Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto

.

.

.

Chapter 17

"Hei, anak buta itu datang! Anak buta itu datang!"

Teriakan anak-anak di taman bermain bagai teror mental untuk Shinki. Berusaha tak peduli, ia terus berjalan dengan bantuan tongkatnya. Tongkat putih alumunium itu membentur ayunan. Inilah benda yang ingin didudukinya.

Bocah tampan itu menghempaskan tubuh di ayunan. Satu tangan menyandarkan tongkatnya. Tongkat, sahabat yang menemaninya jika ia berjalan tanpa Gaara dan Hinata.

"Ck ck ck, bisa jalan sendiri juga ya, anak buta itu."

"Iyalah. Pakai tongkat, kan?"

Susah sekali untuk menulikan telinga dari ejekan mereka. Sebisa mungkin Shinki mengingat larangan Bundanya untuk terprovokasi. Ia juga mengingat nada lembut dalam suara Ayahnya.

Bunyi patahan ranting menyentil indera pendengaran. Disusul derap langkah terseret. Detik berikutnya, beberapa anak melompat maju. Mereka mengambil tongkat Shinki yang tersandar di ayunan.

Dalam kegelapan yang menyelubungi, Shinki tahu bahwa tongkatnya diambil. Refleks ia menegakkan punggung. Tangannya meraih ke depan, berusaha menjangkau tongkat. Usahanya nihil. Anak-anak itu kabur sambil menjulurkan lidah.

"Shinki buta! Shinki buta!" teriak mereka mengolok Shinki.

"Udah anak pungut, buta lagi! Wleeek!"

Tak puas-puas sekelompok anak badung itu mencemooh Shinki. Shinki terpuruk di ayunan. Merasa tak berdaya. Bagaimana ia bisa pulang tanpa tongkat? Jika terlalu lama di sini, ia akan kemalaman sampai di rumah. Ayah Gaara dan Bunda Hinata pasti cemas.

Shinki meneguhkan hati. Dia harus bisa berjalan tanpa bantuan tongkat. Dia pasti bisa. Sembari memegang ayunan, Shinki merekam kembali nasihat Gaara.

"Kalau kamu berjalan sendiri tanpa Ayah dan Bunda, banyaklah berdoa. Berdoalah, Sayangku. Tuhan akan menunjukkan jalan agar kau tidak tersesat."

Gotcha! Ya, ia akan berdoa. Tuhan tidak akan menyesatkan.

"Ya, Tuhan, bantu Shinki. Beri petunjuk biar Shinki bisa pulang ke rumah." Hatinya mendaras doa.

Pelan-pelan Shinki bangkit. Berjalan dengan kaki terseret meninggalkan taman. Benaknya ragu bercampur takut. Ragu memilih arah. Takut terjeblos lubang atau terpeleset.

Shinki berjalan, terus berjalan. Jarak taman bermain dengan rumah sekitar sepuluh menit. Untunglah jalanan cukup lurus dan rata.

Dituntun nalurinya, anak lelaki kesayangan Gaara dan Hinata itu melangkah mantap. Tangan Tuhan membawa Shinki langsung ke depan rumahnya. Dari mana Shinki tahu kalau dia telah sampai? Dari wewangian lavender yang menyerbu hidungnya. Rumah siapa lagi yang dipenuhi wangi bunga lavender selain rumah Sabaku Gaara?

"Puji Tuhan," gumam Shinki senang. Tangannya bergerak melukis tanda salib di depan dada.

Sejurus kemudian, Shinki menurunkan tangan. Niatnya membuka gerbang. Gawat, gerbang rumahnya tergembok. Bagaimana ini? Ayah Gaara dan Bunda Hinata bisa saja sedang misuh-misuh campur cemas di dalam sana.

"Shinki! Terima kasih Tuhan, akhirnya Ayah menemukanmu!"

Mendengar suara barithon nan lembut itu, Shinki terlonjak kaget. Datangnya bukan dari arah rumah. Satu tarikan pelan membuat Shinki merebah di pelukan Gaara. Shinki tahu pasti ini pelukan Gaara dari wangi Blue Seduction Antonio Banderas.

"Ayah mencarimu, Sayang. Taman bermain sudah kosong saat Ayah ke sana." Ungkap Gaara.

