"Hinata-chan, ayo pergi ke kantin? Perutku sudah keroncongan."
Hinata menoleh, ia memperhatikan sahabatnya yang kini mengelus perutnya akibat kelaparan. "Aku'kan sudah bilang, sarapan dulu Ino-chan."
Bibir Ino mengerucut. "Aku tidak suka sarapan Hinata-chan, itu merepotkan."
"Novel milikku sedang seru Ino-chan..."
"Ayolah... Please..."
"Umm..."
"Onegai..." Ino masih belum menyerah, ia tahu Hinata orang yang berhati lembut.
"Baiklah." Hinata menutup novelnya, ia menyimpannya ke dalam tas. "Ayo pergi."
Ino tersenyum, kakinya berjalan dengan riang ke arah pintu kelas. "Akhirnya aku makan jug–" Aquamarine milik Ino membulat. Segera saja ia memutar tubuhnya dan sedikit berlari ke arah Hinata.
"Hinata-chan! Sembunyi!"
.
.
.
Naruto © Masashi Kishimoto
Like An Ilusion © RiuDarkBlue
Warning: AU, OOC, typo sana-sini, asem, garing, maaf jika ide pasaran, alur kecepetan, yang nggak suka harap tekan back. Saya tekankan kembali! Bahwa ini adalah inspirasi saya! Nggak ngejiplak siapapun kecuali karakternya!
"Percakapan."
'Bicara dalam hati.'
Naruto Namikaze x Hinata Hyuuga
DLDR
.
.
.
Lavender Hinata membulat. "Ada apa Ino-chan?"
"Di-dia datang."
Hinata yang sudah mengerti arah pembicaraan Ino terlihat panik. "A-apa dimana?"
"Menuju kemari, cepat Hinata-chan!" Tangan Ino mendorong-dorong tubuh Hinata. Ia menariknya ke bangku guru. "Disini saja Hinata-chan. Jangan keluar ya."
Hinata mengangguk.
Ino dengan terburu-buru duduk di kursinya. Jika boleh jujur, Ino juga sedikit takut dan tegang.
Ceklek.
"Astaga. Dia datang." Bisiknya.
"Dimana dia?"
Glek.
Ino menelan ludahnya. Telinganya terasa panas mendengar suara baritone yang tegas.
"Ti-tidak ada." Keringat dingin muncul di pelipis Ino.
"Benarkah... Dia tidak ada?"
"I-iya ak–"
"Naruto!"
Sang pemilik nama menoleh. Ia mendapati wajah Shikamaru yang tampak malas.
"Apa?"
"Kau–"
"Dimana dia?" Tanpa menghiraukan pertanyaan Naruto memilih melangkahkan kaki ke arah Ino. "Kau tak tahu dimana dia, kan?"
Glek.
Ino menelan ludahnya.
Hinata! Bagaimana ini?!
Rasa takut menjalari hatinya, berurusan dengan Naruto Namikaze sama saja dengan masuk kandang buaya.
"I-iya... A-aku tidak tahu dimana Hinata-chan."
Sedangkan Hinata sendiri yang menjadi objek perbincangan, hanya diam di bawah bangku guru dengan perasaan takut yang berkecamuk. Keringat dingin bahkan terlihat menetes di pelipisnya yang tertutupi poni.
"Naruto!"
Shikamaru menghela napas. Makin rumitlah urusannya jika mahkluk ini sudah datang.
"Maaf terlambat." Lanjutnya. "Kiba memintaku menggambarkan Akamaru."
Naruto mengangguk. "Urus dia, Sai."
Sai berjalan ke arah Ino. Ia tersenyum palsu yang dapat melelehkan para gadis termasuk Ino.
Degup jantung Ino menggila, ia makin takut saja.
"Ikut denganku, yu Ino-chan. Kita makan siang di kantin."
"Tidak!"
Meski begitu, ia sadar. Hinata harus selamat!
Onyx Sai melirik sapphire Naruto. Si pirang mengangguk, ia melemparkan benda sekecil jari kelingking pada Sai.
Si pucat tersenyum saat mendapat benda itu. Kembali ia tersenyum palsu ke arah gadis yang kini terlihat malas dengan rayuan murahannya. "Atau, ini akan kubuang."
Aquamarine Ino memutar. Dengan santainya ia membuka halaman buku yang sebenarnya tak benar-benar ia baca. "Buang saja."
"Baiklah. Aku harap Kakashi-sensei tidak menyuruhmu membersihkan toilet."
