Chapter sebelumnya ...

"Kelima ibu adik-adikku, Nii-san." Raut wajah Toneri berubah dingin. "Aku mencari tahu tentang mereka."

Chapter 32. Address

Setelah mandi dan memakai celana training dan kaus longgar, Toneri menuju kursi dekat jendela. Ia duduk membungkuk dengan kedua lengannya bertumpu pada paha. Dahinya sedikit berkerut dan alisnya bertaut. Tampak memikirkan sesuatu. Terlihat bulir air mengalir di pelipis dan leher karena rambut yang masih basah.

Mengacak rambutnya sendiri, Toneri berdiri, dan pergi keluar kamarnya menuju pintu kamar Momoshiki. Usai mengetuk tiga kali dan menunggu sebentar, pintu kemudian dibuka.

"Ada apa?" tanya Momoshiki.

"Aku ingin minum anggur," jawabnya sambil menyelinap masuk ke kamar kakak lelakinya itu. Membuat satu alis Momoshiki terangkat melihat tingkahnya.

Toneri mendekati lemari anggur Momoshiki. Mengambil satu botol anggur beserta gelasnya. Membawanya ke meja bundar. Duduk, ia membuka, menuang, lalu menyesap cairan fermentasi buah itu. Di sisi lain, Momoshiki hanya memperhatikannya sembari berdiri.

"Kenapa kau masih di sini? Pergi ke kamarmu dan bawa anggur itu," ucap Momoshiki. Toneri diam. Beberapa saat kemudian sang adik memanggilnya.

"Aniki."

Satu sudut bibir Momoshiki terangkat. Ia tahu, adiknya datang bukan untuk mendapatkan sebotol anggur. Sebab, ada lemari anggur juga di dapur lantai bawah. Tak perlu repot-repot ke kamarnya dan mengganggunya di jam dua dini hari karena anggur jika memang itu yang dicarinya. Karena itu, ia memancingnya agar cepat mengatakan yang sebenarnya.

Momoshiki mendekat. Duduk dengan kaki bersilang anggun di sofa panjang singgasananya, berhadapan dengan Toneri yang duduk di sofa tunggal. "Ada apa?"

"Saki bertingkah mencurigakan," kata Toneri. Momoshiki menaikkan satu alisnya.

"Malam itu dia mengendap-endap pergi dari mansion. Aku yang kebetulan masih ada di lantai bawah dan baru saja membuat cokelat panas memergokinya. Aku sudah melarangnya pergi, tetapi ia nekat. Bahkan sampai rela melukai jarinya sendiri agar bisa pergi." Mendengar kalimat terakhir, mata Momoshiki menggelap. "Dia tidak terluka parah, hanya sayatan di jari," tambah Toneri cepat saat melihat ekspresi kakaknya.

Berdehem, Toneri melanjutkan. "Karena hal itu, beberapa hari kemudian saat mobilku diservice, aku meminjam mobilnya dan memasang alat pelacak." Toneri menyesap lagi anggurnya.

"Hmm," gumam Momoshiki meminta Toneri melanjutkan ceritanya.

"Aku mencatat semua tempat yang dikunjungi Saki selain tempat yang biasa ia kunjungi," ucapnya. "Setelah itu aku meminta salah satu bawahanku untuk menyelidiki apa yang Saki lakukan di tempat-tempat itu."

"Lalu?"

"Aniki." Toneri menatap Momoshiki.

"Saki menyelidiki kelima wanita itu."

"Sensei." Shizuka mengangkat tangannya.

"Ada apa, Shizuka-san? tanya Mizuki.

"Bisakah aku ke tolilet?"

Mizuki mengangguk. "Pergilah, dan cepat kembali."

Shizuka berdiri hendak lewat pintu belakang. Melewati meja Sasuke di sampingnya, tangannya menaruh kertas yang dilipat ke tangan Sasuke, lalu lanjut melangkah.

Dahi Sasuke mengernyit melihat kertas pemberian Shizuka. Perlahan ia buka kertas itu, terlihatlah sebuah tulisan.

Akhir-akhir ini kau sering menatap Shimura Karin. Apa kau tertarik padanya? Aku mungkin bisa memberimu saran, Sasuke-kun :D

Sasuke dengan cepat dan kasar meremas kertas itu. Gerakannya seakan kesal, tetapi di pipinya muncul semburat merah muda yang amat tipis.

Di lain kelas, tepatnya kelas 11-1 sedang berlangsung pelajaran olahraga. Para gadis terbagi menjadi dua tim dan sedang bermain basket.