Ingatan tentang taman bermain membuat hati Shinki sakit. Seketika wajahnya membiru duka. Mengamati perubahan air muka anaknya, Gaara menanyainya dengan lembut.

"Anak-anak mengambil tongkatku. Mereka mengejekku buta dan anak pungut." Shinki mengadu, sedih.

Batin Gaara terkoyak mendengarnya. Anak zaman sekarang belajar membully terlalu cepat. Betapa mudahnya menjual kondisi fisik dan status sosial sebagai komoditi perundungan.

Gaara merangkul Shinki masuk ke rumah. Lembut membantunya melepas sepatu. Mendudukkannya di sofa. Kening Gaara menempel di kening Shinki.

"Shinki Sayang, dengarkan Ayah. Kau anak spesial. Di mata Ayah, kau istimewa. Shinki punya banyak kelebihan yang tidak mereka miliki. Shinki punya wajah tampan, suara bagus, dan otak cerdas. Jadi...apa yang harus disedihkan, Sayangku?" tutur Gaara lembut, sangat lembut.

Perkataan Gaara selembut angin pegunungan yang melambungkan hati Shinki. Perlahan tetapi pasti kesedihannya terhapus. Ia berjanji takkan memedulikan ejekan anak-anak itu.

"Aku sayang Ayah," lirihnya.

"Ayah sayang Shinki."

Ruang tamu rumah Sabaku menghilang. Taman bermain kembali lagi. Kini, taman bermain disirami kehangatan cahaya matahari. Shinki duduk di ayunan yang biasa. Riuh-rendah obrolan riang di sekeliling masih bisa didengarnya.

Kelakuan gerombolan anak yang menjahili Shinki makin merisaukan saja. Dengarlah, mereka tengah bercanda dengan saling memanggil nama orang tua. Bukankah tidak sopan sekali?

Tahu tatakrama, aturan nomor tiga untuk menjadi anak ideal versi Ayah Gaara. Shinki menerapkannya. Syukurlah dia tidak tergabung dengan geng nakal itu. Shinki terus bermain ayunan ditemani sebungkus biskuit pemberian Hinata.

"Gaara!"

Kepala Shinki tersentak ke belakang. Oh tidak, anak-anak badung itu memanggilnya. Siapa lagi anak Gaara selain dirinya? Amarah Shinki tersulut. Ayahnya yang begitu lembut tak pantas namanya diteriaki seperti itu.

Beberapa jenak kemudian, Shinki bangkit. Melangkah tegap ke sumber suara. Ia tak boleh diam saja.

"Bagaimana rasanya punya ayah penyakitan hm?" cerca anak lelaki bersuara berat.

"Pasti nggak enak, kan? Kamu nggak bisa lari-larian sama Ayah kamu. Nggak bisa main hujan." Timpal anak lain yang bersuara cempreng.

"Ada banyak dahak dan darah di kamar Ayahmu. Ayahnya Shinki penyakitan! Ayahnya Shinki penyakitan!"

Kelewatan! Mereka boleh menghinanya. Tapi, satu patah kata pun hinaan untuk Ayah Gaara tidak bisa dibiarkan. Shinki merangsek dan menerkam anak-anak berbibir tajam itu. Satu per satu kepala mereka dipukulnya dengan tongkat yang masih baru. Taman bermain gaduh oleh jerit kesakitan.

"Sekali lagi menghina Ayahku..." ancam Shinki, mengacungkan tongkatnya.

Sesudah grup anak kurang ajar itu lenyap, Shinki keluar dari taman. Ia berjalan pulang dengan hati sedih. Susah sekali menemukan anak baik di sini. Yodo dan Araya yang hidup di jalanan saja lebih sopan. Mereka bahkan respek pada Gaara. Rindu Shinki pada sang ayah membuncah.

Kabar tentang pemukulan tongkat tersebar secepat virus Korona. Malamnya, Shinki disidang Gaara. Eits, jangan harap menemukan mata panda berkilat marah atau suara naik satu oktaf. Stok kelembutan Gaara masih sangat banyak.

"How is your day going, Dear?" tanya Gaara.

"Bad. Ada anak-anak badung mengejek Ayah."

