selcouth
(adj.) unfamiliar, rare, strange, and yet marvelous
baestellation © 2020
All Harry Potter characters are owned by J.K.Rowling
warning; sejauh yang terlihat ga ada
happy reading!
The Malfoys.
Tidak pernah seumur hidupnya, Lucius Malfoy mengira hari ini akan datang.
Sebelum Narcissa, istrinya, pulang dari King's Cross, Lucius mendapatkan pesan patronus darinya.
"Apa pun yang terjadi selama libur musim panas ini, kau harus berusaha membiasakan diri. Biarkan Draco membuat keputusannya kali ini. Dan ngomong-ngomong tolong suruh Dobby untuk menyiapkan tiga kamar tamu. Aku dan anak-anak akan segera pulang."
Ya. kata anak-anak membuat Lucius mengernyit. Terakhir kalinya Narcissa melahirkan, ia yakin bahwa istrinya itu hanya mengeluarkan satu bayi laki-laki. Lagipula untuk apa menyiapkan kamar tamu sebanyak itu?
Jawabannya Lucius dapatkan saat melihat anak perempuan keluarga Greengrass, anak laki-laki keluarga Zabini, dan Harry Potter sendiri berdiri di belakang Narcissa. Draco sendiri berjalan di sebelah ibunya.
Merlin, cobaan apa ini.
*selcouth*
Harry memperhatikan sekitarnya. Terpukau.
Sebelum pergi ke Malfoy Manor, ia dan Narcissa Malfoy menemui keluarga Dursley―yang tentu saja berjengit.
"Harry akan menghabiskan libur musim panasnya di manor kami." Narcissa mengatakan itu tanpa embel-embel meminta izin.
Vernon Dursley mengernyit saat mendengar cara wanita itu bicara. "Dan siapa kau?" semburnya.
Narcissa mengangkat kepalanya, menatap Vernon Dursley dengan tajam. "Narcissa Malfoy née Black. Muggle seperti kau tentu tidak mengetahui arti nama itu," ujarnya dengan nada merendahkan.
Petunia Dursley yang daritadi bersembunyi di belakang suaminya mengernyit. "Kenapa anak itu harus tinggal di rumahmu?" tanyanya, menolak mengatakan manor.
Kali ini Draco yang maju. "Karena aku yang mengatakannya."
Harry masih tidak percaya bagaimana ke dua Malfoy itu membelanya. Yah, kalau yang seperti itu bisa dikatakan membela. Sejujurnya ia senang. Melewati musim panas dengan teman-temannya―ia mencoba mengabaikan bahwa ia tinggal bersama Malfoy―akan jauh lebih menyenangkan daripada menghabiskannya bersama para Dursley.
Awalnya Harry merasa rencana Blaise sangat gila. Membawanya ke Malfoy Manor? Hell, no! Ron sudah mengajaknya untuk tinggal di rumahnya, tetapi dengan bujukan Blaise dan Daphne (dengan embel-embel hal itu akan menyulitkan keluarga Weasley, karena mereka mempunyai banyak anak yang harus diurus), Harry menolaknya sebisa mungkin. Tidak mengatakan alasannya tentu saja. Lagipula, Ron memang teman pertamanya dan ia tidak mau melupakannya, tetapi Blaise dan Daphne sepertinya lebih mengerti apa yang harus dilakukan.
"Mr. Potter."
Harry melihat ke arah suara itu dan langsung bertatapan mata dengan versi dewasa Draco Malfoy. "Sir." Harry menganggukkan kepalanya.
Pria itu juga mengangguk. "Dobby!"
Suara PLOP kencang muncul bersamaan dengan makhluk yang membuat Harry terpekik.
"Tenang, Potter. Itu hanya peri rumah." Harry bisa merasakan Draco memutar bola matanya.
Peri rumah itu membungkuk dalam. "Selamat datang kembali Lady Narcissa, Master Draco. Kamar untuk Miss Daphne, Master Blaise, dan Master Harry sudah Dobby siapkan. Silakan ikuti Dobby," ujar peri rumah itu sambil sesekali melirik pada Harry.
Harry tidak menyadarinya tentu saja.
Sesampai di kamarnya sendiri, Harry tidak bisa berhenti terkagum-kagum. Kamar tamu keluarga Malfoy mirip sekali dengan kamar-kamar di Istana Buckingham yang sering dilihat bibi Petunia. "Aku boleh menempati kamar ini?"
Draco yang mengikutinya―diam-diam tentu saja―berjengit. "Tentu saja, Potter," sahutnya, membuka rahasia penguntitannya.
Tubuh Harry berputar, menatap pewaris Malfoy itu. "Sungguh?" Mata Harry melebar, seakan mencari kepastian.
