Disclaimer: yang kupunya hanyalah plot. Judul dan puisi yang bergaris miring di bawah diambil dari lirik lagu Barisan Puisi, dinyanyikan (cover) oleh Endah n Rhesa. Inspired by my confession tweet this morning, and maybe heavily inspired by the feeling of what it takes series by abucketofchicken in ao3.

Warning: implied of suicide and depression (not graphic, but still)

Pairing: Yoongi/Suji (The Unit, was Halla from The Ark)


Barisan Puisi

oleh kaorinin


If I die young, maybe, just maybe, if I could, I would tell people I love the most that I love them.

And tell that I was sorry.

Ingat aku saat kau lewati

Jalan ini setapak berbatu

Kenang aku bila kau dengarkan

Lagu ini terlantun perlahan

Yoongi menyentuh layar ponselnya.

Ratusan pesan baru. Puluhan panggilan tidak terjawab. Ia melihat dari bar notifikasi, kebanyakan berasal dari nomor hape kakaknya—ah, mereka pasti sudah mengetahui semua ini dari Seokjin hyung—teman-temannya juga bergantian mengirimkan chat di grup ataupun chat secara personal. Dan juga Suji.

Gadisnya, gadisnya yang ia begitu cintai.

Ia membayangkan Suji mungkin sedang ada di apartemennya sekarang, duduk berjinjit kaki sambil menggigit ibu jari tangan kanannya. Kebiasaannya ketika ia sedang gugup. Yoongi tahu teman-temannya tidak akan membiarkan kekasihnya ikut pergi mencarinya. Ia yakin, setidaknya ia bisa mempercayakan Jimin untuk tugas ini.

Jadi mungkin sekarang ia sedang memejamkan matanya, memohon untuk Yoongi segera pulang. Kedua pipinya basah dengan bekas air mata. Suji tidak suka menyeka wajahnya dengan tisu jika ia sedang menangis. Ia lebih memilih jari-jari tangan Yoongi yang menghapusnya secara perlahan. Suji bukanlah orang yang gampang menangis, ia tegar dan kuat. Beberapa kesempatan Yoongi melihatnya menangis—hatinya perih jika mengingat hal ini—adalah saat-saat di mana Yoongi sendiri yang membuatnya berlinangan air mata.

Seperti sekarang ini.

Mungkin itulah alasan mengapa Suji membiarkan tangan Yoongi untuk menyeka air matanya. Agar Yoongi dapat mengingat betapa sedihnya Suji ketika itu. Bulu matanya yang lentik dan panjang mengerjap pelan, seakan ikut merasakan pergolakan batin yang saat itu dialami Yoongi.

Tapi kali ini ia tidak bisa menyeka kedua pipinya yang basah.

Jadi Yoongi menghapus jejak air mata di pipinya sendiri sambil berharap Suji sadar tidak akan ada lagi tangannya yang menyeka bekas air matanya—tidak akan ada lagi yang membuatnya menangis, lebih tepatnya.

.

.

.

Ingat aku bila kau terasing

Dalam kelam keramaian kota

Tidak ada yang mengetahui kapan itu semua terjadi. Tidak ada yang pernah menyangka. Yoongi selama ini tidak pernah terlihat terasing, menyendiri—mungkin. Tapi tidak terasing. Ia tetap berada dalam lingkaran teman-temannya, dan juga Suji. Mereka jarang sekali bertengkar—sesekali, mungkin iya. Tapi tidak untuk hal yang bersifat besar seperti ini.

Tidak ada yang tahu kegelapan itu telah merenggut Yoongi, sudah sejak lama. Dan tidak ada yang menyadari jika Yoongi sedang berjuang menghadapi kegelapan itu. Namun pada akhirnya, ia sendiri tidak kuasa lagi membendungnya.

Hidupnya dipenuhi cahaya, ia tahu itu. Ia tidak pernah meminta lebih, tidak ketika ia sudah pernah merasakan hidup tanpa cinta—atau, cinta yang tidak seperti harapan dan angannya. Pernah ada masa di mana ia berpikir bahwa kehadiran teman-temannya dan Suji mungkin sebuah kompensasi dari Tuhan atas masa kecilnya. Atau mungkin, ia berharap begitu.

Ia ingin memaafkan. Ingin memulai hidup baru. Ingin mencintai sama besarnya seperti teman-teman dan Suji mencintainya.

Tapi itu semua tidak pernah cukup.

Tidak jika bahkan ia belum bisa mencintai dirinya sendiri.

.

.

.

Barisan puisi ini

Adalah yang aku punya

Mungkin akan kau lupakan

Atau untuk dikenang

Mungkin di sinilah saatnya ia harus menerima.

Inilah saatnya ia melepaskan segalanya. Ketakutannya, kekhawatirannya. Rasa bencinya. Rasa cintanya.

Rasa bersalahnya.

Mungkin inilah saatnya ia dapat mengutamakan dirinya terlebih dahulu.

Sebelum ia memikirkan orang lain.

Teman-temannya.

Suji.

Suji.

Suji.

Sebelum ia memikirkan Suji.

Karena ia tahu, dan ia sudah mencoba. Namun ia tetap tidak bisa.

.

.

.

Doakanlah aku malam ini

Sebelum kau mengarungi malam

Yoongi sudah lama memikirkannya. Sejak dulu. Mungkin sebelum ia mengenal Suji—karena ia tahu hari-hari bersamanya terlalu indah, namun tidak pernah mampu untuk menghapusnya.

Ia pernah memikirkan jika ia mati nanti, ia akan menghubungi orang-orang yang ia sayangi—dalam kamusnya saat itu hanya ada Seokjin hyung, Namjoon, Hoseok, Jimin, Taehyung, dan juga Jungkook—mengatakan bahwa ia mencintai mereka, seberapa aneh pun kata itu mungkin terdengar bagi mereka. (Karena Min Yoongi tidak pernah mengatakan cinta—secara langsung)

Tapi situasi saat ini sudah berbeda, jauh, jauh lebih baik. Semenjak ada Suji.

Maka dari itu jika ia mati nanti—atau hari ini, atau besok, atau sekarang juga—ia akan menghubungi orang-orang yang ia sayangi—mungkin juga ibunya atau kakaknya—entahlah, mengatakan pada mereka bahwa ia mencintainya.

Dan juga ia meminta maaf.

Untuk Suji. Selalu untuknya.

Karena ia tidak bisa. Sungguh ia sudah mencoba, namun tetap tak bisa.

.

.

.

Televisi di ruang tengah tidak pernah mati. Jimin pernah mencoba ingin mematikannya namun Suji melarangnya. Ia tidak tahu—atau mungkin sudah tahu?—barangkali saja akan ada sesuatu yang muncul dari layar itu.

Entahlah. Kecelakaan mobil. Tabrak lari. Orang jatuh dari gedung perkantoran. Atau mungkin seorang pria ditemukan mengapung tidak bernadi di pinggiran pantai.

Yoongi tidak bisa berenang, tapi ia amat mencintai laut. Dan mungkin—mungkin saja ombak tidak tega mengambilnya dan mengembalikannya padaku, begitu pikirnya.

Suji memejamkan mata, air matanya mengalir lagi. Tidak, ia tidak menyekanya. Ia tahu Yoongi mungkin tidak akan kembali untuk mengusap pelan wajahnya, mengecup lembut dahinya, memeluknya.

Tapi mungkin saja.

Mungkin saja ini adalah kesempatan terakhirnya untuk berharap.

Suji tidak ingin menyia-nyiakannya.

.

.

.

Author's note:

i know it was a fucking open ending.