BREAK
…
Kini, setahun lebih telah berselang. Akashi berusaha untuk tidak menggubris hatinya yang meraung merindukan seseorang. Tidak juga menerima siapapun yang mengajak kencan. Hatinya hanya tertambat pada satu nama.
Dan juga, dia sudah memutuskan untuk memprioritaskan pendidikannya sekarang. Karena setelah ini, dialah yang akan menerima estafet kepemimpinan dari gurita kerajaan bisnis milik keluarganya. Akashi sudah berpikir, akan memindahkan pusat bisnis keluarganya dari Jepang.
Dia tidak ingin pulang.
Karena disana, setiap hal akan mengingatkannya pada Tetsuya, seseorang yang Akashi cinta. Akashi tidak bisa menyebut siapa Tetsuya untuknya. Dia tak berani menyebut pemuda itu sebagai mantan, tidak juga lancang menyebut bahwa mereka masih berhubungan.
Karena kenyataannya, Tetsuya sudah memutus hubungan mereka.
Akashi sendiri juga memutus komunikasi dengan teman-temannya, termasuk Furihata. Dia hanya ingin agar sahabatnya itu bisa mandiri, dan bisa menemukan orang yang tepat baginya. Meski orangtuanya kadang memberitahukan kabar tentang teman-teman Akashi yang disana.
Tapi, apa kabar dengan Tetsuya?
Apakah dia sudah punya pengganti Akashi dihatinya?
Ataukah sudah melupakan Akashi dan semua kenangan mereka?
Menyedihkan. Bahkan rasa sakitnya masih sama besar.
…
Disclaimer :
Kuroko No Basuke by Fujimaki Tadatoshi
Original Story by Gigi
Warning :
Akakuro
T; Shounen ai; Out of character; Romance
…
Tetsuya menandai kalendernya. Coretan-coretan yang sebenarnya membuat kalender itu terlihat berantakan. Lalu ada catatan-catatan kecil disana. Tetsuya menghela nafas, setahun lebih sudah berlalu sejak kepergian Akashi ke Belanda.
Rasa penyesalan itu masih ada.
Seiring dengan berjalannya waktu, semua yang diucap Akashi tidak dusta. Memang kesalahpahaman saja diantara mereka.
Kenapa dulu dia tidak mendengarkan Akashi lebih banyak?
Ah, tapi rasa cemburu, terluka juga kecewa Tetsuya memang tidak bisa dia abaikan.
Dan sekarang, mereka kini terpisah antar benua, juga tak ada kabar bahwa laki-laki itu akan pulang. Apakah Tetsuya merindukannya? Bohong jika dia menjawab tidak. Nyatanya, rindu itu akhirnya menyeruak hebat.
"Tetsuya!" Dia melihat seorang pemuda berambut coklat berlari kearahnya.
Lucunya, sekarang dia berteman dekat dengan Furihata. Berawal dari percakapan sebelum dia berlari mengejar Akashi, lalu saling membagi cerita, dan begitulah karena sering bersama, akhirnya mereka saling akrab.
"Furihata-kun, jangan berlari sambil memanggilku dengan keras begitu," Protes Tetsuya meski wajahnya tetap datar.
"Ehehe," Pemuda itu tersenyum, "Maaf ya terlambat." Kemudian dia duduk, dan matanya menatap buku catatan Tetsuya, "Kau menyoreti kalender lagi?"
Tetsuya mengangguk, "Sudah setahun,"
"Dan dia tidak memberi kabar apapun. Jika denganku mungkin aku masih maklum, tapi dia juga tak mengabarimu, Tetsuya. Awas kalau pulang aku akan memukul kepalanya."
"Mungkin dia sibuk," Tetsuya berkata lirih. Rindu ini kadang-kadang membuat hatinya lelah.
"Dia pengecut." Timpal Furihata, "Dia pengecut jika berhubungan denganmu. Aku yakin dia takut mendengar kabarmu."
"Furihata-kun, tidak baik seperti itu."
"Memang benar. Dulu saat ingin menembakmu, dia tidak mau ditolak. Jadi harus memastikan kau tidak menolaknya baru berani nembak. Mental apa itu?"
Tetsuya tertawa, dia memang mengakui bahwa Akashi banyak memancingnya sebelum pemuda itu menyatakan perasaan.
