Disclaimer: Masashi Kishimoto

Genre: Family, Romance, Hurt

Characters: Naruto Uzumaki, Hinata Hyuuga, and other chara(s)

Rated: T

Warning: AU. OOC, Typo(s)

A/N: DLDR!, Twooshoot

NOTE:

"Hahaha.": Diucapkan

'Hahaha': Di dalam hati

Italic: Menceritakan masa lalu

ENJOY IT!

Chapter 2

NARUTO POV

Tak sengaja kulihat isteriku bersama musuh paling menjengkelkan. Yang membuatku heran. kenapa Hinata masih menemui si sial Sasuke. Dan kenapa juga Sasuke masih mau bertemu dengan Hinata yang sudah menjadi isteri orang yang suaminya tak lain adalah orang yang merebutnya secara paksa.

Sangat mengenaskan sepulang kerja melihat pemandangan memuakkan di restauran dekat rumah. Inginnya hanya memesan makanan di sini karena tahu Hinata dilarang memasak oleh kaa-san akibat dirinya yang tengah hamil tua, namun apa ini? Isteriku berduaan dengan–uhum mantan kekasihnya? Kecemburuanku ternyata sudah mencapai puncak Himalaya.

Baru sampai 3 meja dekat mereka, aku melihat Sasuke mendekati wajah Hinata dengan pandangan yang intens. Jarak mereka walau aku mengucek mata sampai berdarah pun tidak terlihat akan merenggang.

Kakiku tak dapat bergerak. Seakan sepatuku terpaku dengan kuat di lantai ubin. Aku tidak salah lihat?

Hyuuga, beraninya kau...

Normal POV

"Jadi ini yang kau lakukan saat suamimu banting tulang. Berduaan dengan cecenguk satu ini tanpa sepengetahuanku, iya?!" Suara gertakan sukses menyadarkan mereka dari obrolan yang bisa membuat jiwa seseorang di situ runtuh. Hinata saking terkejutnya memelototinya seperti melihat hantu berparas rupawan.

"Kami hanya istirahat bersama, Naruto. Kau tahu kami bekerja dalam satu rumah sakit," jelas Sasuke tanpa mengubah ekspresinya.

"Aku tidak butuh penjelasanmu–teme! Dan apa-apaan dengan kepalamu yang mendekati isteriku, heh?"

"Iste–tunggu dulu, dari mana kau dapatkan isterimu itu? Mencurinya?Bodoh."

"Well, tidak peduli aku mendapatkannya dari mana. Kenyataannya kalian tetap bermain di belakangku. Sekarang aku jadi ragu anak ini adalah anak dariku," ucap Naruto menunjuk perut Hinata yang sudah membesar.

Wajahnya dingin, rasanya tidak ada yang bisa diharapkan. Hinata bahkan terlalu kalut dengan suasana ini.

"Sayang kepintaranmu tak berlaku pada emosimu. Luangkan telingamu itu untuk mendengar penjelasan, baka!" Sasuke ikut berdiri karena tidak terima dengan tuduhan tersebut.

"Eoh, buat apa? Toh, sekarang sudah jelas." Naruto mengamati isteri–mungkin akan menjadi mantan– yang berada di sebelahnya.

"Hey, bitch!" Kepala Hinata dipaksa menatap raut wajah kemarahan itu

"Ternyata usahaku hanya kau balas dengan ini. Bodohnya aku terus bersabar untukmu yang akhirnya hanya kau anggap sebagai bentuk hadiah belaka. Ternyata kau–ikut aku!" Tarikan kuat di tangan Hinata memancing perhatian semua orang di sana. Rengekan dan ringisan yang di keluarkan wanita itu bahkan tidak diindahkan oleh pria di depannya.

"Aku belum selesai kerja! Lepaskan aku!" Teriaknya berusaha melepaskan diri.

