!" Perkataan mutlakku semoga dapat mengakhiri keadaan ini.

Tapi nyatanya, sekarang aku sudah berada dalam kungkungan tangannya. Ikut berbaring di sebelahnya akibat tarikan tangannya yang ternyata tidak berkurang karena sakit. Hanya kelopak mataku yang bisa begerak saat ini.

"Lepaskan!" berontakku.

"Ini perintah. Orangtuaku sedang berada di Korea."

Ucapannya terdengar seperti keputusasaan. Aku menatap matanya yang balik menatapku. Di sana aku melihat setitik air yang menggenang dan hampir jatuh. Huh, aku tidak tahan dengan keadaannya yang sangat mengenaskan. baru kali ini aku menemukan dia yang menangis. Ya, baru kali ini.

"Dengar, Naruto-san, kalau kau berkata 'tolong', aku yakin tidak akan menolakmu. Tapi perkataanmu tadi seperti menganganggapku sebagai pembantumu. Itu membuat harga diriku terluka. Kau harusnya tahu."

Dalam keadaan seperti ini aku malah meluapkan unek-unekku. Panasnya suhu yang dia keluarkan membuat dadaku sesak dan mataku panas.

"Kau bahkan memaksakan kehendakumu yang memaksaku harus menerimanya. Kau mengambil semua hakku dan memakainya semena-mena. Aku tahu negara ini adalah negara bebas. Tapi kau harus tahu kebebasan itu tidak boleh merugikan orang lain. Tapi kau..."

Isakkan tangis mulai keluar. Sudah cukup lama aku memendamnya. Sudah cukup lama pula aku merasakan kepahitan takdir yang kualami semenjak aku terikat dengannya. Tangisanku cukup menyayat kurasa, karena baru sekarang aku mengeluarkan tangisanku semenjak pernikahan kami seminggu yang lalu yang selalu kutahan.

"Apa alasanmu melakukan hal ini? Bukankah banyak wanita cantik yang bahkan lebih baik dariku? Kenapa aku yang kau pilih? Kau tahu aku bukan orang kaya dan wajahku kalah jauh dari sang primadona sekolah. Dan yang sangat kau tahu adalah aku sudah mempunyai kekasih kala itu. Kenapa kau menghancurkannya? Aku tidak tahu kenapa kau tega melakukannya. Hikss.."

Air mata terus saja turun tanpa bisa kutahan. Tanganku yang terjepit dengan tubuhku dan tubuhnya tidak dapat menghapusnya. Aku tidak kuat jika seperti ini. Aku malu menangis di depannya.

Kumohon, berhentilah...

"Uzumaki Hinata," panggilan tegasnya membuatku harus menahan senggukan akibat tangisanku yang terasa berat. Kutatap dia dengan bukti kepedihanku yang semoga bisa menyadarkannya.

"Kumohon, hentikan tangisanmu. Kau terlihat lebih menyedihkan dariku."

Dia tidak pandai menghibur, aku sudah tahu itu.

"Boleh aku jawab pertanyaan 'kenapa'mu itu hanya dengan 1 jawaban?" tanyanya dengan raut muka kesakitan.

Kutunggu ucapannya yang selanjutnya sembari menetralkan jantung dan tangisanku. Namun perkataanya membuat jantungku bahkan memompa lebih dan selaput mataku kembali basah.

"Because i love you."

Aku memegangi dadaku yang terasa sesak. Lagi dan lagi air itu datang lagi. Pertahananku hancur seketika. Aku meringis perih. Aku kasihan padanya untuk yang kedua kalinya.

Karena...

"Kau yang paling tahu bahwa aku tidak mencintaimu, Naruto-san."

...

Sudah hampir 2 bulan aku bersama dengannya. Karena hal itu pula aku dapat lebih mengenalnya. Lambat laun aku pun bisa mengakuinya sebagai suamiku. Kadang, Naruto dapat menjadi suami yang dapat diandalkan saat aku kesusahan, namun jika diriku menolak kemauan pria itu dia bisa jadi orang yang sangat kejam. 2 bulan pula aku merasa seperti tawanan yang dimanjakan.

Pertanyaan timbul di pikiranku, belum lama ini perasaanku padanya tidak menentu. Dulu aku benar-benat tidak menyukai. Tapi sekarang, ketika aku tidak berada di dekatnya ada rasa rindu yang menggelayut. Perlakuan mesra dan intim yang sering dilakukannya padaku sungguh membuatku berdebar-debar, Ada apa ini, apa aku mulai mencintainya?

...

Aku tergesa-gesa menuju toilet. Perutku terasa mual yang teramat sangat. Di samping, suamiku dengan sigap mengurut tengkukku agar muntahku segera keluar.

"Aku tidak tahu kalau kau punya penyakit mual. Ini sudah ketiga kalinya dalam seminggu," ujar Naruto sambil tetap mengurutku.

"Sepertinya aku kebanyakan makan daging sewaktu kita menghadiri reunian," ujarku. Aku berjalan kembali ke kamar setelah mencuci mulutku dengan bersih.

"Kau yakin? Aku akan memanggilkan dokter untukmu."

"Kau lupa? Isterimu ini juga seorang dokter. Aku akan mengobatinya sendiri."

Segera kakiku berjalan dan membuka kotak P3K. Mengambil obat penghilang mual yang semoga saja dapat membantuku.

Hari-hari berikutnya, tidak ada perubahan. Mualku semakin menjadi dan badanku semakin melemah. Naruto yang curiga segera membawaku ke rumah sakit.

Dalam keadaan mual dan pusing aku sampai tidak sempat berpikir.

Dokter mendiagnosis bahwa,

Aku...

Hamil?

Dan aku sebagai dokter dengan bodohnya melupakan ciri-ciri itu?

Pertama kalinya semenjak aku hidup, aku memeluk pria selain ayahku. Pria beruntung itu adalah suami terpaksaku. Bukan teman masa kecilku bukan pula kekasihku yang dulu. Baru saat ini aku bahagia bersamanya. Air mata kebahagianku perlahan datang. Aku bahagia, untuk pertama kalinya setelah bersama dengannya.

Suamiku,

Uzumaki Naruto.

.

.

.

TBC

Ini twoshoot yaa, yang mau segera update monggo tulis di kolom review. Comment, fav, follow ditunggu ^^