Sabaku Sophia
Disclaimer: Naruto copyright Masashi Kishimoto, Sabaku Sophia copyright Sabaku No Maureen
Pair: always GaaHina. Sasuke x oc.
Warning: au, ooc, oc
.
.
.
Chapter 7: Epilog
Sabaku Hinata, selalu bangga dengan gelar akademisnya. Dia yakin jurusan Bimbingan Konseling yang diambilnya di jenjang magister akan banyak membantu saat ia memiliki anak. Tak mengapa jurusan S2nya tak linier dengan gelar sarjana. Kala itu Hinata lebih mementingkan utilitas ketimbang gelar akademik.
Sore ini, kebanggaannya hangus sudah. Hati Hinata dililit penyesalan. Berlembar-lembar penyesalan sebab gelar dan ilmunya tak terpakai sama sekali. Hinata malu, sempurna malu di hadapan Uchiha Sasuke.
"Kenapa harus dia?" Hinata meratap di samping pria berambut merah bata.
Gaara menyusut air mata. "I don't know why, Princess. Aku pun merasa tak berguna."
Sepasang orang tua itu sama-sama terpukul. Mereka duduk di ranjang besar berseprai ungu muda yang ditiduri Sophia. Kamar tidur mewah bernuansa ungu dan biru gelap itu disesaki penyesalan. Sayup suara televise yang menjadi bunyi latar belakang tak membantu.
"Andai saja kita menyusul ke agensi waktu itu."
Seraya berkata begitu, Hinata mengelus kening putih mulus bebas jerawat milik putrinya. Saat tertidur, paras Sophia amat damai. Sirna sudah rinai kekecewaan dan kecemasan.
"Bagaimana kalua kejadian ini mempengaruhi mentalnya dalam jangka panjang? Demi Tuhan, sebentar lagi dia harus menghadapi tesis!" Nada suara Hinata meninggi di sela kalimatnya.
Gaara melarikan jemari ke surai merahnya. Helai rambut itu diremasny. Agensi tak beretika, ia membatin sedih campur marah.
Jade milik Gaara dan lavender Hinata melayang ke televise. Netra mereka memagut sosok model cantic berpenampilan sempurna yang wajahnya mendominasi layar kaca. Model yang sama, yang dijumpai Sasuke dan Sophia di lift. Belakangan mereka tahu nama supermodel itu: Shion.
"Gaara, tak masalah kalua ada yang menghinaku. Tapi jangan keluargaku, apa lagi putriku. Kamu dan Sophia adalah hartaku yang paling berharga. Bahagiaku, pelita hatiku," tutur Hinata.
Perlahan Gaara menurunkan tangan dari rambutnya. Ia beralih menyentuh dagu Hinata. Wajah cantic perempuan setengah baya itu dirangkumnya. Jemari ramping Gaara membelai pipi seputih salju istrinya. Bibir tipis itu mengecup lembut kening pualam Hinata.
Lengan Hinata terkalung di leher Gaara. Mereka saling memeluk, mendekap, erat, merapat. Dua jantung bertalu. Dua hati menyesap hangatnya cinta. Iris mata mereka bergeser dari layar televise ke jendela.
Secantik-cantiknya wajah Shion, masih lebih indah langit ungu kemerahan. Matahari sore tersenyum cantic sebelum akhirnya terjun bebas. Senja yang singkat melepuh dalam hening. Bukankah senja adalah perpisahan kecil yang berulang? Setiap hari kita telah diperlihatkan cerita perpisahan. Mentari berpisah dengan langit saat tiba giliran bulan bertugas. Terkadang hujan ikut andil dalam perpisahan itu. Langit tahu diri untuk tidak terlalu mencintai bulan dan matahari. Sebab pada waktunya mereka akan tenggelam.
Langit sontak berganti warna menjadi biru kehitaman. Gaara dan Hinata menyudahi pelukan tepat ketika bulan memanjat bumantara. Sophia terbangun beberapa menit setelahnya.
"Sudah malam, ya?" gumam gadis itu diselipi rasa kantuk.
Hinata mengelus rambut merah putrinya. Hadiah kedua yang diterima Sophia mala mini adalah ciuman hangat Gaara di dahinya.
