Disclaimer: Naruto copyright Masashi Kishimoto, 4 a.m copyright Sabaku No Maureen

.

.

.

Malam yang kurang menyenangkan untuk Hinata. Hampir ia tak dapat memejamkan mata lantaran isak tangis keponakannya yang mengiris keheningan. Hyuuga Orion bagai raja kecil di rumah itu. Setiap tingkah polahnya harus diperhatikan seisi rumah. Kalau jalan-jalan di luar, ia disapa manis oleh rakyat tetangga. Sedu sedannya adalah perintah bagi setiap penghuni rumah untuk berhenti beraktivitas dan mencurahinya perhatian penuh.

Seluruh penghuni rumah? Oh, jangan masukkan Hinata di dalamnya. Dia sudah kelewat penat dengan masalahnya sendiri. Tesis yang menuntut untuk diselesaikan. Hubungan yang merenggang dengan Hyuuga Hiashi dan Hyuuga Hikaru, kedua orang tuanya. Dan tidak lupa perasaan insecured yang menggumuk dalam tempurung hati.

Sosok pencipta rasa insecured itu tiada lain tiada bukan si sulung Hyuuga. Ayahnya Orion, Hyuuga Neji. Pria berambut seindah model iklan shampoo itu mendadak menjadi bintang setelah mempersunting gadis keturunan Tionghoa bernama Tenten dan membuat Hyuuga memiliki penerus.

Kelahiran Orion membawa dampak serius bagi Hinata. Perhatian Hiashi dan Hikaru lenyap sudah. Kalau dicuekin Hiashi, Hinata sudah kebal. Tapi ibunya? Ibunya yang mewariskan wajah jelita dan rambut indigo sehalus sutra padanya, tetiba mengurangi berkuintal-kuintal perhatian yang biasanya tercurah hanya untuk Hinata seorang. Merana, sungguh Hinata merana. Kalau sudah begitu, mau rasanya gadis 25 tahun itu menghambur ke taman kota dan mendendangkan lagu-lagu sendu yang dipopulerkan Denny Caknan atau Via Valen.

Hingga malam semakin kembung, Orion masih meraung. Entah apa yang diprotesnya. Batita bertubuh montok dan bermata perak itu mengoceh tak keruan. Hiashi, Hikaru, Neji, dan Tenten kewalahan menenangkannya. Berbagai cara telah mereka lakukan. Mulai dari mengayun-ayunnya, membuainya, membawanya keliling rumah dengan stroller, mengajaknya main, dan menyanyikannya lagu.

Hinata? Dia satu-satunya Hyuuga yang enggan berpartisipasi menenangkan generasi baru. Calon magister bidang pendidikan itu tak tahan mendengar raungan Orion yang bias membuat kelelawar terbang ketakutan.

"Orion … kapan tuh anak berhenti mewek coba?" Hinata misuh-misuh pada dirinya sendiri.

Ratusan kali ia mengubah posisi tidurnya. Nyalang matanya menatap kamar tidur 6x9 berdinding warna pastel. Ini bukan kamarnya. Sebagai pecinta warna ungu yang katanya disebut sebagai warna janda, Hinata tentu tidak akan mendekor kamarnya dengan warna pastel. Ini hanyalah kamar tamu yang ditempatinya di rumah Hyuuga sulung. Sekali lagi kegilaan orang tua. Hiashi dan Hikaru sedang saying-sayangnya dengan cucu pertama. Akibatnya, mereka memboyong diri mereka beserta Hinata untuk tinggal sementara waktu bersama Neji dan keluarga kecilnya. Neji dan Tenten senang-senang saja. Dengan hadirnya orang tua, tugas mereka mengurus Orion berkali lipat lebih ringan.. Hiashi-Hikaru dan Neji-Tenten excited, Hinata menderita.

Lebih dari hitungan jari si gadis indigo melayangkan protes pada orang tuanya. Menyebut mereka pilih kasih dan tidak memahami perasaannya yang butuh ketenangan. Seperti biasa, Hiashi acuh saja. Hikaru yang biasa memahami Hinata, sama adem ayemnya seperti sang suami. Bagi mereka, dunia hanya milik mereka dan Orion.

