selcouth
(adj.) unfamiliar, rare, strange, and yet marvelous
baestellation © 2020
All Harry Potter characters are owned by J.K.Rowling
warning; bahasa asing (Itali)
happy reading!
Beginning of Destruction, Maybe.
Pilihan bodoh pertama Harry menurut Blaise adalah, persetujuannya atas undangan minum teh dari Hagrid.
"Ngapain kau menyetujui pergi ke gubuknya? Apa bagusnya berhubungan dengan raksasa itu?" Blaise mendengus kesal. Menurutnya pilihan Harry sangat aneh dan bodoh, apalagi hari ini Jumat sore. Mereka tidak memiliki jadwal. Mereka bisa saja bersantai di pinggiran Danau Hitam, menusuki si Gurita Raksasa. Dia mendengar si Kembar Weasley dan Lee Jordan pernah menusuk tubuh hewan itu, menyebabkan mereka ditampar masuk ke dalam danau. Tadinya ia ingin mengerjai Draco dan membawa Harry untuk melihatnya.
Tapi rencananya harus diundur karena keputusan si kacamata.
"Tidak ada salahnya minum teh, Blaise." Harry meneruskan langkahnya ke pondok Hagrid, bisa dibilang tidak menghiraukan Blaise.
Daphne berjalan dalam diam di sebelahnya. Perempuan itu sepertinya lumayan penasaran dengan sesuatu bernama pondok.
Blaise melotot. "Itu masalahnya! Siapa yang tahu apa yang akan dia masukkan? Bisa saja kita diberikan racun!" Blaise menggerak-gerakan tangannya dengan dramatis.
Harry memutar-mutar bola matanya. "Hagrid tidak akan seperti itu. Buang saja pikiran paranoidmu, Blaise."
Disebelahya, Daphne mengangguk. "Benar. Raksasa itu terlalu tolol untuk mengetahui jenis-jenis racun. Jangan berlebihan seperti Draco."
"Bukan itu maksudku, Daph!" pekik Harry, frustasi. Terkadang dia suka bingung dengan teman-teman barunya itu. Yang laki-laki sering mendramatisir suasana, yang perempuan sulit untuk ditebak. Ngomong-ngomong soal teman baru, Harry jadi teringat sesuatu.
"Kalian akrab dengan Malfoy?" Harry menatap dua orang itu bergantian.
"Draco? Lumayan. Dulu aku sering berkunjung ke rumahnya. Kurasa ibuku tertarik pada Lucius Malfoy. Menggelikan tentu saja, Lucius terlalu mencintai Narcissa," Blaise mendengus mengingat ibunya. Sudah rahasia umum kalau ibunya sering berganti pasangan. Ayah―ralat, seluruh mantan ayahnya sudah mati dengan misterius dan membuatnya serta ibunya diwariskan banyak harta. Dia tidak protes tentu saja. Dia hanya tidak mengerti dunia orang dewasa.
Daphne menatapnya. "Kenapa? Mau kukenalkan?"
Harry melotot. "Kenalkan apa? Aku hanya penasaran. Kalian sering menyebut namanya."
Daphne masih menatapnya. Pandangan perempuan itu seakan-akan menusuk Harry―yang tentu saja tidak mungkin, apalagi Daphne menatapnya dengan tatapan kosong andalannya.
"Apa sih?!" Harry mendesis kesal.
Blaise yang melihat adanya kemungkinan masalah segera melerai. "Hey, hey, sudahlah. Ayo kita buru-buru ke Hagrid, sebentar lagi akan gelap."
*selcouth*
"Apa yang kau lakukan, Harry?"
Harry menoleh saat mendengar namanya disebut. Hagrid sedang menatapnya heran, di belakang punggungnya, Blaise sedang berusaha untuk menggigit bolu buatannya dan Daphne meminum tehnya dengan santai.
"Aku? Um.." Harry melihat tangannya. Piring kotor bekas bolu dan cangkir tehnya ada di kedua tangannya. "Mencuci?"