Draco menahan keinginan untuk memutar bola matanya. Kalau Harry Potter harus tinggal di rumahnya selama liburan, ia harus berusaha menjalankan rencananya. "Tentu, Potter. Memang kau mau tidur dimana lagi?"
Harry mengangkat bahunya, kembali membalikan tubuhnya untuk menatap kamarnya. "Kau bisa panggil aku Harry."
Draco mengerjap. Ia tidak bisa melihat wajah Harry karena anak itu memunggunginya, dan rona di telinganya juga mungkin hanya khayalan. "Alright. Tapi kau juga harus memanggilku Draco."
"Yah, aku hanya memanggilmu 'Malfoy' di depanmu. Jadi tidak masalah." Harry langsung masuk ke kamarnya dan menutup pintunya.
Draco menatap pintu kamar itu bingung, sedang memproses. Ia mendengus, tidak percaya bahwa rencananya bahkan tidak diperlukan. Sepertinya ia harus menceritakan peristiwa barusan pada Dobby.
*selcouth*
"Narcissa, kau tahu sulit bagiku untuk menampung Potter." Lucius berjalan mondar-mandir di ruangannya, pekerjaan terlupakan. "Apa yang akan Pangeran Kegelapan lakukan jika dia tahu aku membantu seorang Harry Potter? Dia akan membunuh kita!"
Narcissa menatap Lucius dari atas buku yang sedang ia baca, jelas terlihat bosan. "Kita tinggal menjadi pihak netral. Skenario terburuk adalah harus menyebrang ke kubu Dumbledore, yang tidak akan kupilih jujur saja. Draco menceritakan apa yang si Pengecut itu lakukan," jawab Narcissa ketus.
Lucius membelalak ke arah istrinya.
"Dan tidakkah kau merasa kasihan pada Harry? Anak itu masih kecil, seumuran Draco kita. Aku tahu kau mempunyai sisi kejam dalam dirimu, tetapi sekarang kau seorang ayah, dan aku seorang ibu. Tidak ada hati orangtua yang tahan melihat seorang anak dimanipulasi seperti itu. Kuharap kau mengerti, love," lanjut Narcissa sambil menghela napas. Wanita itu sudah menutup buku yang ia baca dan sekarang menatap Lucius dengan tatapan memohon.
Dan Lucius tahu pasti bahwa istrinya sengaja melakukan itu.
Keluarga Malfoy memang keluarga aristokrat, tetapi mereka adalah keluarga yang saling mengasihi. Bisa dibilang kebaikan hati keluarga Malfoy hanya untuk orang dalam. Dan dari cara Narcissa memohon, jelas istrinya sudah menganggap Harry sebagai 'orang dalam'. Kalau sudah menyangkut anak mereka, Narcissa memang bisa agak lemah.
Lucius mengusap wajahnya kasar. "Baiklah. Kita tampung Potter selama musim panas. Untuk jaga-jaga, jangan terlalu baik padanya."
Narcissa tersenyum. Wanita itu berdiri dan berjalan ke arah suaminya, memeluknya, dan mencium pipinya. "Deal. Tapi aku tidak berjanji untuk tidak terlalu baik. Kurasa Draco akan cemberut kalau aku memperlakukan idolanya dengan dingin."
Ah. Lucius lupa. Draco dan rasa tertariknya pada Harry Potter.
*selcouth*
Malam itu, seluruh bocah di Manor berkumpul di kamar Blaise―yang menempati kamar tamu yang paling besar, Zabini dan keangkuhannya.
"Jadi, kita ada disini untuk mendiskusikan beberapa hal," kata Blaise dengan nada membuka rapat.
Draco memutar bola matanya. "Lagaknya seperti perdana mentri," cibirnya.
Blaise melotot. "Oh, stop yakking!"
"Aku baru bicara satu kalimat!"
"No, I can hear your breathing!"
"I'm breathing normally!"
"No, you are not. You have so much booger, they are starting to make some noise!"
Harry melongo melihat perdebatan―aneh―di depannya. Matanya menatap Daphne yang sedang membaca buku dengan santai.
"Guys? Kurasa kita harus memulai diskusi rencana―atau apa pun yang ingin Blaise bicarakan―sekarang." Harry menatap dua orang yang sedang adu mulut itu dengan bingung.
Draco sepertinya merasa bahwa derajatnya mungkin akan turun sehingga ia langsung berhenti.
Blaise menatap Draco dengan tajam, bocah Italia itu seakan-akan ingin mencabuti rambut Draco satu per satu. Ia menarik napas panjang dan memasang wajah seriusnya. "Oke, jadi kita akan membicarakan beberapa hal terkait jadwal musim panas kita."