"Tetsuya?"
"Ya?"
"Apa kau mau ikut ke rumah Akashi?"
Ke rumah Akashi?
"Rumahnya?" Tanya Tetsuya memastikan. Dia belum pernah ke rumah Akashi sebelumnya, "Apa boleh?"
"Tentu saja. Bibi Shiori pasti senang bertemu calon menantunya!"
Ucapan Furihata membuat hati Tetsuya sesak. Calon menantu apanya? Bahkan mereka sudah tidak punya hubungan.
"Tetsuya, sebenarnya aku ada kabar untukmu tentang Sei."
Jantung Tetsuya berdetak kencang saat mendengar nama sang mantan terlontar, "Kabar apa?"
"Aku tidak bisa menyebut kabar itu disebut kabar baik atau tidak, tapi kau harus tahu."
"Kau tahu darimana?"
"Tenang saja, Sei tidak mengabariku secara langsung juga. Aku menguping pembicaraan bibi Shiori dengan ibuku."
"Aku tidak menuduhmu," Sangkal Tetsuya, "Apa kabarnya?"
"Kabar baiknya, Sei sudah menyelesaikan pendidikannya disana."
Ucapan Furihata membuat harapan Tetsuya naik begitu tiba-tiba. Jika pendidikan Akashi sudah selesai, itu berarti laki-laki itu akan pulang, kan?
"Apakah dia akan pulang?"
"Nah itu."
"Maksudnya?"
"Kabar selanjutnya adalah setelah selesai, Sei akan meneruskan bisnis keluarganya, kita asumsikan dia akan pulang ke Jepang. Namun, dari yang aku dengar, Sei berniat memindah pusat bisnis keluarganya ke luar negeri. Aku tidak tahu tepatnya dimana tapi."
Ucapan lanjutan dari Furihata seperti air es yang sangat dingin menyiram hati.
"…" Sampai Tetsuya tidak mampu untuk menanggapi.
"Maka dari itu, ayo ke rumah Sei, kau harus bertemu dengan bibi Shiori!"
"Untuk apa?"
"Sudahlah, jangan banyak tanya. Ikut saja."
…
Dan kini, sampailah mereka pada rumah utama keluarga Akashi. Atau mansion lebih tepatnya. Tetsuya tahu bahwa mantan kekasihnya itu berasal dari keluarga kaya, namun tidak menyangka sebegini kayanya.
Semakin menyadarkan Tetsuya perbedaan antara mereka berdua. Lalu otaknya kembali bertanya; mengapa dulu Akashi mengejarnya?
"Bibi Shiori!" Panggil Furihata yang juga merenggut lamunan Tetsuya.
"Kouki!" Lalu seorang wanita cantik yang mungkin sepantaran dengan ibunya mendekat, "Kau datang. Dengan siapa?" Wanita itu menatap Tetsuya atas bawah seakan menilai dirinya.
"Maaf tidak mengabari duluan." Keduanya mengecup pipi kiri dan kanan, "Perkenalkan, ini Tetsuya, dan Tetsuya, ini bibi Shiori, ibu Sei."
Tetsuya menyalami ibu Akashi, "Kuroko Tetsuya desu, yoroshiku onegaishimasu."
Kemudian Furihata mendekati Shiori, dan berbisik tentang apa Tetsuya tidak mengerti. Namun wanita cantik itu mengangguk-angguk dan menatap Tetsuya lagi.
"Ayo masuk dulu." Tangannya menggandeng Tetsuya, "Tetsu-chan, nikmati seperti rumah sendiri ya."
"E-eh, iya tante." Jawab Tetsuya canggung.
Begitu mereka masuk dan duduk di ruang tamu, serta beberapa camilan dan minuman sudah disajikan, Shiori berkata, "Sekarang jelaskan semuanya, Kouki."
"Jadi, Sei tidak mau pulang aku yakin karena Tetsuya."
"Memang kenapa dengan Tetsu-chan? Apa hubunganmu dengan anakku?"
Tetsuya yang ditanya sedikit kaget, tak menyangka dengan perkataan Furihata juga pertanyaan dari ibu Akashi, "Kami.. hubungan kami adalah mantan kekasih."
