[ Sakura ]

Semua bermula pada musim semi tujuh tahun yang lalu saat tahun ajaran baru dimulai. Saat itu, pertama kali melihatnya—

Flashback

Terlambat saat hari pertama masuk sekolah adalah hal tersial yang terjadi padaku kali ini. Dan double sial karena aku bahkan melupakan topi yang akan kugunakan untuk upacara penyambutan murid baru pagi ini.

Ugh! Pagi yang indah.

Haruno Sakura. Itu namaku. Usiaku 15 tahun, dan sekarang aku menjadi siswi baru sekolah menengah atas disalah satu sekolah favorit kota ini. Rakuzan High School.

Seharusnya ini menjadi hari yang menyenangkan, seandainya saja sekarang aku tidak berakhir pada barisan 'murid bermasalah'. Terlambat dan tidak membawa topi.

Oh! Nikmati saja. Setidaknya aku tidak sendirian.

Kulirik siswa di samping kiriku yang dengan seriusnya mendengarkan ceramah panjang di depan sana. Sama sepertiku, dia tidak memakai topi. Lalu kulirik seseorang di samping kananku dan sekejap aku terpaku.

Dia tampan sekali!

Mungkin bukan yang tertampan yang pernah aku lihat. Tapi wajahnya benar-benar seperti pahatan. Tuhan pasti dalam mood yang bagus saat menciptakannya.

Dia tinggi, rambutnya sedikit aneh tapi terlihat cocok dengannya. Kulitnya putih, badannya tegap, hidungnya mancung, dengan alis tebal dan iris onyx sehitam malam tajam yang sekarang melirikku.

Astaga, sepertinya dia menyadari jika aku memperhatikannya cukup lama.

Dengan segera aku memalingkan muka dan bersikap tak acuh sembari menghilangkan rona kemerahan pada pipiku karena cuaca yang panas. Dan, malu.

...

Sekolah ini terdiri empat gedung yang membentuk persegi dan hanya terpisahkan oleh taman, serta lapangan olahraga tepat ditengah antar gedung tersebut. Dua gedung untuk kelas A sampai C dan D sampai F serta kelas musik, melukis, dan menari. Satu gedung untuk ruang guru, kepala sekolah, ruang kesiswaan beserta organisasi lainnya. Dan satu gedung tersisa untuk olahraga indoor serta kantin.

Kelasku, 10-D berada pada gedung sebelah kiri lantai dua yang berseberangan dengan kelas unggulan. Beruntungnya aku sekelas dengan sahabat popokku yang tak pernah terpisah, Yamanaka Ino.

Aku duduk berdua dengan Ino di deretan ketiga paling ujung kanan dekat jendela. Tanpa sadar aku melihat keluar jendela dan fokus emerald-ku jatuh pada pemuda bermata onyx yang tadi pagi kulihat. Jadi dia siswa kelas unggulan. Kegiatanku berakhir saat wali kelasku datang memulai perkenalan diri.

...

Waktu kian berlalu cepat seperti daun hijau yang kini mulai menguning kecoklatan dan jatuh tertiup angin —

musim gugur.

Aku menjalani kehidupan seperti biasa. Cerah dan ceria. Hanya saja, ada rutinitas yang bertambah.

Melihatnya.

Tak tahu sejak kapan, tapi mataku seolah terpaku untuk melihatnya. Dari jarak dibalik jendela, aku melihat wajah seriusnya yang memperhatikan penjelasan guru. Atau wajahnya yang kaku namun bersinar dan dihiasi senyum tipis saat aku melihatnya diganggu teman pirangnya ketika bermain basket pada jam istirahat dari tempat dudukku di sudut lapangan.

Atau bahkan wajah tenangnya dengan kelopak mata yang menutupi onyx segelap malamnya, rambut yang bergerak tersapu angin sepoi-sepoi di bawah pohon momiji seperti saat ini. Aku hanya melihatnya sebentar dan melangkah untuk bersandar pada pohon di belakangnya, di sisi yang berlawanan.

