BERTH

Chapter 01.

Tetsuya tahu ini bukan kesalahan suaminya. Bukan salahnya juga. Ini adalah kesalahan takdir yang terasa begitu kejam untuk mereka, terutama untuk Tetsuya. Dia tidak menyangka, saat dia sembuh dari sakitnya, dia harus menelan fakta bahwa suaminya sudah menikah untuk kali kedua.

Tentu, tidak ada yang menyalahkan Akashi untuk melakukannya. Siapa yang mau menerima seorang istri yang sakit jiwa? Siapa yang betah mengurus kesendirian karena istrinya gila?

Dia hanya tak sanggup menelan fakta. Rasanya Tetsuya ingin kembali sakit saja.

Dan fakta kejam lainnya, anaknya tidak mengenalnya, dan malah mengenali istri kedua suaminya sebagai ibunya.

An Akakuro Fanfiction

Disclaimer :

Kuroko No Basuke by Fujimaki Tadatoshi

Original story by Gigi

Warning :

Akakuro

Family, romance, drama.

Shounen ai, male pregnant.

Typo and out of character.

Tidak ada yang mampu menggambarkan betapa hancur hatinya sekarang. Tak ada yang bisa menandingi, betapa sakit dadanya yang terkena tikam. Penghianatan Akashi atas pernikahan mereka bagai sembilu tajam yang menyayat jantungnya telak. Udara seakan tak mampu masuk dalam rongga pernafasan.

Sesak, sakit, hancur tiada tergambarkan.

Matanya menatap dari balik jendela kaca, di lantai 3, menatap bagaimana mereka layaknya keluarga bahagia. Dan Tetsuya?

Dia tak lagi dibutuhkan. Tidak untuk suaminya, tidak juga untuk anak kandungnya. Sungguh, rasanya mati terlihat lebih menyenangkan. Tetsuya kembali menangis, kembali meracau. Dia tidak bisa menyalahkan siapapun, bahkan keadaan.

Namun bisakah, takdir sedikit memberi ruang untuk Tetsuya bersandar?

Sungguh, ini terlalu berat, Tuhan.

Untuk itulah, Tetsuya memilih membuka lemarinya, menarik tasnya keluar, mengambil barang dan mengemasnya disana. Ini bukan tempatnya. Tidak ada Tetsuya disana. Tidak ada ruang untuknya.

Dia tidak mau disini, terlalu menyakitkan.

"Karma,"

Tetsuya memanggil nama anaknya yang tidak pernah memanggilnya ibu. Dari sekian banyak takdir yang kejam, kenapa anaknya harus menjadi salah satu yang menyakitkan?

Tentu Tetsuya tak menyalahkan anaknya yang tidak mengenalnya. Karena Tetsuya sudah 'sakit' semenjak Karma lahir. Jadi jelas dia tidak mengenal Tetsuya siapa. Dan.. Tetsuya sekuat tenaga tidak bicara bahwa dialah yang melahirkan Karma.

Dialah yang mengandung Karma selama 9 bulan 10 hari.

Dialah yang bertaruh nyawa atasnya.

Dialah yang tak putus doa agar Karma senantiasa baik-baik saja.

Dialah.. Tetsuya yang mengorbankan segalanya untuk sang putra.

Tapi tidak. Tetsuya menelannya. Karena Karma akan malu memiliki seorang ibu yang pernah gila. Jadi, memang lebih baik Tetsuya pergi saja.

Tangannya meletakkan cincin pernikahannya. Ini sudah tidak berarti apa-apa. Bagi Tetsuya ini masih segalanya, namun bagi suaminya?

Tentu saja tidak.

Surat perceraian yang sudah diurus pengacaranya diam-diam, langsung dia tanda tangani tanpa pikir panjang. Karena tak berguna juga sekarang.

"Kau mau kemana?"

Sebuah suara yang dia kenal, tidak membuat Tetsuya berhenti mengemas barang. Dia tidak berniat menjawab karena suaranya akan pecah. Dan Tetsuya tak suka mengumbar kelemahan.

"Tetsuya,"

"…" Tetsuya tetap memilih diam. Namun, tangannya dicekal cukup kencang.

"Kau mau kemana?"

"Kemanapun." Jawabnya singkat sambil melepas cekalan, namun gagal.

"Kau marah?"

Tetsuya tidak marah. Dia terluka. Dia kecewa teramat dalam.

"Bisakah kau lepaskan tanganku?"

"Tidak jika kau tidak menjawab kau mau kemana."

"Bukan urusanmu."

"Kau istriku!"

Tetsuya sekuat tenaga menahan tangisan yang nyaris meledak, padahal, psikiaternya bilang bahwa Tetsuya tak boleh menahan emosi yang berlebihan, namun dia tidak mau mengumbar rasa frustasinya sekarang.

"Kita cerai."

"…"

"Jadi tolong lepaskan."

"Apa kau bilang?"

"Aku mau cerai." Tetsuya bicara pelan, dia sudah tidak tahan, "Tolong lepaskan."

