Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto
.
.
.
Why Did They Leave Meeting Quickly?
.
.
.
"Ayah ... kenapa mereka jatuh? Kenapa mereka sesak napas dan mati? Kenapa, Ayah?"
Shinki membombardir Gaara dengan beruntai pertanyaan. Pria tampan itu menundukkan kepala bersurai merahnya. Ia tak kuasa menjawab pertanyaan anak semata wayangnya.
Hinata tergopoh-gopoh memasuki ruang keluarga. Gemetar tangannya meraih remote TV dan menekan tombol off. Hati Gaara berangsur lega. Ia setuju dengan apa yang dilakukan istrinya.
"Sudah, sudah. Jangan lihat berita lagi. Kau tahu, Gaara Sayang? Sering kali media menjual ketakutan," ucap Hinata.
Sejurus kemudian, perempuan berambut indigo itu menarik tubuh Shinki ke dalam pelukannya. Dielus-elusnya rambut bocah delapan tahun itu penuh kasih.
"Tidak apa-apa. Jangan takut, yaa. Anak Bunda harus tangguh, oke?" hiburnya.
"Katanya mereka kena virus, ya, Bunda?"
Baik Gaara maupun Hinata sama-sama menghela napas panjang. Jujur, mereka enggan menjelaskan kegawatan situasi di luar sana. Berulang kali Shinki bertanya. Namun, Ayah-Bundanya enggan bersuara.
Virus. Satu kata yang kini tengah menghantui Konoha City. Sebuah virus yang berawal dari sebuah kota bernama Wuhan di Tiongkok sana. Perlahan tapi pasti, virus ini menyebar ke penjuru dunia. Nama virus ini sungguh cantik: Corona. Mirip nama anak perempuan, 'kan?
Pada mulanya, Konoha City aman-aman saja. Penduduknya tak ada yang terpapar virus. Rasa aman ini membuat terlena. Saking terlenanya, Namikaze Minato, wali kota Konoha yang sedang menjabat saat ini, meremehkan Corona.
"Virus ini takut sama penduduk Konoha. Orang Konoha itu kuat-kuat, jarang sakit. Kita terbiasa dijerang suhu panas dan ditikam dinginnya salju. Cuma virus sekecil kuku, masa kita kalah? Kita ini kebal," sesumbarnya dalam suatu forum diskusi dua bulan lalu.
Sesumbar Minato hanyalah bualan belaka. Seminggu setelah dia menampakkan sikap jumawahnya, dua orang warga Konoha bernama Akasuna Sasori dan Akasuna Chiyo positif terinfeksi Corona. Keduanya tertular virus setelah berdansa dengan anggota keluarga mereka yang baru pulang dari luar negeri.
Semuanya berubah sejak Nona Corona menyerang. Minato menyatakan maklumat untuk menutup sekolah, menyuruh para pekerja melakukan WFH (Work from Home), dan menggalakkan protokol kesehatan. Jam malam diberlakukan. Saat kebijakan satu ini dikeluarkan, terang saja anak wali kota sendiri, yaitu Namikaze Naruto, protes.
"Papa ini gimana sih? Memangnya Corona ini kuntilanak, pakai ada jam malam segala?"
Kalau ibu wali kota alias Namikaze Kushina tidak menimpuk kepala anaknya dengan spatula, tentu Naruto akan meneruskan berpanjang kata.
Dan ...
Di sinilah keluarga Sabaku berada. Terkurung di rumah besar selama berminggu-minggu. Pagi, siang, sore, dan malam mereka selalu bersama. Hinata melarang keras anak dan suaminya keluar rumah.
"Kamu itu pernah sakit kanker paru-paru, Gaara-kun. Bagaimana kalau kamu tertular virus? Please, jangan keluar rumah," pinta mantan model itu.
Betapa besar rasa cinta Gaara untuk Hinata. Alhasil dia memenuhi permintaan istrinya.
Gaara masih ingin hidup. Bungsu dari tiga bersaudara itu pernah merasakan perihnya dada saat batuk darah, sinar terang yang bergerak di atas tubuhnya saaat terapi radiasi, bau obat-obatan ala gedung rumah sakit yang menusuk hidung, dan mual hebat akibat kemoterapi. Gaara tak mau sakit lagi, tak mau. Ia harus sehat demi Hinata dan Shinki-nya.
Akan tetapi, terkurung di rumah sepanjang minggu teramat membosankan. Benar bahwa ia jadi punya lebih banyak waktu berkualitas bersama keluarga. Sungguh, Gaara mensyukuri berlimpahnya waktu yang tersedia. Tetap saja hatinya dilanda kejenuhan.
"Ayah, bisa bacakan id meeting dan passcode-nya?"
Derap langkah kaki menuruni tangga marmer dan suara kekanakan Shinki menyentil pikirannya. Cepat-cepat Gaara menuntun sang anak duduk di sofa. Diambilnya ponsel pintar berlogo apel tergigit dari tangan Shinki. Beginilah rutinitas mereka tiap pagi: sekolah online. Gaara dan Hinata akan menemani anak istimewa mereka menjalani sekolah daring.
"ID-nya 98203287765." Gaara membacakan id Zoom Meeting untuk kelas pagi ini. Jemari Shinki bergerak cepat mengetikkan angka-angka itu di laptop.
"Passcode-nya, Ayah?"
Belum sempat Gaara menyahut, sebuah tangan putih mulus mengambil handphone dari genggamannya.
"834798." Hinatalah yang menjawab.
Senyum Shinki melebar. Ia senang bersekolah daring ditemani Ayah-Bundanya.
"Terima kasih, Bunda."
"Sama-sama, Sayang. Shinki sudah mandi pagi?" tanya Hinata seraya mendudukkan dirinya di samping kanan Gaara.