Hagrid terkesiap. "Ngapain kau cuci-cuci. Sini makan saja bolu, santai-santai saja, lah!"
Harry mengerjap. "Tapi ini tugasku," suaranya mengecil.
Wajah Hagrid melembut. "Jelas itu bukan tugas kau, Harry. Sini, cepat, minum teh. Dengarkan cerita Blaise tentang Itali. Kedengaran menyenangkan."
Harry mengerjap, bingung. Ini adalah tugasnya dari dulu. Keluarga Dursley―paman dan bibinya―selalu mengatakan bahwa tugas Harry lah untuk membersihkan rumah dan menuruti perintah. Mengingat tugas yang disebut terakhir itu, Harry buru-buru melepas piring dan cangkirnya. Ia langsung duduk di sebelah Hagrid, siap mendengar cerita Blaise.
Saat itu matanya jatuh pada secarik kertas di atas meja. Potongan artikel Daily Prophet. Matanya menangkap judul kertas itu; PERKEMBANGAN TERAKHIR PEMBOBOLAN GRINGOTTS.
Harry membaca sekilas artikel yang ditulis, lalu menarik napas tajam. "Hagrid! Pembobolan ini terjadi saat ulang tahunku! Jangan-jangan saat kita masih disana?"
Hagrid yang sedang bertanya-tanya dengan antusias pada Blaise langsung terdiam. Diamnya Hagrid sangat mencurigakan menurut Harry. Apalagi dia tidak mau menatap Harry.
Otak Harry yang penasaran, berjalan cepat. Tetapi sebelum ia bisa mengatakan teorinya, Hagrid memotongnya.
"Nah, sudah gelap. Harus kembali ke Hogwarts. Ayo, kuantar kalian!"
Kata-kata itu mengalihkan perhatian Harry. "Eh, tapi piring dan cangkir kotornya―"
Hagrid memberikan Harry senyum lembut―mungkin. Wajahnya tidak terlihat di balik jenggot tebalnya. "Kau di Hogwarts, Harry. Kau tidak melakukan pekerjaan macam ini. Kau disini belajar. Dursley tidak bisa―dan tidak boleh―memaksakan apa-apa padamu."
Harry merasa dirinya terkejut. Hampir menangis.
*selcouth*
Draco menatap Potter dari ujung meja Slytherin. Bocah itu baru saja menangis? Tanpa ia sadari, ia mulai memikirkan apa yang dulu ibunya lakukan saat ia menangis. Ibunya akan memberinya coklat, membacakan buku dongeng, menyanyikan lagu, meme―
Tunggu. Kenapa dia mengkhawatirkan Potter?
Sadarlah Draco. Dia Potter. Orang yang sudah mempermalukanmu di depan Weasley. Draco merutuk dalam hati.
"APA?!"
Draco mendongak saat mendengar teriakan seseorang. Blaise. Mengapa orang yang selalu kalem―yah, walau terkadang bocah Itali itu bisa tertawa sendiri―tiba-tiba berteriak.
Dari tempatnya, Draco bisa melihat Potter menyuruh Blaise duduk. Anak beriris hijau itu melambaikan tangannya, seakan-akan menyuruh Blaise diam. Dan Draco tidak bisa lebih penasaran pada apa yang terjadi. Ia langsung menyenggol Gregory dan Vincent.
Kedua anak berbadan besar itu menoleh ke arah Draco.
Wajah Vincent agak masam karena diganggu saat makan. "Apa?" tanyanya agak ketus.
Draco memutar bola matanya. "Coba kalian cari tahu apa yang sedang Potter katakan dengan Blaise."
"Umfuk afwa?" tanya Greg dengan mulut penuh muffin.
Draco menatapnya. "Telan dulu, Greg. Jangan buat malu nama keluargamu," ketus Draco, menahan jijik.
Greg menelan muffinnya dan menatap Draco, "untuk apa?"
"Sepertinya dia sedang membicarakan sesuatu yang menarik dengan Blaise. Aku ingin tahu. Tapi kau ingat sendiri apa yang ia katakan."