Sasuke berusaha mengambil tangan Hinata sebelah kiri namun dengan sengaja tangan itu ditarik sang empunya. Dengan membaca mimik muka wanita itu yang dulu pernah mengisi hatinya, ia tahu ekspresi itu menandakan 'Tolong jangan persulit keadaan ini.'

"Hinata, semoga kau bisa menyadarkan otak udang pria itu," gumam Sasuke penuh harap.

Hinata POV

BRAAK

Bantingan itu cukup keras.

"KAU!" Bentak Naruto di depan wajahku. Saat ini kamar yang biasanya dingin akibat AC malah terasa sangat panas. Pria di depanku ini sudah sangat terbakar cemburu.

"Kau harus dengar penje-"

"Tidak usah beri aku penjelasan. Mataku tidak pernah berkhianat seperti dirimu."

Naruto mengambil tali yang berada di dalam lemari. Dari sini, bibirku bergetar. Apa yang akan dia lakukan? Dalam keadaan ini, aku merasa ketakutan dan tidak bisa berfikir.

"Saatnya mencari tahu kebenarannya, sayang," ujarnya dengan senyum culas yang mengerikan. Wajahnya terlihat bengis diliputi aura gelap di sekitarnya. Keadaanku terjepit sekarang. Aku terkurung di antara pojokan dinding kamar. Dia terlihat berbeda. Kesadarannya sudah hilang.

Naruto mengikat tangan dan kakiku. Tentu aku tidak diam saja. Aku khawatir akan bayi yang tengah kukandung. Aku menjejak perutnya yang langsung dihadiahi tamparan tepat dipipiku. Sungguh, hanya ketakutan yang sekarang kurasakan.

"Diamlah, nanti anak itu tidak dapat hiburan jika kau seperti ini."

Sepertinya, Naruto benar-benar kehilangan kewarasaannya. Apa begini tingkahnya saat cemburu? Apa begini kelakuaannya saat dia marah? Apa ini bentuk lain dari sakit jiwa?

Sungguh, yang ada diingatanku hanya dia yang bersikap dingin dan selalu mengacuhkanku ketika dia marah. Tidak pernah terpikir olehku dia akan berubah menjadi monster tak berperasaan seperti makhluk di depanku ini.

"Jangan Naruto-kun! Aku sedang mengandung!" teriakku ketika dia mempersiapkan lakban. Bulu kudukku berdiri melihat tatapan tajamnya yang dapat membelahmu seperti daging cincang.

"Ibumu ini sangat berisik ya, eh tapi kau ini anak siapa? Em, lupakan. Aku akan memberikan pertunjukan sebagai salam perpisahan kita." Tawanya itu persis film psikopat yang pernah kutonton. Dengan sangat cepat dia membungkamku dengan lakban yang tadi dipegangnya.

Aku menggeliat ingin melepaskan diri. Tangisanku sungguh tak bisa kutahan. Bahkan lebih parah dari yang selama ini aku lakukan. Air bening dari mataku tak mau berhenti. Aku ketakutan.

"Are? Kenapa kau menangis sayang? Bahkan ini belum dimulai."

Aku berteriak sekencang-kencangnya walaupun aku tahu itu mustahil. Rumah ini besar, halamannya luas dan jauh dari pemukiman warga. Sia-sia aku berteriak karena tidak akan ada yang tahu.

BUGH

"AKKHHH!" Aku berteriak kesakitan ssat perutku dengan kerasnya menabrak lantai.

Dia sudah gila!

Tidak sampai situ saja, dengan bringasnya dia membuka bajuku dan menyayat perutku dengan tidak berperasaan. Aku berteriak lagi untuk kesekian kalinya. Walaupun tidak dapat didengar olehnya.

Keringat membanjiri seluruh tubuhku. Darah juga mengalir di sepanjang perutku. Dinginnya angin dan bekas luka rasanya aku tidak dapat menjelaskan perasaanku sekarang.

Naruto-kun...