1
2
Kakashi?! Gila!
Apa sebenarnya maksud pemuda bermulut tajam ini?
Dengan sigap, Ino mengecek tasnya. Keringat dingin kembali mengalir di pelipisnya. Ia mendongak, menatap Naruto yang kini memasang wajah polos.
Sial!
Inilah pemuda dengan beribu kegeniusan. Ia lupa jika Naruto adalah salah satu orang most wanted di sekolahnya.
"Kembalikan flashdisk-ku!"
"Tidak. Biarkan kau dan teman kelompokmu di hukum." Dengan santainya Naruto duduk di bangku depan Ino.
Tangannya menopang dagu, bibirnya menyeringai melihat Ino yang terlihat kalang kabut. Antara memilih membersihkan toilet karena tidak mengumpulkan tugas biologi Kakashi, atau mengorbankan sahabatnya masuk kandang buaya.
"Kembalikan. Sai-san."
"Makanya ikut dulu."
"Tidak!"
"Atau–" Sai mengangkat benda yang di anggap keramat oleh Ino. Ia bersiap mematahkannya.
"Aku ikut!"
Hinata yang mendengar itu menghela napas, percuma ia bersembunyi jika pada akhirnya buaya kembali berhasil menangkap ayamnya.
Sai tersenyum. "Ayo makan." Ia berjalan dengan Ino yang mengekor di belakangnya. Melewati Shikamaru yang entah sejak kapan menghilang dari ambang pintu. Mungkin pemuda nanas itu sudah berpikir jika rencana yang di lakukannya akan gagal.
Naruto menyeringai, dengan langkah pasti ia menapaki keramik dengan sepatu hitam miliknya. Beraninya mainannya bersembunyi padanya.
Ingat!
Mata, telinga, hidung, bahkan perasaannya sangat peka. Untuk itulah dia bisa menemukan orang dengan mudah.
Dan perlu satu harus di ingat, hanya orang bodoh yang sembunyi di bangku guru.
"Jadi, mau sampai kapan kau disini?"
Bisa Hinata rasakan jika Naruto duduk di atas meja yang ia pakai untuk sembunyi. Bibirnya Hinata gigit keras-keras.
Hinata memang tidak mau bertemu dengan Naruto. Ia tidak seperti gadis di luar sana yang rela datang pagi hanya untuk melihat bagaimana pemuda dengan surai pirang yang sialnya sangat menawan datang menggunakan mobil sportnya.
"Ma-maaf."
Dug!
Hinata meringis, ini memang hari sialnya! Sudah ke tangkap buaya dan kepalanya terkantuk meja.
Naruto menahan tawanya, melihat pipi gadis di hadapannya memerah menahan sakit, jangan lupakan matanya yang entah... Berwarna ungu at– lavender.
Ah!
Ya! Lavender. Lavender itu terpejam, dengan tangan yang mengusap kepalanya. Sungguh man–
Naruto melotot, ia menggeleng.
Manis matamu?! Dia adalah penyebab hancurnya mimipimu Naruto!
"Kenapa-kau-tidak-datang?"
Hinata meringis, tentu saja ia tidak datang. Tubuhnya lelah jika harus menuruti Naruto. "A-ano aku le–"
"Lelah?"
"..."
"Kau pikir aku juga tidak lelah, hah?"
"Ma-maaf..."
Naruto berdecih. Ia berdiri, melipat tangan di depan dada. "Cepat, aku lapar. Kalau tidak–" Sapphire birunya meneliti penampilan Hinata.
Hinata melotot. Ia mundur. Dan sialnya, si pirang maju.
"Kumakan kau." Gigi putih Naruto menggigit bibirnya sendiri.
Glek.
Takut, sekaligus...
Entahlah.
Yang pastinya Hinata benar-benar mengutuk kecerobohannya yang harus terjebak dengan orang yang seperti Naruto.
"Ja-jangan! Lebih baik ma-makan di kantin saja."
Naruto menyeringai, ia makin mendekat. Tangannya menekan kedua pipi Hinata hingga bibirnya mengerucut. "Kalau begitu, ayo pergi!"
Hinata menghela napas, jangan berpikiran bahwa ia dan pemuda rubah itu pacaran.
.
.
Lelah.
Sudah Hinata bilang, jika menuruti si pirang ia pasti akan lelah. Lavendernya menatap ke sekeliling atap sekolah. Disini tidak ada apapun kecuali pemandangan musim semi.