"Belum. Kalau sekolah online nggak ada aturan harus mandi pagi, Bundaaa."
Sayang, raut wajah Hinata terlalu lembut untuk marah. Alhasil ia hanya bisa mengerucutkan bibir. Sementara itu, Gaara tertawa pelan.
"Shinki ikut-ikutan Bunda, ya? Kalau nge-zoom nggak mandi dulu?" goda Gaara.
Tangan pucat Hinata memukul pelan dada Gaara. "Enak aja. Siapa yang kemarin baru bangun tidur langsung meeting internal sama dewan direksi?"
Mendengar kata 'dewan direksi', relfleks Gaara menepuk dahi. Mata hijaunya melebar cemas. Ia melompat bangun dari sofa. Shinki dan Hinata terkaget-kaget memandangnya.
"Ya, ampun, aku lupa. Sekarang aku ada meeting lagi dengan dewan direksi dan investor."
"Ayaaaah, meeting-nya di sini ajaaa dekat akuuuu!" teriak Shinki saat sang ayah berlari ke kamar utama.
Setelah mengambil laptopnya, Gaara kembali ke ruang tengah. Pria dengan ukiran lambang cinta di dahinya itu membuka aplikasi Zoom, lalu sign in untuk masuk ke room meeting milik perusahaannya. Layar laptop berpendar.
Sabaku Gaara has join the meeting
Benaknya tertampar rasa malu. Setelah mengecek kolom participants, dialah yang hadir paling akhir.
"Selamat pagi," sapa Gaara, menatap wajah-wajah di layar.
Seisi room balas menyapa. Rapat pun dimulai. Gaara bersama dewan direksi dan investor membahas langkah penyelamatan bisnis di tengah pandemi.
Seorang anggota komisaris mengusulkan agar dilakukan perampingan karyawan. Gaara menolak mentah-mentah. Memecat karyawan bukanlah kunci. Ia tak ingin mendengar jerit protes dan ratap tangis karyawan beserta keluarganya. Banyak sekali orang yang menggantungkan hidupnya pada Pt. Sabaku TBK.
"Terus kita harus bagaimana? Coba, beri solusi lain kalau bukan pemecatan," kata Kankuro putus asa.
"Hmmm ..." Gaara menopang dagu, berpikir-pikir.
"Kita kurangi biaya promosi fisik. Kita fokus di promosi dan penjualan produk secara online."
Temari mendengus. "Kaupikir promosi online tak butuh biaya? Pasti ada buzzer, vlogger, dan printilannya itu."
Diskusi berlangsung alot. Selama itu pula Shinki manyun. Ia tak suka ayahnya mengalihkan perhatian darinya. Hinata sabar menenangkan.
"Ayahmu sedang rapat, Sayang. Ayah 'kan harus kerja juga buat Shinki. Kamu sama Bunda dulu, ya. Sini, ada tugas apa dari Konohamaru-sensei?"
Shinki menunjukkan layar laptopnya. Dibantu Hinata, dia pun menyelesaikan tugas menggambar, tugas Bahasa Inggris, dan Sejarah.
Tepat ketika Shinki selesai mengirim tugas ke e-mail Konohamaru-sensei, Gaara mengakhiri rapatnya. Shinki iseng melirik layar MacBook kepunyaan sang ayah.
Sabaku Temari has left the meeting
Sabaku Kankuro has left the meeting
Uchiha Sasuke has left the meeting
Nara Shikamaruhas left the meeting
Hyuuga Neji has left the meeting
"Ayah, panggil Shinki.
"Iya, Sayang?" Gaara berpaling dari layar laptop, memfokuskan tatapan mata pada buah hatinya.
"Kenapa mereka cepat sekali leave Zoom? Kenapa nggak ngobrol-ngobrol atau foto-foto dulu?"
Sesaat Gaara terdiam. Dia sendiri pun tak tahu mengapa kelakuan kebanyakan orang di Zoom seperti itu.
"Entahlah. Sakit perut mungkin. Atau ada Zoom lain," jawabnya akhirnya.
"Atau belum mandi kayak kamu. Jadinya malu mau ngobrol atau selfie," timpal Hinata.
Shinki manggut-manggut. Mungkin saja jawaban orang tuanya benar. Mendadak ia rindu pertemuan tatap muka. Shinki kangen teman-teman sekelasnya: Boruto, Metal Lee, Mitsuki, Shikadai, Sarada, dan Chocho. Ia berharap agar pandemi cepat berakhir.
Malamnya, Gaara mondar-mandir gelisah di balkon kamar. Satu tangannya menimang botol obat yang sudah kosong. Pintu kaca bergeser membuka. Hinata berjalan anggun menghampiri pria pendamping hidupnya.
"Sudah habis," lirih Gaara.
"Aku tak tahu bagaimana harus check up."
Walau sudah tidak perlu mengikuti kemoterapi lagi, perlu waktu lima tahun bagi Gaara untuk memastikan dirinya seratus persen bebas dari kanker. Ia pun tetap harus minum obat demi kesehatannya.
"Besok aku panggil Sakura ke sini, ya. Dia yang paling tahu keadaanmu," ujar Hinata.
Ingatan Gaara melayang pada dokter pribadinya. Wanita berambut merah muda cerah itulah yang mengobatinya sejak didiagnosis kanker sampai sembuh.
Sejurus kemudian, Hinata merengkuh Gaara ke dalam pelukannya. Ia berbisik.
"Semoga kamu bisa melewati pandemi ini dan tetap sehat. Semoga umur panjang menyertaimu, Sayang."
Serta-merta Gaara mencium kening Hinata. Tanpa kata, ia menyelipkan harapan yang sama dan cinta untuk wanita paling berharga dalam hidupnya.