Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto

.

.

.

Chapter 1

.

.

.

Jika ada audisi gadis paling tabah, nampaknya Hinata akan terpilih. Lihatlah, pagi ini ia mampu berjalan dengan kepala tegak memasuki gereja. Gaun putihnya melambai digerakkan angin pagi. Surai indigonya tergerai rapi di punggung. Walau sendu, senyuman tipis tak absen dari wajah cantik gadis Hyuuga itu.

Langit tenang, tak murka seperti hari kemarin. Sinar matahari mengintip malu-malu dari balik arakan awan seputih mutiara. Tiada lagi amarah sang angin, gempita guruh, atau jeritan hujan. Langit, alam, dan seisi manusia di kota Konoha seakan berkonspirasi untuk memuluskan sebuah peristiwa sakral.

Ah, hanya Tuhan yang Maha Cinta yang mampu menembus dinding hati Hinata. Dinding hati itu telah robek. Sempurna dirobek pria berambut pirang dengan kulit tanned dan tiga garis serupa kumis kucing di pipinya. Pria pemilik senyum secerah mentari di kala summer. Pria yang tengah dipakaikan stola dan kasula Imam oleh ibunya.

"Ibu? Kenapa Naruto hanya ditemani Kushina, ya? Kemana Wali Kota Namikaze Minato?"

Bisik-bisik merambat di penjuru gereja. Ruang utama yang disesaki ratusan umat kian memanas oleh keganjilan. Seorang putra wali kota, melakukan tahbisan Imam tanpa didampingi sang ayah yang notabene orang nomor satu di Konoha City.

"Ada yang tidak beres," gumam suara berat di belakang Hinata.

Refleks gadis itu menolehkan kepala. Oh tidak, ia mengambil posisi di dekat si rambut pantat ayam! Senyum miring memulas wajah Uchiha Sasuke kala iris onyxnya membentur iris lavender Hinata.

"Kau patah hati, Hyuuga?" ejeknya.

"Ti-tidak," sahut Hinata cepat.

"Jangan bohong. Matamu berbicara lebih banyak dari bibirmu." Ketus Sasuke.

Hinata menundukkan pandang. Kedua kakinya ia geserkan dengan gelisah. Lebih cepat menjauh dari si bungsu Uchiha, lebih baik. Berada di dekat Sasuke membuatnya merasakan sensasi seperti terperangkap dalam sorotan sinar X-Ray.

"Makanya, jangan pernah jatuh cinta pada calon Pastor." Masih bisa didengarnya kritik pedas Sasuke.

"Sudah tahu mereka tak bisa dimiliki. Dengarkan aku, Hyuuga. Kamu baru bisa memiliki seorang Kleris kalau Konsili Vatikan membatalkan aturan selibat..."

"Cukup, Uchiha."

Suara apa itu? Takut-takut, Hinata mendongak. Si tampan berambut merah itu berdiri menjulang di sampingnya. Mata jadenya menatap Sasuke seolah ingin melubangi tubuhnya.

"Sekali lagi kau memprovokasi Hinata, aku akan membatalkan kerjasama Sabaku Enterprise dengan Uchiha Group."

Bukannya ketakutan, Sasuke tertawa hambar. Ia mendengus sinis dan membalas tatapan tajam Gaara.

"Berani mengancamku, Sabaku? Sebesar itu cintamu pada Hyuuga?"

"Ya, baka otouto. Cinta Gaara pada Hinata lebih besar dari cintamu untuk Sakura."

Hati Sasuke mencelos. Gaara tersenyum penuh kemenangan. Hinata bernafas lega. Jika panggilan 'baka otouto' telah mengudara, takkan ada yang bisa terganggu karena ketajaman ucapan bungsu Uchiha.

Itachi menyeruak melewati deretan bangku. Dia berdiri persis di samping Sasuke. Voila, pria yang baru-baru ini mempersunting dr. Inuzuka Hana itu berhasil mengenai titik lemah di hati sang adik. Ok fine, kita tinggalkan wajah Sasuke yang merona dan senyum puas kakaknya. Kita lihat pasangan merah-indigo itu.

"Gaara-kun, terima kasih mau datang menemaniku." Lirih Hinata.

Wajah Gaara melembut. Sorot matanya berubah sayu.

"Apa yang dikatakan Itachi benar, Hinata..." ujar pemuda Sabaku itu lembut.

Sebelah alis Hinata terangkat.

"Maksudnya?"

"Cintaku untukmu lebih besar dari cintanya si raven itu untuk Haruno."

Jantung Hinata bagai berhenti berdetak. Apakah waktunya tepat? Belasan tahun Gaara dan Hinata merangkai hari dalam kebersamaan. Separuh hidup Hinata terisi oleh Gaara. Rahasia hati Gaara pun telah lama dia ketahui. Namun, tidakkah Gaara terlalu cepat mengucap kata cinta di tengah hatinya yang membadai?