Bugh

Dia menendang punggungku sampai aku tengkurap. Dan wajahku membentur ujung dinding yang menyebabkan luka dekat bibir

Ternyata benar...

AAKKHH!

Darah semakin menambah kuantitasnya di daerah perutku dan menjalar ke lantai putih kamar kami.

Kau adalah manusia terkejam yang selama ini kutemui

Ugh!

Cairan merah keluar dari mulutku. Keadaanku sekarang babak belur olehnya. Setelah mendapat kesadaranku yang sempat hilang, Aku menyadari sesuatu...

Tapi...

Dia menatapku dengan senyuman miring yang seakan-akan menandakan kematian akan...

"BAYIKU!"

TIDAAAK

Aku berusaha melindunginya dengan sekuat tenaga. Biarlah tanganku terluka, aku pun juga tidak peduli tanganku akan remuk, asalkan bayiku tetap selamat, itu tidak menjadi masalah.

Kakinya terus menendangi bagian atas tanganku yang sedang melindungi perutku. Darah sudah menggenangi lantai dan merembes ke baju yang kupakai. Tidak luput alas sepatu Naruto yang berwarna merah bertambah merah.

'Tolong hentikan ini! hiks...'

'Kalau begini, bayiku akan...'

'MATI!'

Aku mencintaimu, Naruto.

Sadarlah!

Naruto POV

DEG

Aku seperti terbangun dari tidur yang panjang. Ketika itu pandanganku pudar, namun setelah aku dapat melihat dengan jelas, aku memilih mati saja.

Melihat isteriku babak belur dengan kesadaran kurang dari 20% membuat hatiku hancur berkeping-keping. Terlebih bayi itu, astaga!

Aku segera melepas lakban dan ikatan yang menjelit isteriku, Sialan, apa yang sudah kau lakukan bodoh! Kau melukai isterimu juga bayinya.

Aku tidak berkata apa pun. Dadaku sesak, oksigen tidak bisa memenuhi paru-paruku. Nafasku terdengar pendek. Tuhan, hukumlah aku. Namun, selamatkan orang yang kusayangi. Kumohon!

Lekas aku membopong isteriku yang dipenuhi oleh darah karena ulahku. Aku sangat merasa bersalah. Dengan cepat aku membawanya ke dalam mobil dan melaju tidak peduli dengan kendaraan yang lain.

Tolong, tetaplah sadar, Hinata.

Dalam balutan baju hijaunya, dia tetap terlihat cantik. Sangat cantik. Wajahnya yang pucat, bibirnya yang membiru, dan banyak bekas luka di wajahnya tidak mengurangi kecantikan alaminya. Aku terdiam dalam tangisan.

Maafkan aku, hanya itu yang selalu kulantunkan di dekat telinganya. Otakku serasa beku menerima kenyataan ini.

"Kau sudah melihat anakmu?" tanya seorang pria di belakangku. Aku menoleh dengan lemas,

"Akan kulihat nanti. Setelah isteriku sadar."

"Sampai saat ini kau masih saja bodoh. Hinata akan sedih jika kau tidak mau melihat anak kalian! Ini sudah 3 hari, kau tahu itu."

"Urusai."

"Ck, dokter akan memeriksa Hinata. Lebih baik kau melihat bayimu. Dasar keras kepala! Jika Hinata sadar, aku akan memberitahunya kalau kau tidak ingin bayinya. Dan dengan senang hati dia akan menyodorkan surat cerai padamu!"

Aku tertegun dengan ucapan Sasuke. Yah, tidak ada salahnya aku melihat anak itu. memastikan juga siapakah ay–

"Kalau kau masih mengira anak itu adalah bayiku artinya kebodohanmu bertambah 10x lipat," ujar Sasuke gamblang. Aku memberinya tatapan kematian.

Aku bertukar dengan dokter untuk berada di ruang Hinata.

Sampai di ruang bayi, hatiku membuncah. Terlebih ketika melihat bayi kecil yang sedang tertidur lelap. Mungil sekali.