Daphne―tanpa mengangkat kepala dari buku yang ia baca―mengangguk.
Blaise mengambil perkamen dari saku jubahnya. "Aku dan Daphne sudah mengatur acara libur musim panas kita―"
"Tepatnya aku dan Daphne," potong Draco sambil mendengus.
Blaise melambaikan tangannya asal. "Tidak penting. Yang jelas acara libur musim panas sudah diatur." Blaise memberikan perkamennya pada Harry. "Coba kau lihat."
Harry mengambil perkamen itu dan meneliti isinya. Matanya menelusuri jadwal yang―jelas sekali―dibuat asal. "Hey, disini ditulis 'MEMPELAJARI MANTRA BARU BERSAMA BIBI NARCISSA' kalian tidak salah tulis? Bukankah ada Undang Undang Perlindungan Penyihir Dibawah Umur?"
Draco menatapnya dengan tatapan meremehkan. "Kau pikir siapa kami? Keluarga Malfoy adalah salah satu keluarga penyihir paling dihormati. Mana mungkin peraturan bodoh seperti itu berlaku bagi kami?"
Blaise mengangguk. "Selain itu, peraturan itu hanya dibuat untuk penyihir yang tinggal bersama Muggle. Tapi karena aturan itu sudah lama dibuat, tidak banyak yang tahu kelonggaran yang ada. Jadi bisa kau lihat, banyak anak di angkatan kita yang terlihat bodoh."
Harry memiringkan kepalanya, tanpa sadar matanya melebar. "Kupikir aturan itu berlaku bagi semua penyihir. Ron sering protes karena ibunya tidak memperbolehkan ia dan kakak-kakaknya melakukan sihir."
"Keluarga Weasley itu aneh, Harry. Seharusnya nama mereka dihapus dari The Sacred Twenty-Eight," dengus Draco.
Harry berjengit, terlihat tersinggung. "Hey, jangan merendahkan mereka! Mereka orang-orang baik, tau!" Lalu wajahnya berubah penasaran, "dan apa itu The Scared Twenty-Eight?"
"The Sacred, Potter, bukan scared. Rupanya kebodohanmu sudah sangat akut," sinis Draco.
"Oi, aku tidak bodoh, Malfoy! Mungkin kau yang bodoh karena aksenmu jelek sekali!"
"Aksenmu tidak jauh berbeda denganku, Potter. Maaf kalau kau tidak lancar bicara, kurasa keluargamu tidak mengajarimu dengan benar?" cemooh Draco.
Harry langsung terdiam.
Blaise yang melihat perubahan dalam raut wajah Harry menusuk pinggang Draco.
"Merlin, Blaise! Itu sakit!"
"Kau kelewatan Draco," desis bocah Itali itu.
Draco yang sepertinya langsung menyadari dimana kesalahannya buru-buru mengalihkan topik. "Jadi, kita akan belajar beberapa mantra baru dari ibuku. Mungkin akan agak sulit, tapi itu bisa membantumu melindungi diri, H-Harry," katanya, agak canggung saat menyebutkan nama Harry.
Harry mengangguk. "Thanks," ujarnya pelan.
Blaise yang tidak tahan dengan suasana canggung itu merebut perkamen dari Harry. "Nah, lalu ada acara 'TANDING QUIDDITCH', 'PIKNIK DI HALAMAN BELAKANG MANOR'..."
Dan daftar kegiatan musim panas mereka berlanjut lebih panjang. Tetapi Harry sudah kehilangan fokusnya, agak tertohok dengan sindiran Draco. Mungkin bukan sepenuhnya salah Draco, anak itu tidak tahu apa-apa soal keluarganya. Paman Vernon dan Bibi Petunia memang bukan tipe yang mengajarkan cara bicara dan membaca pada Harry, tidak seperti yang mereka lakukan pada Dudley. Tapi setidaknya, dia belajar di sekolah. Apa akan ada perbedaan jika orang rumahnya yang mengajarkan bicara dan membaca padanya sebelum sekolah?
Harry menundukkan kepalanya dan menghela napas.
Draco diam-diam melirik Harry dengan tatapan bersalah.
Daphne masih setia membaca bukunya. Sepertinya tidak menyadari sekitarnya.
Dan Blaise masih setia membaca daftar kegiatan yang tidak didengarkan oleh seorang pun di kamar itu.
*selcouth*
a/n.
Udah berapa hai? Nah semoga kalian suka ya HWHWH. Makin kesini saya makin agak gila dan ga jelas, quarantine does me good, 'm starting to lose my mind.
Untuk cerita selcouth ini, saya rasa akan jadi cerita yang mayan panjang, semoga kalian betah sama saya HAHA.
mind to review?