Terlihat Hinata yang sangat jarang membawa bola. Selain dari dirinya yang tidak mahir bermain basket, semua teman satu timnya juga sengaja tidak mengoper bola padanya. Membuat Hinata hanya lelah berlari dan berusaha merebut bola sendiri.

Beberapa kali tim lawan maupun rekan satu timnya berusaha mencelakainya. Namun, dengan tangkas ia lolos. Membuat mereka kesal. Napasnya terengah dan keringat bercucuran.

Tak jauh dari area lapangan, ada sepasang mata yang memperhatikan Hinata sejak awal. Melihat bagaimana lawan dan rekan setimnya memperlakukan Hinata, Alisnya pemuda itu bertaut dengan dahi yang berkerut. Matanya pun menajam. Pemuda itu adalah Neji Hyuuga.

Pritttt!

Suara peluit panjang guru olahraga menjadi penanda habisnya waktu permainan. Kini saatnya para laki-laki yang bermain basket. Membentuk dua tim, mereka mulai bermain basket, sedangkan para murid perempuan duduk istirahat di kursi pinggir lapangan seperti murid laki-laki tadi.

Neji berjalan menuju guru olahraga yang berdiri di dekat papan skor sembari melihat para muridnya bertanding. Para murid perempuan menatap Neji. Tak terkecuali Hinata yang ikut menatap seniornya itu sebentar karena penasaran apa yang dilihat para perempuan satu kelasnya.

"Sensei," panggil Neji.

"Ah, Hyuuga. Ada apa?"

"Mizuki-sensei memintaku pergi ke ruang guru untuk mengambil buku tugasku dan teman-temanku. Saat akan kembali, Miriko-sensei memintaku menemuimu. Dia berkata jika besok Ikoda Tumure dan Iciba Mitora tak bisa ikut bertanding bola voli dengan sekolah lain," kata Neji.

"Benarkah? Kenapa mereka tak bisa ikut?"

"Iya. Karena Tumure sedang cidera di bagian kaki sejak dua hari yang lalu, sedangkan Mitora semalam masuk rumah sakit karena deman berdarah."

"Baiklah kalau begitu, terima kasih sudah memberitahuku. Kau bisa kembali ke kelasmu, Hyuuga."

Melihat Neji tak juga pergi, ia bertanya. "Ada apa lagi, Hyuuga?"

"Sensei, kau berdiri di sini sepanjang permainan sebelumnya. Mungkin terlalu fokus pada skor membuat pengelihatanmu lalai. Namun, sebagai guru yang berpengalaman dan orang yang lebih lama hidup, kurasa harusnya kau tahu jelas apa yang dilakukan murid-muridmu, tetapi kau sama sekali tak menghentikan mereka."

Neji sedikit membungkuk. "Aku kembali, Sensei." Neji pergi menjauh dari guru yang terdiam di tempatnya.

Dering ponsel Tsunade berbunyi. Berhenti membaca dokumen, ia membaca nama yang muncul di layar. 'My Pervert'

"Moshi-moshi, Jiraiya," sapa Tsunade.

"Halo, My Lady. Apa kiriman makan siang dariku sudah sampai?"

Dahi Tsunade berkerut. 'Makan siang?'

"Belum sampai," ucapnya.

"Benarkah?"

"Iya."

"Kenapa belum sampai, ya." Nada bingung terdengar di telinga Tsunade.

"Itu bagus, masih ada setengah jam lagi sebelum makan siang. Jadi tidak apa-apa sedikit terlambat," ucap Tsunade.

"Syukurlah kalau begitu."

Menghela napas, Tsunade bertanya, "Apa kau menghubungiku hanya untuk membicarakan hal ini? Apa kau ingat aku masih bekerja saat ini?"

"Ah, tentu-tentu aku ingat, Sayang. Aku juga ingin menanyakan sesuatu padamu."

"Apa? Cepat katakan."

"Kau belum memberi jawaban tentang gadis pilihanmu, sudah hampir seminggu ini. Jadi aku menyeleksinya sendiri. Sekarang aku sudah ada empat kandidat teratas. Nanti malam adalah malam minggu. Haruskah aku mengatur makan malam bersama salah satu gadis?"

Tsunade termenung. "-dy? My Lady? Sayang? Halo? Kau di sana?"

"Ya, ya. Aku di sini," ucap Tsunade.

"Kenapa kau diam saja?"

