-oOo-
MERKURI BERACUN
Disclaimer: Harry Potter selamanya milik J.K Rowling. ScarheadFerret sama sekali tidak mengambil keuntungan finansial dan material dari menulis fanfiksi ini.
Genre: Poetry, Hurt/Comfort, Family
Pair: DraRy, HInny, DraStoria
Warning: Slash, a bit OOC, modified canon
-oOo-
.
.
.
Bagaimana bisa kutahan rindu ini jikalau satu-satunya hal yang selalu berbayang, bermain, dan berkelumit di pikiranku adalah sosokmu. Sosokmu yang sedari dulu tak luput dari mata hijauku ini. Yang senantiasa menyergahku setiap kali kuberbuat sesuatu. Tanpa ada perintah tertuang dari banyak orang pun, kau adalah insan pertama yang akan selalu melempariku dengan jampi-jampi hinamu. Lucunya, mengapa aku tak keberatan akan semua itu?
-oOo-
.
Kau datang bagai seorang pastor
Tiap frasa dari bibirmu adalah berkat
Aku tak perduli mereka berwacana
Sedikit pun itu, bahkan mereka anggap kutak sehat
.
Ketaksaan burung pipit pun kudapati
Tak berarti apapun asal dirimulah yang tahu
Genta kala itu seakan jua tak berpihak padaku
.
Sedih? Tidak
Masih ada swastamita menoleh padaku
Meski mega merah yang ia tawarkan seolah tak acuh
Namun aku cukup bahagia
Ada kilau keperakan di balik sana
.
-oOo-
Kepulan asap dari cerobong kereta merah di sana seakan datang penuh harap menyelimuti orang-orang berwajah cerah saling menampakkan keramahan. Suara deret roda troli juga tak ingin kehilangan momennya untuk menemani mereka semua.
Anak-anak belasan tahun berjalan menyusuri lantai bebatuan diiringi pelukan hangat dari orang tua mereka. Dan di sini pulalah Pahlawan Dunia Sihir berdiri. Bersama istri dan ketiga anaknya yang terlahir begitu cantik dan juga tampan. Harry Potter menautkan jemarinya dengan jemari anak keduanya yang akan memulai tahun pertamanya di sekolah sihir termahsyur di alam semesta.
Jauh di dalam mata anaknya yang sangat mirip dengannya itu tersimpan sebuah keraguan. Pertanyaan-pertanyaan tersimpan di benak anaknya seakan enggan berlama-lama terkurung di dalam sana. Suara ketukan jam di stasiun itu mencoba memberhentikan langkah keduanya. Mereka saling memberikan pelukan.
"Albus? Ada apa?"
"Ayah, aku takut,"
Harry mengelus-elus rambut hitam anaknya. Dirasakannya kelembutan yang tercipta dari gesekan tangan dan rambut anaknya.
"Apa yang kau takutkan, Al?"
"Bagaimana kalau aku di Slytherin?" tanya Albus serupa bisikan.
Harry memberhentikan elusannya dari rambut Albus. Ia melepas pelukannya yang ia ganti dengan berjongkok di hadapan anaknya. Mencoba menyamakan posisi badan dengan Albus. Ia menghela nafas pelan.
"Albus Severus," kata Harry pelan, sehingga tak ada orang lain kecuali Ginny yang bisa mendengarnya, dan Ginny cukup bijaksana untuk berpura-pura melambai kepada Rose, yang sekarang sudah di atas kereta, "kau dinamakan seperti dua kepala sekolah Hogwarts. Salah satunya adalah Slytherin dan dia barangkali orang paling berani yang pernah kutemui."
"Tapi seandainya saja-"
"-Maka Asrama Slytherin akan beruntung mendapatkan murid yang luar biasa, kan? Bagi kami tak jadi masalah, Al. Tapi kalau bagimu ini masalah, kau bisa memilih Gryffindor dan menolak Slytherin. Topi Seleksi memperhitungkanpilihanmu."
"Betulkah?"
"Begitulah yang terjadi padaku." Kata Harry. Lagipula, Al… Slytherin tak terlalu buruk. Aku memiliki banyak kenangan dengan asrama itu. Setidaknya dengan salah satu penghuninya. Harry melanjutkan kalimatnya dalam hati. Ia tidak berani menceritakan yang satu itu kepada anaknya. Karena ia tahu, bukan kapasitasnya untuk berbagi hal itu pada Albus.
Sekarang pintu-pintu membanting menutup di sepanjang kereta merah tua, dan garis bentuk samar para orangtua berdesakan maju untuk ciuman perpisahan, untuk pesan-pesan terakhir. Albus melompat ke atas gerbong dan Ginny menutup pintu di belakangnya. Murid-murid menjulurkan kepala dari jendela-jendela di dekat mereka. Sejumlah besar wajah, baik di kereta api maupun di peron, kelihatannya menoleh ke arah Harry.
Tebalnya asap semakin membubung tinggi, suara peluit kereta telah dibunyikan. Suara mesin alat transportasi itu berderu keras mengisi tiap rongga telinga. Kereta itu mulai berjalan, pelan namun pasti. Harry melambaikan tangannya kepada kedua anaknya—James dan Albus—yang berada di kompartemen yang berbeda, melambai kepadanya, Ginny, dan Lily. Pandangannya mengikuti arah laju kereta itu, sekilas di dekat Albus nampak ada seorang anak seumuran anaknya, berambut pirang dan mirip dengan seseorang yang Harry kenal.
Detik berikutnya, matanya menangkap sosok yang selama belasan tahun ini mengisi relung hatinya. Berdiri beberapa meter dari tempatnya, menatap Harry dengan senyum tipisnya.
-oOo-
.