Bibir Hinata mengerucut. Hanya manusia gila yang makan siang dengan menu ramen di atap sekolah!
Dan–
Manusia gila itu adalah...
"Sampai kapan kau disana?"
Hinata berkedip, ia menoleh ke arah bangku panjang. Dimana Naruto sedang menatapnya dengan senyum mengejek.
I hate his smile!
"Ma-maaf..." Kakinya berjalan ke arah si pemuda. Dan langsung menyodorkan cup ramen.
"Kau selalu lama. Menyebalkan. Lambat. Dan aku kesal padamu, membuatku selalu menunggu, dan kerjamu makin buruk."
Jika berani, Hinata ingin merobek mulut Naruto.
"Kau mau aku keluarkan dari sini?" Naruto menelan ramennya, ia menatap gadis di sampingnya melalui ekor matanya.
Kekuasaan rubah di samping Hinata memang besar. Dan itu sangat menyebalkan. "A-aku tidak akan mengulanginya lagi."
Trang!
Kaleng soda yang sudah kosong Naruto lempar ke tong sampah. Ia berdiri. "Temani aku ke perpustakaan."
Hinata menghela napas.
"Jangan menghela napas, aku tidak suka. Ingat. Peliharaan selalu menuruti apa kata majikannya." Senyum mengerikan Naruto berikan pada Hinata.
Bila mendengar kata itu...
Hinata selalu ingin menangis.
Ia memang peliharaan pemuda itu.
.
.
"Bawa yang ini juga."
"Ini juga."
"Ini juga."
Hinata mendegus. Tangan mungilnya tidak sanggup membawa tumpukan buku. Sudah ada enam tumpuk buku tebal yang Hinata bawa. Mending jika semua buku yang di bawanya di baca. Nah! Ini!
"Bawa kemari."
Lihat! Sikapnya sungguh bossy!
"I-iya..."
Hinata duduk di hadapan si pemuda. Ia sedikit risih mendapat pandangan sinis dari penghuni perpustakaan. Tak jarang dari mereka mengejek dirinya.
Tanpa mempedulikan keadaan sekitar, Naruto membuka bukunya. Ia memang berencana membaca buku sejarah Jepang hari ini.
Bukannya tidak peka, ia tahu peliharaannya tengah gugup karena dipandangi fans-nya. Banyak yang sudah tahu jika ia selalu bersama dengan Hinata. Ada yang mengartikan kebersamaan itu adalah pacaran, dan ada juga yang mengartikannya sebagai entahlah...
Alis Naruto mengernyit, ia memang sedang memahami apa yang ada di buku.
Mengantuk. Satu kata itu yang terlintas di pikiran Hinata. Matanya bahkan sudah memberat, tadi malam ia memang kurang tidur.
Hinata melipat tangannya di atas meja. Ia meletakan kepalanya disana. Lavendernya menatap Naruto yang kini serius membaca. Dalam hati Hinata mengagumi apa yang ada pada pemuda di hadapannya.
Surai pirangnya, manik sapphire, hidung mancung, bibir tipis, rahang tegas. Sungguh sempurna, di tambah dengan kegeniusan yang di miliki Naruto, semuanya komplit. Jangan lupakan kekayaannya.
Tapi satu hal sikapnya yang ketus, tidak sopan, jahil, suka memerintah pada Hinata, itu sangat menyebalkan.
Bisa di katakan jika Naruto Namikaze berwajah malaikat berhati iblis.
...
Naruto merenggangkan tubuhnya, ia memejamkan matanya. Sudah setengah dari buku tebal ia baca, dan sampai lupa waktu. Sapphire birunya menatap Hinata, kini gadis itu tertidur dengan tangan sebagai bantal.
"Kau–"
Hening.
Naruto menghela napas. Ia masih terfokus pada objek di depannya. Gadis itu, orang yang menghancurkan mimpinya satu bulan lalu.
Tsch!
Mengingatnya malah tambah kesal saja, ingin sekali ia melakukan kekerasan jika saja yang menghancurkan mimpinya adalah seorang pria.
Tapi dia adalah seorang wanita, apa yang akan di lakukannya selain mem-bully-nya dengan menjadikannya seorang peliharaan Naruto Namikaze.
So? Kejam?
Tidak.
Ini malah kurang setimpal dengan apa yang gadis itu perbuat.
Menyuruhnya ini itu tidak setimpal dengan apa yang di lakukan Hinata.
"Bangun!" Dengan muka datar, Naruto memukul kepala Hinata menggunakan buku tebalnya.