Ibu Akashi mengangguk-angguk, "Kouki, kenapa kau tidak memberitahukan ini?"
"Maaf, bibi. Aku pikir Sei akan pulang sendiri. Aku tidak tahu bahwa dia akan setakut ini."
"Benar-benar! Kepalaku nyaris pecah saat anak itu tiba-tiba bilang ingin memindah pusat perusahaan. Memangnya mudah dan murah?"
Tetsuya yang mendengar omelan Shiori sedikit terperanggah. Tak menyangka ibu Akashi ternyata tak berbeda jauh dari ibu-ibu kebanyakan. Padahal saat awal tadi wanita itu begitu elegan dan jujur membuat Tetsuya sedikit takut.
Kemudian ibu Akashi menghela nafas, "Tetsu-chan, apa kau masih mencintai anakku?"
Pertanyaan yang tiba-tiba, dan tidak pernah Tetsuya duga. Dia terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Bukan tidak tahu sebenarnya, tapi lebih tepatnya Tetsuya bingung mengungkapkannya.
"Tidak apa-apa, Tetsuya." Suara Furihata mengalihkan perhatian Tetsuya, "Tidak apa-apa. Bilang saja dengan bibi Shiori yang sebenarnya."
"Aku menikah dengan seorang Akashi, juga melahirkan anak seorang Akashi juga." Shiori memegang tangan Tetsuya, "Mereka keras kepala, juga punya harga diri yang tidak bisa diukur oleh manusia pada umumnya. Tentu saja rasa egois yang mengerikan."
"Maksud tante?" Tanya Tetsuya tidak mengerti.
"Anakku, aku mengenalnya dengan sangat baik. Aku yakin, dia bukan takut kepadamu, namun dia takut pada dirinya sendiri. Yang mungkin tidak mau ditolak dan bisa jadi mengerikan dengan egonya. Dia takut melukaimu, Tetsuya."
Ucapan ini terasa serius. Yang entah mengapa, menurut Tetsuya juga mengandung peringatan.
"Jika kau mencintainya, tidak masalah dia pulang. Itu berarti tidak ada yang tersakiti jika dia mengejarmu lagi, atau jika kalian menjalin hubungan kembali. Namun, akan berbahaya jika kau tidak lagi mengharapkannya. Ini akan melukaimu, juga melukainya."
"…"
"…"
"Sekarang aku mengerti, mengapa tiba-tiba dia mengajukan pendidikan keluar negeri. Aku yakin Sei sudah menyadari dirinya sendiri, sehingga memutuskan pergi dibanding harus melukai."
"…"
"…" Tetsuya masih diam, dia tidak tahu bagaimana harus menanggapi semua fakta yang dia terima hari ini.
Akashi pergi demi dirinya.
Agar dia tidak menjadi mengerikan untuknya.
Prioritas atas kebahagiaan Tetsuya untuk Akashi tidaklah dusta.
"Maka aku tanya sekali lagi, kau masih mencintai anakku atau tidak, Tetsuya?"
.
.
.
Air mata Tetsuya meleleh. Dia ingin menjawab, namun yang keluar malah air matanya. Semua rasa yang ada dalam dada seakan menyeruak keluar. Rasa rindu, luka, sayang juga cinta terhadap Akashi yang masih dirasakan Tetsuya.
Kenapa cintanya harus serumit ini?
Keinginan Tetsuya hanyalah sebuah hal yang sederhana. Namun dirinya dibawa Akashi pada kenyataan seperti ini.
Apakah Tetsuya menyesal?
Kagetnya, Tetsuya tak menyesal sama sekali. Dia hanya yakin bahwa setelah semua yang terjadi, juga jarak yang membentang antara dia dan Akashi, cintanya ternyata tidak bisa dirubah lagi.
Bahkan semakin besar jika dikalkulasi.
Dia ingin Akashi.
Tetsuya ingin Akashi.
Dia tidak mau memikirkan lagi masalah-masalah yang dulu pernah terjadi. Karena nyatanya, sekuat apapun Tetsuya ingin menghapus bayangnya, itu tidaklah mudah untuk dilakukan. Dan tidak bisa. Terbukti sampai sekarang.
Maka yang dilakukan Tetsuya setelah mendengar seluruh pernyataan, juga pertanyaan dari ibu Akashi adalah menganggukkan kepalanya.