Hanya duduk diam dan menikmati waktu istirahat yang tersisa. Aku tidak tahu kenapa melakukan ini. Apa yang kurasakan, bahkan tidak mau kusebut dalam hati. Aku bahkan tidak tahu siapa namanya. Dan tidak pula berniat mencari tahu. Karena cukup segini. Aku tidak ingin terlalu jauh.

Tanpa sadar, mungkin aku telah terjatuh dari awal

...

Bunga sakura mulai bermekaran, musim baru telah dimulai. Langit yang cerah dan siulan burung bernyanyi menjadi melodi penyambut pagiku hari ini.

Setelah libur kenaikan kelas, sekarang aku akan memulai hariku kembali sebagai siswi kelas 11. Setahun sudah terlewati dan kuharap tahun ini aku bisa berubah—

Atau mungkin tidak.

11-A. Kelas unggulan. Entah harus merasa beruntung atau tidak, tapi hatiku berteriak gembira karena bisa sekelas dengannya tahun ini. Dan, aku baru mengetahui namanya. Namanya yang kini duduk tepat di depanku

Uchiha Sasuke.

Bukannya berhenti, aku malah semakin sering melihatnya. Bahkan dari jarak sedekat ini. Aroma maskulin tercium darinya. Menenangkan bagai campuran citrus, pinus dan petrikor. Punggungnya menjadi objek kesukaanku yang sering kala membuat hilang fokus. Menatap bahu tegap itu saja, aku merasa senang. Seolah-olah ada kupu-kupu yang menggelitikiku.

Aku menyadari memang beginilah seharusnya. Tetap melihat punggungnya yang dekat kian menjauh tanpa harus mencoba menggapai itu.

Karena berharap terkadang menimbulkan luka.

Sekarang aku berada di perpustakaan. Mengerjakan tugas sejarah dari guru Kurenai dengan teman sekelompokku, Hinata, Naruto, Gaara, dan Sasuke. Berbagi tugas, aku dan Sasuke mencari buku pada rak.

Memang pada dasarnya sial, aku malah tergelincir dan terjatuh saat menarik salah satu buku di rak yang lumayan tinggi. Jangan berharap adegan klise, nyatanya tidak ada tokoh utama pria yang menolongku dan kami akan saling bertatapan lalu menyelam pada keindahan mata masing-masing.

Yang terjadi malah dahi kesayanganku tertimpa buku lumayan tebal yang ikut terjatuh.

Ah sial sakit sekali.

Kulihat sodoran tangan mengarah padaku. Astaga, memalukan. Dia pasti melihatku yang jatuh konyol. Aku menerima bantuan itu dan mengucapkan terima kasih.

Dia tidak membalas. Namun

Tuk!

"Aw, apa yang kau lakukan!" teriakku padanya tanpa sadar aku sedang di perpustakaan. Salahnya yang mengetuk dahiku yang tertimpa buku dengan dua jarinya.

"Hn. Dasar bodoh," balasnya yang berlalu pergi begitu saja.

Interaksi pertama yang menyebalkan. Walau kesal, tapi sepertinya sudut bibirku berkhianat. Dia bahkan membentuk senyum tipis tanpa kusadari dan jantungku kian menambah debarannya.

Kurasa, itu tidak buruk juga.

...

Kini aku telah berada dipenghujung kelas 11. Setahun berlalu, banyak hal yang terjadi. Aku masih bertahan dalam rutinitasku dalam melihatnya.

Dasar bodoh, untuk apa. Batinku memaki.

Aku tak pernah mengajaknya bicara, begitupula sebaliknya. Paling hanya satu atau dua kali. Itupun tentang tugas yang harus dikerjakan bersama. Namun, saat ada guru yang bertanya

"Apakah ada yang mau maju?" Dia menjadi orang pertama yang akan menunjukku.

Tidak. Dia tidak menyebut namaku, hanya ' pojok kanan paling belakang'. Itu tempat dudukku yang berada tepat di belakangnya. Mataku menyipit kesal pada punggungnya yang bahkan tidak berbalik.

Selama ini pula aku tahu ternyata dia cukup populer. Atau mungkin sangat.