Hinata berkedip. "Ma-maaf..." Sepertinya ia langsung sadar.
"Ayo kembali ke kelas. Ini sudah bel." Naruto berdiri. "Oh, ya. Jangan lupa kau bereskan bukunya juga."
Bibir Hinata mengerucut. "Menyebalkan! Aku benci dia!"
.
.
"Bukan! Bukan! Sai!"
"Lalu yang mana?"
"Kalau yang itu kau kalah!"
"Lalu?!" Emosi Sai naik. Dari tadi Kiba hanya mengomentari tanpa mau memberitahu tombol mana yang harus di tekannya.
Kiba berdecak. "Kau akan kalah."
"Nyatanya kau yang kalah." Sai tersenyum aneh. Ia melirik melalui sudut matanya.
Kiba tertawa. "Mana mungkin aku kalah. Aku sudah memainkannya satu minggu, dan sudah masuk level 25." Ia memegangi perutnya yang terasa keram akibat tertawa.
"Kau bilang kalau gagal di level berikutnya akan kembali ke level 1?"
Kiba mengangguk mantap.
"Lihat, ponselmu Kiba. Jangan hanya tertawa."
"Kau sama saja Sasuke." Kiba mendelik. Ia mengambil ponselnya yang diletakkan di atas meja. "Astaga!"
Sai tersenyum aneh melihat mulut Kiba yang menganga dengan tangan yang memegang ponsel. "Apa kau menang?"
"Menang matamu?! Aku kalah! Kalian sih! Dari tadi berisik!"
Semua menghela napas. Kiba memang menyebalkan!
Ceklek.
Semua penghuni kelas menoleh ke arah pintu, dimana pemuda pirang masuk.
"Dari mana?"
"Pastinya, sudah main dengan peliharaannya!"
Naruto mengangkat alisnya tinggi-tinggi ke arah Shikamaru. Ia sedang bertanya dengan bahasa non verbal.
Seakan mengerti, Shikamaru menguap. "Dia kalah main game karena sibuk menertawakan Sai."
"Makanya kau itu harus hat–"
"Apa?! Apa?! Satu bulan lalu kau juga cero– Aw!" Kiba memekik, tangannya langsung memegang bibirnya yang terasa berdenyut akibat pukulan telapak tangan Naruto.
"Sekali lagi kau bilang begitu. Kubunuh kau."
Kiba diam. Ia agak takut sebenarnya, Naruto tidak pernah bercanda dengan perkataannya. Kiba pernah melihat si pirang melempar kepala orang dengan pot bunga, akibat perkataannya. Sifat Naruto memang buruk, dia temperamental.
"Kau apakan peliharaanmu?"
Naruto menyeringai, ia duduk di hadapan Sasuke. "Kusuruh dia bawa makan siang ke atap, dan menemaniku ke perpustakaan."
"Kau tak takut hukum karma?"
"Tidak. Kau percaya hal itu Shika?"
"Hn." Shikamaru mengangguk. "Aku percaya."
"Aku juga percaya." Sai mendekatkan wajahnya ke arah Naruto.
"Sai!" Dengan sadis, Naruto mendorong wajah Sai. "Apa-apaan kau?"
"Hanya melihat kau berbohong atau tidak. Dari buku yang kubaca, orang akan terlihat berbohong dari matanya. Dan aku ingin memastikannya dari dekat."
Polos atau bodoh?
Yang pastinya Sai sangat aneh.
"Terserah."
"Kau juga percaya, Sasuke?"
Sasuke mengalihkan pandangan dari ponselnya. "Tergantung. Aku ragu, tapi aku juga percaya."
"Aku percaya!"
Semua menoleh dan menatap Kiba.
"Apa?" Kiba berkedip. Keempat sahabatnya sedang menatapnya aneh. Ia memutar bola matanya bosan. "Aku tahu aku tampan, jadi bisakah kalian ber–"
"–tampan jika di lihat dari atas Menara Eiffel dan–"
"–jika kau tampan orang jelek seperti apa?"
Kiba berdecak. Lidah Sai dan Naruto memang berbahaya.
"Ya. Ya. Ya. Kita kembali ke topik." Kiba berdehem ringan. "Aku percaya karma. Oh, ya!"
Naruto mendelik saat Kiba duduk di sampingnya dengan tangan yang merangkul bahunya.
"Kau tak takut karma karena menjadikannya peliharaanmu?"
"Tidak."