"Ya," Tetsuya berusaha menahan suaranya agar tidak pecah, meski gagal karena air matanya yang sudah keluar, "Aku mencintainya. Masih sama."
Tetsuya tak sanggup mengontrol air matanya sekarang. Semua yang dia tahan, saat dia bertikai dengan Akashi, saat dia kecewa, merasa dikhianati, patah hati, juga perasaan yang begitu sesak saat Akashi mengejar kembali, dan dari segalanya.. rasa sesal serta rindu yang tak bisa lagi Tetsuya tahan, tak bisa dia hiraukan lagi.
Otak juga hatinya memanggil nama itu berulang kali. Lewat mimpi, lewat doa, rintik hujan, juga desau-desau angin.
Sei. Sei. Sei.
Tetsuya ingin Sei. Tetsuya ingin Akashi-nya.
Sebanyak apapun dia menolak, sepintar apapun mulut menyangkal. Kenyataan tetaplah hal yang tak bisa Tetsuya atur sedemikian. Hati tak mau berpaling, otaknya tak mampu berpikir yang lain.
Dan sekarang dia mendengar Akashi tak ingin pulang.
Apakah memang ini yang digariskan Tuhan?
Apakah ini yang menjadi ketetapan?
Kemudian, Shiori membawanya dalam pelukan.
Shiori bukan ibunya. Namun ini terasa hangat. Hangat. Pelukan ibu selalu hangat. Melegakan, juga tempat terbaik untuk beristirahat sejenak atas beban.
"Terimakasih," Tetsuya mendengar Shiori mengucapkannya pelan, "Terimakasih sudah mencintai anakku, Tetsuya."
Apanya yang terimakasih jika ikatan mereka hancur begini?
Apanya yang terimakasih jika Tetsuya yang membuat Akashi pergi?
Lalu.. Apanya yang terimakasih jika dia jugalah yang membuat Akashi tak ingin kembali?
"Lihat. Kau harusnya pulang lebih cepat. Kau menyakitinya lagi."
Ucapan Shiori membuat Tetsuya teralihkan dari apa yang dia rasakan sekarang. Apa maksudnya? Itu untuk siapa?
"Maaf, ibu."
Suara itu.
Suara itu.
Suara itu.
Begitu familiar. Suara yang senantiasa memanjakan Tetsuya, melindunginya, merayunya dan menggoda, serta suara yang begitu dia rindukan.
Apa Tetsuya berhalusinasi?
Apa Tetsuya merindukan Akashi sampai begini?
"Ibu, boleh aku menggantikanmu?"
Suara itu lagi. Tidak mungkin halusinasi jika sampai dua kali.
Shiori kemudian melepas pelukannya kepada Tetsuya, "Dia disini. Tetsu-chan, kau tak harus merindunya lagi."
Dan saat Tetsuya berbalik, dia melihat sosok yang senantiasa menghiasi mimpi. Yang kemudian mimpi itu beralih duka akibat rindu yang tak bisa dia salurkan begitu saja.
Tetsuya ingin memanggilnya. Tetsuya ingin memanggil namanya, tapi lidahnya kelu tak mau keluar suara.
Kemudian sosok itu berjalan mendekat. Sedikit demi sedikit hingga mereka berhadapan.
"Tetsuya."
Panggilan yang begitu Tetsuya rindukan. Panggilan yang meskipun diucapkan orang lain, namun punya efek yang berbeda untuknya.
…
Akashi menatap sosok yang begitu dia cinta. Setahun lebih tidak bersua, rasa rindunya bagai meledak dalam dada kala mereka kembali berjumpa.
"Tetsuya,"
Betapa Akashi sangat menantikannya. Sangat mendambakannya. Ini adalah mimpi-mimpinya yang tidak berani dia pikirkan menjadi nyata. Menjadi seorang Akashi tidak seenak yang orang kira. Mereka punya darah yang tidak biasa. Dan Akashi harus bisa mengendalikannya.
Tangan Tetsuya terangkat. Akashi ingin menyambutnya dan..
PLAK!
Pipi Akashi ditampar dengan cukup kencang. Sampai-sampai tiap orang yang mendengar, bisa membayangkan betapa sakitnya tamparan yang Tetsuya berikan.