Menghela napas, ia berkata, "Tidak ada, hanya tiba-tiba teringat sesuatu. Jiraiya, kau tak perlu mengatur makan malam. Aku akan memilih di antara empat kandidat teratasmu nanti."

Selesai berbicara dengan suaminya via ponsel, Tsunade kembali melanjutkan memeriksa dokumen. Ketika ada dokumen yang perlu dicap, ia membuka laci mejanya. Mata hazel itu kemudian melihat kunci kartu dan secarik kertas. Ia ambil kertas itu lalu membacanya. Terdapat sebuah alamat yang ditulis oleh Sakura.

Sakura kini dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Setelah sampai di mansion, ia pergi ke area belakang mansion. Mengambil salah satu kelinci yang dipelihara secara liar. Kemudian ia meminta kandang kecil pada pelayan.

Dengan membawa kelinci putih di dalam kandang kecil, Sakura pergi mengendarai mobilnya. Di perjalanan, Sakura mampir ke supermarket. Pergi menuju rak dan mengambil sebungkus mika berisi kue dango.

"Sakura-san?"

Sakura menoleh, dan melihat Shikamaru sedang mendorong troli belanja

"Nara," ucap Sakura. Melihat troli belanja Shikamaru yang memiliki banyak barang kebutuhan rumah tangga, ia tersenyum tipis.

"I-ibuku memintaku berbelaja," kata Shikamaru dengan malu sembari menunjukkan layar ponselnya yang terdapat daftar barang yang harus dibeli.

"Tidak apa-apa, dulu aku sering meminta Kiba dan Shisui berbelanja. Kau mengingatkanku pada mereka."

Shikamaru terkejut. Ia pikir Sakura mengejeknya. Namun ternyata tidak.

Tiba-tiba ponsel Shikamaru berbunyi. Melihat layar ponsel, ia lalu menatap Sakura. Gadis itu mengangguk kecil. Segera Shikamaru mengangkat panggilan. "Ya, Tou-san."

"Apa kau masih di supermarket?"

"Ya, aku masih di supermarket. Kenapa?"

"Tolong beli juga satu box bolpoin seperti yang sering Tou-san pakai."

"Baik, Tou-san."

"Ee, Tou-san, aku sedang bertemu dengan puteri teman baikmu sekarang." Sakura yang sedang melihat-lihat barang di rak menoleh pada Shikamaru.

"Puteri teman baikku? Siapa?"

"Sakura Shimura."

"Astaga, Sakura-chan. Maukah dia bicara padaku?"

Shikamaru menatap Sakura yang kini menatapnya juga. "Ayahku ingin bicara denganmu, apa kau mau?"

Sakura mengulurkan tangannya. Segera Shikamaru memberikan ponselnya. "Moshi-moshi, Oji-san."

"Sakura-chan?"

"Ya, Shikaku-jisan. Ini aku."

"Ah, kita belum bertemu lagi. Bagaimana kabarmu?"

"Kabarku baik. Bagaimana dengan Oji-san?"

"Tentu aku juga baik. Ah, Sakura-chan, apa kau sibuk besok malam?"

Terlihat berpikir sesaat, ia menjawab. "Tidak."

"Kalau begitu bisakah kau datang ke rumahku? Aku mengundangmu makan malam."

"Baik, Oji-san. Aku akan datang," kata Sakura.

Selesai berbicara dengan Shikaku, ia mengembalikan ponsel Shikamaru. Pemuda itu juga kini sudah mengakhiri panggilan.

"Bisakah aku tahu apa yang ayahku katakan?"

"Ayahmu mengundangku datang ke rumahmu besok untuk makan malam."

"Ah, begitu. Kau bisa menolak jika sedang sibuk," kata Shikamaru.

"Tidak, besok malam aku tidak sibuk," ucap Sakura. "Aku setuju datang bukan karena keterpaksaan, Nara." Shikamaru sedikit tersentak.

Sakura lalu berjalan ke arah lemari pendingin. "Sakura-san," panggil Shikamaru.

Sakura berhenti melangkah, menoleh dengan alis sedikit terangkat. "Kau bisa memanggil namaku langsung jika kau mau," ucapnya. Sakura mengangkat satu sudut bibirnya tanpa menjawabnya, lalu lanjut melangkah.

Sampai di lemari pendingin, Sakura mengambil satu cap gelas teh hijau. Setelah itu, ia membayar lalu melanjutkan perjalanan. Di sisi lain pada saat yang sama, Tsunade keluar dari rumah sakit sembari sesekali melihat kertas di tangannya yang terdapat sebuah alamat yang ditulis Sakura. Pergi ke area parkir, ia mengendarai mobilnya menuju alamat tersebut.