"Akibat ulahmu, bayi ini lahir prematur. Harusnya dia lahir 3 minggu lagi. Aku tidak habis pikir denganmu." Sasuke mulai menceramahiku.

"Aku tahu aku salah," ucapku mengakuinya. Setelah mendengar penjelasan dari Sasuke. Aku merasakan penyesalan yang luar biasa. Untung bayi laki-lakiku kuat jadi dia dapat bertahan, tapi ibunya–

"Hey."

Aku menengok ke arah Sasuke, "Kau bodoh."

Ingin marah tapi benar adanya, aku hanya bisa diam.

"Ternyata bayi ini adalah bayiku,"

"Kubilang juga apa, aish kau ini."

"Setelah dilihat-lihat, ternyata bayi ini tampan jadi sudah pasti ada darahku di sana. Kalau darimu mungkin tidak."

"Apa kau bilang!" Sasuke menggertakkan giginya

"Hahaha. " Aku tertawa

"Dasar bodoh," sudut bibir Sasuke naik seperkian senti.

Lalu, kami berdua tertawa seperti orang gila.

Tepat setelah hari ke-5, mata yang selalu kutunggu akhirnya menampakkan korneanya. Aku bersyukur bukan main. Bahkan senyumanku mengambang lebar.

"Hinata, kau sudah sadar?"

Kulihat dia mengerjap-ngerjapkan matanya. "Bayiku?" Tangan yang sekarang hanya tulang berbalut kulit meraba bagian perut. Air mata terlihat sudah mulai runtuh.

"Tenanglah, sayang. Dia aman di ruang bayi."

Sudah cukup sering aku melihatnya menangis, tapi yang satu ini dapat menular terhadapku,

"Syukurlah..."

Hening

Bagaimana ini? Seharusnya aku berujar maaf padanya sekarang. Dan lagi, Sasuke akan menggeplakku kalau tahu aku tidak memohon ampun pada mantan kekasihnya. Tapi, aku bingung. Jarang sekali aku meminta maaf pada orang lain, yang ada orang-orang yang meminta maaf padaku walaupun sebetulnya yang salah bukanlah mereka.

Oh, damn. Apa ini efek karena mulutku yang sering mengumpat?

Aku berupaya untuk mengeluarkan suara. Kuingat selalu perkataan tou-san yang sering ia gembor-gemborkan saat aku akan berangkat sekolah dulu

"Pria tidak pantang mundur!"

Pada akhirnya aku akan melepas keegoisanku. Lagi pula aku sudah belajar cara meminta maaf yang baik dan benar pada Sasuke. Hm, itu parah, keberuntunganku hancur sudah. Lupakan, aku akan memulai.

"Hinata," panggilku dalam keadaan cemas dan gugup. Dia menoleh sedikit –mungkin 25, bisa kusebut dengan awalan yang bagus, kurasa.

"Maafkan aku atas semua yang terjadi." Tangannya yang masih dingin kugenggam dengan pelan takut kalau terlalu keras akan menyakitinya.

"Aku sangat menyesal, sangat. Aku mencintaimu, Hinata. Aku sangat mencintaimu. Karena itulah kepribadian gandaku muncul karena melihatmu bersama Sasuke waktu itu. Aku lupa memberitahumu bahwa aku pengidap bipolar. Kepribadianku satu itu memang benar seperti psikopat, karena itu aku tidak pernah marah jika kau mengataiku seperti itu,"

Hinata mengamatiku dengan tangisan, "Maaf aku selalu membuat hidupmu tidak bahagia, maaf aku selalu mengekangmu, maaf aku tidak bisa membuatmu senang, maaf selalu membuatmu terluka dan menangis, maaf aku belum bisa menjadi suamimu yang selalu bisa diandalkan, maaf-" ucapanku terputus karena saat ini Hinata menutup jalur suaraku dengan bibirnya. Kurasakan air hangat yang mengalir di dekat pipiku.