"Tetsu-"
Namun belum selesai Akashi berucap, Tetsuya memeluknya begitu erat.
"Kau pulang. Kau pulang."
Akashi bisa merasakan matanya membias, lalu membalas pelukan Tetsuya menjadi dekapan, "Tadaima, Tetsuya."
Akashi benar-benar pulang. Pulang ke rumahnya. Pulang ke Tetsuya.
END.
AN :
Wooohooo, akhirnya tamaat!
Ini udah happy ending kan?
Terimakasih sudah mau menunggu (Jika masih ada) Maaf atas keterlambatannya yang amat sangat!
Jika kalian sudah lupa dengan cerita ini, tidak apa, bisa baca lagi :P
Awalnya mau saya potong jadi dua chapter, tapi nggak usahlah. Tamatin aja sekalian. Ini udah terlalu lama T.T
Well, terimakasih atas semua dukungannya, saya tunggu saran dari kalian dan sampai jumpa pada fanfiction selanjutnya!
Sign,
Gigids.
Omake :
Selesai acara dekap-dekap yang akhirnya membuat Akashi dijewer Shiori, akhirnya mereka benar-benar berdua lagi. Furihata sudah pamit, dan Shiori kini pergi.
Awalnya memang Akashi benar-benar tidak ingin pulang, namun Furihata meyakinkan Akashi. Jadi, sebenarnya ini termasuk pertaruhan.
Furihata minta maaf karena merahasiakan ini, namun dia bilang dia berharap Tetsuya dan Akashi bisa bersatu kembali. Juga Shiori yang akhirnya ikut turun tangan menyelesaikan ini.
Tetsuya kesal, namun.. rasa bahagianya tak bisa dipungkiri.
Namun sekarang.. kecanggungan ini terasa sekali.
"Tetsuya?"
"Ap-"
BRUK!
Tetsuya terlempar ke ranjang, dan Akashi yang menindihnya kemudian. Tetsuya mengira bahwa Akashi akan menciumnya kasar. Namun, Akashi tetap diam, dan memandang.
"Sei-kun?"
"Panggil namaku, Tetsuya."
"Sei-kun,"
"Lagi."
"Sei-kun."
"Tetsuya," Kemudian dikecupnya keningnya. Lalu turun pada hidung, juga kedua pipi.
"…" Tetsuya nyaris menangis diperlakukan selembut ini.
"Tetsuya," Satu panggilan lagi, kemudian Akashi membawa belah bibir bertemu.
Tidak kasar, begitu lembut, penuh afeksi. Seakan ingin menyalurkan banyak perasaan yang mengikat mereka kini.
Tak ada percakapan atau pertanyaan tentang status mereka, karena ini sudah berarti banyak, tidak perlu diungkap.
"Tetsuya, aku bahagia sekali. Rasanya seperti mimpi."
"Aku juga."
"Aku bersumpah, tidak akan mengecewakanmu lagi. Tidak lagi. Jadi tolong, jangan suruh aku pergi."
Tetsuya mengangguk. Perasaannya kembali meledak. Kembali bergejolak hebat.
"Maaf, Sei-kun. Maaf."
Atas tindakannya yang juga sudah melukai.
Atas tindakannya yang tidak memercayai.
"…"
"…"
"Pipiku sakit. Cium aku." Pinta Akashi, "Aku pulang dan kau menamparku." Setengah merajuk terdengar.
"Maaf, aku pikir tadi mimpi. Jadi aku menampar Sei-kun untuk memastikannya."
"…" Akashi speechless atas perbuatan Tetsuya.
Tapi dia merindukannya. Tingkah dan tindakan Tetsuya yang kadang absurd dan menggemaskan selalu dia rindukan dalam mimpi-mimpinya.
Akashi memeluk Tetsuya gemas, sudah lama sekali mereka tidak seperti ini setelah sekian lama.
"Lepas, Sei-kun! Rasanya sesak!"
"Aku juga ingin memastikan ini nyata, sayang."
Mereka tertawa, benar-benar tertawa. Bukan topeng yang menutupi muka. Bukan topeng yang menyembunyikan duka.
"Tetsuya,"
"Apa?"
"Ayo jangan pacaran. Kita menikah saja."
End, really.
Aku harap kalian menyukai ending ini :)