Bibir Gaara sedikit melengkung dalam senyum. Ia tetap mempercayai bahwa kelembutan dapat membuat seseorang nyaman membuka diri.

"Apa yang kaulakukan pada mereka?" tanyanya lagi.

"Kupukul dengan tongkat."

Detik berikutnya, Shinki waswas. Yakin sekali Gaara akan memarahinya. Karena itu betapa heran dia karena tetiba saja Gaara mengangkat tubuh Shinki ke pangkuannya.

"Sini, Sayangku. Ayah mau bacakan buku untukmu."

Lho, kenapa skenarionya beda? Kenapa Ayah Gaara membacakannya buku seperti selalu ia lakukan? Gaara membacakan novel klasik karya Harper Lee, To Kill A Mockingbird. Ia membaca bab pada bagian Scout Finch berkelahi dengan Francis karena sepupunya mengatai ayah Scout sebagai pencinta Niger.

Kerak es di hati Shinki lumer. Kelembutan Gaara, caranya menasihati Shinki lewat cerita, sungguh menyentuh. Kepala Shinki membenam di dada Gaara.

Kamar tidur Shinki lenyap. Tergantikan sebuah ruangan besar di lantai tiga gedung berarsitektur art deco. Lampu-lampu menyala di sepanjang ruangan seminar. Lantai berkilauan. Podium megah menampakkan sesosok pria tinggi semampai berambut merah. Slide show terpampang di sebelah kanan. Materi parenting terpampang jelas. Di samping Gaara, Shinki duduk malu-malu. Agak jengah diperhatikan banyak orang kaya dan terhormat.

"Jangan paksakan anak menguasai semua bidang. Kita sebagai orang tua tidak boleh mengkhultuskan satu bidang dan berpedoman pada angka-angka. Anak yang pintar Matematika sama istimewanya seperti anak yang pintar Seni Rupa. Anak yang punya kecerdasan musik sama uniknya dengan anak yang memiliki kecerdasan linguistik. Setiap anak adalah pribadi yang unik."

Tiada yang mustahil selama Tuhan dan semesta bicara. Lihatlah, seorang pria mandul tak punya anak kandung memberikan materi di seminar parenting untuk para orang tua. Di seberang ruangan, Hinata menatap bangga suaminya.

"Anak saya, Shinki," lanjut Gaara, menyentuh lembut tangan Shinki.

"Memiliki bakat seni. Ia punya kecerdasan musik. Saya tidak memaksanya belajar Matematika. Sengaja saya mengajarinya di rumah dengan metode homeschooling agar dia lebih fokus dengan minat dan bakatnya."

Kemudian Gaara mengingatkan para orang tua dengan lebih dari satu anak. Diingatkannya mereka untuk tidak membandingkan potensi anak satu dengan lainnya. Komparasi itu akan memancing anak-anak dalam situasi sibling rivalry.

Seminar usai. Shinki membawakan beberapa lagu. Semua ini atas rancangan skenario Gaara. Shinki bernyanyi sepenuh hati untuk Gaara. Gaara yang membanggakannya di berbagai kesempatan. Gaara yang tak malu membawa Shinki di acara-acara penting. Gaara yang tak acuh pada kasak-kusuk rekan bisnisnya tentang memiliki anak berkebutuhan khusus.

.

.

.

Ragamu boleh hancur lebur

Hidupmu boleh dilahap duka

Namun diriku akan selalu di sisimu

-Sabaku Hinata

.

.

.

"Ayah..."

Ditingkahi gumaman kecil, Shinki terbangun. Rupanya ia tertidur di pangkuan Hinata. Hinata sendiri merosot di balik pot bunga lavender.

Ibu dan anak itu ketiduran di rumah kaca. Matahari pagi telah bangun. Cahaya merahnya menembus atap rumah kaca. Suara Shinki membangunkan Hinata.

"Shinki...maafkan Bunda, Sayang. Kita malah tertidur di sini." Ucapnya serak. Menyibak anak rambut yang awut-awutan membingkai dahi.

Perlahan Shinki mengangkat kepala. Membelai halus tangan Hinata. Sejak Gaara koma, ia makin dekat dengan ibu cantiknya.

"Bunda, bolehkah aku ikut ke rumah sakit? Aku ingin di samping Ayah." Pinta Shinki.