"Iya, Sayang. Kamu belum terlambat." Gaara menyahuti.
Baiklah, masih ada waktu. Sophia menurunkan kakinya dari tepi ranjang. Sepasang kaki jenjang itu terayun ke iwalking closet. Hinata dan Gaara undur diri dari kamar. Mereka pun harus bersiap.
.
.
.
Sabtu malam semuram hati Sasuke. Seiris bulan menatap sendu dari balik selendang tipis awan. Tak ada sekawanan bintang yang berlarian di sekelilingnya.
"Sepertinya lampu terasmu perlu diganti, Itachi." Onyx Sasuke terpancang kea rah lampu teras yang berkedip lemah. Kedipan lampu itu layaknya sepasang mata bocah yang baru terjaga.
Seraut wajah tampan yang dihiasi garis halus itu memekarkan senyum. "Ah kau benar, Little Brother."
Sasuke merinding. Umur hamper lima puluh rasanya tak pantas dipanggil seperti itu. Kecuali kalua Itachi mengajak Sasuke masuk ke mesin waktu dan melakukan perjalanan berpuluh tahun ke belakang.
"Aku harus pergi," pamit Sasuke seraya berdiri dari sofa tunggal yang ia duduki.
"Mau kemana, DGN. Sasuke? Ini malam Minggu dan besok hari libur."
Oh, tadi panggilan masa kecil. Sekarang gelar di Rotary. Terus terang, Sasuke masih sangsi dengan pencalonannya sebagai District Governor Nomine.
"Gaara mengundangku makan malam," sahutnya pendek.
"Habis itu balik lagi ke sini, ya. Menginaplah. Cattleya dan Monalisa … panjang umur! Baru saja disebut!"
Dua putri Itachi menghambur ke serambi. Si sulung Cattleya mewarisi rambut hitam Uchiha. Sedangkan si bungsu Monalisa Nampak menawan dengan surai coklat kopi khas Inuzuka. Di belakang mereka, Nampak dr. Uchiha Hana berjalan mendekat.
Melihat pasukan berkumpul lengkap, Sasuke jadi tak enak hati. Sungkan hatinya berpamitan. Apa lagi ketika dua keponakannya yang manis kompak bertanya.
"Nanti Uncle Sasuke pulang lagi ke sini, 'kan?"
Mata anak kecil dan remaja sungguh meluluhkan. Tadinya, Sasuke berniat menyendiri lagi di apartemen selepas memenuhi undangan Gaara. Niatan tinggal niatan. Duo kece perpaduan Uchiha-Inuzuka itu membuatnya ambyar.
"Iya."
Cattleya dan Monalisa bersorak kegirangan seolah mereka baru saja menang lotere. Itachi Nampak lega. Hana seperti biasa, memasang sikap tenang dan anggun.
"Jangan terlalu banyak menyendiri, adikku saying. Kesendirian sama mematikannya seperti penyakit katastropik," nasihat Itachi lembut.
"Berdua denganmu pasti lebih baik, aku yakin itu …." Cattleya mulai menyanyikan tembang milik penyanyi asal Indonesia. Monalisa menyambung nyanyian kakaknya dengan merdu.
"Bila sendiri, hati bagai langit berselimut kabut."
"Nah, dengar itu. Bukankah suamiku sudah bilang berkali-kali padamu untuk tinggal bersama kami di sini?" timpal Hana.
Sasuke mengeluh dalam hati. Kakak yang amat penyayang, ipar pengertian, dan dua keponakan menawan, sulit untuk menolak. Namun ia juga punya kehidupan sendiri.. Ia berjalan menuju mobil diiringi lambaian tangan Hana, Cattleya, dan Monalisa. Itachi menjajari langkahnya lalu memeluk Sasuke hangat.
"Cobalah untuk membuka hati, Sasuke. You know what I mean."
Hanya anggukan yang diberikan sebagai respon. Sasuke tentu paham maksud kakaknya. Membuka hati di sini bukan diartikan menikah lagi atau membangun hubungan romantic. Melainkan langkah untuk terbuka dan percaya pada orang lain, terutama pada entitas bernama sahabat. Gaara salah satu sahabat Sasuke.