Pukul tiga lebih tiga menit, barulah bayi merepotkan itu jatuh tertidur. Hinata menggigit bibir bawahnya. Kalau begini caranya, bagaimana bias ia bangun tepat waktu? Mengandalkan Hikaru sebagai weker hidup tentu riskan. Ibunya tidur kelewat pulas hingga bias dikira almarhum. Hiashi mana peduli? Neji dan Tenten sama apatisnya. Yups, Hinata hanya bias mengandalkan diri sendiri.

Tanpa obat tidur, tanpa suasana nyaman, gadis setinggi 162 itu tertidur gelisah. Memasrahkan tubuh dan jam biologisnya. Ia berputih mata dapat terjaga tepat pada waktunya.

Pukul 3.30.

Helaan napas teratur dari dada besar nan seksi menandakan pemiliknya masih larut dipeluk mimpi. Ponsel yang tersambung ke kabel charger di sisinya tetap sunyi. Alam bawah sadar mengungkung Hinata begitu dalam.

Pukul 04.00

Si buah tergigit bernyanyi riang. Hinata terlonjak bangun. Inilah saatnya.

"Gaara?"

Seraut wajah luar biasa tampan dibingkai rambut merah bata memandangnya di balik layar. Tangan Hinata bergetar, antara lelah dan gembira. Hatinya puspas.

"Kamu kelihatan lelah. Nggak tidur, ya?"

Terkaan Gaara mengingatkan Hinata pada situasi menyebalkan yang mesti dihadapinya. Ia mengangguk. Bibirnya mengerucut.

"Kenapa lagi?" Gaara tertawa kecil di sela kalimatnya. Geli melihat mimic lucu kekasihnya.

"Biasa, si Ugly Baby," adu Hinata kesal.

"Orion, Hime. Jangan marah pada bayi." Gaara lembut mengingatkan.

Mengempas napas sebal, Hinata melanjutkan. "Itu bocah nggak berhenti nangis semalaman. Aku nggak bias tidur. Stress tau nggak."

Pria paruh baya di seberang sana mengangguk. Tersenyum penuh pengertian. Lahir 25 tahun sebelum Hinata, Gaara tentu pernah berada di posisi yang sama. Asam garam kehidupan lebih banyak ditelannya ketimbang Hinata yang baru memasuki seperempat abad.

"Apa dulu Oma Karura juga begitu waktu Kak Temari melahirkan Shikadai?" cetus Hinata penasaran.

"Iya. Euforia, 'kan? Cucu pertama."

Dengusan keluar dari hidung bangir itu. Tiap keluarga sama saja. Selalu berpikir tentang keturunan. Seakan tujuan hidup di dunia hanyalah berkembang biak.

"Gaara, nanti kita childfree aja, ya." Hinata meminta diiringi senyuman semanis gula kapas.

"Tak masalah. Senyamannya kamu saja."

Hinata merasa seolah tubuhnya diangkat tangan-tangan bidadari, digendong ke langit luas, dan diterbangkan menuju bintang. Batinnya lega, lega luar biasa. Inilah salah satu alasan terbesarnya bertahan bersama Gaara: penerimaan. Mereka saling menerima satu sama lain. Gaara membuat Hinata nyaman menjadi diri sendiri. Bungsu Sabaku itu tak keberatan dengan Hinata yang ambisius, enggan punya anak, dan sangat payah dalam urusan pekerjaan domestic.

"Tidurlah," kata Gaara peka. Iris jadenya melihat Hinata menguap.

"Gaara, aku lega bias bangun tepat waktu. Kupikir tadi aku tak'kan bias meneleponmu," aku Hinata.

"Mungkin itu yang namanya jodoh."

Jodoh? Manik mutiara itu membulat keheranan.