"Bagaimana jika kau malah menyukainya?"
"Sai? Mulutmu inginku robek?"
Sai tersenyum. "Tidak, terimakasih."
"Lalu, bagaimana jika kau berjodoh dengannya?"
Naruto melotot. "Urusai Teme!"
"Takdir tidak ada yang tahu." Shikamaru menguap. "Kita tidak akan pernah tahu siapa dan dimana jodoh kita. Apa kalian pernah dengar, bahwa kita akan mendapatkan jodoh sesuai dengan perilaku kita?"
"Kau mendoakanku mendapat jodoh yang buruk?"
"Tidak." Ia menghela napas. Sifat Naruto memang buruk. "Aku hanya mengingatkan."
Kening Sai berkerut. "Kenapa malah membahas masalah jodoh? Kita baru kelas 12, masa depan masih panjang. Kita harus kuliah, cari kerja, cari pasangan, menikah di usia matang, punya anak, dan hidup berkecukupan."
"Aku setuju." Meski fokus Sasuke pada ponselnya, namun telinganya mendengar apa yang dikatakan sahabatnya.
"Kau rencana menikah berapa tahun, Sai? Kalau aku sih mungkin... Em... 25 tahun."
"Sama saja denganmu." Sai tersenyum aneh.
"Kalau kau Shika?"
"Entah. Wanita itu merepotkan."
Kiba berdecak. Ia menatap Sasuke. "Kalau kau Sas?"
"Tentunya setelah aku mencapai point satu sampai tiga yang Sai sebutkan."
"Oke! Sekarang kau Naruto."
"Aku tidak tahu. Dan tidak ingin tahu. Kalian saja yang menikah duluan."
"Kuharap kau menikah bulan ini!"
"Kuharap juga begitu." Naruto menyeringai.
.
.
"Hinata-chan! Tidak apa-apa, kan?!" Ini memang pertanyaan wajib Ino jika Hinata sudah kembali ke kelas.
Dengan lesu, Hinata duduk di bangku samping Ino. "Aku baik-baik saja Ino-chan..."
Kepala Ino menunduk. "Maaf..."
"Tidak apa-apa Ino-chan. Toh, aku masih hidup."
Ino mendelik. Hinata selalu saja menjawab dengan jawaban yang sama setiap ia sudah berurusan dengan rubah. "Hey! Aku serius!"
Bibir Hinata mengerucut. "I-iya. Memangnya Ino-chan mau aku kenapa-napa?"
"Tidak."
"Lalu?"
"Hm?"
"Apa yang Ino-chan lakukan di kantin dengan Sai-san?"
"Aish! Si pucat?!" Ino berdecak. Ia malas membahas kejadian yang tadi.
Hinata mengangguk. "Iya. Iya. Jangan-jangan Ino-chan di tembak Sai-san."
"Aku belum mau mati Princess."
Hinata cemberut. Itu adalah panggilan kesal Ino padanya. "Ino-chan jangan marah, nanti–"
"–kau tidak mirip Barbie lagi."
Hinata tertawa.
Ino menghela napas. Ia mencubit pipi Hinata. "Aku sudah tahu rayuanmu, kawan."
"Ah iya. Iya. Lepas Ino-chan. Sa-sakit..." Hinata merengek. Ino selalu mencubit pipinya jika gemas padanya.
"Kau menggemaskan. Naruto-san tega menjadikanmu peliharaanya."
Senyum kikuk Hinata berikan. Ia juga tidak mau menjadi peliharaan pemuda itu.
"Padahal kalau aku jadi dia, kau akan kujadikan kekasih, atau istri."
Hinata melotot.
Tidak.
Ia akan mati jika jadi pasangan hidup Naruto!
Bisa ia bayangkan jika jadi istri Naruto, ia akan di suruh ini dan itu. Belum lagi mulutnya yang tidak pernah di filter. Juga omelannya akan kesalahan yang Hinata buat.
Sebulan menjadi peliharaan Naruto, Hinata jadi tahu bahwa hobi Naruto itu mengomel.
Hinata bergidik ngeri. "A-aku tidak mau Ino-chan."
"Maaf..."
"Lebih baik, kita belajar."
"Hah?"
Hinata berkedip. "Apa Ino-chan lupa, hari ini test matematika."
"Apa?! Aku belum belajar! Bagaimana ini Hinata-chan?!"
Hinata tersenyum. Ia tidak usah khawatir, setidaknya tadi malam Hinata sudah belajar meski ia tidak pintar dalam pelajaran itu.