Sekarang mobil Sakura menuju pingir kota di dekat perbatasan. Lebih tepatnya menuju sebuah bangunan yang memiliki plang bertuliskan 'Klinik Hewan'

Turun dari mobil, Sakura memasuki klinik dengan membawa kandang berisi kelinci dan plastik berisi kue dango dan teh hijau.

Saat ini sudah sore, klinik sudah hampir tutup. Klinik hewan ini ramai dikunjungi. Orang-orang dari daerah sekitar sering datang memeriksakkan peliharaannya, entah secara rutin, maupun hanya ketika sakit, atau hanya sekedar ingin mengajak peliharaan mereka bermain di taman hewan di belakang klinik. Selain itu, bukan hanya orang dari pinggir kota Konoha yang datang, tetapi dari pingir kota sebelah juga memeriksakkan peliharaannya di sini.

Saat masuk, Sakura langsung di persilahkan ke ruang periksa oleh gadis di meja depan. Sakura mengetuk pintu dan mendengar suara yang mempersilakannya masuk.

Membuka pintu, Sakura masuk dan melihat berbagai peralatan untuk memeriksa hewan. Di meja dekat jendela, Megumi sedang duduk di kursinya sambil menulis sesuatu di buku. Megumi menoleh ke pintu, dan terkejutlah ia melihat Sakura.

"Sa-Sakura-chan?"

Sakura menganggat tangannya yang memegang kandang kecil berisi kelinci putih. "Aku ingin memeriksa ini."

Megumi diam terpaku, setelah beberapa saat ia seakan tersadar. "O-oh, baiklah. Akan kuperiksa." Berdiri, memakai sarung tangan dan masker, lalu mendekati ranjang untuk memeriksa hewan.

"Bawa kemari," pintanya. "Kau bisa duduk menunggu di sana saat kelincimu kuperiksa." Megumi menunjuk kursi di dekat dinding.

Sakura menyerahkan kelinci putih pada Megumi yang langsung memulai pemeriksaan, sedangkan Sakura malah mendekati meja Megumi, bukan kursi yang ditunjuk tadi. Ibu biologis Shisui itu meliriknya, tetapi tak menghentikannya.

Setelah serangkaian pemeriksaan, Megumi berkata, "Kelincimu baik-baik saja. Dia sehat dan tidak ada masalah."

"Benarkah?"

Megumi menoleh pada Sakura. "Ya, sepertinya kelinci ini dirawat dengan baik." Mata gelapnya melihat Sakura yang sedang mengaduk-aduk teh hijau dengan sedotan.

Tentu dirawat dengan baik. Kelinci-kelinci di belakang mansion adalah hewan kesukaan nenek buyutnya, Kaguya Otsutsuki. Jelas hewan-hewan itu dirawat dengan baik. Ada dua orang yang merawat mereka. Seorang dokter hewan, dan seorang pelayan.

"Baguslah, kalau begitu," kata Sakura.

Masih menunduk sambil mengaduk teh hijaunya, ia bertanya, "Apa kau suka?"

Megumi menoleh sekilas pada Sakura, lalu mendekati kandang. Hendak memasukkan kelinci ke sana. "Yah, lumayan. Kelinci cukup menggemaskan."

"Tidak, bukan itu," katanya. "Bukan kelinci, tetapi paket," sambungnya yang seketika membuat Megumi terkejut. Matanya membelalak dan gerakan tangannya yang membuka pintu kandang langsung terhenti.

Bangkit dari keterkejutannya, menoleh pada Sakura, pandangannya menatap kue dango dan teh hijau. Ia langsung teringat akan foto terakhir dari dua paket itu. Pada paket pertama, foto terakhirnya adalah kue dango, sedangkan paket kedua adalah teh hijau.

Megumi kini mengerti bahwa Sakura adalah yang mengiriminya dua paket itu. Terkekeh pelan, Megumi kembali lanjut memasukkan kelinci ke dalam kandang. Setelah itu berdiri menatap Sakura.

Menghela napas, ia berkata, "Ternyata itu kau. Aku sudah memiliki sedikit dugaan jika itu dirimu, tetapi aku masih ragu."

Sakura asik mengaduk teh hijau tanpa meminumnya. "Kapan? Sejak kapan kau tahu, Sakura-chan?" tanya Megumi.

Chapter 32 selesai.