"A-aku memaafkanmu, Naruto-kun. Walaupun dulu aku menganggapmu sebagai jala hitam yang mengganggu. Ternyata aku sadar, kau itu seperti api, kadang menghangatkan kadang melukai. Tapi aku suka. Aku selalu merasa kau adalah musim panas dan aku adalah musim dingin. kita memang tidak cocok tapi saling melengkapi. Hikss... Aku bersyukur kau cepat sadar waktu itu."

"Um," Kudekatkan kepalaku mengenai dahinya, "Aku seperti mendengar teriakan 'Aku mencintaimu'. Tolong katakan itu, Hinata. Walaupun hanya sekali ini."

Hinata tersenyum tipis, "Kau tidak perlu memintanya, bahkan aku bisa mengatakannya pagi, siang, malam, setiap hari, bulan, tahun, setiap musim gugur, musim panas, musim semi, dan musim dingin bahwa aku mencintaimu, Uzumaki Naruto."

Ada emosi yang meluap di antara kami, apalagi dengan ditambah kedatangan makhluk kecil yang sekarang berada dalam pelukan Hinata. "Siapa namanya?"

"Aku menginginkan kau yang memberinya nama."

"Bagaimana kalau... Ummm... Boruto. Uzumaki Boruto?"

Aku tersenyum tulus sambil mendekap kedua orang yang sangat kusayangi, "Apa pun maumu, aku tidak bisa menolaknya."

Kami berpelukan dengan sangat damai. Terlukis wajah yang permai. Setelah lama bala selalu bersemai. Aku bersyukur, setelah ini kebahagiaan akan masuk dengan ramai.

Terima kasih, isteriku, kau akhirnya dapat menjadi milikku seutuhnya. Suami gilamu ini akan berubah sedikit demi sedikit hanya untukmu.

Dan kau jagoan kecil, terima kasih sudah lahir di antara kami. Maafkan ayahmu ini yang meragukan keberadaanmu.

SELAMAT LAHIR KEMBALI

THE END

TBC

Terima kasih kepada para pembaca, review, fav, foll cerita ini. Saya sangat terharu T_T Saya sangat bersyukur sekali ada yang berminat dengan cerita ini. Terima kasih atas apresiasi dan penyemangatnya.

Tidak lupa saya mengucapkan maaf karena update yang mungkin terlalu lama. Saya berusaha untuk lebih cepat tapi naas, try out, ujian, sakit, menyerang saya :'v

Saya senang ada yang mengkoreksi kesalahan saya. Karena setelahnya, saya jadi berfikir, iya ya Hinata terlalu cepat jadi dokter. Saya jadi merasa bersalah pada readers. Tapi karena ini, saya jadi tahu letak kesalahan dalam cerita. Mungkin karena khayalan dan kelogisan otak saya tidak seimbang jadi seperti itu. hehe. Karena alur juga sudah saya buat, saya tidak bisa menggantinya :( Dan terima kasih untuk pengoreksi, Logika Cerita (Banyak sekali yang review dengan nama 'guest', saya jadi bingung)

Dan untuk persoalan kritikan dan pindah wattpad, review para pembaca tidak pernah saya jadikan kritikan, malah saya jadikan motivasi untuk memperbaiki diri. Saya punya akun wattpad jadi tidak perlu pindah kan? Hehe. Yang katanya wattpad penuh dengan apresiasi nyatanya tidak. Saya anak baru di wattpad. Karena itu juga sangat susah menyesuaikan diri di sana. Karena wattpad dilihat dari banyaknya followers pada cerita dan authornya. Jadi lumayan susah untuk pendatang baru semacam saya. Ada senioritas di sana. Tapi saya menghargai itu. Gomen, curcol...

Maaf cuap-cuap yang terlalu panjang, saya berharap readers menulis perasaan setelah membaca part akhir dari cerita ini. Oh iya, yang berharap adanya sequel boleh juga :D

Arigatou, see you!