"Remedialnya mengerjakan essay 50 soal lho..."
"Hinata-chan!"
.
.
.
Ketegangan sangat tampak di ruang keluarga dengan desain Eropa yang sangat kental. Di sofa berwarna cream keluaran Italia ini, tiga orang dewasa duduk dengan wajah tegang.
"Bagaimana ini...?"
"Tenanglah..." Si pria mengelus bahu wanita yang kini duduk di sampingnya. Meski begitu, ia pun sama gelisahnya dengan sang istri.
Tarikkan napas terdengar di arah single sofa yang kini di duduki oleh seorang wanita tua yang masih tampak cantik.
"Jadi, kita harus bagaimana Kaa-san?"
Mendengar perkataan Minato putranya, Tsunade menoleh. "Kenapa bisa begini? Tiga hari yang lalu bahkan dia masih baik-baik saja! Lalu harus bagaimana? Aku pun pusing Minato."
"Aku ta-takut Minato-kun, apakah dia baik-baik saja?"
Minato meremas kertas di genggamnya. "Iya. Dia akan baik-baik saja."
"Kita harus bicara pada Naruto. Dia harus tahu semuanya."
"Kaa-san? Apa benar harus Naruto, dia masih belia?"
"Dia sudah dewasa. Meski kita harus mengalahkan sifat keras kepalanya." Tsunade meminum teh di depannya. Ia menyesap aroma teh hijau, seakan-akan semua beban di kepala bisa hilang.
Jika Tsunade sudah begini, ia tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menuruti perkataan Ibunya. "Baik, kita bicara padanya sepulang sekolah."
.
.
.
15 .50
Jam segini memang jadwalnya pulang sekolah. Naruto berencana menghabiskan waktunya di studio, besok tidak ada tugas dan sahabatnya punya kesibukan masing-masing.
Jadi bisa di katakan hari ini ia free.
Naruto ingin mengisi sorenya dengan menyusun sebuah lagu.
"Ah! Pulang juga!"
Naruto mendengus. Kiba selalu saja tampak nora.
"Aku malu berteman dengannya."
Naruto menoleh dan di suguhi senyum palsu Sai. "Jika Kiba dengar, aku yakin kau akan di hajarnya."
"Dia tidak akan menghajarku, aku sudah berjanji akan meminjamkan CD-ku."
"Jangan-jangan film dewasa."
Sai mengangkat bahunya. "Kita memang sudah dewasa. Tak masalah jika menonton atau–"
"–melakukannya."
Naruto mendelik. Ia sangat tidak suka jika membahas hal seperti ini, bukannya dirinya tidak normal. Namun rasanya hal seperti ini bersifat pribadi.
"Cuci otak kalian!"
"Dobe, aku yakin kau yang pertama akan melakukannya."
Naruto melotot. "Urusai Teme!"
"Diamlah, aku mengantuk."
Onyx Sasuke memutar. "Setiap hari juga kau selalu mengantuk Shika."
"Aku numpang mobilmu."
"No, problem." Sasuke mengambil tasnya. "Aku duluan." Setelahnya ia berjalan di ikuti Shikamaru.
"Kau juga mau numpang?"
"Tidak. Aku bawa motor."
"Tolong aku!"
Refleks Naruto dan Sai menoleh ke arah pintu.
"Help me please! Help me!"
"Apa Kiba?"
Pemuda penyuka anjing itu lari dari arah pintu kelas. Membuat alis Naruto dan Sai menyatu. Setahu mereka sahabatnya yang satu ini sudah pergi duluan ke lapang parkir.
"Aku... Lupa tidak bawa kendaraan, bisa numpang?"
"..."
"..."
"Ayolah..." Rengekkan terdengar.
"Sai, aku duluan." Tanpa mempedulikan Kiba yang mendelik dan Sai yang menyumpahinya, Naruto beranjak.
"Sai..."
"Malas."
"Sai..."
"Baik, baik. 10.000 Yen."
"Gila!"
.
.
.
Helm hitam yang menutupi kepalanya Naruto lepas. Sapphire birunya memandang halaman Mashion Namikaze yang luasnya keterlaluan.
Ia mengernyit, melihat sebuah mobil putih mewah. "Itu... Milik Baa-san?"
Naruto mengangkat kedua bahunya. Ia melangkah ke dalam Mashion. Jam segini biasanya masih sepi, Kakaknya kuliah, Ayahnya masih di kantor, paling-paling hanya Ibunya yang ada.