Vincent mengangguk. "Oke." Ia langsung berdiri dan menarik Greg yang mengeluh, sempat-sempatnya mengambil muffinnya yang ke sebelas.
*selcouth*
Malam itu, Draco duduk di kasurnya, menatap lantai sambil berpikir keras. Jadi Potter, pahlawan dunia sihir yang diagung-agungkan, disiksa oleh kerabat Mugglenya. Bahkan membuatnya secara tidak sadar ingin bersih-bersih di pondok raksasa tolol?
Sebenarnya Draco tidak yakin Vince dan Greg akan berhasil mendapatkan info. Melihat betapa besarnya mereka, pasti sulit untuk mengendap. Tapi Draco mungkin lupa, mereka mengendap di Slytherin. Jelas akan mudah bagi mereka kalau hanya sekedar duduk, makan, dan mendengarkan. Rupanya Potter dan Blaise tidak memelankan suara mereka.
"Kau masih bangun?"
Draco tersadar dari lamunannya, agak terkejut tentu saja. "Oh, ya."
Blaise mengangguk dan berjalan ke kamar mandi.
"Ngomong-ngomong, darimana kau?" tanya Draco.
Blaise menatap Draco dari balik bahunya. "Harry hampir saja membuat kami mati. Cape deh, kukira dia tidak akan sebodoh itu."
Draco menaikkan salah satu alisnya, terhibur. "Jangan berlebihan. Tidak mungkin kalian mati disini. Aku tidak mau mengakuinya, tapi Dumbledore penyihir hebat, dia tidak akan membiarkan apa pun terjadi."
"Itu masalahnya," gerutu Blaise. "Sepertinya dia terlalu hebat sampai menyimpan semacam cerberus di koridor terlarang lantai tiga itu."
Draco mengernyit. "Dan apa yang kau lakukan di koridor terlarang itu?" Anehnya, ia tidak menanyakan tentang adanya anjing raksasa berkepala tiga di Hogwarts.
Blaise mengangkat bahunya. "Lucu sebenarnya. Harry mengatakan bahwa ia ingin melakukan 'Hogwarts Stirring Tour'," jemari Blaise bergerak, mengutip kata-kata Hogwarts Stirring Tour―Tur Mendebarkan Hogwarts. "Lalu si bodoh ternyata tidak bisa membedakan kanan dan kiri di koridor itu, ia langsung masuk ke koridor sebelah kanan―koridor yang terlarang," Blaise menarik nafasnya, antara kesal dan terhibur. "Lalu kami hampir tertangkap Filch, jadi kami masuk ke pintu terkunci di koridor itu. Lalu disana benar-benar ada seekor anjing kepala tiga menjaga sebuah pintu! Meno male―untunglah, kita baik-baik saja!"
Draco setengah tidak percaya dengan cerita Blaise. Tetapi Blaise bukan tipe pembual. "Kupikir kau tidak mau repot, Blaise?"
Bocah Itali itu sekali lagi mengangkat bahunya. "Yah, memang merepotkan. Ma, potrebbe valerne la pena―tapi, mungkin akan menyenangkan," jawab anak itu enteng sambil nyengir. "Nah, Draco, sekarang aku akan mandi." Blaise langsung masuk ke kamar mandi tanpa menunggu jawaban Draco.
Draco menggelengkan kepalanya. Baru seminggu berteman dengan Potter dan Blaise sudah menjadi agak sinting.
*selcouth*
a/n.
Yey chapter 3! Curhat, jujur tadinya niat mau buat one-shot (biar makin banyak aja gitu ffnya huehue) karena fandom ini makin sepi, saya sedih :(. Malah bablas bikin cerita yang (mungkin) akan panjang hh.
Oh iya, terjemahan Italinya ditaruh langsung setelah bahasanya. Karena saya pikir, 'males banget scroll ke a/n cuma buat translate-an', nah kali aja ada yang kaya saya, jadi saya tulis langsung xD
Let me know what you think! mind to review?