Hinata menggigit bibirnya kuat-kuat. Alhasil bibir indah itu berdarah. Tenggorokannya sakit. Bukan karena adanya phlegm, bukan pula karena radang. Hanya faktor emosional semata. Perkataan tulus Gaara memanggil-manggil air mata.

"Bibirmu berdarah,"

Gaara memajukan tubuh. Lembut mengusap bibir Hinata dengan tissue. Mata keduanya beradu. Jade bertemu lavender. Kelembutan bertemu kegalauan. Ketulusan bertemu keputusasaan. Sabaku bertemu Hyuuga. Putra Rasa bertemu putri Hiashi. Malaikat tampan bertemu putri jelita.

"Lain kali jangan digigit lagi ya," ujar Gaara lembut.

Piano berdenting pelan. Paduan suara melantunkan lagu Aku Abdi Tuhan. Mata Hinata memanas. Selamat tinggal cinta pertama. Selamat tinggal matahariku, pikirnya getir.

Bulir demi bulir bening berjatuhan dari kelopak mata Hinata. Terjun bebas membasahi pipi. Demi melihat itu, Gaara tak tega. Tiap tetes air mata Hinata adalah tusukan pisau yang mengiris kalbunya. Tidak, Gaara tak bisa membiarkan Hinata menangis. Air mata gadisnya terlalu berharga untuk seorang Pastor yang hanya bisa menghancurkan hati perempuan.

Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Gaara meraih lembut tubuh Hinata. Membawa tubuh sintal yang bergetar hebat itu dalam rengkuhan. Gaara memeluk Hinata erat, seolah takkan pernah dilepas lagi untuk selamanya. Ia cium kening Hinata. Ciumannya turun perlahan hingga ke mata. Ia jilat air mata Hinata.

"Ini yang terakhir, ok?" bisiknya.

Hinata tergugu. Hatinya hancur sehancur-hancurnya. Tahbisan Naruto adalah puncak tertinggi kesedihannya.

Siapa bilang Hinata hanya menangis sendirian? Di ujung sana, wanita berambut merah dan bergaun putih panjang itu pun menangis. Melepas anak satu-satunya untuk menjadi abdi Tuhan tanpa keturunan membuat hati Kushina teriris. Sudah menjadi rahasia umum bila para ibu di Konoha City selalu berdoa hal yang sama: Ya, Tuhan, perbanyaklah hati yang terpanggil untuk menjadi gembalaMu, tetapi jangan anakku. Banyak orang tua tak rela melepas anaknya menjadi biarawan biarawati.

"Lihat itu si Uskup mesum," komentar Sasuke. Menunjuk Uskup Jirayya dengan dagunya.

"Pelankan suaramu, otouto." Itachi memperingatkan.

"Kenyataan kok. Sebelum menjadi Uskup, dia kan mengencani banyak wanita."

Sasuke benar-benar tak tahu tempat. Dalam momen sakral begini, masih saja dia melempar kritik setajam silet.

Terlihat Naruto berlutut dengan tangan menengadah. Ia menadahkan tangannya di depan Uskup Jirayya.

"Kenapa harus tangan yang diurapi dengan minyak suci?" selidik Ino, gadis pirang dengan bola mata aquamarine. Ia salah satu teman baik Naruto yang diundang ke acara tahbisan.

"Dalam Misa, Kristus hadir lewat tangan Imam. Kristus akan dibagi-bagi pada seluruh umat melalui tangan pemimpin mereka," jelas Sai. Pelukis terkenal berambut hitam itu telah melamar Ino minggu lalu.

Bersama mereka menyaksikan Uskup Jirayya mengambil minyak suci dengan ibu jarinya. Lalu pria berambut putih itu mengurapi tangan Naruto seraya berkata,

"Semoga Tuhan Yesus Kristus, yang telah diurapi Bapa dengan Roh Kudus dan kekuatan, menjaga engkau untuk menguduskan umat Kristiani dan mempersembahkan kurban kepada Allah."

Detik itu juga, pecahlah air mata Hinata. Kushina terisak hebat, tak dapat lagi menyembunyikan pedih hatinya. Hinata lebih beruntung dari Kushina. Masih ada sepasang lengan hangat yang memeluknya penuh kasih.

"Kumohon Hinata, ini yang terakhir. Aku tak bisa melihatmu menangis." Pinta Gaara, suaranya bergetar.

"Aku janji, Gaara-kun."

Ya, ini terakhir kali Hinata bertemu Naruto. Selanjutnya pemuda itu akan bertugas di tanah misi. Kemungkinan mereka berjumpa lagi setipis tripleks.