Kunci motor di genggamannya Naruto putar menggunakan jari telunjuk. Bibirnya tersenyum kecil, memikirkan sore ini akan di habiskan di studio khusus miliknya.
Naruto memang punya studio pribadi.
Namun, sedetik kemudian ekspresinya berubah. Bibir bawah Naruto agak maju ke depan. Jika saja seisi sekolah tahu ekspresinya yang satu ini, sudah pasti akan heboh.
Naruto jadi memikirkan apa karma. Sial! Bisa di bayangkan jika dirinya dengan Hinata berumah tangga, tidak di ragukan lagi kelambatan, kecerobohan, akan bercampur jadi satu.
Naruto menggeleng, kenapa juga ia berpikiran begitu?
Langkahnya terhenti di ruang keluarga. Jika ingin menuju kamarnya memang harus melewati ruang keluarga dulu.
Ini masih pukul empat lebih seperempat lalu kenapa Ayahnya yang notabene sorang pemilik Namikaze Group sudah pulang lebih awal? Jadwal pulang Ayahnya pukul 7 malam. Dan ini...
Belum lagi sang Nenek yang harusnya masih mengurusi sekolah, malah ada di rumahnya dengan wajah tegang dan cemas.
Tunggu!
Wajah tegang dan cemas?
"Naruto?"
Naruto berkedip. "Ah, iya Kaa-san?"
Kushina berdiri. Ia melangkah mendekat ke arah putranya. "Kemarilah."
Naruto mengangguk.
"Duduklah dulu."
Untuk kedua kalinya ia menurut pada ucapan Ibunya.
"Tou-san sedang apa? Dan... Kenapa Baa-san ada disini?"
"Kau mengusirku bocah?"
Naruto tersenyum. Ia meminum jus jeruknya. "Tidak."
"Naruto?"
Sapphire Naruto bertemu dengan milik Minato. "Apa?"
"Bacalah ini." Minato menyerahkan selembar kertas putih yang sejak 2 jam lalu ia genggam.
Alis Naruto terangkat. "Apa ini?" Meski begitu, ia tetap mengambilnya.
Suasana menjadi hening, menanti Naruto yang kini membaca kertas putih di genggamannya.
Naruto mengangkat kepalanya dengan sapphire yang menajam. "Apa maksudnya ini?"
Minato menghela napas. Sudah ia duga respon putranya. "Dengar Naru–"
"–tidak. Apa kalian bermaksud menggantikan posisi Sara-nee dengan posisiku?"
Napas Naruto memburu. Matanya menggelap.
Ia marah jujur saja.
Kertas ini adalah...
Surat dari Sara Namikaze yang berisi alasannya minggat dari rumah.
"Apa kalian akan membatasi kehidupanku lagi? Tak cukupkah aku yang masuk sekolah menengah atas dari pada sekolah seni?"
Ia tahu maksud Ayahnya pulang sore dan maksud Neneknya datang kerumahnya, ia tahu.
Mereka berniat menggantikan Sara dengan dirinya.
Sara kabur dari rumah. Dan sialnya Naruto baru tahu hari ini. Ia kira tiga hari yang lalu Kakaknya pergi berlibur ke Kyoto dengan teman kampusnya. Karena memang tiga hari yang lalu di adakan acara itu oleh pihak kampus, Tokyo University.
Tapi...
"Ya. Nee-sanmu pergi dari rumah, dan surat itu baru Kaa-san temukan tadi pagi dari seorang maid yang membersihkan kamar Nee-sanmu."
Naruto mendengus. Ia menjambak rambutnya. "Dan kalian berniat menjodohkanku, begitu?"
Jelas-jelas di surat itu tertulis–
Setahuku, orang itu punya adik, biarkan Naruto yang menjalaninya.
"Naruto. Ini semua demi–"
"–demi apa? Tou-san, demi apa?"
"Bahkan Sara-nee juga tidak mau, apa lagi aku yang baru 18 tahun."
Naruto tertawa.
10 Oktober masih lama. Jika ini kejutan ulang tahunnya yang datang lebih awal, maka ini semua konyol!
"Apa ini kejutan untukku?"
"Maka. Aku menolaknya!"
Plak!
Wajahnya berpaling ke samping dengan pipi yang memerah.
Rasa panas dan rasa sakit menjalar di hatinya.
Ayahnya yang terkenal lembut baru saja menamparnya.
Hening.
Suasana tambah panas.