"Sering kali kita merasa tak punya kesempatan untuk bersama. Tapi di detik-detik terakhir, kita selalu dipertemukan lagi, 'kan?"

Senyum Hinata mekar. Lima tahun bersama Gaara, ada saja momen yang nyaris memisahkan mereka. Namun keduanya tak pernah terpisah. Tiap kepahitan dapat mereka lewati. Roller coaster emosi, mulai dari amarah hingga kecemburuan, telah mereka alami.

Hening, hening amat lama. Nun jauh di bumantara sana, bulan tenggelam perlahan-lahan. Gaara dan Hinata terdiam dengan telepon masih menyala. Hinata bahkan terlelap lagi ditemani Gaara. Putra Rasa dan Karura itu tersenyum kecil memandangi wajah polos kekasihnya.

"Sweet dream, Hinata."

.

.

.

Paginya, Hinata kembali insecured. Bidang pandangnya diperlihatkan adegan mesra ala pasangan muda yang belum lama menikah. Neji yang bersiap berangkat kerja. Tenten mengantar ke halaman depan diiringi tatapan saying dan ciuman kening. Melihat Hinata yang meneguk ludah, Neji tersenyum miring.

"Makanya, buruan lulus S2 dan nikah. Sama Sasuke, Sasori, Naruto, atau Kiba juga boleh. Asal jangan sama om-om aneh itu," ledeknya.

Tangan Hinata mengepal. Baginya, Gaara adalah paket komplet. Ia memberikan banyak peran yang tidak pernah Hinata punya: kakak, sahabat, kekasih, dan ayah.

Hiashi tipikal ayah yang buruk. Porsi perhatiannya hanya cukup untuk Neji. Jika bertengkar dengan Hikaru, Hinatalah yang jadi pelampiasan. Itulah sebabnya Hinata mencari sosok ayah dalam diri pasangan.

Nama-nama pria yang disebut Neji tak masuk hitungan. Sasuke anak bungsu. Alih-alih menjadi sosok ayah, ia manjanya minta ampun. Hinata harus sangat memahami dirinya. Naruto lebih enak dijadikan teman tenimbang pasangan hidup. Sasori mata keranjang. Gosipnya, ia pernah menjalin hubungan sesame jenis dengan Deidara.

Hanya Gaara yang paling sempurna untuk Hinata. Ia dewasa, dapat membimbing Hinata, dan di saat tertentu bias mengasyikkan juga seperti teman laki-laki yang menyenangkan.

"Kakakmu benar, Hinata-chan. Nanti kamu disangka sugar baby lagi kayak waktu itu," timpal Tenten.

Layar memori Hinata memutar ingatan. Di tahun keduanya bersama Gaara, beberapa teman kuliah Hinata menuduhnya sugar baby. Padahal Hinata tak pernah memanfaatkan Gaara secara materi. Ia tak butuh harta Gaara. Yang dicarinya adalah sosok ayah dalam diri pasangan.

Enggan berdebat, Hinata balik kanan. Kaki jenjangnya terayun menuju kamar. Diaduk-aduknya lemari pakaian. Hari ini ia ada urusan penting. Setelah bimbingan tesis, lalu bertemu pujaan hati.

Yosh, dress cantic berwarna ungu muda sudah di tangan. Sambil membawa handuk dan setumpuk pakaian, gadis yang bercita-cita menjadi CEO itu melenggang ke kamar mandi. Dia menatapi gaun ungu dalam pelukannya. Timbul pertanyaan absurd di kepala: apa salah warna ungu hingga diidentikkan dengan warna janda?

Stereotip, itulah stereotip. Sama seperti Hinata yang dianggap sugar baby karena terlibat hubungan cinta dengan pria beda usia. Apa salahnya cinta beda usia? Bukankah hati tak dapat memilih kepada siapa ia akan jatuh?

.

.

.

Kelakuan dosen sudah mirip atasan. Jarang membalas pesan, harus dikejar-kejar layaknya artis, dan dipahami jadwalnya. Hinata melangkah keluar dari ruangan Profesor Jirayya dengan lesu. Revisi lagi, revisi lagi. Kapan dosen sepuh berambut putih itu akan puas?