Saat cekalan melonggar, Tetsuya menarik tangannya, dan mendorong form perceraian yang sudah dia tanda tangani pada Akashi, juga cincin yang menjadi saksi pernikahan mereka.

Akashi belum mengatakan apa-apa. Tapi Tetsuya tidak peduli. Jadi ketika dia selesai mengemas, dia langsung pergi meninggalkan Akashi yang masih terdiam. Berjalan menyeret kopernya, dan baru berhenti saat Karma berlari kearahnya.

"Tetsu-san mau kemana?" Tanya balita usia 5 tahun didepannya.

Tetsuya ingin sekali mendekapnya. Tetsuya ingin sekali mengungkap siapa dia. Tapi bisa apa?

Dia tidak mau Karma malu tentang dirinya. Dia tidak mau membebani Karma dengan status Tetsuya sebagai mantan orang yang pernah punya sakit jiwa.

Hingga akhirnya, Tetsuya hanya mampu menepuk kepala Karma, "Karma, semoga dengan ini, Karma bahagia." Menelan semua tangisan, menelan semua yang dia rasakan.

Seluruh lidahnya terasa beracun sekarang. Langkahnya bagai menginjak ribuan paku yang tajam. Pundaknya seperti menanggung beban yang mampu membuatnya rubuh jika Tetsuya gentar.

"Maafkan ibu, nak. Ini yang terbaik untukmu." Bisik Tetsuya pelan.

Dia menulikan telinga saat Karma menangis kencang. Juga teriakan Akashi atas namanya.

Tidak apa.

Dia bukan siapa-siapa disana.

Teriakan panggilan Akashi hanya karena sebuah kekagetan.

Tangisan Karma hanya sebuah tangisan karena berpisah dengan orang asing baginya.

Mereka berdua sudah punya sosok yang lebih baik dari Tetsuya.

"Tetsu-kun," Suara seorang wanita, "Kau mau kemana?"

"Satsuki-san, tolong jaga mereka."

Tidak apa-apa.

Tidak apa-apa.

Tidak apa-apa.

Tetsuya bagai merapal mantera dalam hatinya, untuk setiap kepingan hati yang hancur tak bersisa.

Tidak apa-apa.

Untuk setiap sakit yang menghujam dada.

Tidak apa-apa.

Untuk jantung yang rasanya sudah remuk redam.

Tidak apa-apa.

Untuk luka yang sakitnya luar biasa.

Tidak apa-apa.

Untuk kecewa yang tidak lagi bisa Tetsuya terka.

Tidak apa-apa.

Tetsuya menangis lagi. Sudah tak terhitung tangisan yang luluh pada hari ini. Pada hari-hari kemarin, juga mungkin yang akan datang akibat sakit yang tidak terkendali.

Kini dia terseok-seok, duduk disudut taman, ditengah hujan yang deras, dan petir yang menggelegar.

Mantera tidak apa-apa yang sedari tadi dia rapal, kini mulai menjadi boomerang.

Apanya yang tidak apa-apa jika bernafas saja terasa menyakitkan?

Apanya yang tidak apa-apa jika lukanya kini menganga lebar?

Apanya yang tidak apa-apa jika seluruh tubuhnya terlalu sakit tanpa dia tahu dimana berasal?

Tetsuya hancur, sehancur-hancurnya tanpa bisa dia definisikan.

"Tuhan," Bibirnya membiru, kulitnya pucat. Dia kedinginan. Tapi Tetsuya merasa tidak butuh kehidupan. Dia tidak butuh kesembuhan jika setelahnya begini menyakitkan.

Tetsuya ingin protes, dia mengadu, sekaligus meneriakkan ketidaktrimaan.

Katanya, Tuhan tidak akan menguji diluar kemampuan makhluk-Nya.

Tapi ini sungguh berat. Tapi ini sungguh diluar kemampuan Tetsuya.

Kenapa dia diberi kesembuhan, hanya untuk diberi rasa sakit yang begitu menyakitkan?

Kenapa dia diberi sembuh, untuk menelan sebuah fakta yang tidak bisa Tetsuya terima dengan keikhlasan?

Seumur hidupnya, Tetsuya selalu bersyukur atas apa yang dia terima. Atas apa yang dia dapatkan. Untuk setiap usaha, untuk setiap perjuangan. Tapi kenapa, Tuhan?

Kenapa harus Tetsuya?

Jika ini adalah tentang sebuah kekuatan, rasanya dia ingin menjadi seseorang yang lemah agar tidak mendapat ujian yang sebegini berat.

Apakah mati menjadi jawaban?

Setan dikepalanya sudah berteriak, minta Tetsuya menabrakkan diri saja. Atau lompat dari gedung, mungkin lebih menyenangkan?

Tapi dari itu semua, Tetsuya hanya bisa berucap.

"Tuhan, ijinkan. Aku ingin lupa ingatan."

To be continue.

AN:

Happy Birthday Sei-kun!

Langgeng ya dengan Tetsuya, terus bikin anak sebanyak-banyaknya kalian bisa

Btw, rindu sekali update di fanfiction T.T

Terimakasih, semoga masih ada yang membaca!

Sign,

Gigi.