Dengan setumpuk resah di dada, Sasuke melajukan mobilnya ke rumah Gaara. Paranoid berperang dengan pikiran positif, seperti perang dagang Tiongkok vs Amerika Serikat, perseteruan Liverpool dan Manchester United atau perang jenama ala dan Dunkin'. Sisi negative di pikiran Sasuke mengatakan kalua undangan ini hanya cara terselubung Gaara untuk 'menyidang' dirinya. Mungkinkah Sophia sudah bercerita semuanya? Tentang agensi akhlakless, tentang pelukan itu.
Pemikiran negative itu tertungging lalu pingsan seketika setibanya di rumah Sabaku. Gaara dan Hinata menyambutnya kelewat hangat. Sophia tersenyum menantinya di halaman depan. Sorot mata Gaara begitu tulus. Tak Nampak tanda intimidatif.
"Kita makan di halaman belakang, ya. Suasana baru," ajak Hinata. Ia memimpin jalan ke kebun belakang yang persis menghadap danau.
Di pekarangan belakang, berdiri sebentuk kolam kecil yang memancurkan air. Sebuah meja pendek berbentuk bundar dikelilingi empat kursi. Kilau jernih danau masih terlihat jelas dari sini. Mereka duduk berhadapan. Gaara dan Hinata, lalu di seberang meja ada Sasuke dan Sophia.
"Ada pasta tomat kesukaanmu." Hinata merekahkan senyum, menunjukkan hasil masakannya pada sahabat ravennya.
"Dan ini iga bakar saus BBQ favorit suamiku."
Hinata tahu betul cara menyenangkan hati tamu dan pendamping hidupnya. Ia sendiri cukup puas dengan salad tuna. Hidangan rendah lemak yang disantapnya bersama Sophia.
Hangat. Kehangatan merayap naik dari dasar hati Sasuke. Itachi benar. Taka da salahnya membuka hati dengan sahabat. Dan jangan lupakan Sophia di sisinya. Gadis cantic itu berseri-seri karena bertemu dirinya lagi. Padahal baru tiga senja berlalu sejak terakhir kali mereka berjumpa.
"Gimana apotek dan persiapan jadi DG?" Gaara menanyai Sasuke.
"Semuanya oke. Aku berencana melakukan kerjasama dengan perusahaan pembuat vaksin …."
Begitulah dua pebisnis bila sudah bertemu. Obrolannya tak jauh dari seputar perusahaan, ekspansi, model bisnis, dank lien. Soal menjadi DG, Sasuke mengutarakan keraguannya.
"Kenapa ragu? Semangat, Sasuke. Kami pasti akan memilihmu." Gaara berkata membesarkan hati.
"Aku harus menyembuhkan diriku sendiri sebelum menjadi DG." Sasuke berkata lirih, amat lirih.
"Ayah Sasuke bilang apa?" Sophia nimbrung. Sasuke tak menjawab.
Gerimis turun dari Rahim cakrawala. Kaget karena tak menduga cuaca berubah, mereka berempat melompat berdiri. Meninggalkan makanan mereka yang tersisa sedikit. Ketiga Sabaku dan tamunya berlarian ke dalam rumah menghindari kucuran air langit.
"Sophia, cepat ganti baju. Nanti kamu sakit. Gaara, kamu urus Sasuke." Hinata rusuh memberi instruksi. Digamitnya lengan Sophia ke lantai atas.
Tinggallah Gaara dan Sasuke di lantai bawah. Gaara memberikan handuk dan pakaian ganti.
"Thanks," kata Sasuke pelan seraya melepas jasnya.
Kedua pria charming itu mulai menanggalkan baju yang basah. Saat itulah terpandang oleh Gaara belasan bekas luka di punggung Sasuke.
"Sasuke, itu apa?" tunjuknya. Bekas luka kehitaman itu terlihat kontras di balik kulit putih pemiliknya.
"Ini? Bukan apa-apa," elak Sasuke.
Emerald Gaara menyipit curiga. Belasan bekas torehan itu jelas ada apa-apanya.
"Kau masih sahabatku, 'kan?" Tanya Gaara serius.
"Tentu. Kecuali kamu yang memecatku sebagai sahabat."
"Kalau begitu, katakan yang sebenarnya."