Berat Hinata bernafas. Tidakkah terlalu riskan? Sakura menganjurkan untuk tidak membawa anak ke rumah sakit. Satu sisi hatinya membolehkan Shinki ikut bersamanya ke rumah sakit. Sisi lain menolak keras. Dilematis.

"Ayo ke rumah sakit, Bunda. Aku ingin jadi orang pertama yang dilihat Ayah saat Ayah terbangun," desak Shinki, menarik-narik gaun Hinata.

Perkataannya sungguh meluluhkan hati. Ibu mana yang tidak trenyuh dengan permohonan semacam itu? Baru saja Hinata meraih tangan Shinki, pintu rumah kaca berdenting membuka.

Kankuro melangkah memasuki rumah kaca. Disorongkannya sepiring wafel, secangkir English breakfast, dan segelas susu. Adik ipar dan paman yang pengertian. Sambil memakan wafel, Hinata meminta Kankuro mengantarnya kembali ke rumah sakit.

"Ah, kau selalu ingin berada di dekat adikku. Iya kan, Hinata?" desah Kankuro.

Pertanyaan retoris itu tak perlu dijawab. Kankuro menatap bunga lavender yang terhampar cantik di sepanjang rumah kaca.

"Gaara benar-benar mencintaimu."

Hinata memutar lehernya. Menatap aneh sang kakak ipar. Luasnya cinta Gaara, tentu dia tahu.

"Setengah tahun sebelum kalian menikah, Gaara sendiri yang menanam lavender di sini. Dia menumbuhkannya, merawatnya, memupuk dan menyirami dengan tangannya sendiri. Dan...voila." Kankuro membuat gerakan dramatis, memeragakan kuncup bunga mekar dengan tangannya.

"Hanya cinta tulus dari orang berhati putih yang bisa menumbuhkan bunga, Hinata."

Hampir saja Hinata tersedak. Mata Shinki memerah. Perkataan Kankuro menghujam tepat ke dasar hati.

Tak lama, Hinata sudah tiba kembali di paviliun rumah sakit. Orang-orang berkumpul lengkap: Naruto duduk diapit Sasuke dan Sai. Ino dan Sakura berangkulan. Lady Skuad duduk manis di sofa biru laut. Rasa dan Temari hadir pula. Bahkan ada Deidara dan Itachi.

Melihat Shinki, Hikaru melompat bangun. Ia memeluk cucunya dengan tangis tertahan. Shinki keheranan dipeluk wanita yang tidak familiar.

"Ini Grandma..." Hikaru memperkenalkan diri.

Shinki mengernyit. "Grandma? Grandmanya Shinki kan hanya Grandma Karura."

Mata Hikaru basah. Begitu pula mata Hinata. Pelan-pelan Hinata memberi pemahaman pada Shinki tentang siapa Hikaru.

"Tapi Shinki belum pernah ketemu sama Grandma Hikaru," cetusnya, sukses menohok ibu satu anak itu. Kemana saja Hyuuga Hikaru?

Seisi paviliun ikut terharu. Tanpa kesepakatan tertulis, Hikaru telah mengibarkan bendera keikhlasan. Ia membolehkan putrinya tetap menjadi Sabaku Hinata dengan berlapang dada.

Seharian mereka stay di rumah sakit. Kondisi Gaara belum menunjukkan progres signifikan. Namun, harapan belum pudar.

Sore hampir habis ketika para sahabat dan Lady Skuad berpamitan. Rasa, Temari, dan Kankuro menyusul. Tinggallah Hinata dan Shinki.

Keheningan merambati paviliun. Hinata menggenggam tangan kanan Gaara, sedangkan Shinki menggenggam tangan kiri. Sore dan malam berlalu dibalut kesedihan.

Keluarga kecil berselimut lara nestapa. Kepala keluarga mereka terbaring tanpa daya bagai mayat hidup. Hembusan nafas Gaara begitu lemah. Saturasi oksigen telah dinaikkan. Elektrokardiograf berpacu pelan.

"Ayah lama banget tidurnya...Ayah mimpi apa di sana? Kapan Ayah cium keningku lagi?" rintih Shinki pedih.

Anak sekecil itu. Ia butuh sosok Ayahnya.