Waktu memang kejam
Bagaimana bisa ia tak bercerita
Tentangku dan dia yang Tuhan putuskan tak bisa saling menyatu
Namun tentang kasih, hati ini pernah saling padu
Ikatan yang berselimut nirmala
Kastil tua yang mengurung kita
Adalah dua hal paling indah
Setidaknya, itulah yang kurasa
.
Bagaimana pun, ada kalanya jam raksasa itu akan berdenting
Pertanda bahwa segalanya akan berubah
Namun aku tak menyukai ini
Aku tak suka
Gundahku muncul, peluhku melanda
.
Haruskah ia lepas?
Ataukah aku yang melarikan diri?
Aku tahu, sangat tahu
Bualan kelak membanjiri
Memaksaku, dan mungkin ia pula, berpisah
Mengganggap semua itu demi sesuatu yang mereka sebut kebaikan
Atau masa depan aliasnya
.
-oOo-
Ada apa dengan kakinya? Harry berusaha untuk tetap berdiri di samping istrinya. Namun tidak bisa. Seakan kedua kaki beralaskan sepatu hitam itu menuntun paksa dirinya untuk mendekati pria yang kini rambutnya mulai gugur. Tiap langkah yang diambilnya membuat tekanan jantungnya semakin bertambah
Deg
Deg
Deg
Pria berdagu runcing itu tetap dalam posisinya. Sedangkan Harry semakin mendekat. Ia rindu. Bertahun-tahun ia mengidap rasa rindu. Rasa yang ia tujukan pada pria di hadapannya kini. Segalanya. Segala tentang dia. Kini mereka saling bertukar pandang. Membiarkan nuansa hati saling menguap mengelilingi mereka. Tidak ada sapa, tidak ada sahutan. Mereka untuk beberapa menit saling bertatap muka dan mata. Hingga tangan pucat berurat itu terjulur. Harry menunduk, melihat garis-garis tangan yang nampak jelas mulai keriput. Pria bangsawan di hadapannya menunggu sebuah balasan salam dari dirinya. Dengan segala adukan hati yang tengah berputar, Harry membalas salamannya. Menggenggam erat tangan dingin sedingin marmer. Harry kembali menatap pria di hadapannya, namun sekarang ia memunculkan setetes air di ujung matanya. Tidak sampai jatuh. Hanya tertahan. Semoga.
Empat mata dua warna kini bersua setelah sekian lama terhalang oleh goresan pena waktu. Tidak ada sepatah kata pun terucap. Hanya mata mereka yang saling berbicara. Bahwa mereka saling merindukan. Dalam diam dan mematung. Tidak memperdulikan istri mereka masing-masing yang masih sibuk melambaikan tangan kepada putra mereka. Jangan mengganggu. Biarkan mereka seperti ini. Setidaknya untuk sementara waktu.
Jabat tangan tak ingin lepas. Namun Harry ingin melepaskannya. Ingin memindahkan tangannya. Mata hijau di balik kacamatanya mengisyaratkan kepada pria di hadapannya untuk melepaskan tangannya. Ia mohon dengan penuh kepastian. Pria itu mengerti. Menyimpulkan senyumnya lagi. Perlahan ia melepas tangan Harry. Gesekan yang meninggalkan sentuhan lembut kini ia tarik kembali.
Siapa mengira bahwa tangan itu akan berubah memberikan pelukan kepada sosok di hadapannya. Harry memeluk orang yang pernah ia tanam dalam hati. Menyandarkan dagunya ke atas pundak kokoh pria itu. Saat itu penuh harap. Sosok yang dipeluknya sesaat tak memberi respons. Namun isakan kecil yang hanya bisa ia dengar, membuat kedua tangan berbalut pakaian hitam itu kini balik membalas pelukan Harry. Bertahan untuk sementara waktu. Sementara. Di dalam sana, pena waktu menuliskan di atas benak mereka untuk saling berucap. Ucapan yang saling mereka tunggu, saling mereka harapkan. Dan mungkin akan terulang lagi suatu saat nanti.
"I miss you."
-oOo-
.
Aku salah
Jam raksasa tua itu tak sepenuhnya merubah
Lautan hijauku kini yang tercemar lagi
Oleh sesuatu yang orang lain mencoba hindari
Aku tak keberatan padahal
Karena aku merasakannya seorang diri
Dan mereka tidak
Tolong biarkan
.
Kau tahu, wahai cahaya
Sesuatu yang berbahaya memang tak elok
Bahkan tak diharapkan
Tapi…
Aku tidak
Merkuri beracun itu yang kudamba
Yang selama ini racun itu mengendap dalam raga
Oh, tidak, jiwa pun merasa
Aku yang menunggumu, waktu
Tak bisa kulayangkan apapun kepadamu
Segalanya yang terjadi, kini kuilhami
.
Semerbak petrikor tak bisa ku membencinya
Tenang, begitu menenangkan
Biarkan seperti ini saja, cahaya
Biar aku yang merasa
Biar kacamata kunoku ini yang menua
Rinduku jangan
Biar telinga ini yang terseruak
Asaku jangan
Dan biarkan hati ini yang keracunan
Cintaku jangan
.
Merkuriku, tenggelamlah dalam lautanku
Dalam senandika tak berujung ini, kuharapkan dirimu
Bertukar rindu
Biar untuk sementara waktu
Tanpa arah dan tuju
Merkuriku, lautku merindukanmu
Kamu
.
-oOo-
.
.
.
_FIN_
Author's Note:
Fanfiksi kali ini SF buat untuk memeriahkan event #MariBerpuisi oleh author Kenzeira. Semoga tadi tadi saat baca berkesan ya.
Mind to review?