Ia sering mendapat surat-surat merah muda di laci meja dan lokernya. Bahkan ada yang menyatakan perasaan langsung padanya. Namun, aku merasa senang karena sejauh ini, ia selalu menolak dan tak pernah terlihat dengan gadis manapun.

Aku jadi bertanya-tanya, gadis seperti apa yang bisa membuat pemuda sepertinya jatuh hati.

Yang jelas bukan aku

Aku membayangkan suatu saat nanti, ketika dia berdiri dengan jari yang saling mengisi, kuharap namanya telah pergi dari hati.

Karena aku sekarang sadar, apa yang tertulis dihatiku saat menyebut namanya.

Cinta pertama, tidak akan berhasil. Right?

Rolling tempat duduk pada kelas 12 ini membuatku tidak bisa senantiasa melihat punggungnya lagi. Walau masih berada dalam kelas yang sama, aku dan dia terpisah. Aku berada pada pojok paling kanan urutan ketiga, dan dia pojok paling kiri. Dari ujung ke ujung. Bagai jarak Januari ke Desember. Jauh.

Tanpa sadar bahwa Desember tepat di belakang Januari.

Meski di pojok, mataku tetap selalu meliriknya. Tak pernah bosan walau ia semakin tak terjangkau.

Ino pernah bertanya padaku,

"Kenapa tidak mengutarakan perasaanmu saja?"

"Aku tidak mau," terangku.

"Dasar, jika begitu teruslah berjalan di belakang dan jangan menangis di hadapanku saat kau tidak memiliki kesempatan ini lagi" ocehnya padaku yang hanya memutar bola mata bosan.

Ino hanya tidak tau, jika memendam adalah pilihanku sejak awal.

...

Tak terasa semester terakhirku sekolah di sini akan selesai. Hanya menyiapkan ujian kelulusan dan juga perpisahan.

Tiga tahun dan aku tidak tau kenapa aku bisa menahan perasaan selama ini disaat ia tepat di depan mataku.

Tinggal selangkah lagi dan aku akan hilang dari lihat dan dengarnya. Maka biarkan aku menikmati sisa waktu ini. Aku tidak tau ia akan melanjutkan sekolah kemana. Aku harap, ia pergi dengan semangat dan kembali dengan suksesnya.

Hingga hari perpisahan itu tiba. Dengan gagahnya ia berdiri di depan podium menyampaikan beberapa patah kata karena menjadi lulusan dengan nilai terbaik.

Aku tersenyum. Ikut merasakan kebahagiaannya.

Kulihat sekarang dia dikerubungi makhluk yang disebut perempuan. Mereka banyak yang memberi bunga dan ucapan selamat. Dan aku akan menonton dari sini.

"Hei, setidaknya ucapkan selamat tinggal pada cinta pertamamu sana," Ino tiba-tiba berbicara di sampingku.

Aku hanya tersenyum dan menggeleng. Kemudian berlalu menuju salah satu tempat di sekolah ini.

Lapangan.

Tempat ini akan menjadi awal dan akhir. Setidaknya itu yang kuharap.

Aku lalu melangkah pergi dengan hati yang masih tertinggal

Selamat tinggal masa SMA-ku

Flashback end.

Sudah tujuh tahun dan dia masih memegang kunci hatiku yang tertutup rapat. Kenyataannya, cinta pertama memang sulit dilupakan.

Selama ini aku tidak tau dia dimana, apa kabarnya dan apakah dia telah bertemu seseorang yang mengisi hidupnya?

Dia pergi dan menjauh.

Ia adalah pergi yang selalu aku harap untuk pulang.

Menyusuri jalanan padat Tokyo dipagi hari yang cukup sejuk menjadi pembuka hariku. Kakiku melangkah memasuki gedung besar tempatku bekerja sekarang. Melihat lift yang akan tertutup, aku seketika berteriak

"Tunggu!"

Dan saat aku sampai tepat di depan lift setelah merunduk mengatur napas, aku mengangkat kepalaku

"Terima— "ucapan itu tertahan di ujung lidahku saat manik itu terlihat lagi.

End.

Selesai pada 06.02.2019

Sudah pernah dipublish di wattpad.