Tangis mencekik tenggorokan Hinata. Memangnya hanya Shinki yang perlu? Hinata butuh Gaara, teramat membutuhkannya.

"Tanpamu hidupku berantakan, Gaara-kun. Aku bagai kehilangan pegangan. Kautinggalkan jiwaku meranggas dimakan sepi..." lirih Hinata.

Gaara tertidur panjang. Hinata kehilangan penopangnya. Gaara yang tangguh ambruk dilahap kanker. Hinata layu dicengkeram sendu.

Tangan Gaara diraihnya. Hinata kecup tangan pucat itu. Menatap miris cincin berhias huruf H di jari manis Gaara.

Dada Hinata serasa mau meledak menahan sesaknya rindu. Hinata merindukan Gaara hingga ia sulit bernafas. Kerinduan pada Gaara mengalir di urat darahnya, terselip di tiap tarikan nafasnya, dan menyumsum dalam tulang-tulangnya. Malam-malam seorang Sabaku Hinata dingin dan sepi karena kehilangan hangatnya cinta kasih Gaara.

Semua hal tentang Gaara dirindukannya. Hinata rindu rambut merahnya, wangi tubuhnya, belaian lembutnya, ciuman keningnya, tangan hangatnya yang sering menguncirkan rambut Hinata tanpa diminta, permainan pianonya, masakannya, dan pelukan hangatnya. Hidup Hinata timpang tanpa Gaara. Merindukan Gaara lebih menyiksa ketimbang patah hati ditinggal Naruto.

"Gaara-kun, aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu." Tiga kali Hinata mengucap, tiga kali ia cium kening Gaara. Berharap Gaara bernasib seperti Sleeping Beauty yang terbangun karena ciuman pangeran.

Surai indigo Hinata menempel di surai merah Gaara. Hinata bernyanyi lembut di telinga pria itu.

Kamu dan segala kenangan

Menyatu dalam waktu yang berjalan

Dan aku kini sendirian

Menatap dirimu hanya bayangan

Tak ada yang lebih pedih

Dari pada kehilangan dirimu

Cintaku tak mungkin beralih

Sampai mati hanya cinta padamu (Maudy Ayunda-Kamu & Kenangan).

Duka Hinata lebih menyesakkan dari air mata. Mendengar ibunya bersenandung, Shinki ikut menyanyikan lagu yang sama. Menaruh harapan bahwa nyanyian mereka dapat merangsang sang ayah untuk terbangun.

Bayangan Gaara menari-nari. Menghantarkan Hinata dalam trance. Sebelum matanya meredup, masih sempat ia menyelipkan doa ke pintu langit. Semoga masih ada hari, hari indah dimana Gaara merentangkan lengan untuk memeluknya, tersenyum padanya.

Di persimpangan antara lelap dan terjaga, Hinata merasakan tubuhnya ditarik lembut. Mungkin badannya terbawa arus gravitasi. Samar didengarnya Shinki Mengapa anak itu menangis? Apakah ia butuh pertolongan? Dia harus mengecek Shinki.

Perlahan dua danau jernih miliknya membuka. Hinata tersadar posisi tidurnya janggal. Ternyata ia tidur di pelukan seseorang.

Tunggu. Pelukan? Mengapa kedua lengan yang mendekapnya erat serasa akrab? Secangkir angan mengepul hangat di kepala Hinata. Angan tentang pria berambut merah. Pria berambut merah yang kini memeluknya.

Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Hinata rebak oleh air mata. Gaara, pucat dan telah terbangun dari tidur panjang, merengkuhnya penuh cinta.

"I love you forever," bisik Gaara lembut. Mencium kening Hinata.

"I love you unconditionally..." balas Hinata, suaranya bergetar kuat.

Surai merah mencinta surai indigo. Jade mencinta lavender. Putra Rasa mencinta putri Hiashi. Pria lembut mencinta wanita tulus. Gaara mencinta Hinata. Bunda Maria, Allah, Bapa, dan Roh Kudus menjadi saksi cinta sejati mereka.

.

.

.

Mungkin nafasku tak panjang

Mungkin rasa sakit membawaku tertidur dalam hening

Walau diriku diremuk ketidakberdayaan,

Takkan kubiarkan dirimu berteman sepi-Sabaku Gaara

.

.

.

End