"Ingat, tesis itu bukan skripsi. Harus ada nilai lebih. Skripsi bias diibaratkan latihan penelitian, main penelitian saja. Tesis harus inovatif. Paling tidak, harus menciptakan model baru yang berdampak bagi bidang keilmuan kita." Begitu teori yang terus-menerus disemburkan Profesor Jirayya.

Hinata mangkel dalam hati. Jika terus begini, kapan ia akan lulus, menjadi CEO, dan menikah dengan ….

"Aduuuh!"

Gawat, kecelakaan lalu lintas terjadi di koridor kampus! Lebih tepatnya, Hinata baru saja tabrakan dengan seseorang. Hinata mendongak dan bertemu pandang dengan sepasang netra hijau.

Darahnya berdesir. Kedua kakinya serasa berjalan di atas agar-agar. Oh, malaikat tampan berambut merah.

"Hime, kita mirip, ya." Gaara menyapa, menunjuk mata Hinata yang ada lingkaran hitamnya.

Yang diajak bicara hanya manyun. Detik berikutnya, tubuh sintal Hinata telah berpindah ke pelukan hangat Gaara.

"Gitu ya, mainnya. Senang kasih aku kejutan. Bilangnya mau ketemu di mall, malah samperin aku ke kampus," kecam Hinata pelan.

"Tapi senang, 'kan?"

Hanya orang kurang waras yang tak senang didatangi pasangannya. Hinata dan Gaara saling peluk. Peduli setan dengan pandangan aneh para civitas academica yang berlalu-lalang. Barangkali mereka berasumsi Gaara adalah ayah Hinata. Ayah yang beda warna rambut, mata, dan marga.

"Apa kabar Oma Karura?" Hinata menanyakan calon mertuanya.

"Sangat baik. Oma masih suka nonton pidato politisi di Youtube."

Seringai terpilin di sudut bibir tipis Hinata. Oma Karura tipikal nenek-nenek gaul. Mainannya Youtube, Tiktok, dan Instagram.

Puas berpelukan, mereka berjalan meninggalkan kampus. Turun ke rubanah tempat Gaara memarkir mobilnya. Tak lama, sepasang kekasih beda generasi itu duduk manis di dalam Mazda hitam kesayangan Gaara. Hinata memilih-milih lagu favoritnya.

Kau dan aku berbeda

Itu kata mereka

Kututup telinga

Denganmu akan kuhadapi segalanya

Bila bepergian bersama Gaara, Hinata bebas mendengarkan lagu apa pun yang dia suka. Sangat berbeda dibandingkan pengalaman semobil dengan Keluarga Hyuuga. Hinatalah yang harus mendengarkan lagu pilihan mereka.

"Kirain mau dengerin Ditinggal Rabi atau Medot Janji. Kamu, 'kan, sekarang jadi dangduters." Gaara menggoda, matanya membesar nakal.

Tersipu, Hinata memukul pelan lengan berbalut setelan jas merah marun itu. Hanya Gaara yang tahu kalua Hinata sekarang penikmat dangdut.

Meski badai datang

Dan kau merasa

Dunia tak restukan kita semua

Kita hadapi berdua oh-oh

Selama bintang menari

Bulan mentari beri cahaya

Ku yakin takkan ada yang kalahkan cinta kita ho-oh (Tiara Andini-Hadapi Berdua).

Pukulan berubah menjadi tatapan. Hinata memandang belahan jiwanya lekat-lekat. Meski dunia tak merestui mereka, Hinata dan Gaara akan menghadapinya berdua. Mereka akan baik-baik saja selama masih bersama.

.

.

FIN

.

.

a/n

Hello, readers. I'm back with a new story. Cuma one shoot, jadi nggak ada kelanjutannya. As usual, aku memfiksikan realitas. Aku mencurahkan perasaanku dan apa yang kualami dalam karya. Semua kegelisahanku ada di sini.