"Dengar, Naruto. Aku tidak pernah mengajarimu untuk berteriak di depan orangtuamu!"
Emosi Minato meningkatkan, Naruto sudah keterlaluan bahkan bicaranya juga tidak sopan, putranya tidak pernah menyebutkan kata 'kalian' kecuali 3 tahun lalu.
"Lalu, bagaimana denganku, apa Tou-san pernah berpikir, bagaimana masa depanku jika aku menikah di usia dini?"
"Dan Baa-san. Kau sendiri yang bilang bahwa murid Konoha Gakuen di larang menikah. Lalu kau melanggarnya dengan menikahkanku, cucumu sendiri?"
Hening.
Naruto ingin tertawa. Hidupnya hancur dalam kurun waktu kurang dari 24 jam. Ini benar-benar hari yang paling mengejutkan dalam hidupnya.
Kalau bisa ia ingin memutar waktu ketiga hari yang lalu.
Dalam hati, Naruto sangat membenci Saara!
"Tou-san tidak mau tahu, kau harus melakukan perjodohan ini!" Minato bangkit dari duduknya.
Kushina menghela napas. Keras kepala yang di wariskan pada putranya benar-benar berdampak besar untuk sekarang. Setelahnya ia langsung bangkit menyusul suaminya.
Tsunade yang memilih bungkam dari tadi, ia melirik ke arah cucunya yang kini menunduk dengan pipi kirinya yang memerah.
"Aku ke kamar dulu." Dengan suara lirih dan langkah gontai, Naruto beranjak dari duduknya.
"Jiraiya... Cucu kita tidak mau mengabulkan permintaanmu."
.
.
.
Hiashi mengusap wajahnya gusar. Ia masih kepikiran hal tadi siang yang di katakan rekan bisnisnya sekaligus sahabatnya.
Rencana perjodohannya kandas karena putri Minato, Sara Namikaze. Memilih melarikan diri tiga hari yang lalu. Tadinya putri Minato itu akan di jodohkan dengan putra sulungnya, Neji Hyuuga.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk."
Mendengar nada persetujuan sang empunya ruangan, membuat orang yang mengetuk pintu membukanya.
"Kukira, Tou-san butuh teh hangat." Dengan senyuman, Neji meletakkan secangkir teh di meja orang yang paling di hormatinya.
"Tentu. Duduklah."
Neji mengangguk, ia duduk dihadapan sang Ayah. "Jadi, apa yang akan Tou-san lakukan?"
Hiashi meletakkan cangkir teh yang telah di minum ke meja. Keningnya tampak berkerut. "Kira-kira, apa yang akan terjadi jika Hinata yang melakukan perjodohannya?"
Lavender Neji membulat. Bukan!
Bukan karena Hinata yang akan di jodohkan dengan perempuan. Ia mendengar dari Ayahnya bahwa keluarga Namikaze punya satu orang putri dan satu orang putra.
"Tapi Tou-san. Hinata masih sekolah, dia masih kecil. Dan aku dengar juga, anak Minato-san juga seumuran dengan Hinata."
"Lalu, bagaimana dengan perjanjian itu, Neji?"
"..."
"Tidak ada cara lain, perjodoh– tepatnya pernikahan Namikaze dan Hyuuga harus di laksanakan."
"A-apa?"
Refleks kedua pria Hyuuga yang terlibat obrolan serius menoleh ke arah pintu.
"Hinata..."
.
.
.
.
To Be Continued
A/N
What? Apa ini?
Tentunya ini cerita baru saya, bosan? Jangan baca. Adakah yang sedia baca? Saya butuh kritik dan saran:(..
Ngilang dua bulan, dan muncul dengan fanfic gaje:'(.. Oh sorry:(
Masalah sequel LIS... Kok susah ya? Jadi malah bikin yang.. Entahlah... Mungkin bikin epilog aja ya? Kalo kalian mau tahu sebenernya status LIS itu belom complete:'v.. Kalo epilog bisa cepet.
Entah kenapa saya suka Naruto yang kaya gini, saya suka Hinata yang ke gini... Yang nggak suka jangan baca.. Yang suka sama kangen X5, yo baca. Disini... Bisa di katakan udah pada dewasa hampir semua:')
Ada yang tahu 1 Yen berapa rupiah?
Sampai jumpa di chapter depan... 👋
Mind to RnR?
Arigatou minna-san.
~Peluk cium RiuDarkBlue~
.
.
.
11 Desember 2017