Secercah cahaya dan sedikit kehangatan menembus kelopak matanya yang terpejam membuat Kim Hui-seong tersadar. Rasanya sudah lama sekali sejak Hui-seong tidak melihat cahaya seterang itu sejak tentara Jepang menyandera, menginterogasi, dan menghajarnya habis-habisan. Pemandangan di sekelilingnya masih sama: ruangan gelap dengan sedikit cahaya, dirinya yang terpasung di kursi, derit lampu gantung yang belum juga statis, dan sekeping pecahan cermin di salah satu sudutnya. Tatkala Hui-seong bangun kemudian menoleh dan memandang bayangannya sendiri di cermin dengan wajah babak belur dan mata bengkak, ia tertawa lirih. Heran, wajah yang berlumuran darah dan bengkak itu masih saja bisa menyunggingkan senyum menawan.

"Rupanya statusku sebagai pewaris keluarga terkaya seantero negeri tak menghalangi mereka untuk menyamaratakan nasibku dengan si ronin tempo hari. Lucu." gumamnya sembari mengingat hari dimana Gu Dong-mae, ronin sekaligus "kawan"nya ditawan oleh tentara Jepang dalam keadaan sama babak belur dengan dirinya kini. "Aku penasaran, apakah dia masih menghunus katana di jalanan Hanseong? Atau makan permen dari toko roti, ya? Aigoo...Dong-mae, Dong-mae."

Lamunan Hui-seong buyar ketika segerombol tentara Jepang menyeruak masuk ke ruangan gelap itu. Mereka berada tepat di hadapannya, lalu dengan aba-aba singkat mereka membuka tali di kursi tawanan. Tetapi tunggu: mengapa Hui-seong tidak merasakan belenggu yang mengikatnya berhari-hari? Bahkan tubuhnya tak lagi lemas, berdiri tegap seperti biasa. Ia merasa aneh ketika para tentara Jepang menggotong tubuh yang terkulai lemas ke luar, dan Hui-seong begidik ngeri ketika mengenali jasad yang mereka gotong adalah miliknya. Seketika Hui-seong terduduk lemas di papan kayu yang menaungi kursi tawanan, mencerna kematiannya sendiri. "Jadi begini ya, rasanya jadi arwah?" ujarnya setelah sekian lama terdiam.

"Ya," sahut sebuah suara yang sama sekali asing olehnya. Hui-seong mengangkat kepalanya kala menyadari suara itu. Seumur hidup, Hui-seong tahu betul pemilik suara setiap orang yang ditemuinya, bahkan budak-budak yang bekerja untuk keluarganya. Tentu bukan Dong-mae apalagi Eugene, penghuni kamar 304 di Hotel Glory yang selama ini jadi rekan seperjamuannya. Baru saja terbersit niat untuk bertanya, pemilik suara asing itu muncul dari depan pintu yang dibiarkan terbuka. Sosok itu sekilas mengingatkan Hui-seong akan Ae-sin, mantan tunangannya kala dalam penyamaran dengan setelan serba hitam dan topi yang sedikit lebih lebar. Namun yang membuatnya menyadari bahwa sosok itu bukan Ae-sin adalah tubuhnya yang lebih tinggi dan jelas, laki-laki.

Kala sosok itu tiba di hadapannya dan membuka topi, ia bertanya, "Kim Hui-seong, putra tunggal Kim An-pyeong dan Yoon Ha-sun, apakah itu benar dirimu?"

"Tak ada yang tidak mengenaliku, nauri, bahkan orang-orang Jepang juga tahu namaku. Tapi...apakah kita pernah bertemu?"

"Lebih tepatnya baru kali ini kau melihat wujudku, doryongnim. Ikut aku."

Lalu Hui-seong berdiri dan menyadari bahwa arwahnya masih bisa menapak dan berjalan sebagaimana manusia yang masih bernyawa. Rasa sakit di sekujur tubuhnya seketika hilang dan babak belurnya perlahan memudar. "Ke mana?" ia bertanya.

Sosok yang kini berada di ambang pintu berbalik padanya, dan berkata: "Kedai teh kecil yang tak pernah kaukunjungi sebelumnya. Kau bisa mengaso sebentar sebelum naik ke alam baka."

"Alam baka...maksudmu, kau Dewa Kematian, ya?" tanya Hui-seong, ternganga bahwa sosok malaikat kematian di hadapannya berbeda dari Yeomra yang dulu didongengi sang ibu sebelum tidur ketika Hui-seong cilik tidak mau menurut makan sayur. Betapa Hui-seong masih ingat ancaman ibunya sembari tersenyum: 'Awas ya kalau kau tidak makan sayur, nanti sayurnya akan menangis, dan Yeomra akan marah dan mencemplungkanmu ke neraka!'

"Kau ini, dari baru bisa bicara sampai jadi arwah masih saja cerewet. Memangnya aku narasumber untuk koranmu yang tak bernama itu? Oh, bukan...kau melakukan wawancara saja tidak pernah." cerocos Malaikat Kematian setengah sebal. Hui-seong hanya nyengir sebentar lalu terkesima mengapa sosok ini tahu lika-liku hidupnya sebagai pendiri koran tak bernama.

"Tapi setidaknya aku pernah mengabadikan para pengkhianat Joseon, asal kau tahu. Aish, kau tak ada bedanya dari kawan-kawanku yang mendadak galak ketika duduk denganku sambil minum-minum di bar. Ah...hari-hari yang indah. Tahu tidak? Kami bertiga pernah mencintai wanita yang sama lho, kau tahu tidak kapan dia akan menyusulku? Atau salah satu dari kawan semprulku, deh..." seloroh Hui-seong.