Sunyi. Sasuke memutar layar ingatan, merekam kembali ucapan Itachi tentang keterbukaan. Dengarlah nada suara Gaara. Kentara sekali ia cemas. Khawatir lahir dari hati yang peduli.
"Kamu ingat saat aku kehilangan penglihatan?" Sasuke buka suara. Ia takut, takut dirinya drop di depan Gaara setelah ini.
Gaara mengangguk. Mana mungkin dia lupa?
"Saat itu, orang-orang hanya tahu kalua aku dipindahkan ke villa milik keluargaku. Kenyataannya, aku … aku …."
Dada Sasuke sesak. Memori buruk tentang panti berkejaran. Gaara menunggu kelanjutannya, firasatnya tak enak.
"Aku dijebloskan ke panti khusus penyintas kelainan sensorik netra oleh kakekku, Uchiha Madara. Tempat itu benar-benar buruk. Isinya orang-orang yang sengaja dibuang oleh keluarganya. Lantaran tak punya keluarga, mereka tidak segan melakukan perundungan pada sesama mereka sendiri. Hanya anak kecil yang baik padaku. Hampir semua penghuni panti yang lebih besar membenciku. Puncaknya, aku hamper mengalami …."
Suara baritone itu terputus-putus seperti gelombang radio yang kepayahan mencari sinyal. Dalam kebungkaman, samar Gaara melihat bayangan luka amat dalam di mata Sasuke.
"Aku hamper mengalami kekerasan seksual oleh sesame penghuni panti. Beruntung ada yang menyelamatkanku. Tapi sebelum itu, pelakunya sempat meraba tubuhku, membuka sedikit pakaianku. Kamu tahu, Gaara? Pelakunya juga seorang laki-laki."
Ekspresi Gaara berubah horror. Sasuke menyiapkan hati untuk segala bentuk pengucilan. Ia siap, amat siap bila setelah ini kehilangan seorang sahabat.
Diiringi bunyi gemeretak, kursi yang diduduki Gaara kehilangan penghuninya. Gaara berjalan memutar, bergerak menyamping ke dekat sofa yang ditempati Sasuke. Sejurus kemudian ia memeluk tubuh Sasuke yang bergetar. Gaara memeluknya, memeluknya amat tulus. Berbeda dengan dekapan palsunya saat memberi peringatan tentang Sophia. Percaya atau tidak, manik zamrud itu berkaca-kaca.
"Kenapa baru bilang sekarang?" Gaara bergumam lirih.
Sasuke terbatuk. "Taka da yang akan menerima masa laluku. Bahkan Sakura tak pernah tahu."
Gaara memenuhi paru-parunya dengan udara. Selama ini dia berpikir Sasuke frustrasi hanya karena ditinggal mati Sakura dan Sarada. Problema yang dihadapi sahabatnya lebih kompleks dari itu. Sasuke butuh support dan tempat bersandar. Sebagai sahabat, Gaara siap memberikannya.
"Sahabat sejati tak akan pernah meninggalkan, sekelam apa pun masa lalu yang telah terjadi," ujar Gaara.
Penyakit bernama penyesalan mulai merongrong Gaara. Sesal karena tempo hari ia pernah sedikit mengintimidasi Sasuke terkait putrinya. Kini tak'kan terjadi lagi. Gaara memeluk Sasuke, sungguh-sungguh memeluknya sebagai penopang dan sahabat sejati. Sasuke membalas pelukan Gaara. Beban amat berat yang bercokol di benaknya selama bertahun-tahun runtuh sudah.
.
.
.
FIN
.
.
.
A/N
Ya, inilah akhir yang benar-benar akhir. Saatnya mengubah status cerita ini jadi complete. Itachi dan keluarganya baru muncul di part akhir. Aku lagi suka couple Itachi-Hana. Mereka serasi banget. Nama Cattleya dan Monalisa itu diambil dari teman-temanku, dua wanita yang sangat hebat. Satu di antaranya konsultan kesetaraan gender, satu lagi fotografer. Aku juga menyisipkan sedikit tentang Rotary dan istilahnya yang banyak itu. Pelukan Gaara ke Sasuke jangan disalahartikan ya. Aku bukan pendukung boys love. Itu murni pelukan persahabatan. Akhir kata, bye-bye readers. Sampai ketemu di cerita selanjutnya.