"Sayang aku sedang tidak ada di tempat ketika itu terjadi, terlalu banyak nyawa yang harus kuantar. Kau..." Malaikat Kematian kehabisan kata-kata. Hui-seong terkekeh seperti bocah cilik yang baru ketahuan mencuri buah persik di kebun tetangga, yang jelas-jelas tak pernah ia lakukan semasa kecil. Hari-harinya dulu hanya diisi oleh belajar, tata krama, menyalin buku Confucius, dan dijejali ilmu pemerintahan oleh sang kakek, sebagaimana keluarga yangban pada umumnya. Tak ada waktu untuk bermain sejenak apalagi melakukan kejahilan sesederhana itu. Kala keduanya berada tepat di depan rumah keluarganya, Hui-seong berhenti dan menatap nanar.

"Kau belum sempat mengucapkan perpisahan terakhir pada keluargamu?" tanya Malaikat Kematian.

"Sudah, aku ingin memastikan bahwa mereka baik-baik saja walaupun sebentar lagi akan ada yang mengabarkan kematianku. Syukurlah, ibuku tersayang merawat tunanganku dan adik bungsunya dengan baik." ucap Hui-seong, ketika melihat sosok Ha-sun sedang menenangkan seorang gadis muda yang sedang terlihat kuatir dari gerbang utama, sementara sesosok bocah lelaki duduk di sebelahnya sambil memainkan arloji.

"Tenang saja, waktu mereka masih lama sampai kalian bertemu lagi." jawab Malaikat Kematian. 'selama Samshin tidak menghalangiku ketika waktunya tiba karena sebuah takdir konyol.' batinnya. Cukup sekali saja tugas mulianya diusik oleh dewi kelahiran dan takdir sehingga kawan baiknya, Kim Shin patah hati kala Malaikat Kematian harus memisahkannya dengan Ji Eun-tak suatu hari. Mengingatnya, rasa nyeri menjalari ulu hatinya.

Ketika keduanya menyusuri kota Hanseong yang kini tak ada bedanya dengan neraka dengan suara tembakan, seruan dan teriakan pilu, Malaikat Kematian membawa Hui-seong ke dalam toko obat dan langsung menuju ke pintu belakang. "Kurasa ini pintunya." ujarnya yakin.

"Pintu ke mana?" tanya Hui-seong. Sejauh yang ia tahu, di balik pintu belakang ada sebuah toko kain. Malaikat Kematian tersenyum pada Hui-seong, dan berkata sebelum membuka pintu, "Selamat datang di kedai tehku, doryongnim."

Benar saja, kala pintu itu terbuka ada sebuah kedai kecil dan sepi. Suasananya hangat, tenang dan penuh cahaya, persis seperti keadaan yang Hui-seong dambakan. Hui-seong beranjak masuk dan duduk, sementara Malaikat Kematian menuju dapur terbuka dan menyeduh air panas. Ketika Malaikat Kematian menyuguhkan cangkir kecil berisi teh, Hui-seong bertanya, "Apa yang terjadi ketika aku meminumnya?"

Malaikat Kematian tersenyum getir. "Dalam sekali teguk, kau akan melupakan semuanya. Dengan begitu, kau bisa naik ke atas tanpa beban, dan kau tak perlu gentayangan."

"Se-semuanya? Termasuk kenangan yang baik-baik?"

"Aturan dari atas sana memang begitu."

"Kalau begitu, aku punya satu permintaan sebelum melupakan semuanya." ujar Hui-seong.

"Aku bukan jin pengabul segala permintaan, tapi katakanlah."

Ingatan Hui-seong melayang ke suatu malam sepi ketika ia, Eugene dan Dong-mae memandangi bunga sakura yang berguguran sembari berbagi canda sarkas seperti biasa tanpa harus berebut kasih sayang Ae-sin, serta kala ketiganya minum-minum sebagai kawan sampai Eugene dan Dong-mae kesal mendengar kelakar Hui-seong sepanjang malam. Ketiganya sadar betul, hati Ae-sin telah berlabuh kepada Eugene dan Kudo Hina tampak memberikan perhatian lebih kepada Dong-mae, walau ronin pentolan Musin itu tak juga sadar. Hui-seong sendiri akhirnya lega melepas Ae-sin dan cintanya tumbuh kepada penjahit muda yang dulunya berasal dari keluarga bangsawan. Kenangan akan pria Joseon-Amerika, pria Jepang di Joseon, dan pria tertampan se-Joseon raya bersulang demi cinta dan kemerdekaan dalam damai mendatangkan kehangatan di sanubarinya.

"Aku ingin melakukan perjamuan terakhir bersama kedua kawanku, Eugene Choi, dan Gu Dong-mae. Kurasa, waktumu menjemput mereka tak akan lama lagi."

Hui-seong benar. Malaikat Kematian ingat betul bahwa kedua nama tersebut muncul setelah Hui-seong, lalu mengangguk dan menuangkan kembali teh yang telah tersaji ke teko.

"Baiklah, kau tunggulah sebentar, dan jangan utak-atik perabotan di kedai." seloroh Malaikat Kematian, kemudian kembali memakai topinya dan keluar melalui pintu.

Istilah:

nauri: tuanku

doryongnim: tuan muda

yangban: bangsawan

Yeomra: Dewa Kematian dalam mitologi Korea

Samshin: Dewi Kelahiran dan Takdir dalam mitologi Korea